5. Screw You Up
Jika berada di kampus pada umumnya mahasiswa-mahasiswa yang melanggar peraturan akan mendapatkan surat teguran dari dekan atau maksimal rektorat bahkan skorsing jika memang diperlukan, maka di Universitas Dananjaya hal tersebut tidak berlaku.
Dananjaya punya keunikan tersendiri untuk mendisiplinkan mahasiswa-mahasiswanya, yaitu dengan menggunakan hukuman yang bersifat edukatif tanpa mengabaikan ketertinggalan kelas. Waktu pertama kali mendaftar di Universitas Dananjaya, pihak kampus mengatakan bahwa mereka lebih suka memberikan hukuman dengan nilai manfaat jangka panjang, yaitu berkebun, berternak, dan wirausaha. Dengan kata lain, kami—orang-orang tidak disiplin—akan berpartisipasi membantu tukang kebun, peternak, dan petugas kafetaria secara langsung.
Merepotkan bagi sebagian mahasiswa, tapi sebenarnya menyenangkan bagiku dan Fariz. Asal kalian tahu, itulah alasan kami mengapa memilih untuk tetap bertahan di Dananjaya sejak hari pertama OSPEK, karena kapan lagi dapat ilmu gratis dan bisa diterapkan di rumah?
Setelah mengisi absen keterlambatan di gedung utama Universitas Dananjaya—yang menjadi gedung pertama, sekaligus penghubung dari semua gedung—Pak Nizar, Bu Frisca, dan Pak Dadang mengumpulkan kami di lapangan berukuran sedang samping lahan parkir untuk mengisi kartu kepesertaan, serta memilih bidang apa yang ingin dikerjakan sesuai dengan kuota masing-masing. Hal ini dilakukan pihak kampus, agar tidak terjadi ketimpangan sekaligus mengefektivitaskan masa hukuman.
Fariz berdiri di sisiku, sambil menggenggam kedua tangan, menutup mata, seperti sedang berdoa. Mendapat barisan di urutan hampir belakang, terkadang membuat beberapa mahasiswa tidak bisa memilih bidang yang disukai dan sesuai pengamatanku Fariz selalu memilih wirausaha. Fariz pernah bilang bahwa dia ingin jadi pengusaha bagian jasa atau minimal kuliner, maka dari itu hukuman ini adalah salah satu cara dia untuk terjun langsung.
Kalau diingat-ingat, mungkin ini salah satu alasan Fariz mengapa dia suka sekali terlambat. Padahal sebenarnya dia bisa saja mengajukan diri untuk membantu bagian kafetaria setiap jam makan malam berlangsung. Oh, hampir lupa, biar kuberitahu sekalian promosi kalik aja kalian tertarik untuk kuliah di sini; Dananjaya punya kelas malam, kelas online, serta kelas take home khusus untuk mereka yang bekerja seharian atau anti sosial sekali pun.
Awalnya waktu mendaftar kuliah, aku ingin mengambil kelas malam karena mau ngampus sambil kerja. Namun, nenek menolak keras, katanya uang bapak masih cukup buat pendidikan dan modal usahaku, jika nanti bekerja di kantor tidak memungkinkan. Alhasil setelah merayu nenek setiap hari, beliau akhirnya mengizinkanku bekerja di Toko Bunga Dahlia dengan catatan jangan lupa dengan tanggung jawab sebagai seorang mahasiswa dan lulus tepat waktu.
"Kira-kira kebagian enggak, ya?" Nada suara Fariz terdengar khawatir, sambil sesekali melihat ke arah Bu Frisca yang sedang memberikan kartu nama yang telah diisi.
Aku menepuk punggungnya pelan. "Kalau enggak kebagian ambil peternakan aja. Biar bareng."
"Masalahnya bukan itu, Boy. Aku itu banyak takutnya kalau harus pegang-pegang binatang hidup. Mereka suka goyang-goyang bikin geli."
"Kalau gitu perkebunan aja, lah. Kutemani, deh."
"Enggak suka. Takut cacing, takut ulat, takut serangga."
Akhirnya aku hanya bisa menepuk jidat. Ini anak cowok, motor gede, gaya sudah kayak tokoh utama Crows Zero, tapi banyak takut. Kutu bulukan! Enggak sinkron sama sekali. "Terus kamu maunya gimana kalau enggak kebagian?"
"Tukeran sama cewek bisa kalik, ya? Bayarannya nge-date seharian barenga Aa' Fariz."
"Terserah," jawabku malas lalu segera melangkah ke meja Pak Nizar untuk mengisi kartu nama dan memilih peternakan—salah satu bidang kesukaanku, selain merangkai bunga.
Fariz mengikutiku. Saat itu dia terlihat bimbang memilih antara perkebunan atau peternakan. Sesekali Fariz menoleh ke arah Pak Nizar dan Pak Dadang, seolah tindakannya bisa membuat dua lelaki berpakaian kemeja berwarna gelap itu akan memanggilnya kemudian merayu Bu Frisca agar melewatkan tiga cewek yang mendahuli Fariz.
"Kalah cepat, ya? Ambil peternakan aja, lah. Lagian yang diternak juga bukan binatang buas."
Fariz menggeleng, sambil menjauhkan tangan kananku di bahunya. "Banyak jalan menuju Roma, Boy. No need to worry. Go ahead, I'll be fine," katanya sok Inggris dengan semangat yang seketika menggebu-gebu lalu segera melangkah cepat ke meja Pak Nizar dan meminta kartunya segera diisi.
Sebenarnya, Pak Nizar sempat menampilkan ekspresi heran dengan semangat Fariz barusan, terutama ketika kakinya tersandung undakan pembatas selasar dan hampir menubruk meja Pak Nizar. Beberapa anak cewek sempat histeris lalu saling berlomba untuk menolong Fariz. Namun, Fariz langsung jaga sikap dengan memperlihatkan cengiran ala kuda kemudian mengusap kepala.
Sayup-sayup kudengar Fariz mengatakan bahwa seharusnya mereka tidak perlu khawatir jika dia terjatuh, karena hal tersebut tidak akan melunturkan visualnya. Fariz juga bilang kalau pun terluka, ia bakalan tetap baik-baik saja sebab pada saat itu perhatian para cewek untuknya adalah yang terpenting. Belut listrik, gombalan macam apa ini? Kupikir Fariz kebanyakan nonton drama sampai jago bikin cewek histeris.
Setelah itu aku enggak peduli lagi kemudian memilih pergi menuju saluran air berbentuk parit berukuran besar yang dijadikan sebagai tempat tinggal para ikan koi, sekaligus menjadi pembatas antara kampus dan rumah dinas para dosen.
Perjalanan menuju parit besar tidak terlalu jauh jika melalui jalan pintas, yaitu hanya cukup keluar dari pintu belakang kafetaria yang menghubungkan perkebunan markisa kemudian berjalan kaki kurang lebih lima langkah. Tidak banyak yang tahu, kecuali jika mereka adalah orang-orang yang dekat dengan Pak Nizar dan memang tertarik dengan peternakan, salah satunya budidaya air tawar.
Ngomong-ngomong masalah budidaya air tawar, sebenarnya aku selalu teringat dengan bapak. Beliau suka sekali memancing di pemancingan dan saat kami; aku, bapak, dan nenek memancing bersama, bapak pernah bilang padaku bahwa dia ingin memiliki tambak ikan air tawar di usia senjanya. Aku yang masih kecil pun langsung menyetujui hal tersebut. Namun, takdir berkata lain sehingga mimpi tersebut tidak sempat terwujud.
Dan setiap kali aku teringat atau merindukan bapak, tidak jarang parit besar berisi ikan-ikan koi dengan jembatan kayu bercat merah di atasnya, serta beberapa deret pohon seri di sisi parit, menjadi tempat terbaikku untuk mengenang beliau. Tempat ini pula yang membuatku menjadi dekat dengan Pak Nizar kemudian mengajarkanku beberapa hal dasar tentang budidaya air tawar, di sela waktu senggang beliau.
"Ko-ni-chi-wa," bisik seseorang—mengejutkanku—yang suaranya sudah terpatri jelas di kepalaku. Mengeja sapaan sehari-hari dalam bahasa Jepang dengan situasi tidak tepat, saat aku sedang berusaha menuruni dataran miring bersemen demi bisa duduk di atas rumput hijau, sambil bersandar pada pohon seri samping parit besar.
Sisa roti kemarin masih tersimpan rapat di sakuku, niatnya ingin kuberikan pada ikan-ikan koi seperti biasa, tapi mungkin Annora akan mengacaukan hal tersebut hari ini. Bagaimana pun, sejak kemarin dia sudah terlalu banyak mengacaukan ketenangan hidupku dan semua itu benar-benar membuatku selalu menyadari keberadannya. Benar kata Bu Yuni—guru IPA waktu SMP dulu—bahwa makhluk hidup memiliki insting untuk melindungi diri dari predator. Dalam kasus ini, Annora bisa diposisikan sebagai predator, sedangkan aku adalah mangsanya.
"Bukan konichiwa, tapi ohayou gozaimasu." Aku menoleh lalu mendapati Annora yang sedang merendahkan punggung sembilan puluh derajat, hingga wajahnya tepat berada di hadapanku. Terasa sangat mengejutkan dengan jarak sedekat ini, sampai tanpa sadar aku mendorong wajahnya agar menjauh dan segera memperbaiki posisi dudukku.
Ceker bengkok! Kuharap Annora tidak tahu apa yang ingin kulakukan tadi, karena duduk atau menginjakkan kaki di rerumputan tepi parit besar adalah suatu pelanggaran. Alasannya pun hanya karena Pak Rektor tidak ingin para mahasiswa membuat ikan-ikan koi stress akibat ulah mereka jika masa kanak-kanak terdahulu masih belum memuaskan. Paham, 'kan maksudku, jadi enggak perlu diperjelas lebih lanjut.
"O-ha-yo-u-go-za-i-ma-su," eja Annora lagi, sambil memperbaiki rambut yang sempat menampar wajahnya akibat ulahku barusan kemudian duduk di sampingku.
Lagi-lagi aku menggeser posisi dudukku dan segera menahan Annora ketika sempat kulihat dia juga ingin melakukan hal serupa. "Ngapain ke sini? Bukannya tadi ngambil wirausaha, ya?" tanyaku ketus. "Jangan-jangan kamu kabur, nih?!"
Annora menggeleng cepat. Kulirik sejenak, dia sedang menyembunyikan sesuatu di punggungnya. Diam-diam ini anak bikin penasaran.
"Kamu bilang begitu, artinya merhatiin aku, loh." Annora menusuk pipiku dengan telunjuknya dan hal itu seriusan bikin merinding disko. "Bener, 'kan kalau kubilang kamu itu tipe idealku. Perhatian tanpa disadari terus—"
"Enggak usah macam-macam, deh! Sadar enggak kalau kamu bikin ketenanganku jadi kacau. Gara-gara kamu, anak-anak lain ... bukan, mereka yang ngakunya penggemar kamu jadi berisik tanya-tanya ke aku."
"Misiku memang mengacaukan pikiran dan hati kamu, Kak Darka Sagraha." Tawa Annora pecah, membuatku tanpa sadar mendorong kening Annora dengan telunjukku.
Jangan bayangkan adegan romantis, please karena aku sedikit kesal, enggak mungkin 'kan buat mukul cewek? Yang ada malah dikatain banci nantinya.
"Mau kasih makan ikan bareng? Pak Nizar tadi kasih ini, katanya kamu pergi tanpa bawa peletnya."
"Ditolak. Kamu pasti modus, terus bakal ngaku-ngaku lagi PDKT sama aku, setelah koar-koar di parkiran bilang kalau—"
"Itu beneran, kok. Kak Darka tipe idealku atau ...." Annora menggantung kalimatnya. Makin bikin gemes, kepo sama lanjutannya dan khawatir kalau aku yang sempat kegeeran. "Jangan-jangan kamu ngira tipe ideal buat dijadikan pacar, ya?!" tuduhnya dan lagi-lagi ia tertawa, sambil memukul-mukul bahuku.
Mukaku panas. Sebenarnya tadi waktu Annora koar-koar di depan pagar sempat geer, ngira kalau tipe ideal itu menjurus ke sana, tapi ternyata bukan dan ini memalukan. Ceker lapuk, rasanya lebih baik ditelan paus sekarang, daripada ketangkap basah begini.
"Siniin peletnya! Kamu enggak usah ikut dan jangan bilang macem-macem. Jaga di sana, kasih tau kalau Pak Nizar datang atau ada orang lewat." Merebut paper bag berisi pelet di tangan Annora, aku pun terjun ke rerumputan dan segera berdiri membelakangi Annora, menghadap parit besar yang hanya sebatas dua jengkal dari permukaan tanah. Melemparkan pelet untuk para ikan koi, aku berusaha untuk mengendalikan hawa panas di wajahku.
"Aku bakal jagain kamu, Darka! Bahkan dari satu semut merah yang mau gigit kamu!" teriak Annora penuh semangat, mengalahkan nyaringnya toa masjid, yang refleks membuatku langsung menoleh.
Blank. Membeku. Enggak habis pikir. Yang tadi itu, maksudnya penembakan tersirat kayak di drama-drama Asia kesukaan nenek, kah? Masih terlalu pagi untuk mengeluarkan banyak umpatan, tapi Siapa pun, tolong bantu jawab! Aku harus bilang apa?!
"Lalu seperti yang kamu minta tadi, kita bakal sama-sama terus!" kata Annora lagi, sambil mengikat rambutnya menjadi ekor kuda lalu berlari menuruni dataran miring, menghampiriku.
Dan suara riak air terdengar menjadi satu dengan kicauan burung yang bertengger di ranting beberapa pohon seri di bibir parit besar.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro