Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

empat belas

Dek Wulan,

Maaf, Mas blm bisa ke Jkt buat skrg. Ada banyak tugas di kantor.

Aku memandangi layar ponselku dengan bibir setengah cemberut terutama setelah membaca balasan dari Mas Arman. Dia selalu seperti itu padahal aku senang sekali kalau dia bilang iya. Apalagi, bapak dan ibu, kan, juga ada di Jakarta sekarang dan kalau dia mau datang, kami bisa bersama-sama keliling Jakarta tanpa perlu takut dilihat oleh orang-orang. Tapi, kalau seperti ini, aku nggak bisa ngapa-ngapain lagi, terutama di depan Pak Bhum yang makin PD dengan keyakinan kalau aku bakalan naksir dia.

Kenapa, sih, dia nggak cari yang lain aja? Aku dan dia nggak selevel, ntah perkara ekonomi, duit, atau keyakinan.

Dia yakin sayang aku, aku nggak yakin bakalan sayang atau milih dia jadi suami. 

Om Pel yang sadar aku banyak bengong dalam perjalanan kami ke rumah sakit, pada akhirnya ngajak aku download instagram. Aku akhirnya bisa beli HP baru dan daripada cuma dipake buat telepon bos ganjen yang sekarang sibuk nyetir, mending aku pakai buat cari bahan skripsi atau yang lain dan Om Pel yang aku yakin, emang sudah ganjen dari sananya, maksa aku buat lihat akun Duta Jendolan yang jadi kiblat pergaulan zaman sekarang terutama kayak kata Om Pel, belajar bahasa gaul dan juga lihat update dunia.

Awalnya aku nggak tahu, update dunia yang dia maksud, tapi sewaktu Om Pel menyebutkan tentang lekong-lekong kancutan yang membuat alisku naik karena nggak paham, Pak Bhum jadi orang pertama yang menentang agar aku nggak melaksanakan niatku.

Maksudnya apaan coba lekong-lekong? Ada hubungannya sama Sungai Mekong atau apaan?

"Bulan, jangan download Instagram."

Larangan yang Pak Bhum beri, membuat aku makin penasaran. Kenapa dia jadi begitu marah dan emosi? Om Pel bahkan jadi sasaran kemarahannya sehingga pria malang itu mengkerut di sampingku.

Aku nggak bisa nggak curiga, apalagi ketika Om Pel berbisik kalau lekong-lekong cucok kancutan itu artinya, cowok-cowok ganteng yang cuma pake sempak doang.

Oalaah.

Jadi Pak Bhum nggak suka aku download begituan? Bagus, dong. Kalau dia nggak suka aku lihat laki-laki seksi, berarti ada kemungkinan dia bisa benci aku.

Bagooos, kalau bisa bikin dia jijik sama aku, bakalan aku lakukan walau kata orang, mataku bisa bintitan. Tapi, aku, kan, nggak lihat fotonya, cuma gertak sambal aja.

"It has a bad effect!" suara Pak Bhum yang panik membuat aku makin semangat. Mana yang lebih buruk, liat cowok pakai sempak tok atau dikejar pria gila yang nggak tahu diri kalau orang yang dia taksir sudah mau menikah?

Pasti pilihan kedua yang lebih buruk, bukan? Karena itu, aku jadi makin senang membuatnya kesal. Dengan begitu, dia mesti berpikir seribu kali jika masih nekat mengejarku.

"Felix, you drive!"

Rupanya Pak Bhum tidak berhenti sampai di situ. Dia yang hampir murka, menghentikan mobil yang dia kendarai begitu saja sampai aku dan Om Pel nyaris terjerembab. Om Pel yang masih ketakutan lantas menurut dan bagiku, aku harus melawan. Ngapain Pak Bhum mau duduk di sebelahku? Mau elus-elus manja dan membeberkan manfaat buruk menggunakan ponsel kepadaku? 

Dia pikir aku bocah?

Segera setelah Pak Bhum membuka pintu penumpang di bagian belakang, aku ikut Om Pel duduk di bangku depan, di sebelahnya yang sudah berada di bangku pengemudi. Tentu saja, hal tersebut kemudian membuat Pak Bhum sewot setengah mati. Peduli amat dengan responnya dan aku membalas dengan gagah berani saat Pak Bhum bilang kami mesti bicara.

"Ngomong aja, Pak. Telinga saya bisa dengar. You speak, I listen, not you speak, I look at you."

Masa bodoh grammarnya amburadul. Yang penting aku udah ngomong dan Pak Bhum ngerti bahasaku. Toh, dia kemudian mingkem selama beberapa detik walau lanjut lagi, merengek buat aku nggak nekat download. 

Lama-lama Pak Bhum makin nyebelin.

"Bulan, please?"

Idih, beneran ganggu banget. 

"Saya mau belajar dari pengalaman, Pak. Biar nggak muntah-muntah lagi kayak kemarin."

Aku mengingatkan Pak Bhum pada kejadian teman kencannya yang kemarin nekat telanjang di depan kami berdua. Kan, nggak OK kalau aku nanti ketemu orang gila lagi, terus muntah? 

Asyik, dia nggak protes lagi. Karena itu juga, aku melanjutkan aksiku, bikin dia tambah kesal dan sebal. Kutuju layanan play store lalu kuketikkan sebaris kata Instagram dalam kolom pencarian. Sekejap, muncullah layar aplikasi yang mesti aku unduh. Tidak butuh waktu lama, sekali tekan instal, aku segera mendapatkan apa yang aku inginkan. 

Lagian, aku kan, bisa belajar banyak hal dari instagram, masak, kek, nyanyi, ngaji, ceramah. Sama kamu aja aku pura-pura mau lihat Duta Jendolan, Pak Bhum, aku tertawa dalam hati.

Oke, kataku dalam hati setelah lima detik kemudian aku berhasil menginstal aplikasi Instagram. Berikutnya aku harus login dan sengaja aku mengeraskan suara supaya pria menyebalkan  yang duduk di belakangku makin sakit hati.

"Om Pel, Duta Jendolan, kan? Yang ini, bukan?" aku sengaja mengangkat ponselku tinggi-tinggi supaya bos pemarah di belakang melihat aksiku. Kebetulan, di foto pertama yang tidak sengaja kuklik, tampak foto seorang pria dengan pakaian seadanya, layaknya tarzan nyasar di kota. Aku bahkan belum sempat melihat isi di akun tersebut karena dalam waktu singkat, Pak Bhum segera merampas ponselku tanpa permisi, membuka jendela bagian belakang dan melemparnya begitu saja, tepat saat lampu lalu lintas berubah hijau.

"Bapak mau cari mati, ya?" aku melotot, tidak percaya dengan perbuatannya.

Senyum Pak Bhum adalah hal terakhir yang aku lihat sebelum aku berbalik dan menghadap jalanan dengan mengucap istighfar dan jantung berdegup kencang menahan amarah.

"Try me, then."

Astaghfirullah, kenapa aku bisa sial begini? Itu ponsel baruku dan aku susah payah menabung supaya bisa membeli HP yang lumayan bagus, minimal aku nggak perlu kehabisan pulsa kalau mau telepon.

Kuhela napas dan kucoba untuk tenang. Tapi, kok, rasanya susah banget. Emosilah yang menguasai diriku saat ini dan aku berusaha keras untuk tidak mengamuk.

Bahkan aku bisa mendengar klakson dari belakang menyemprot kami dan puluhan mobil serta motor serta merta bergegas berjalan, sementara Om Pel yang panik hanya bisa membeku di tempat.

"Jalan, Om." aku yang terlalu marah mengepalkan tangan di bangku penumpang dan tidak menoleh lagi ke arah Pak Bhum yang kini sama diamnya.

"Tapi HPnya?" Om Pel terbata merangkai kata. Bila dia tidak berjalan saat ini juga, mobil kami bisa kena tilang polisi.

Aku sudah tidak peduli dengan HPku, malah, setelah kejadian ini, aku nggak peduli dengan nasibku sendiri. Dia benar-benar kelewatan. Siapa dia sampai melarang aku melakukan apa yang aku mau? Aku membeli HP dengan uangku sendiri, hasil kerja kerasku setelah dimaki-maki dan tahan hati karena menghadapi makhluk macam dia. Dia suka padaku, oke, silahkan, tapi atas dasar apa dia mengatur hidupku? 

Setiap Om Pel mengajukan pertanyaan, kubalas dengan sadis tidak peduli hal tersebut menyakiti telinga siapa saja yang mendengar, aku nggak peduli. Bahkan kalimat terakhir kulempar dengan ketus supaya dia yang seenaknya mengambil dan membuang HPku merasakan kekesalan yang aku alami saat ini.

"Aku nggak perlu lagi mikirin siapa yang mesti ditelepon pas subuh. Nyenyak tidur aku malam ini, Om Pel."

Aku geram. Benar-benar geram hingga rasanya ingin mencekik leher Pak Bhum pakai sabuk pengaman. Tapi, aku kemudian memilih memejamkan mata dan mengucapkan istighfar kembali. Rasanya amat menyebalkan dan aku tidak kuat untuk menahannya lebih lama. 

Syukurlah, Om Pel yang nggak banyak bicara lantas mempercepat laju mobil sehingga dalam waktu singkat, kami segera tiba di rumah sakit. Aku juga, tanpa ba bi bu lagi, segera melepas sabuk pengaman dan kabur tidak lama setelah Om Pel mengaktifkan kunci mobil. Aku benar-benar marah.

"Bulan, Bulan. Dengarkan dulu, saya tahu kamu marah." 

Aku mendengar derap langkah kaki saat berlari, seseorang mengikuti dan dari suaranya, pelakunya cuma satu orang, siapa lagi kalau bukan Pak Bhum brengsek yang paling menyebalkan di seluruh dunia. 

Aku terkesiap karena sejurus kemudian aku merasa tanganku ditarik olehnya dan refleks kutepis sekuat tenaga. Enak saja dia menyentuhku. Setelah HP, tubuhku adalah hal yang sangat pribadi dan dia lancang menyentuhnya.

"I know I was overreacted. I'm sorry, I didn't mean that."

Aku berteriak keras, mendorong tubuhnya agar dia nggak lancang menyentuh-nyentuh aku seperti yang selalu dia lakukan sama cewek-cewek lain. Air mataku sampai jatuh dan aku begitu marah. Nggak pernah rasanya aku semalu ini, kayak habis dilecehkan sedemikian rupa. Kenapa Pak Bhum nggak ngerti, dia pikir, menyukaiku berarti bisa mengatur urusan pribadiku? Dia gila kalau begini. Lalu, kalau nanti Mas Arman datang, dia bakal ngatur aku mesti gimana sama kekasihku sendiri?

Sinting.

Setelah bapak dan ibu mungkin berubah haluan buat mendukungnya, aku hanya punya Mas Arman buat bertahan, semangat hidup dan sosok yang selalu memberi tahu aku agar tetap kuat dan tabah.

Gimana kalau nanti hidupku juga bakal kamu atur, Pak? Kamu merasa sudah sehebat itu?

***

Bebih udah mulai marah-marahan di bab ini, tapi, di karya karsa dese sudah kewong, jadi bininya Pak Bhum. Udah berani main rujak bibir. Hahahahahaha. Yang penasaran boleh ke karyakarsa bab 14 dan 15. Kalau mau part khusus after wedding, bisa di bab 15, ya.  Jangan lupa vote dan komen.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro