Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Whiskey and Luckies to change it all

"Stop!" aku menariknya. Vincent menyusulku, dan kendati ekspresinya dipenuhi dengan keengganan, ia mau membantu untuk menarik Ronald menjauh. Sementara orang-orang bertahan, tak ada satu pun yang mau ikut campur. Pria Afrika itu terus mengumpat sambil meludah darah.

"Kembalilah ke negaramu!" Ronald meraung. "Kau takkan mendapatkan pekerjaan di sini!"

"Sudah, sudah." Aku berkutat menahan bobot tubuhnya yang masih mencoba untuk meninju si pria Afrika. Sementara lawannya berdiri dengan tertatih, matanya menggelora dalam amarah hebat dan tangannya terkepal kuat. Bagusnya, ia memilih untuk beranjak pergi ketika satu per satu pengunjung pub meninggalkan lokasi dengan terburu-buru.

Namun nasib Ronald belum berakhir. Tak lama kemudian keluar seorang pria tambun dengan wajah merah padam. "Kau dipecat!" serunya. "Keparat kau, Hernandez. Kau sama saja—kembalilah ke negaramu sana!"

Ronald terkesiap. Ia menyentak diri dari tangan-tangan kami yang masih menahannya. "Tidak!" serunya. "Orang tadi yang memulai duluan!"

"Tapi lihat apa yang telah kau perbuat!" si pemilik pub tak berkompromi lagi. Ia mengacungkan kepalan tinju di depan wajah Ronald, dan sebelum sang pemuda benar-benar membalasnya, pria tua itu tergopoh-gopoh masuk.

Ronald menarik napas dalam-dalam dan meludah. Ia lantas berputar menghadap kami. "Apa yang cecunguk macam kalian lakukan di sini?"

Aku tahu Vincent menatapku dengan pertanyaan yang sama. Mungkin ia sedari tadi penasaran mengapa aku mengajaknya ke Lower Roxbury alih-alih pub sembarangan di sekitaran Fenway. Fenway dijejali pub para mahasiswa, dan Lower Roxbury agak, yah, serampangan. Kalau Vincent mengira selera kami hampir sama, maka kuakui North End itu memang epik.

"Mendiskusikan pameran," jawabku sekenanya. "Ayo. Ikut aku."

"Kau bercanda?" Ronald menggeram. "Kau mau aku penyokkan mobilmu sekalian?"

Aku menunjuk alisku sebagai isyarat. "Kalau tidak segera, kau mungkin butuh jahitan yang lebih banyak."

Ronald membeliakkan mata. Ia menoleh pada kaca pub di sampingnya dan menyadari bahwa sebagian pipi kirinya sudah bebercak darah. Pada saat itulah, aku yakin, ia baru merasakan sengatan perih di sekujur badan dan wajah. Luka di alisnya kembali terbuka dan menganga lebar. Matanya mulai lebam.

Aku heran kenapa Ronald hanya mematung di sana alih-alih bereaksi. Dan karena setetes darah baru saja mengalir melewati pelipisnya lagi, aku langsung menariknya.

"Roth, maaf, tapi apa kami boleh ke rumahmu?"

Vincent mengatupkan bibir rapat-rapat. "Silakan."



Aku tidak mengira kemampuanku sebagai calon dokter justru digunakan di saat seperti ini.

Kami tiba di rumah Vincent beberapa saat lalu. Tidak seperti diriku, Ronald tidak heran melihat kekacauan di lantai dasar. Atau ia memang sedang tidak ingin melihat-lihat. Tatapan matanya kosong dan ia membisu selama perjalanan tadi.

Vincent menghilang saat aku menandangi luka Ronald. Aku dibiarkan mengambil baskom dan handuk seolah-olah ini adalah rumahku. Entah ke mana lelaki Italia itu menghilang.

Ronald tersentak saat aku mengenakan sarung tangan dari kotak obatku. "Apa lukaku benar-benar bakal dijahit?" Ia cenderung lebih tegang daripada ketakutan.

Aku menatapnya dengan datar. "Ya."

"Tidak." Dia melotot. "Memangnya kau bisa?"

"Aku tidak dipanggil anak Harvard tersesat bukan tanpa alasan," kataku, dan itu cukup efektif untuk membuat Ronald pasrah selama sesaat. Aku menambahkan. "Ayahku dokter bedah. Begitu pula kakekku."

Bahunya melemas. "Terserah."

Vincent turun ketika aku sedang membereskan peralatan, sedangkan Ronald terpekur di kursi meja makan. Ia memegang kompres es batu di bawah lebam matanya.

"Kau bekerja di pub tadi, ah?" Vincent bertanya saat memasuki ruang duduk. Ia menyusulku di dapur dan kali ini mengeluarkan sebotol wiski. "Kerja sampingan?"

"Tidak lagi," jawab Ronald masam.

Aku dan Vincent bertukar tatap. Selagi kami di dapur, terhalang oleh dinding separuh yang memisahkan ruangan, ia berbisik. "Kenapa kau menolongnya?" meski begitu, tak ada amarah sama sekali di wajah pucat itu selain rasa penasaran. "Padahal ia sering mengganggumu dan mencontek esaimu."

"Timbal balik." Aku menyeringai, sembari menggosok-gosok pinset di bawah kucuran air keran. "Dia pernah membelaku saat Fillman memukulku semester lalu."

"Fillman?"

"Josh Fillman. Sahabatnya Jane." Aku memutar bola mata. "Aku pernah membuat Jane mengambek dan Fillman nyaris menghajarku bersama kroco-kroconya. Tapi Ron ada di dekat kami saat itu, jadi ia datang membelaku."

"Kukira contekan esai itu sudah cukup membalas budinya? Dia tak perlu mengulang kelas berkat semua bantuan esaimu. Apalagi sampai mentraktirnya terus-menerus ...."

Aku mendengus geli. "Dia membuat Fillman tak pernah mendekatiku lagi selain saat bersama Jane. Lumayan. Itu bisa jadi jaminanku untuk aman sepanjang berada di Fenway."

"Itu saja? Bagaimana jika ada pengganggu lain?"

"Itu sudah termasuk," jawabku, kemudian setelah menimbang-nimbang, aku berkata lagi. "Dan ... meski dia seperti itu, dia menganggapku teman. Dia mengatakannya sendiri. Katanya, aku bisa mengadu padanya kalau ada gangguan lagi."

Sang lelaki Italia mengernyit. "Bocah aneh." Hanya itu komentarnya, dan aku tidak berniat membalas sebab ia sudah beralih ke ruang duduk.

"Kau mau wiski? Melupakan rasa sakit?"

Hatiku mencelus saat mendengarnya. Aku mengintip dari dapur.

"Bolehlah." Ronald mendesah. "Kau punya rokok?"

"Luckies?"

"Favoritku."

Konon, perdebatan sesengit apa pun antar dua pria mampu diakhiri dengan berbagi rokok. Aku menyaksikannya sekarang. Saat Vincent menawarkan sekotak Lucky Strikes yang tersisa tiga lintingan, Ronald menyambutnya dengan helaan napas lega, seolah-olah Vincent telah memberinya ransum satu minggu usai musim panceklik. Seolah-olah mereka tak pernah berniat saling jotos tadi pagi.

"Ced, rokok."

"Satu gelas saja, Hayward?"

"Tidak! Aku tidak coba-coba keduanya lagi."

"Ya ampun."

"Membosankan."

"Diam kalian." Aku menjejalkan peralatan ke kotak obat dengan wajah bersemu. "Toleransi alkoholku memang rendah, tetapi rokok benar-benar buruk untuk kesehatan jantung, dan—"

Ronald mengangkat tangan. "Kepalaku makin nyut-nyutan."

Vincent tertawa, dan aku menyeringai tipis.

Syukurlah. Ronald tak benar-benar membenciku.

Segera, ketika asap-asap putih mengepul di udara, bersanding dengan dentingan gelas dengan leher botol wiski, obrolan-obrolan pun mengalir. Kerja sampingan. Imigran. Apakah Vincent termasuk imigran yang pindah karena desakan ekonomi? Oh, jelas tidak. Kemudian Vincent menjelaskan tentang kaum imigran Italia utara yang sudah lebih dulu berduyun-duyun ke Amerika untuk mencari kesempatan dikenal lebih luas. Sesederhana itu. Ronald bilang, ketenaran hanyalah permasalahan hidup orang kaya kesepian.

Alih-alih marah, Vincent mengangkat bahu. "Aku memang suntuk karena sendirian di rumah, jadi kutinggalkan Italia untuk ke sini."

Ronald menggeleng-geleng. "Padahal Italia melahirkanmu menjadi pemahat dewa."

Kutebak Ronald mulai mabuk kalau rela memuji Vincent. Wajahnya tidak lagi pucat. Rona wiski berlomba dengan jejak obat merah di kedua pipinya.

"Kau tidak ikut pameran akhir tahun nanti, hah? Pahatanmu sudah pasti bakal dikasih harga besar-besaran."

"Aku tidak tertarik harga," Vincent bergumam di bibir gelas. "Aku ikut karena membantu Hayward."

Ronald menatapku dengan bingung. "Kau? Mau bikin babi-kucing versi raksasa?"

Aku yakin lelucon babi-kucing ini akan bertahan sepanjang masa, dan menjadi obrolan pembuka di masa-masa reuni. Kudoakan dia pikun lebih awal daripada kami kelak di masa tua. "Mau bikin patung mendiang ibuku. Dan tidak, aku tidak punya isu apa-apa. Itu permintaan Ayah."

Ronald mengangguk ragu. "Orang kaya selalu punya hobi aneh."

"Bagaimana denganmu?" Vincent mengacungkan rokoknya ke arah Ronald. "Tidak ikut?"

"Aku mesti cari pekerjaan baru sesegera mungkin."

"Berhentilah sejenak. Lukamu masih basah."

"Tidak bisa." Ronald setengah membanting gelas di meja, membuat aku dan Vincent refleks menegakkan punggung. Ronald terdiam sejenak. Bibirnya mendesiskan rasa sakit yang berdenyut di alisnya. "Sebenarnya kemarin sudah tenggat bayar iuran lagi."

Lagi? Aku baru ingat kalau Ronald tinggal di asrama kampus, tempat yang paling dihindari oleh para mahasiswa lokal. Sebisa mungkin berikan itu pada orang perantauan. Selepas masa perang begini, yang penting dapat ranjang dan lemari baju itu sudah cukup. Sisanya tinggal mengharapkan belas kasih penduduk lokal yang mau mempekerjakanmu. Sementara memikirkan keselamatan diri adalah urusan yang harus selalu diwanti bahkan dalam tidur.

Dengan mayoritas penduduk kulit putih, Bostonian tidak dikenal rasis bukan tanpa alasan.

"Lagi?" tanyaku hati-hati. "Apa konsekuensinya kali ini?"

Ronald tak menjawab, semata-mata sudah tenggelam pada lamunan. Jawabannya sudah jelas.

Alih-alih, ia beranjak. "Aku harus pulang," katanya lesu. "Makasih. Semuanya. Tapi aku mau coba jualan tugas-tugas karyaku dari semester lalu."

"Di mana?" tanyaku seraya mengekori ke pintu depan. "Biar kuantar."

Dia mengangkat tangan. "Aku masih bisa naik bis," jawabnya. "Dan ada pasar malam di Chinatown. Aku akan coba ke sana."

"Tidak, tidak. Apa kau tahu kata orang tentang pasar malam?" Vincent muncul di ambang pintu. Ia bau nikotin dan anggur pekat, perpaduan sialan yang membuatku bergeser menjauh. "Ngomong-ngomong aku memerhatikan pahatanmu, Hernandez. Pola dasarmu presisi, kau hanya kurang sabar untuk membuat detail."

Ronald terdiam sejenak, kebingungan dengan perubahan topik Vincent.

"Aku membicarakan pahatanmu."

"Ah." Ronald mengangkat bahu. "Yah, yang penting asal bentuknya sudah jelas."

"Kalau begitu kau bantu aku untuk memahat pola dasarnya, dan serahkan bagian detail kepadaku. Bagaimana?"

Tidak hanya Ronald. Aku pun menatap Vincent dengan terheran-heran. Sang lelaki Italia bersandar pada ambang pintu dengan senyum paling percaya diri yang pernah kulihat. Seakan jika Ronald mengangguk, maka kami akan mencapai lebih dari sekadar permintaan konyol Ayah. Seakan patung kami akan dipajang di lobi, mendapat harga tertinggi pada pelelangan, dan nama kami bakal masuk surat kabar.

Well, siapa tahu?

"Kau serius?" Ronald menelan ludah. "Tapi aku harus bekerja."

Vincent mengayunkan tangan ke lorong. "Lupakan asramamu. Aku punya dua kamar kosong. Kau bebas pakai yang mana saja. Tapi kau yang masak. Aku nggak bisa masak, dan masakan di pizeria depan itu terlalu berminyak." Ia menggeleng jijik. "Masakan Amerika terlalu berminyak."

Ronald membuka mulut, dan selama sesaat aku melihat gurat amarah di dahi. Lalu itu menghilang seketika ia mengatupkan bibir lagi. "Kenapa kalian mengajakku?"

"Karena Hayward butuh patungnya saja, aku butuh tangan tambahan di waktu yang singkat, dan kau juga membutuhkan sesuatu."

Aku membeliak. "Kau berkata seolah-olah patungnya bakal dilelang sungguhan."

Tampaknya ... tidak—memang begitu. Saat ganti Ronald yang menatapku dengan terheran-heran, aku merasa seperti baru saja mengolok lukisan terbaru Picasso yang kukira takkan laku.

"Tak ada pertanyaan lagi? Bagus. Ayo masuk." Vincent menghela diri dari ambang pintu. "Aku lapar, tapi jangan coba-coba masak pasta."


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro