Sepuluh
Pada hepi upload dua bab? Kalo liat tulisan The Moon Talks 2, jangan kaget, ya. Aslinya memang Bab 2 di karya karsa. Tapi di wattpad dipecah supaya nanti bisa jadi subbab.
Btw Bebih Bulan asli nyinyir banget, yes. Suami sendiri dighibahin habis🤣🤣
Yang bilang ini sama kayak Bhumi dan Bulan, coba minum aqua banyak-banyak. Lah emang sama, tapi versi Bebih Bulan, yess. Kadang percakapannya sama persis dengan di BnB.
***
The Moon Talks 2
Orang bijak bilang, jangan mudah percaya kepada seseorang. Akan tetapi, bila dia benar-benar bisa dipercaya, maka teruslah percaya kepada orang tersebut. Dalam hal ini, bila urusannya terkait dengan seorang Pak Bhum, entah kenapa aku sulit sekali buat percaya.
Alasannya?
Setiap kebaikan yang dia lakukan hampir semuanya mengandung udang di balik batu. Tidak pernah bosku itu jadi baik kalau dia tidak mengusung prinsip ekonomi, keuntungan sebesar-besarnya dengan modal… ehm, soal modal bukan urusanku. Aku tahu, meski dompet yang mahal selangit itu, nggak terlalu mahal buat dia tapi, aku nggak kebeli dompet bermerk kayak yang Pak Bhum pakai, kalau pun aku kepingin, Mbak Ora sedia produk FO boleh PO di Bangkok pas di jalan-jalan kemarin, harganya miring plus boleh nyicil sepuluh kali. Yah, balik lagi ke dompet, meski aku tahu dompetnya tipis karena dia jarang bawa cash dan selalu mengandalkan debit, saking banyak duitnya, aku sempat akan dipinjami salah satu kartunya, tapi, aku ogah. Selain nggak ngerti cara pakainya, ntar aku malah ditarik dari meja kasir ke meja security gara-gara dituduh maling kartu Pak Bhum. Ih, ogah lah, yau.
Yah, jadi, kalian semua tahu sendiri apa maksud udang di balik bakwan yang bosku lakukan. Kalau tidak berhasil membuat membuat aku terpesona habis-habisan dengannya, maka hal tersebut dia gunakan untuk membuat orang di sekitarku terpesona.
Benar, kalian tidak salah baca. Orang-orang di sekitarku, entah itu sesama anak magang TV Lima atau dua orang yang menyumbang darah serta keringat dalam melahirkan dan membesarkanku, siapa lagi kalau bukan Bapak dan Ibuku?
Gawatnya lagi, aku tidak bisa mencegah Bapak dan Ibu untuk tidak terperosok dalam tipu muslihat Pak Bhum. Mereka terlalu terlena pada kebaikan berselimut racun yang dilancarkan oleh bosku itu. Siapa yang tidak bangga bertemu artis? Apalagi artis tersebut adalah atasan langsung anakmu. Sebagai tambahan, artis tersebut adalah orang yang acaranya selalu ditonton orang tuaku. Jadilah mereka seperti kerbau dicocok hidung dan langsung manut menurut sewaktu Pak Bhum menawari tumpangan buat ibu dan bapakku.
"Bu'e, iki, lho, anakmu. Ulan yang anakmu. Bukan yang itu." aku merajuk sembari menenteng kantong plastik berisi pisang goreng krispi bertabur keju dan cokelat yang rencananya bakal kami nikmati dalam perjalanan menuju rumah Pak De. Sayangnya, agenda yang susah payah kubuat harus gagal karena kehadiran makhluk sok ganteng yang sore itu memakai setelan kemeja berwarna putih bersih, dasi berwarna abu-abu yang senada dengan celana bahan yang dia gunakan. Biar tidak mencolok di tengah keramaian stasiun, Pak Bhum sengaja menggulung lengan bajunya dan memakai topi baseball yang juga berwarna abu-abu.
Matching, sih. Tapi aku sudah keburu ilfeel melihat kelakuannya. Gara-gara dia, aku ditinggal sendiri di belakang sementara ibu dan bapakku berjalan beriringan mengapit Pak Bhum di tengah-tengah, seolah-olah yang tamu adalah dirinya, bukan orang tuaku.
Lagian, tahu dari mana aku menjemput orang tuaku di sini? Bukannya dia bilang ada jadwal penting dan rahasia? Masak, sih, urusan jemput orang tuaku jadi penting buat dia juga?
Hei, Pak, Bu, yang bakalan jadi mantu kalian itu Mas Arman, mestinya kalian kerubungi dia, bukan malah nempel ke Pak Bhum. Iya, dia selalu wangi karena pakai parfum yang harga sebotolnya jutaan. Tapi, nggak usah gitu amat. Aku ngerasa kalian nggak pernah seantusias itu sama Mas Arman. Padahal dia baik dan sopan sama kalian berdua.
Pak Bhum yang seolah mendengar ucapanku mendadak menoleh. Tangannya bahkan saat ini menenteng koper yang tadinya dipegang bapak, tapi, daripada itu, dia benar-benar menyempatkan diri berhenti dan memandangiku dengan senyum menyebalkan miliknya yang selalu membuat aku bete.
Mau apa, coba?
Pak Bhumi yang sempat berhenti sebentar menggerakkan mulutnya seolah memanggilku untuk mendekat, membuat aku makin cemberut dan walau enggan melangkah, bisa-bisanya aku tetap maju dan berjalan.
Tapi, sedetik kemudian, aku mendadak berhenti dan seolah mendapat sebuah serangan jantung karena tiba-tiba saja, dia mengedipkan sebelah matanya seolah menggodaku karena sudah berhasil menjalankan triknya yang pertama, menyentuh hati orang tuaku bahkan sebelum aku sadar.
Jangan kedip-kedip gitu, Pak. Situ emangnya cacingan?
Huuuh!
Kamu juga, Jangan main api, Lan. Jangan sampai kedipan Pak Bhum bikin kamu lupa.
Lupa kalau kita punya Mas Arman.
***
Setelah kejutan penjemputan orang tuaku yang seenaknya saja disabotase oleh Pak Bhum begitu saja, wajar, kan, kalau aku jadi marah? Tapi, respon yang kudapat dari orang tuaku malah sebaliknya. Ibu dan Bapak malah memuji-muji bos sintingku itu selayaknya dia adalah malaikat dari langit yang turun membagi-bagikan angpao.
Apalagi, setelah kemudian aku berencana mengajak orang tuaku di angkringan baru yang pemiliknya adalah orang Sleman, salah satu pemilik angkringan terkenal yang buka cabang di Jakarta, eh, ternyata tidak jadi kami datangi. Pak Bhum yang saat itu asyik mengobrol dengan bapakku yang dibanding dengan bapak orang lain di Indonesia terlihat sedikit beda. Bapak mungkin generasi keturunan Indonesia-Belanda yang pertama kali uzur, sementara jaman sekarang, baru ramai-ramai orang menikah dengan warga asing. Memang jaman dulu ada, sih, contohnya, ya, bapakku itu, tapi jaman dulu, kan, bisa dihitung dengan jari berapa jumlah pribumi yang menikah dengan orang Belanda.
Tapi, bapak yang sebenarnya adalah cucu dari buyutku yang bule itu malah seperti kehilangan jati dirinya, dia memilih jadi orang Indonesia sejati dan fasih dengan bahasa Jawanya yang kadang jadi bahan guyon di kampung ada londo nyasar ngomong pakai bahasa Jawa medok. Nggak kayak aku.
"Nak Bhumi baik banget. Ibu kira yang namanya bos di Jakarta itu bakalan sibuk, nggak sempat keluar, ini malah nggak malu jemput sampai ke Senen…"
Suara penuh kekaguman yang kudengar dari bibir ibu membuat bibirku maju dan aku bisa melihat dengan jelas seringai yang diberikan oleh Pak Bhum karena telinganya pasti menangkap kalimat yang diberikan oleh ibu dengan amat baik. Aku yakin lubang hidungnya megar dan sekali lagi, dari spion dia mengedip genit ke arahku.
Ibu nggak tahu kalau Pak Bhum ada modus menyebalkan. Seharusnya ibu tahu kalau pria licik yang duduk di samping bapak itu punya niat amat jahat.
Tapi, aku memilih diam. Ibu dan bapak yang sedang memuja Pak Bhum begitu rupa nggak bakal percaya kepadaku begitu saja. Mereka pasti bakalan mendukungnya, apalagi kalau kemudian Pak Bhum juga membalas dan dengan tenang dia memutarbalikkan fakta. Hei, dia adalah Bhumi Prakasa Harjanto, yang sudah beberapa kali menang adu debat dengan orang-orang penting entah di Kementerian atau juga pejabat dinas. Perkara mengibuli kedua orang tuaku yang polos dan lugu bakal jadi hal mudah semudah membuang ingus.
Dan akal bulusnya semakin menjadi ketika kemudian, dia sengaja mengajak orang tuaku berkeliling melihat Jakarta dan menemani mereka salat Magrib di Masjid Istiqlal yang membuat bapak dan ibuku senang bukan kepalang. Apalagi, setelahnya, dia mengajak mereka, dan aku yang terpaksa ikut karena nggak bisa menolak, ke sebuah tempat makan yang ramai bukan main. Pak Bhum yang baru tahu kalau bapak suka makan nasi goreng kemudian mengajak kami makan di warung nasi goreng kambing yang amat terkenal. Respon orang tuaku? Tentu saja amat senang. Mereka bahkan nggak sungkan memanggil bosku dengan tambahan Nak di depan namanya yang membuatku makin sebal.
Tolong, deh, Pak, Bu, anakmu cuma tiga, Surya, Wulan, sama Gemintang. Gimana ceritanya ada satu nama Bhumi lagi nyempil di antaranya? Jangan kalian pikir mengangkat makhluk yang satu itu jadi anak perkara mudah. Pak Bhum amat sangat cerewet. Dia suka pilih-pilih makanan, suka marah nggak kenal waktu, suka melotot, dan yang paling penting yang bisa bikin kalian nggak lagi berminat sama dia adalah, Pak Bhum senang main cewek.
Coba saja kalian jadi aku sewaktu Mbak Gila itu muncul, aku pastikan, kalian bakal menjambak Pak Bhum gara-gara kelakuannya yang selalu berhasil bikin cewek hilang harga diri.
Ugh.
Bahkan memikirkannya saja sudah bikin aku capek. Bagaimana bisa ibu dan bapakku ikut-ikutan terpesona?
***
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro