Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Sembilan

Masalah Pak Bhumi sinting kemudian membuat aku mendapatkan fakta baru. Dari bilik anak magang dan rekan magang kesayanganku, Diana, aku tahu bahwa yang menangkap tubuhku waktu pingsan adalah Pak Bhum sendiri. Pantas saja setelahnya dia ada di sana. Mulanya, kukira Gema yang membantuku. Akan tetapi, Diana bilang kalau Gema malah kabur ke kamar mandi gara-gara kemejanya kena semburan muntah. Pak Bhum yang tahu-tahu ada di belakang tubuhku kemudian sigap menangkap aku sebelum jidatku menghantam lantai. 

Cuma, sedetik kemudian aku merasa menggigil dan segera saja memeluk lenganku sendiri, tidak peduli pada saat itu Diana dengan semangat berapi-api mereka kembali peristiwa yang menurutnya amat keren tersebut, sementara aku sendiri yang sempat menuduh bosku berasyik masyhuk dengan Mbak Centil kemarin, merasa sedikit bersalah. 

Yang benar saja, dia sampai menyusulku ke lantai enam dan meninggalkan teman kencannya itu demi aku? Kan, nggak masuk akal. 

Aku bahkan terlalu kaget sehingga nyaris mengabaikan panggilan yang masuk ke ponselku selama beberapa detik, dari ibu.

"Lan, Ibu sama Bapak sekarang sedang di kereta api. Sorean kayaknya sampai Jakarta, kamu bisa jemput?"

Jemput? Ibu dan Bapak ke Jakarta? Aku bahkan tidak percaya dengan kejutan ini. Masih pukul sebelas sewaktu aku melirik arloji di tanganku. Masih cukup waktu bahkan kalau jalan kaki, aku bisa sampai tepat waktu di stasiun, saking nekatnya aku. Tapi, ini bukan jaman perang dan ibu bakal tertawa habis-habisan bila aku benar-benar jalan kaki menjemputnya.

Dari pada itu, kenapa mereka baru mengabari aku sekarang? 

"Kok, Ibu nggak ngasih tahu dari kemarin kalau ke Jakarta?" aku merajuk. Tahu begitu, aku bisa siap-siap, minimal cari makanan biar mereka nggak kelaparan.

"Ibu aja mendadak ke Jakarta. Tadi malam ditelepon Bude kamu. Suaminya masuk rumah sakit, Pakdemu. Kasian nggak ada yang bantuin, apalagi kamu di Jakarta juga sibuk." Ibu bicara panjang lebar, kalimat selanjutnya yang keluar dari bibir ibu membuat hatiku menghangat.

"Sekalian kami kangen sama kamu."

Ibu nggak tahu kalau aku merasakan hal yang sama kepadanya dan juga bapak. Tahun ini adalah pertama kali aku tinggal jauh dari mereka. KKN di kampus jangan dihitung karena daerah yang aku kunjungi nggak jauh-jauh dari Jogja dan sekitarnya. Akan tetapi, mereka berdua selalu mendukung kemauanku karena tahu, aku tidak bakal berani mengecewakan mereka berdua.

Bagiku, mereka berdua adalah segalanya, karena itu begitu ibu menyarankan untuk menerima pertunangan yang diajukan oleh keluarga Mas Arman, aku tidak menolak. Walau sedikit ada kesedihan, aku mungkin belum bisa membahagiakan mereka karena telah menyekolahkan aku hingga ke jenjang universitas. 

Tapi, ibu bilang, tidak mengapa. Apabila nanti Mas Arman mengizinkan aku untuk sekolah dan bekerja akan lebih baik lagi, hanya saja, bila dia juga menginginkan aku untuk berada di rumah dan mengabdi sebagai istri, aku juga tidak bakal protes. Toh, aku bisa belajar banyak hal lewat internet dan segala macamnya saat Mas Arman tidak berada di rumah.

"Eeh, awas!" 

Aku yang terlalu girang dengan berita kedatangan ibu tidak sadar telah berjalan tanpa arah dan ketika aku menyadarinya, semua sudah terlambat. Aku hampir terjungkal menabrak seseorang.

Bukan masalah jatuhnya yang membuat aku lantas malu, melainkan sosok yang kutabrak, yang membuat aku menjauh secepat yang aku bisa dan seperti biasa, suaranya yang riang membuat aku mesti menahan diri untuk tidak mengamuk. Bagaimanapun juga dia adalah bosku dan kesalahanku sendiri tidak menggunakan mataku dengan baik dan benar saat berjalan.

"Hei, lagi happy sepertinya?" 

Pak Bhum kalau ngomong sama kolega atau anak buahnya nggak pernah santai. Kalimatnya kalo nggak Inggris yang baku banget. Padahal, kalau sama temennya, Mbak Sasha atau Pak Adrian, dia kayak anak-anak muda Jakarta, kok. Lagian, dia belum tua-tua banget. Masih dua puluh tujuh, tapi, gayanya udah mirip banget om-om pemarah. 

Ngapain juga dia ikut cengengesan lihat aku? Akunya jadi berasa adik kelas yang dilihatin kakak kelas, entah mau ngutang atau pinjem catatan. Ih, dasar nggak modal. 

"Eh, nggak, Pak. Biasa aja." aku membalas. Pak Bhum bukannya kabur ke ruangannya, yang mana dulu selalu dia lakukan, malah meladeni aku. 

"Bohong."

Jiah, dia nggak percaya, terus aku mesti gimana? Nangis-nangis meyakinkannya kalau aku nggak kenapa-kenapa? Seneng dikit, sih. Tapi, apa urusannya aku cerita ke Pak Bhum kalau ibu dan bapakku sebentar lagi tiba di Jakarta?

"Ya, terserah Bapak, sih, mau percaya atau nggak." aku menjawab, menolak melihat wajahnya lama-lama dan memilih memandangi ujung sepatuku sendiri yang seperti kata Mbak Ora, kayak sepatu anak SMA. 

Lah, biarin. Aku kan baru tiga tahun lalu tamat SMA, masih muda.

Pak Bhum untungnya tidak banyak bertanya dan dia seperti aku, suasananya hatinya mungkin sedang baik-baik saja. Bisa jadi, ini kesempatan bagus buat jauh-jauh dari bosku. Entah kenapa, sering bersama kayak gini, bikin napasku sesak.

"Pak, saya mau ikut Gema ke ruang editing, ya?" aku mengeluarkan jurus rayuanku yang nggak maut. Selama ini, selalu gagal dan respon Pak Bhum sewaktu mendengarnya adalah dia menyuruhku mengedit berita yang dia buat sendiri, asem!

Dasar Pak Bhum, nyuruh aku ngedit, terus dia ongkang-ongkang kaki, gitu?

"Siapa bilang nggak ada? Saya mau meliput ke luar habis ini."

Oh, iya. Aku baru sadar, beberapa hari terakhir, Pak Bhum jarang di kantor. Dia juga jadi makin sering memakai baju seragam TV Lima dibandingkan biasanya. Liputan di mana, sih? Makan bakso lagi palingan. 

"Saya nggak tahu kalau bapak ada liputan di luar." aku mencoba memastikan. Biasanya kalau ada jadwal yang berhubungan dengan TV Lima, aku sudah mencatatnya di buku agenda.

"Iya, liputan investigasi sebenarnya. Masih rahasia, sih."

Pak Bhum menekankan kata rahasia sedemikian rupa sehingga aku tidak bisa menghentikan rasa penasaranku. Investigasi apa yang membuat bosku jadi main rahasia seperti ini? Paling-paling berita penggerebekan koruptor atau maling ayam? Aku ingin tahu, akan tetapi, wajah Pak Bhum berubah sendu dan membuat aku merasa seperti seorang ibu yang ingin mengusap puncak kepalanya, supaya Pak Bhum tidak menangis.

Ish, segera kutepis pikiran sinting tersebut dan langsung bertanya kepada orangnya daripada menduga-duga.

"Bapak mau kayak wartawan luar negeri, ya? Bahas-bahas kasus begitu?"

Jiah, dia senyum. Berarti tebakanku benar. 

Kami berdebat panjang lebar dan kemudian aku sadar, jika hendak menjemput orang tuaku sore ini, aku harus izin kepadanya. Pak Bhum bakal mencari-cariku bila dia tahu aku nggak muncul sebelum dia pulang. Aneh, ya? Memang. 

"Butuh bantuan untuk menjemput mereka?"

Nggak, makasih, Pak. Aku nggak butuh seorang Bhumi Prakasa Harjanto buat menjemput orang tuaku. Lagipula tadi Bapak bilang sendiri akan liputan, ngapain juga repot-repot jemput? 

Tapi, aku tahu akal bulusnya dan sifat Pak Bhum selalu suka memaksa sampai keinginannya tercapai. Satu-satunya cara, ya bilang aja kalau aku sudah punya sopir.

Taksi maksudnya, hahaha. Dia pasti nggak bakal berisik lagi.

"Nggak, Pak. Makasih banyak. Sudah ada jemputan khusus." aku membalas dengan nada amat meyakinkan. 

"Benar ada yang jemput?"

Ish, keras kepala. Apa dia baru tutup mulut kalau kubilang Mas Arman yang menjemput? Tapi aku nggak suka berbohong dan aku jujur bicara tentang jemputan khusus. Taksi cukup mahal dan aku jarang-jarang memesan taksi.

"Iya, Pak. Ngapain juga Bapak nggak percaya?"

Sumpah, ya. Bukan aku GR, tetapi sejak tahu kalau dia suka padaku, aku merasa kalau Pak Bhum bersikap protektif kepadaku lebih dari biasanya. Kalau dulu, mau aku kecebur di got atau aku keinjak tai kotok, Pak Bhum bakalan cuek. Tapi, sekarang, dia bahkan belum akan makan sebelum aku ikut makan atau memastikan aku sudah makan. Aneh, bukan? 

Sikapnya itu malah mengingatkan aku lagi dan membuatku penasaran mengapa Pak Bhum lebih memilih mengejarku dibandingkan dengan si Mbak Cantik 
kemarin.

"Sudah waktunya saya mengejar sesuatu yang membuat saya menjadi lebih baik, bukan bertambah buruk."

Jawaban Pak Bhum terdengar singkat, padat, dan jelas, membuat aku merasa kehilangan sosok sinting dan genit yang selama ini selalu giat menggoda gadis-gadis cantik di sekitar kami. Dia benar-benar berubah jadi sosok yang berbeda. Akan tetapi, entah mengapa aku merasa tidak nyaman. 

Dan setelah dia pergi, aku baru tahu, tatapan yang dia beri hari itu adalah tatapan saat dia mulai menguatkan hati memilih Suriah untuk mengabdikan diri dan menjauh dariku.

***

Bersambung.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro