Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

The sculptor, on creating yet another art


Sebenarnya aku tak mau melanjutkan cerita lagi, tapi kematian Ronald bukan akhir dari segalanya. Aku benci mengatakan itu.

Akan kuceritakan secara singkat apa yang terjadi setelahnya karena aku sangat mual tiap mengingatnya. Beberapa saat setelah terdiam (dan berani-beraninya tubuhku membuatku terlelap kelelahan selama tiga puluh menit) aku dan Vincent bangkit. Kami tidak mengatakan apa pun, selain aku memastikan denyut nadi Ronald sekali lagi dan berkata, "Sudah."

Vincent mengangguk.

"Keberatan jika aku beritahu Theo?"

Alisnya berkedut. Dia pasti ingin bertanya banyak hal, tetapi dia hanya mengangguk sekali lagi.

"Terserah padamu."

Aku turun dan menelepon sang detektif. Kukatakan kepadanya bahwa Ronald meninggal dunia dan ada sesuatu yang mesti ia ketahui. Vincent bersedia menemuinya.

Theo datang tak lama kemudian. Ia tampak cukup tegar saat melihat sosok Ronald meski hidungnya tersengat merah. Saat menatapku lagi, ia menawarkan pelukan, kemudian menghiburku.

Vincent kemudian menemui Theo. Aku tak bisa menggambarkan betapa kagum, jengkel, serta heran dengan ketenangannya saat mengakui kepada sang detektif. Theo sama sekali tak mengeluarkan buku catatannya, mengangguk-angguk, lalu berkata bahwa dia sudah menyiapkan segalanya. Ia menyuruh Vincent untuk mencari pengacara. Kukatakan bahwa itu akan menjadi urusanku. Vincent tak keberatan.

"Tapi, Detektif," kata Vincent, "boleh aku meminta izin waktu beberapa hari?"

"Untuk apa?"

Saat aku dan Vincent menjelaskan bergantian tentang keinginan Ronald untuk dikubur dalam patung, sang detektif sempat tak percaya. Namun menyadari bahwa Ronald sendiri menolak untuk pergi ke rumah sakit dengan perdarahan separah itu, ia tak bisa berpikir lagi.

"Dengan syarat," katanya, "aku akan mengawasi kalian."

Walau tampaknya ia sendiri merasa sinting dengan ucapan itu.

Dengan kesibukan baru, itu berarti aku dan Vincent sama sekali tak kepikiran untuk hadir ke kampus lagi. Sebelum Ayah mendapat peringatan, aku mengabarkan padanya atas kematian Ronald. Ayah sangat sedih, dan berkata ingin datang, tetapi aku mencegahnya dengan berbohong bahwa mayat Ronald sudah "dilayarkan" menuju Spanyol kepada keluarganya.

Untuk pertama kalinya pula aku menyaksikan cara sang seniman bekerja. Begitu pula Theo, hanya saja detektif itu mengawasi dari sudut ruangan. Sementara aku membantu Vincent untuk membenahi mayat Ronald dalam pose yang teramat gagah selaiknya pahlawan. Satu-satunya proses yang paling menyakitkan dari berkarya ini adalah memegangi mayat Ronald agar stabil selama tubuh telanjangnya dibalut tisu, lalu ia dipoles semen basah berlapis-lapis hingga tak perlu disangga lagi.

Dan proses itu sama sekali tak mengizinkanku untuk beranjak. Sebagai orang yang menyangga tubuh Ronald, aku harus diam selama berjam-jam. Theo sesekali menghampiriku, menyuapiku makanan dan minuman sementara Vincent bergegas melaburkan lapisan-lapisan pertama semen basah hingga cukup kaku.

Saat akhirnya aku mampu melepas diri, tubuhku lemas dan lututku gemetaran. Aku tak mampu membantu Vincent selama sesaat sehingga Theo—mau tak mau—membantunya mengaduk semen basah. Wajahnya pucat pasi sepanjang proses. Tampaknya ia merasa makin sinting dan mempertanyakan moralitas hidupnya saat ini.



Pada saat patung Ronald akhirnya jadi—yang sama sekali tidak gemuk, keren, dan nyaris sesempurna ukiran Michelangelo versi kasar, hari telah berganti. Perasaanku sudah cukup tenang—atau lumpuh, entah yang mana—sehingga aku tidak menangis lagi. Memang kadang-kadang dadaku berdenyut sesak, tetapi itu normal. Aku bisa memandang patung Ronald dengan lega.

Saat Vincent meletakkan pisau ukirnya, kami berdiri bersisian di depan patung Ronald, dan mengangguk mantap.

"Kita melakukannya."

"Ya," kataku. "Pahlawanku."

"Pahlawan kita," koreksi Vincent. "Aku juga tak bisa melakukan beberapa hal tanpanya."

Kami tersenyum culas. Selama sesaat kami hanya berdiri di sana, memandang Ronald yang terabadikan dengan kedua tangan berkacak pinggang dan dagu terangkat. Pahlawan kami.

Kemudian sebuah gagasan brilian terlintas di benakku.

"Kita pamerkan saja ini," ujarku. "Lupakan patung dan lukisan Ibu. Ini saja. Maksudku, aku akan tetap mencoba menyelesaikan patung atau lukisan itu, tetapi kita tidak perlu memamerkannya. Aku tak ingin diburu-buru. Aku capek."

"Tapi persyaratan ayahmu ...."

"Aku yakin itu takkan berlaku lagi," aku mendengus. "Pada titik ini, Ayah tahu aku takkan bisa melanjutkan kuliah di Fenway. Harvard atau tidak sama sekali."

Vincent mengangguk-angguk. Tampaknya ia baru sadar bahwa aku jelas-jelas tak bisa melanjutkan studi setelah kepergian Jane dan Ronald, sementara dirinya bakal menghilang setelah ini.

"Yah, pada akhirnya kau mendapatkan Harvard, Ced," katanya.

"Benar." Aku tersenyum miris.

Meski, lagi-lagi, bukan dengan cara yang kuharapkan.


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro