02. The Newcomer
"Baru sekali ini aku melihat Jinyoung seperti tadi. Jangan-jangan dia terbentur sesuatu saat mengantre di kantin. Dia bisa tergila-gila dengan perempuan hanya dengan sekali lihat seperti itu. Yang benar saja!" Jihoon berdecak heran sambil terkekeh.
Woojin menepuk pundaknya kemudian duduk di samping kursi Jihoon. "Memangnya kau tidak akan seperti itu kalau bertemu cewek yang cantik?"
"Misalnya seperti ... Kang Youra," ujar Woojin sembari melirik dan mengisyaratkan Jihoon supaya mengikuti arah matanya ke belakang.
"Hai, Jihoon!" Youra melambaikan tangannya. Gadis itu berdiri di samping meja cokelat milik Jihoon sembari tersenyum lebar.
"Kudengar kau suka menonton film. Akhir pekan ini ada film bagus dan aku mendapatkan dua tiket. Kau mau menemaniku?"
"Ya! Kang Youra, kalau kau mau mengajak Jihoon pergi, harusnya kau membeli tiga tiket. Satu untukku. Dia tidak akan mau kalau hanya pergi denganmu," cela Woojin sambil terkekeh hingga gigi gingsulnya terlihat jelas.
Jihoon menjentikkan jarinya. "Tepat. Aku dan Woojin ini sudah satu paket yang tidak bisa dipisahkan."
"Huh, bisakah kau diam sebentar? Kau selalu mengacaukan saat-saatku bersama Jihoon," keluh Youra pada Woojin.
Woojin hanya menjulurkan lidahnya, meledek gadis itu sampai ia menekuk wajahnya.
Jihoon menempelkan kedua tangannya di depan wajah. "Maaf, Youra, tapi kali ini aku harus fokus mempersiapkan comeback. Jadi, tidak ada waktu untuk hal-hal yang tidak mendesak."
"Benar kataku, 'kan? Dia menolakmu," ledek Woojin sambil tertawa.
Refleks, Youra memukul Woojin dengan tiket film yang ada di tangannya. "Aku juga dengar, tidak perlu kau perjelas."
Youra menekuk wajahnya masam saat berbicara dengan Woojin, tapi segera mengubahnya ketika ia kembali melihat Jihoon yang ada di depannya.
"Kalau begitu ... kau semangat, ya, Jihoon. Aku akan menantikan penampilanmu." Youra mengepalkan tangannya dan tersenyum.
"Gomawo, Youra," ucap Jihoon kemudian membalas senyum gadis itu.
Sementara itu, Woojin hanya mendeham sembari pura-pura membalikkan halaman bukunya. "Jihoon saja? Hei, aku juga akan tampil bersama Jihoon."
Youra menggeser tubuhnya sedikit supaya lebih dekat dengan Woojin. "Aku harus menyemangatimu juga? Kalau begitu, semangat, ya."
Lelaki itu mendesis dan matanya mendelik. "Huh, beda sekali dengan Jihoon tadi."
Youra membalasnya dengan menjulurkan lidah, sama seperti yang sudah dilakukan Woojin sebelumnya. "Mengeluh saja."
Bel berdering. Murid-murid yang masih berada di luar mulai memasuki kelasnya kembali. Youra pun kembali duduk ke tempatnya karena guru sebentar lagi pasti akan datang.
"Annyeong, Jihoonie," katanya sambil melambaikan tangan genit.
Tidak lama, seorang wanita masuk bersama dengan gadis yang masih mengenakan tas sekolah. Seluruh pandangan murid hanya tertuju padanya, tidak terkecuali Jihoon dan Woojin.
Seisi kelasnya mulai berbisik tentang siapa gadis itu. Ia pun memperkenalkan dirinya setelah dipersilakan.
"Annyeong haseyo, Kim Ara imnida!" ucapnya sembari membungkukkan setengah badannya.
Dapat dipastikan kalau itu adalah murid pindahan baru. Ara berjalan menuju meja yang ada di depan meja Jihoon karena di sanalah satu-satunya tempat yang kosong.
Jihoon memajukan tubuhnya kemudian mengajak gadis itu bicara usai ia meletakkan tasnya. "Hai, murid baru, kau datang terlambat, ya? Tidak mungkin ada murid yang dibiarkan baru masuk kelas setelah jam istirahat selesai. Kau menyogok Paman Han dengan apa?"
Ara menyandarkan tubuh ke kursinya supaya bisa mendengar ucapan Jihoon lebih jelas. "Bagaimana kau tau? Dan siapa yang kau maksud dengan Paman Han?"
"Aku sudah sekolah di sini selama hampir tiga tahun dan sudah paham benar dengan peraturan di sini. Paman Han adalah penjaga sekolah yang akan selalu kau hadapi tiap kau datang terlambat."
"Ah." Ara mengangguk. "Jadi, yang tadi mengejarku itu Paman Han."
Mata Jihoon membulat. "Dan kau berhasil lolos?" Lelaki itu justru tertawa dan memundurkan tubuhnya, bersandar pada kursi kayu itu.
"Hebat juga kau," lanjutnya sembari melipat kedua tangan, "tapi hati-hati karena Paman Han pasti sudah menghafal wajahmu. Sekali lagi kau membuat masalah, tidak akan diampuni."
"Mwo?" Kini, Ara benar-benar membalikkan tubuhnya. Manik cokelatnya terlihat lebih besar. "Separah itu?"
Jihoon tertawa melihat ekspresi Ara. Gadis itu terlalu mudah untuk dibohongi. Padahal, mana mungkin Paman Han bisa mengingat wajah semua murid di sekolah. Hei, sekolah ini menampung ratusan murid, bukan hanya segelintir orang saja.
"Iya dan kau bisa diadukan ke kepala sekolah. Hukumannya akan lebih berat."
Ara menggaruk pelipisnya. Ekspresi wajahnya menunjukkan kekhawatiran. "Sekolah ini ternyata lebih berat daripada yang kupikirkan. Aku jadi takut."
Sontak, Jihoon tertawa semakin puas. Lelaki itu sampai menunduk dan mendekat ke mejanya. Matanya yang kecil itu semakin menyipit kala ia tidak mampu menahan tawanya. "Kau ini memang biasa mudah percaya seperti itu? Aku hanya bercanda."
Lelaki itu berusaha menghentikan gelaknya ketika mendapati wajah Ara yang hanya melihatnya sambil melongo.
"Park Jihoon," katanya sambil mengulurkan tangan.
"Aigoo...." Ara bisa bernapas lega. Ia mengelus dadanya berulang kali. "Hampir saja rasanya aku mau pakai topeng ke sekolah untuk menghindari Paman Han."
Gadis itu menerima jabatan tangan Jihoon. "Kim Ara."
"Oke, aku akan memanggilmu Ara. Kau cukup asyik untuk diajak berbicara. Semoga kau betah sekolah di sini," ujar Jihoon.
"Terima kasih, mohon bantuannya, Ji...." Ara menaikkan salah satu alisnya. Memutar bola matanya sembari mengingat nama yang baru saja disebutkan oleh lelaki di hadapannya.
"Jihoon," lanjut lelaki itu. "Apa namaku sesulit itu?"
"Iya, Jihoon. Ah, aniyo ... biasa seperti ini kalau baru bertemu."
Ara tersenyum dan dibalas dengan acungan jempol dan anggukan Jihoon. Namun, keduanya terusik saat seseorang memanggil namanya dengan keras.
"Park Jihoon! Kim Ara!"
Jihoon refleks menegakkan tubuhnya, sementara Ara langsung berbalik. Matanya terbuka lebar saat mendapati seorang wanita berkacak pinggang di dekatnya. Ini hari pertamanya masuk di sekolah pindahan, tapi sudah banyak masalah yang didapatnya? Ini tidak adil.
"Kalian mau terus berbicara sampai jam pelajaran ini selesai?"
"Chwesonghamnida, Seonsaengnim!" Keduanya kompak menunduk.
"Kalau aku kena hukuman, ini semua gara-gara kau," bisik Ara geram.
Jihoon mengelak, "Kau juga yang mau menanggapi kubicara."
"Menyebalkan."
Ara kembali menegakkan tubuhnya dan menghadap ke depan. Sejauh yang Jihoon dengar, gadis itu hanya mendengkus kesal.
Gurunya hanya menggeleng kemudian kembali menghadap papan tulis. Sebelum memulai pelajarannya, ia juga menasihati Jihoon. Murid yang dianggapnya sangat berpengaruh dengan perkembangan sekolah itu.
"Park Jihoon, kau itu murid berprestasi di sini. Sudah seharusnya kau juga bisa mengajarkan hal yang baik, bukannya berbicara sendiri di dalam kelas saat pelajaran dimulai."
"Ne, Seonsaengnim," balasnya sambil menunduk.
Ara menaikkan salah satu alisnya usai mendengar ucapan gurunya. Ditengoknya sesaat, Jihoon sekarang sibuk dengan beberapa buku dan alat tulis yang ada di hadapannya. Ia mengangguk-angguk.
"Murid berprestasi, ya?" Gadis itu berdeham. "Yeoksi Park Jihoon.... Sayangnya, kau belum juga mengenaliku."
— Kamus Mini —
Ya!: hei!
Annyeong: selamat tinggal (bentuk informal dari 'annyeonghi gyeseyo')
Annyeong haseyo: halo
... imnida: namaku ....
Aigoo: astaga
Chwesonghamnida: maaf
Seonsaengnim: guru
Yeoksi: seperti yang diduga
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro