Crafting the horrendous pig
Pada akhirnya, serentetan kejadian pagi itu membuatku tidak fokus seharian.
Hampir setiap hari saat menyetir ke kampus, aku sengaja mengambil jalan memutar melewati area Harvard Medical School. Semenjak kuliah, itu menjadi sebuah pelipur lara bagiku, meyakinkan bahwa aku masih bisa kuliah di sana, toh keluarga Hayward cukup kaya untuk membiarkanku kuliah dua kali. Aku juga kerap meyakinkan bahwa ada satu kursi di sana—yang entah sedang diduduki siapa—yang kelak menjadi bangku kuliah kesayanganku beberapa tahun lagi.
Menyetir melewati HMS sebenarnya merupakan ritual yang kulakukan sejak masa SMA—meminta Ayah untuk melintasi Longwood Avenue, sebelum berbelok ke Huntington Ave. untuk bergantian memenuhi hasrat Ibu yang suka melihat Museum of Fine Arts.
Sekarang pun aku melakukannya lagi. Aku setengah melamun sepanjang jalan. Tahu-tahu mobilku hampir belok ke Huntington Ave. Saat lamunanku buyar, yang kulihat bukanlah petak-petak gedung Harvard, melainkan istana megah Museum of Fine Arts.
Selama sesaat aku bengong di persimpangan. Melihat museum itu aku teringat dengan pameran besar yang ditawarkan Pak Wahlberg. Pameran yang mau tidak mau bakal kuikuti atas permintaan Janet.
Lalu, sebagaimana realita melindas memori manis: Ayah juga ingin aku memamerkan lukisan potret Ibu di sana.
Cengkeramanku pada stir kemudi mengerat.
Ayah mengizinkanku pindah kuliah ke HMS setelah pameran. Itu berarti aku bisa meninggalkan Fenway dan tak perlu tersiksa selama empat tahun. Aku tak perlu menghadapi Josh Fillman dan kroco-kroconya, serta candaan kawan-kawanku. Aku tak perlu menghadapi tekanan untuk selalu berimajinasi—percayalah, otakku rasanya mengempis karena diperas terus.
Dan, di atas itu semua, aku tak perlu terbayang-bayang Ibu seterusnya.
Aku harus curhat ke Janet. Kini, saat mobilku sudah belok ke Margoway Rd. di samping Cassius Hall, aku bertekad untuk meneleponnya dan meminta datang lebih awal.
"Oh, Ced ...."
Janet langsung memelukku segera setelah aku bercerita. Ini membuatku panas dingin, apalagi usai kubeberkan segala hal. Aku tidak lagi ingat tentang Museum Ngengat dan tawa Ibu, melainkan belasan panggilan telepon dan kegilaan Ibu di akhir hidupnya.
Mataku berkaca-kaca saat mencium aroma tubuh Janet, melihat rambut pirangnya yang digelung lembut, dan menerima kehangatan pelukannya.
Aku mendorong Janet.
"Bagaimana kalau kita melukis ibumu saja?" tawar Janet. "Bukankah kau pernah bilang kalau aku dan ibumu punya kemiripan?"
"Tidak." Napasku memberat. Itu pilihan buruk. "Aku ... aku akan cari cara lain. Mungkin aku akan joki seseorang saja untuk melukis Ibu. Mungkin kawannya yang lain, entahlah, pokoknya bukan Pak Wahlberg."
"Jangan dia." Janet memutar bola mata. "Pak Wahlberg sensitif dengan siapapun yang gabung ke kelab kita."
Aku mengangguk. Dari arah taman, kuperhatikan satu per satu mahasiswa memasuki museum. Kini aku melihat Vincent memasuki alun-alun kampus dan tatapan kami bertemu. Di belakangnya juga ada Ronald, tetapi mereka tidak bersama. Itu panggilanku untuk bergegas masuk, sebab mereka selalu datang sesaat sebelum Pak Wahlberg.
"Aku mesti pameran dulu," aku berkata saat cengkeraman Janet mengerat di lenganku. "Jane?"
Janet memandang ke arah kawan-kawanku dengan tegang. Aku tahu dia tidak suka Ronald karena pernah menjotos Josh, tapi itu salah Josh juga karena sok merundungku. Hubungan kami—terlepas sebagai sepasang kekasih—sebenarnya agak rumit karena tingkah orang-orang dekat kami.
"Yah." Janet akhirnya melepaskan tangan. "Yang satu itu ... teman barumu?"
"Ya, kurator dari Italia. Apa kau tidak tahu? Semestinya kau tahu karena kau panitia ospek dan dia baru ikut masa orientasi kemarin."
"Mungkin." Janet mengangkat bahu. "Baiklah kalau begitu, sampai jumpa."
"Makasih sudah mendengarkan, Jane."
Janet tersenyum. Ia menciumku sebelum beranjak ke kantin karena mata kuliah pertamanya baru dimulai satu jam lagi. Sementara itu aku melintasi alun-alun, menghampiri Vincent dan Ronald yang menantiku di bawah tangga kampus.
"Kita harus tata pedestal," kata Vincent menyambutku. Tatapan matanya kosong dan lingkar hitam senantiasa menaungi, tipikal mahasiswa yang jarang tidur. Saat ia mengerjap,
Ada nada yang menggantung di ucapan Vincent, maka Ronald menyelidikinya. "Maksudnya, kenapa kau pacaran pagi-pagi, Ced?" ujarnya mencoba menebak. Seringai mencemooh memenuhi wajahnya. "Di taman pula. Kalau Fillman tahu dia bakal cari-cari alasan untuk menjotosmu lagi." Kali ini ia menambah dengan pendapatnya sendiri.
"Oh, itu pacarmu?" Vincent mengangkat alis. "Yang jadi alasan ... ah ... kau dirundung sahabatnya?"
Aku mengangguk. "Bodoh amat," kataku berdusta, meski aku sangat memikirkannya. Aku tak mau ada tambahan masalah. Mengingat soal Josh saja membuatku ingin bergegas beranjak ke Harvard.
Tapi syaratnya adalah lukisan potret Ibu.
Kami bergegas memasuki Cassius Hall. Belum banyak mahasiswa di dalam kecuali sebagian kecil dari kelas kami dan sebagian besar dari kelas senior.
Untuk pameran sabun kastil pertama ini, kami disuruh memakai pedestal dari kayu saja. Maka kami geser satu per satu pedestal granit ke belakang panggung—istilah yang kami pinjam dari mahasiswa teater—yang sesungguhnya hanyalah ruang simpan di luar pintu belakang. Kenapa kami dipilih bukan tanpa alasan—Pak Wahlberg tahu aku bergabung di kelab, tak menyukai Ronald yang tak seperti seniman, dan agak menyesal karena Vincent justru berteman dengan kami. Kemudian, pada Jumat kemarin, Pak Wahlberg tahu-tahu memberitahuku bahwa "kalau ingin ikut pameranku, kau harus tahu cara menyiapkan pameran, jadi aturlah tata pedestal". Menurut Ronald itu tak masuk akal, tetapi aku tahu maksud sang dosen.
Ia tak pernah suka kenyataan bahwa aku masuk Fenway karena duit, bukan karena kemauanku.
Tiga puluh menit berikutnya aku mulai sedikit berkeringat, tetapi Ronald si tentara gempal tidak kesulitan. Apalagi Vincent. Setetes keringat membasahi pelipisnya seolah ia tak pernah olah raga selain jalan kaki dari kampus ke North End setiap hari.
Setidaknya mengangkut pedestal kayu lebih mudah daripada itu. Kami melakukannya lebih cepat. Kawan-kawan sekelas kami yang lain muncul dari ruang studio pahat sambil mendorong kereta-kereta makan. Mereka segera diserbu untuk mengambil satu per satu sabun kastil yang menanti untuk ditata.
Sekarang aku stres untuk alasan lain.
Pertama, kutekankan lagi kalau itu semestinya hanya sebongkah sabun. Namun aku jadi stres saat mencoba mengukir hewan peliharaan darinya. Ketika kawan-kawan sekelasku mampu membuat kucing sungguhan, aku justru membuatnya terlihat seperti babi yang berhasil kabur dari tukang jagal payah. Wajahku tersengat malu saat Ronald menyerahkan buntalan babi-kucingku.
Seringai cemooh khasnya sama sekali tak membantu. "Nih, Ced. Aku masih tak menyangka kau punya peternakan babi."
"Diam."
Aku berpikir untuk menaruh patung babi-kucingku jauh di ujung, tetapi Ronald ternyata menaruh ukiran anjing husky-nya tepat di samping babi-kucingku, dan itu membuatku merasa sangat terhina. Kenapa tangan kasar itu mampu mengukir dengan gagah? Maksudku, bahkan detail juluran lidah si husky, dengan dua telinga tegak runcing yang tajam ... sialan sekali Ronald ini.
Sementara babi-kucingku berdiri miring karena aku mematahkan satu kakinya malam lalu. Setelah puas mengumpat selama lima menit, aku memutuskan untuk memasangnya kembali dengan tusuk gigi, usai mencoba menjahitnya dengan benang. Ayah membodohiku. Katanya ini bukan kulit manusia.
Yeah, aku memang bodoh, jadi bisakah aku masuk Harvard saja tanpa syarat apa-apa?
"Mana dia?" tanya Ronald membuyarkan pikiranku.
Aku ikut mengedarkan pandangan dan menyadari Vincent hilang entah sejak kapan. Saat aku celingukan, Pak Wahlberg akhirnya muncul di ambang pintu museum. Para mahasiswa yang belum menata karya mereka pun agak panik. Aku dan Ronald sudah beres, jadi kami bisa mengawasi Pak Wahlberg masuk ... dengan Vincent.
Melihat senyum cerah yang tersungging di wajah si dosen, sementara Vincent menenteng buntalan kain sutra di tangannya, membuatku dan Ronald spontan bergumam.
"Penjilat, ternyata," decihnya. "Dasar bocah Eropa."
"Maaf saja," sahutku jengkel. "Kau juga bocah Eropa, Ron."
Ronald refleks melotot, dan kukira dia bakal melayangkan tinju sehingga aku punya alasan untuk meninju balik atas hinaan babi-kucing tadi. Namun lelaki sialan itu berakhir mengacungkan jari tengah saja. "Hanya nama, keparat."
Aku memutar bola mata. Tepat saat itu Vincent mendekat, membawa bungkusan kain di tangan selayaknya menggendong bayi. Jari-jarinya mencengkeram kokoh tapi tidak menekannya sama sekali.
Ia meletakkan buntalan kainnya dengan sangat berhati-hati seolah-olah kain itu sendiri bisa runtuh berhamburan jika membentur alas kayu pedestal. Melihat jari-jarinya yang panjang menarik ujung-ujung kain dengan demikian lembut, aku jadi penasaran. Begitu pula mahasiswa lain, kecuali Ronald. Tahu-tahu Vincent dikerubungi dan semua mata kami tertuju.
Ketika aku mengatakan bahwa kukira ia menangkap merpati hidup, aku tidak mengada-ada. Seketika kain itu meluncur jatuh, aku melonjak, mengira bahwa seekor merpati mengepakkan sayapnya lebar-lebar dan nyaris menerjangku. Aku tersandung dan menubruk seseorang, yang disambut tawa olehnya.
"Apa-apaan kau, Hayward?"
"Itu—" aku mengarahkan telunjuk, lantas menyadari bahwa paruh merpati yang teracung padaku tetap diam dan tidak menerjang. Kepakan sayapnya membeku.
"Luar biasa," puji yang lain. "Tak mengherankan bagi orang yang lahir di Italia langsung. Tanganmu pasti terberkahi."
Vincent tersenyum. Ia tak bersusah payah menyangkal atau menjelaskan sesuatu. Sepatah "terima kasih" yang menunjukkan bahwa, ya, dia memang memiliki bakat itu. Bakat yang membuat sebongkah sabun kastil menjadi seekor merpati malang yang bertatapan dengan medusa.
Aku masih bertahan mengagumi sementara Vincent sudah menyingkir, semata-mata karena ditarik kawan-kawan sekelas kami. Ronald akhirnya menghampiri dengan kedua tangan di saku.
Ia berdecih lagi. "Dia lahir di Italia. Kenapa dia kuliah di sini?"
"Husky-mu terlihat sangat kasar dibanding ini, Ron," kataku tanpa sadar. "Apa kau baru belajar memahat kemarin?"
Ronald terbengong-bengong. "Lantas bagaimana dengan kucingmu? Kau muntahkan itu tadi pagi eh?"
Kali ini aku tak marah dengan hinaannya, meski semestinya aku jengkel karena karya dia jelek dibanding milik Vincent. Dan itu berarti karyaku adalah sampah.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro