
[tmcm · 01] - grandmother's garden
Keramik bercorak abstrak itu berkilauan. Cokelat muda. Sinar mentari menelusup dari jendela dengan kaca super besar yang tirai putihnya disibak terlampau lebar. Langkah-langkah dijejak perlahan-teratur-tetapi di beberapa bagian terkesan terburu-buru dan bingung. Sebelum akhirnya, kaki itu menginjak kaki salah seorang lainnya.
Pekik menggema di ruang yang hampir kosong itu. "Maaf, maaf. Aku tidak sengaja." Gadis dengan rambut tergerai hingga pinggang itu menutup mulut dengan kedua tangan, air mukanya penuh risau.
Sedangkan laki-laki dengan kulit putih bersih sedikit kemerahan itu menghela napas panjang. "Mungkin kau lelah, Becca. Istirahatlah. Kita akan tunda rekamannya nanti." Lalu, lelaki itu melangkah menuju tepi ruangan dan menenggak sebotol air.
"Mana bisa begitu, Vin," rengek Rebecca. Rambut cokelat gelapnya terbang ke sana-kemari ketika ia memangkas jarak. Lelaki itu dipeluk dari belakang, kepalanya bersandar di bahu Galvin dengan nyaman sembari mengerutkan bibir. "Kita harus rekaman sekarang juga. Draft video kita tinggal tiga lagi, itu juga belum proses edit. Aku takut, kita tidak bisa mengejar batas minimal upload. Kalau kita telat upload, nanti penonton akan unsubcribe channel kita. Lalu-"
"Becca," sela Galvin. Ia tertawa lepas sembari mengusap punggung tangan sang kekasih di perutnya. "Kau hanya terlalu banyak berpikir macam-macam. Hal buruk di dalam kepalamu sesekali harus dihilangkan, okay? Aku yang akan mengatur editing-nya kali ini." Lelaki itu menoleh pada Rebecca yang masih betah memeluk dan bersandar padanya. "Lagi pula, kau bilang kita masih punya tiga video, kan? Setidaknya cukup kalau perlu menunggu satu video tertunda saja. Kau terlalu banyak menginjak kakiku hari ini." Lagi, lelaki itu tertawa.
Rebecca menggerutu. Bahu kekasihnya dipukul main-main. Galvin berbalik, tawanya menjadi-jadi ketika melihat gadisnya mengerucutkan bibir makin panjang. "Aku, kan, sudah minta maaf, Galvin. Jangan mengungkitnya lagi, ish!"
"Iya, iya!" Galvin menetralkan suaranya. Kepala Rebecca ditepuk sayang beberapa kali. Lalu, bibir ranum itu disentil. "Makanya kau harus istirahat. Kudengar fakultasmu banyak kegiatan akhir-akhir ini. Kau pasti lelah dipaksa ikut ini dan itu."
"Kalau begitu ajak aku jalan-jalan!" Rebecca merengek lagi. Air mukanya berubah memohon. "Ya? Kau juga pasti jenuh belajar bisnis terus sambil mengajar dansa dan menari. Ayo kita makan, Vin. Aku ingin hari ini milik kita berdua."
Air muka lelaki itu berubah, senyumnya luntur, serta tercetak raut menyesal di dahinya meski tidak begitu kentara. "Maaf, Becca." Pipi gadisnya diusap pelan. "Aku sudah punya janji untuk menjenguk nenekku yang sakit. Aku akan pergi hari ini. Mungkin, kita bisa jalan-jalan lain kali, ya?"
Bibir Rebecca mengerucut lagi. "Baiklah. Tapi kau harus janji, ya?" Ia menuntut dan Galvin mengangguk dengan senyum cerah lagi. "Kalau begitu, beri aku ciuman sampai jumpa!"
Gadis itu mendekatkan wajah, sebelum itu Galvin menyentil keras dahinya. "Jangan macam-macam. Nanti aku semakin berat meninggalkanmu."
Galvin menyengir sebentar pada kekasihnya yang menatap dengan iris abu-abu yang tajam. Lelaki bersurat cokelat gelap bergelombang itu menggapai tas hitam yang tergeletak di lantai, mengeluarkan laptopnya dan menggerakkan jemari di atas keyboard sembari memangku benda itu. Rebecca memeluk Galvin dari belakang dan memperhatikan apa yang sedang kekasihnya itu lakukan.
"Dua ratus ribu?" Si gadis bersural lurus cokelat gelap itu memekik, menatap Galvin dan layar laptopnya bergantian dengan mata membelalak. "Aku tidak salah lihat, kan? Kita baru upload tidak sampai dua belas jam yang lalu, Vin!"
Salah satu tangan Galvin menggapai puncak kepala Rebecca, mengusapnya dengan sayang. "Kau tidak salah lihat," katanya sembari tersenyum geli. Kemudian, dengan satu klik dari jemarinya, laman di layar laptop sudah berpindah, menampilkan halaman utama akun Youtube dengan wajah Galvin dan Rebecca bernama GR Dance. "Kita juga sudah mencapai sepuluh juta subscribers!"
Rebecca menganga sebentar sebelum akhirnya berteriak kencang, la memeluk leher Galvin sangat erat hingga suaranya tertahan di bahu sang kekasih. Sementara Galvin tertawa-tawa akibat Rebecca yang masih tak henti berteriak kegirangan, melalui pandangan sekilas, Galvin melihat ada sesuatu yang aneh muncul dari balik jendela super besar di ruangan itu. Sekilas, cahaya vertikal muncul dan menghasilkan denging yang mungkin hanya bisa didengar olehnya saja. Namun, singkat saja, sebab dengan cepat Galvin berpikir kalau mentari di awal musim semi itu hanya terlalu bersemangat, atau bisa saja, dia sedang berkhayal yang aneh-aneh.
***
Kalau bukan karena neneknya yang sakit, Galvin mana mau menyusahkan diri menempuh perjalanan sejauh tiga jam hanya demi mengantarkan bolu kukus ubi ungu kesukaan sang nenek. Wanita yang hampir menginjak usia delapan puluh itu terlalu banyak bicara. Mengomentari ini-itu tiada habisnya. Seperti tatanan rambut cucunya yang agak aneh, pakaian Galvin yang terlalu ramai, atau cara duduknya yang tidak seperti almarhum sang kakek. Belum lagi, Galvin tidak suka biskuit jahe buatan sang nenek. Terlalu keras dan pahit.
Satu-satunya yang paling Galvin syukuri datang ke sana hanyalah tempatnya yang menenangkan. Neneknya punya taman yang terlalu besar di belakang rumah. Ditumbuhi rumput gajah, bunga tulip, dan beberapa pohon alpukat yang buahnya banyak bukan main. Ia bebas di sana. Tidak ada yang akan melarangnya merenung dan menikmati angin yang datang dari dalam hutan.
Namun, hari itu rasanya sedikit berbeda. Galvin memang datang karena menjenguk neneknya yang sakit. Biasanya, ia akan berusaha menunda kedatangan pada kedua orang tuanya dengan alasan banyak tugas dari kampus atau sibuk mengajar menari dan dansa di sanggar miliknya. Akan tetapi, hari itu ia malah menolak ajakan Rebecca untuk berjalan-jalan dan menunda banyak latihan di sanggar peninggalan sang kakek. Tidak tahu alasannya apa. Galvin hanya merasa perlu mendatangi kampung halamannya segera.
"Nenek pikir kau akan datang lusa, Galvin," kata seorang wanita tua dengan rambut yang sepenuhnya memutih ketika ia baru saja tiba di depan pintu. Mentari hampir jatuh ke peraduan kala pipinya dicium singkat oleh sang nenek. "Kau bertambah kurus saja. Masuklah. Nenek baru saja memasak ayam rosemary kesukaanmu."
Seorang pelayan wanita menerima bungkusan berisi bolu dan ransel hitam dari tangan Galvin. Lelaki itu mengikuti langkah sang nenek yang agak tertatih. Ia menggeleng tak habis pikir menatap neneknya yang mengenakan syal rajut berwarna cokelat muda.
"Bukankah nenek sakit? Seharusnya biarkan pelayan saja yang menyajikan," kata Galvin seraya duduk di kursi depan meja pantri.
Nenek tertawa, tetapi terhenti sebab batuk beberapa kali. "Kau pikir Nenek selemah itu? Ayolah, Nenek juga ingin melayani cucu kesayangan Nenek." Wanita tua itu berjalan menghampiri cucunya dengan beberapa potong ayam yang cokelat berkilauan serta piring lainnya yang berisi nasi hangat.
Galvin menyantap dengan nikmat. Perjalanan tiga jam bukanlah hal yang singkat. Belum lagi, dia hanya singgah di pom bensin untuk buang air dan membeli kopi.
"Farah masih sibuk dengan pekerjaannya?" tanya Nenek.
Galvin menyuapkan ayam ke dalam mulutnya sembari menatap sang nenek. Ia lalu mengangguk sekali.
"Ah, Farah selalu saja sibuk. Dia jarang sekali datang ke sini. Sesekali dia juga harus merawat neneknya, bukan hanya merawat orang-orang itu saja." Wanita tua itu berpandangan sedih. "Aku seperti hanya punya satu cucu saja."
Lelaki itu tersenyum singkat. Kakaknya adalah seorang dokter muda. Dia baru lulus dua tahun lalu dan selalu sibuk dengan pekerjaannya. Sebagai junior, Farah adalah dokter yang cekatan dan pintar. Tak jarang, bahkan kalau ada dokter yang tidak bisa menerima panggilan, gadis itu yang akan dipanggil untuk merawat pasien. Dalam setahun, sampai-sampai Farah hanya punya waktu dua minggu untuk libur.
Sedangkan neneknya itu hanya sendirian dengan dua pelayan, satu tukang kebun, dan satu supir yang menemani. Padahal, ibu Galvin sudah meminta agar tinggal saja di rumah mereka di tengah kota. Namun, sang nenek menolak dengan alasan udara kota tidak bagus.
Belum lagi, ibu Galvin adalah anak tunggal yang berarti cucu nenek hanya Farah dan Galvin. Nenek pasti sangat kesepian karena mereka jarang berkunjung ke kampung halaman.
"Kunjungan selanjutnya, aku akan menyeret Farah untuk datang, Nek," ucap Galvin sambil tersenyum hangat sebelum menyuapkan ayam rosemary-nya kembali.
Sang nenek tersenyum simpul, tangan kirinya mengusap pelan puncak kepala cucunya. Dari lengan baju yang tersingkap itu, Galvin dapat melihat pergelangan bagian dalam neneknya yang terukir bekas luka yang cokelat kemerahan, bentuknya seperti bunga matahari.
***
Galvin merenggangkan tubuhnya ketika sentuhan terakhir untuk video yang akan diunggah di akun Youtube-nya selesai bersamaan dengan tugas kuliah yang berhasil dikirim. Ia memindahkan laptop dari pangkuan ke meja nakas. Beruntung sekali dalam dua hari ke depan Galvin tidak harus datang ke kampus untuk sekadar mendapatkan materi dari dosen. Di semester yang keempat, dosen-dosennya lebih sering melakukan pembelajaran daring.
Matanya beralih ke jendela yang tidak tertutup baik kacanya atau pun tirai putih. Angin malam yang bertiup agak kencang hari itu membuat jendelanya agak riuh, belum lagi tirai yang terus menyibak sana-sini. Kamarnya yang langsung menghadap taman belakang rumah sang nenek membuat Galvin bisa melihat tenangnya suasana taman di malam hari yang hanya berbekal penerangan beberapa tiang lampu. Galvin berpikir, tidak ada salahnya juga berjalan-jalan sebentar menghirup udara segar.
Lelaki berkulit putih dengan tubuh tegap itu menutup mata ketika sampai di taman belakang, merasakan embusan angin malam yang menyapu wajah dan rambut kecoklatannya. Ia hanya mengenakan kaus putih lengan pendek sehingga Galvin dengan cepat mengigil karena angin yang lebih dingin dari biasanya.
Namun, Galvin merasakan keanehan ketika siulan angin berubah agak rancu. Embusan angin seolah tengah membuat pusaran di depannya hingga beberapa dedaunan dan ranting-ranting ikut berputar. Galvin menahan napasnya sembari melangkah mundur perlahan dengan mata yang berusaha fokus untuk mencari-cari apa yang sekiranya tak biasa.
Pusaran angin berhenti mendadak. Dedaunan dan ranting kecil jatuh begitu saja di atas rumput gajah yang tampak baru dirapikan. Heningnya terlalu janggal. Bahkan Galvin tidak mendengar suara jangkrik atau suara hewan lain yang beberapa menit lalu masih menyambangi telinga.
Desingan mengotori hening. Ada seberkas cahaya putih vertikal menyentuh tanah setinggi dua meter di depannya. Perlahan melebar seperti sebuah pintu menuju dimensi lain. Galvin masih memaku di tempat ketika silauan cahaya dari portal itu hanya bertahan selama tiga detik, lalu memudar dan hilang. Anginnya bertiup normal lagi, dan suara jangkrik serta katak terdengar kembali.
Galvin mendapat kesadaran kembali ketika pergelangan tangan kanannya terasa nyeri. Berbekal cahaya dari tiang lampu taman terdekat, ia melihat kalau lengan bagian dalamnya berdarah. Tepatnya pada tanda lahir yang berbentuk bulan sabit itu.
Dadanya berdegup kencang. Matanya kembali menatap di mana portal yang tampak seperti menuju dimensi lain itu mendadak muncul. Mungkin Galvin hanya bermimpi. Ya, dia hanya mengkhayal. Dia pasti sudah sangat mengantuk.
Dengan langkah tergesa, lelaki itu bergerak masuk rumah, mengabaikan nyeri dari pergelangan tangannya yang berdarah.
***
- [ 24/05/22 - 20.44 ] -
- [ 01/06/22 ] -
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro