Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

[tmcm · 06] - ceremony at strowlad

Di hari keempat, pagi-pagi sekali, ketukan beririma di pintu membangunkan tidurnya. Galvin sudah terbiasa beberapa hari terakhir dengan ketukan beririma yang dilakukan oleh Tilda. Wanita itu biasanya datang ke kamarnya membawakan nampan perak berisi sarapan, makan siang, dan makan malamnya.

Namun, di hari itu, Tilda tidak hanya datang untuk membawakan sarapannya. Ia membawa serta rombongan pelayan lain yang membawakan nampan yang dilapisi kain satin, isinya macam-macam pakaian dan perhiasan. Kemudian, di belakangnya mengikuti seorang wanita bergaun hijau emerald. Rambut hitamnya digelung tinggi, dengan hiasan tujuh butir mutiara. Anting-antingnya dari emas, dengan batu zamrud seukuran satu ruas jari manis. Pita di pinggang, sekitar kerah, siku dan ujung gaunnya adalah untaian emas. Selendang sutra dengan untaian perak membalut bahu hingga lengan, sedikit menutupi perutnya yang agak membuncit.

Wanita-yang masih tidak Galvin ketahui siapa sebenarnya itu-tersenyum tipis kepada Galvin dengan cara yang anggun. Dengan sekali lambaian tangannya, para pelayan yang seluruhnya adalah perempuan langsung menunduk sedikit, meletakkan seluruh nampan di atas meja kaca bundar, lalu berpencar di sekitar kamar.

Kemudian, beberapa pelayan yang baru saja keluar dari salah satu pintu tunggal polos yang adalah kamar mandi, menarik Galvin ke sana. Bathtub putih dari granit sudah terisi dengan air hangat, lengkap dengan wewangian dan bebungaan.

Setelah prosesi mandi yang cukup lama-karena Galvin canggung beberapa pelayan wanita memilih membantunya membersihkan badan-lelaki itu dibawa ke depan meja rias dengan handuk putih panjang. Dipakaikan macam-macam kain oleh tiga sampai empat pelayan dan perhiasan yang bukan main banyaknya. Untuk pertama kalinya, kamar itu grasah-grusuh dengan gerakan dari setiap pelayan. Belum lagi, wanita bergaun hijau yang duduk dengan nyaman di ranjangnya itu memerintah dengan semangat bagaimana seharusnya Galvin didandani.

Galvin harus wangi selepas mandi, rambutnya harus rapi, pakaiannya harus terlihat pas, dan blablabla. Galvin sampai pusing karena hanya dirinya yang lelaki di sana.

Galvin sejujurnya tidak tahu mengapa ia harus diperlakukan seperti pangeran yang akan dinobatkan sebagai pangeran mahkota. Dari ujung rambut hingga ujung kaki sesungguhnya sangatlah menyilaukan mata. Celana haremnya serupa warna laut yang jernih, tetapi ada garis-garis tipis yang terbuat dari emas. Kemejanya berwarna lebih lembut, kancingnya berasal dari simpulan tali berwarna emas. Dia juga dipakaikan gelang emas dengan beberapa permata putih di lengan bagian atas, kanan dan kiri. Serta jubah perak mengkilap yang juga dihiasi motif unik sulur-sulur dari benang emas. Tentu saja, gelang emas berbentuk tabung yang wajib dipasang di lengan kanannya. Seolah, semua orang mengatakan kalau tanda lahir bulan sabitnya itu harus disembunyikan.

Dibanding keindahan itu semua, beban yang dibawanya tidaklah ringan. Kalau bukan karena cermin yang memantulkan dirinya terlihat sempurna dan tampan, Galvin sudah pasti menyamai omelan wanita yang tampaknya adalah istri dari Justin itu.

Padahal, kemarin saja rasanya ia masih seperti buronan kerajaan.

"Sudah selesai, Yang Mulia," ucap seorang Tilda. Ia melangkah mundur beberapa langkah sembari menunduk setelah memasang tujuh untai permata hijau kebiruan di dahi Galvin yang diikat dengan tali berwarna emas, menutupi kening hingga dagunya.

Dari pantulan cermin, lelaki itu bisa melihat bahwa sang Ratu menatapnya dengan senyum haru. Seolah baru saja melihat putranya yang tumbuh dewasa terlalu cepat. Ia bangkit dari ranjang, mendekati Galvin yang masih setia duduk di depan cermin.

"Tampan," katanya masih dengan senyum haru yang belum luntur. Tangan Ratu yang Galvin ketahui bernama Madison itu memegang pundaknya seolah masih tidak percaya. "Tampan sekali. Tidak heran kalian diciptakan satu sama lain."

Galvin mengernyit hingga matanya menyipit.

Lelaki itu tidak berkomentar apa pun ketika sang wanita memaksanya untuk berdiri, melihat dari atas sampai bawah dengan tatapan memuja. Ia mengangguk-angguk setelahnya lalu beranjak hendak keluar dari kamar diikuti salah satu pelayan.

"Aku akan memeriksa Putri dulu. Kalian bawa dia ke aula Strowlad sekarang," perintahnya lalu meninggalkan kamar tersebut.

"Baik, Yang Mulia," jawab Tilda yang tadi ikut mendandani Galvin. Ia memeriksa lelaki itu sebentar sebelum akhirnya menuntun keluar entah kemana.

Galvin menurut aja. Setelah berpikir semalaman, ia memutuskan kalau tidak ada juga salahnya menerima kenyataan. Lelaki berkulit putih itu barangkali akan terjebak di dunia fantasi yang gila sekaligus menyeramkan ini untuk waktu yang cukup lama. Ia harus menyesuaikan diri. Sebelum akhirnya mencari tahu apa alasannya bisa sampai berada di Akstrokia, seperti kata Justin semalam.

Aula yang dimaksud ternyata berada di bagian lain dari kerajaan itu. Mereka keluar dari kastel biru. Galvin tidak tahu kalau istana tempatnya tinggal selama tiga hari ini seperti apa karena begitu keluar dari ruang pertemuan, dia sudah ada di kamar dengan jeruji di sekeliling ranjang.

Berbeda dengan istana yang sebelumnya Galvin kunjungi, dinding kastel yang mengkilap dirambati Common ivy bersama Crysanthemum merah, kuning, dan putih yang mengelilingi sisi kastel. Sejauh dua puluh lima meter di depan pintu masuk utama, semak privet ditanam dengan pangkasan rendah. Sisinya ditanami bakung kuning, dan injakannya adalah petak-petak granit abu-abu terang. Begitu petak granitnya habis, Galvin dituntun menaiki kuda berwarna cokelat kemerahan melewati ladang lavender yang masih hanya terlihat daun dan kuncup bunganya saja.

Setelah bertanya pada Tilda, Galvin mengetahui kalau Akstrokia terdiri atas tiga istana. Tempat tinggal Galvin yang terbuat dari es itu bernama Strifal, jaraknya adalah yang paling jauh di antara istana lainnya. Mereka harus melewati taman bunga krisan dengan pepohonan rindang berwarna biru muda dan ungu pucat lebih dulu setelah melewati ladang lavender untuk mencapai salah satunya. Istana itu hanya digunakan sebagai tempat tinggal raja, istri, saudara-saudara raja, dan sekarang ditambah dengan Galvin juga.

Sementara dua istana lainnya, Strakvi dan Strowlad hanya berjarak tiga puluh meter saja satu sama lain dengan beberapa pohon berdaun biru muda di antaranya. Strakvi sendiri adalah tempat tinggal kerabat raja selain saudaranya, jenderal, menteri-menteri dan para prajurit pelayan istana. Sedangkan Strowlad lebih umum digunakan sebagai tempat pertemuan seperti yang dilihat Galvin kemarin, aula, ballroom, tempat perjamuan, serta tempat tinggal tamu juga.

Dia baru saja keluar dari penjara dan Galvin dipaksa untuk langsung beradaptasi dengan mengingat itu semua. Sekarang dia ingat, besok tidak tahu. Sesungguhnya yang lelaki itu inginkan hanyalah tetap hidup agar bisa pulang.

Galvin menghela napas panjang. Untungnya para pelayan menyuruh Galvin untuk menunggangi kuda menuju ke aula Strowlad. Kalau tidak, percuma saja dandan terlalu tampan pagi-pagi sekali. Sayangnya, saat bertanya pada para pelayan yang melayaninya untuk apa Galvin berpakaian seperti ini, semuanya malah menjawab serempak, "Maaf, kami tidak diizinkan memberitahu Anda, Tuan."

Baru saja pintu aula terbuka, rombongan lain juga datang menghampiri. Berasal dari arah lorong yang berlawanan dengan Galvin. Seorang gadis memakai gaun dengan warna senada seperti miliknya. Biru seperti air laut yang jernih dan garis-garis halus yang berasal dari benang emas. Wajahnya juga ditutupi tujuh untai permata. Membuat Galvin tidak bisa melihat dengan jelas, kecuali rambutnya yang kuning keemasan. Galvin juga tidak bisa memastikan kalau gadis itu adalah gadis yang sama dengan yang tiga hari ini selalu melambai ke arah jendela kamarnya.

Mereka berdua berjalan berdampingan di atas gelaran karpet merah. Bentuk ruangannya hampir sama seperti ruang pertemuan, tetapi lebih luas saja. Kursi-kursi yang disusun juga lebih banyak. Serta di ujung dari karpet merah tersebut ada dua kursi mewah yang menghadap langsung pada dua kursi yang lebih mewah lagi di atas tiga undakan tangga.

Sejenak, Galvin seolah tengah membayangkan Putri Disney seperti Cinderella atau Belle pada gadis yang berjalan di sebelahnya. Bentuk gaun yang dikenakan gadis itu sama seperti dalam film Beauty and The Beast.

Galvin tertawa di dalam hati. Kalau pun gadis itu memang si cantik, ia tentu bukan si buruk rupanya. Galvin memiliki kulit putih bersih, rahang tegas, hidung mancung, dan mata menyorot tajam berwarna kecokelatan seperti rambutnya. Tubuhnya juga lumayan tegap karena ia rajin berolahraga agar tidak terlalu lelah saat latihan menari atau dansa.

Namun, tentu bukan berarti Galvin sedang menjodohkan diri. Dia sudah punya pacar. Galvin akan mencatatnya besar-besar.

Seorang pria tua dengan pakaian serba putih menyuruh Galvin dan gadis berambut kuning keemasan itu duduk di kursi yang tersedia. Mereka menghadap langsung pada Raja Justin dan duduk dengan gagah bersama wanita yang tadi pagi membantu mengurusi penampilan Galvin.

"Silakan dimulai," perintah Justin yang langsung disanggupi pria tua berpakaian serba putih itu. Dengan kendi emas di tangan, pria itu menutup mata sembari merapalkan mantra dalam bahasa yang tidak Galvin mengerti.

Galvin melirik ke kanan dan kiri, bertanya-tanya dalam hati acara apa yang harus melibatkan dirinya seperti ini. Terlalu ramai. Hampir semua orang memakai pakaian yang cukup mewah dan menyilaukan mata. Acara penyambutan anggota baru kerajaan? Penobatan sebagai pangeran? Ah, rasa-rasanya hal itu tidak pula harus melibatkan seorang gadis yang duduk dengan anggun di sampingnya ini.

Pernikahan?

Galvin tersedak ludahnya sendiri. Ia terbatuk beberapa kali hingga pria tua yang membacakan mantra tadi berhenti merapal. Semua pasang mata tiba-tiba menatapnya bingung, bahkan gadis yang duduk di samping kanannya juga menoleh. Galvin menunduk sembari menutup mata, menahan malu. Sebaiknya ia tidak terlalu bersikap spontan seperti tadi. Semua orang sudah pasti akan menganggapnya seperti alien.

Namun, tetap saja ia ingin tahu upacara apa yang tengah dilakukannya ini. Kalau memang benar upacara pernikahan, Galvin ingin jadi pengantin yang melarikan diri saja. Lagi pula, bisa-bisanya menikahkan orang tanpa meminta persetujuan orang terkait.

Begitu menatap ke arah depan, tepatnya pada tempat duduk di samping raja yang ditempati Jonathan, mereka tanpa sengaja saling menatap. Tatapan lelaki beriris seperti tumpahan madu itu terlalu tajam. Seolah tengah berkata melalui tatap, "Jangan kabur atau aku akan membunuhmu."

"Baik, silakan kalian saling bergenggaman," ucap pria tua yang merapalkan mantra tadi hingga membuat Galvin sedikit tersentak.

Galvin membuat gestur menunjuk diri sendiri dan gadis di sebelahnya. "Maksudmu kami?"

Pria itu mengangguk. "Tangan kiri sang gadis berada di atas tangan kanan lelaki."

"Ini bukan ritual pernikahan, kan?" tanya Galvin lagi, dengan suara yang lebih kecil.

"Apakah ada yang mengatakan seperti itu padamu?"

"Tidak, sih. Tapi-"

"Baik, silakan dilanjutkan kalau begitu," potongnya yang membuat lelaki itu agak kesal.

Galvin mengembuskan napas pendek lalu menoleh. Ia bisa melihat kalau gadis di sebelahnya agak ragu dan gemetaran saat mengulurkan tangan. Melihat hal itu, ia langsung saja menggenggam tangannya. Tangan gadis itu terasa pas, tetapi dingin. Namun, begitu melihat pergelangan tangan bagian dalam yang terpampang milik sang gadis, Galvin menyeritkan dahinya. Gadis itu, punya tanda lahir yang sama dengan miliknya. Ukiran bulan sabit berwarna cemani.

Si pria tua lanjut merapalkan mantra. Sesekali, ia menyipratkan air dari dalam kendi dengan sehelai bulu merak padanya dan gadis itu.

"Ulurkan tangan kalian untuk menerima air suci," kata pria itu.

Gadis di sebelah Galvin melepaskan genggaman tangannya. Ia mengulurkan tangan kiri seolah hendak menampung. Galvin mengikuti dengan meletakkan tangannya di bawah milik gadis itu.

Sebelum air menyiram telapak tangannya, beberapa kelopak mawar putih dan krisan diletakkan. Si pria tua merapalkan mantra sembari menuang airnya hingga tandas.

Setelahnya, kelopak-kelopak bunga itu diperintahkan untuk dilempar kepada Galvin. Bukan hanya gadis di sebelahnya, tetapi Raja Justin, Ratu Madison, Jonathan, Jeffrey, dan beberapa orang lainnya juga melempar setangkai bunga krisan putih padanya. Si pria tua itu mengatakan kalau pelemparan bunga adalah bentuk memberi berkat dan doa baik.

Galvin dan gadis itu diperintahkan untuk berdiri. Seorang pelayan datang membawa nampan yang dibalut dengan kain merah bermotif sulur-sulur dedaunan dari benang emas ke hadapannya. Ada sebuah mahkota perak bertabur permata biru laut.

Justin bangkit dari duduknya. "Dengan ini, resmi kumumkan bahwa Galvin dinobatkan sebagai Pangeran. Kedudukannya akan setara dengan Pangeran Jonathan, Pangeran Jeffrey, Pangeran Blake, Putri Jeanne, dan Putri Caitlin."

Galvin berusaha menyembunyikan senyumnya. Beruntung saja tujuh untai permata di wajahnya menutupi itu semua. Ternyata dinobatkan sebagai pangeran. Aku memang hanya terlalu banyak berpikiran buruk.

"Silakan, Putri Jeanne," lanjut Justin.

Gadis di sebelahnya—yang ternyata benar dugaannya kalau ia adalah Jeanne—menunduk memberi hormat. Mahkota di atas nampan diraih, Galvin menunduk sedikit untuk mempermudah gadis itu memasangkan mahkota di kepalanya.

Sedikit berat, tetapi Galvin menyukainya. Setidaknya memang inilah permintaan maaf yang harus dilakukan tiga bersaudara itu setelah hampir memenggal, memenjarakan, dan membaca pikiran secara tidak sopan.

Setelah penyematan mahkota, ia mendengar Jeanne berbisik pelan. "Selamat, Pangeran." Suaranya lembut sekali, seperti bolu kukus ubi buatan ibunya. Menenangkan dada dan entah mengapa memantik gelora dalam dadanya. Namun, Galvin cepat-cepat tersadar dengan pikiran anehnya sendiri.

Sorak selamat dan riuh tepuk tangan menggema di aula tersebut. Galvin dilingkupi rasa bahagia dan menggebu-gebu. Terjebak di dunia antah berantah lalu dinobatkan menjadi pangeran tidak masalah juga. Yang terpenting, Galvin merasa aman.

"Beri hormat kepada Baginda Raja!" ucap si pria tua berpakaian serba putih itu.

Melihat Jeanne yang menjumput pinggiran gaunnya lalu menekuk lutut dengan anggun, Galvin ikut melakukan hal yang sama. Tentu saja tidak mengangkat pinggiran gaun, tetapi meletakkan tangan kanan di dada seperti bangsawan pada umumnya lantas membungkuk sedikit.

Justin balas menundukkan kepala. "Dengan ini pula, Pangeran Galvin akan mengabdikan hidupnya untuk Akstrokia."

Macam-macam bebungaan dilempar pada mereka berdua, kebanyakan mawar dan krisan putih. Seolah memberi selamat dengan cara berbeda.

Galvin menegakkan tubuh sembari melotot hingga rasa-rasanya manik kecokelatan itu hampir lepas. Apa? Maksudnya?

***

- [ 01/06/22 - 20.17 ] -
- [ 03/02/23 ] -

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro