36. Inner Fight
"Jika suatu kesalahan bisa diselesaikan hanya dengan mengucapkan maaf, maka banyak orang lain yang menggampangkan hal tersebut." Berdiri di hadapan Tante Jane atau sekarang kusebut sebagai Mama Jane, aku berusaha sekuat tenaga agar tidak menangis. "Aku sungguh merindukanmu, Ma, tapi beri aku sedikit waktu untuk meredam amarah ini karena bapak selalu mengingatkan, bahwa tidak semestinya seorang anak membenci ibunya."
"Jika kamu ingin membenci, maka ...." Mama Jane langsung memelukku erat. Tangisan wanita itu semakin deras, bahkan sedikit membasahi bahuku. "Maka akan Mama terima, karena siapa yang bisa memaafkan kesalahan sebesar ini. Meski sejak hari pertama rasa penyesalan selalu menghantui dan jalan untuk kembali pun telah tertutup, keputusan itu adalah keegoisan belaka."
"Aku tidak akan membencimu, Ma. Percayalah bapak telah mengajarkan banyak hal baik dan menanamkan banyak cinta padaku agar tidak berpikiran buruk tentang Mama. I really love you, kukatakan itu dengan tulus dari lubuk hati. Namun, sisi negatif ini terus-menerus berkecamuk di dalam kepalaku jadi seharusnya, akulah yang mengatakan maaf."
Dari atas bahu, kurasakan Mama Jane menggelengkan kepalanya pelan dan untuk yang pertama, akhirnya kuberanikan diri membalas pelukan wanita tersebut. Terasa beribu-ribu kali lipat lebih tenang dan nyaman berada di pelukannya, tetapi di sisi lain juga terasa begitu menyakitkan karena demon-demon di dalam kepala sedang berusaha menjadikanku sebagai anak durhaka.
"Mama bersumpah, sedikit pun itu bukan kesalahanmu. Namun, ini kesalahan wanita di depanmu, dia meninggalkan anak dan suaminya, membiarkan belahan jiwanya dibesarkan tanpa seorang ibu, dan harus menerima cibiran orang dewasa tanpa tahu apa permasalahannya. Tidak ada seorang pun yang bisa memaafkan kesalahan itu," kata Mama Jane, sambil melepas pelukan lalu mencium keningku.
"Ada dua orang yang bisa melakukannya, Ma. Bapak tulus memaafkan Mama, begitu pula dengan nenek, dan aku, sorry ... I'm still trying but I don't hate you. Hanya butuh beberapa waktu untuk mengalahkan demon-demon ini." Berusaha bersikap seperti anak yang baik, kuusap air mata di pipi Mama Jane. Aku tidak ingin melihatnya menangis lagi, terasa begitu berdosa jika membiarkan seorang ibu bersedih karena kelakuan kita. "Biarkan bertemu lagi setelah perasaanku membaik."
Setelah melihat Mama Jane mengangguk pelan, segera kuambil tas wanita itu yang sejak tadi tergeletak di atas sofa lalu tanpa mengucapkan sepatah kata menyerahkan benda tersebut di tangannya. "Annora pasti sedang menunggu dan untuk beberapa saat, bisakah kita fokus dengan kesehatan adikku? Aku tidak bisa berhenti khawatir bahkan ketika masalah ini menggangguku."
Mama Jane tersenyum tipis setelah menerima tasnya lalu memberikan usapan lembut di kepalaku. Syukurlah, kupikir dia tidak tersinggung dengan perlakuan kurang ajar yang kuberikan barusan—mengusirnya secara enggak langsung dan sesaat kuakui pula, bahwa gerakan sederhana tadi telah berhasil melemahkan para demon yang terus-menerus memaksa agar aku menumpahkan seluruh amarah di depan wanita itu. Sambil memeluk bahu Mama Jane seolah ia enggak bisa jalan sendiri, kami pun melangkah beriringan menuju teras rumah lalu berhenti lagi.
Lebih tepatnya, Mama Jane yang menghentikan langkahnya lalu memelukku sekali lagi dengan hitungan cepat. Terasa sekali bahwa ada perasaan lega dalam diri wanita itu dan mungkin hal tersebut terjadi karena Mama Jane telah menumpahkan segala isi hati, tanpa kupotong sekaligus dengan kepala dingin, sehingga pertengkaran yang hanya menguras tenaga penambah dosa pun bisa kami hindari. Percayalah bersikap dewasa di usai tujuh belas tahun sangat sulit, apalagi jika menyangkut permasalahan Mama Jane yang meninggalkanku tanpa alasan lalu kembali membawa setumpuk penyesalan.
"Darka, Mama enggak yakin dengan arti mengganggu yang kamu maksud. Dia memiliki dua makna, entah antara kamu telah jatuh cinta dengan Annora atau terganggu dengan fakta tentang siapa kita sebenarnya. Maaf harus mengatakan ini, Nak." Mama Jane menyentuh wajahku. Matanya berkaca-kaca dan kuharap dia tidak akan menangis lebih banyak lagi karena jika Annora melihat mata sembab itu pasti dia akan memberikan segudang pertanyaan. "Kamu benar, kita hanya harus fokus dengan kesehatan Annora. Terima kasih karena telah bersikap dewasa. Mama bangga padamu sekaligus semakin merasa bersalah sebab tidak memberikan kasih sayangku selama ini."
Hari ini banyak hal yang kulakukan pertama kali dengan Mama Jane dan salah satunya adalah mencium punggung tangannya. Kulakukan agar tetap menjadi anak berbakti, walaupun sebenarnya sudah tidak tahan untuk meledakkan emosi. Mengikuti kebiasaan nenek, kubacakan doa keselamatan untuk Mama Jane tanpa peduli bahwa ternyata dia telah kembali ke agama aslinya, yaitu Ortodoks Yunani.
Bukan masalah besar saat tahu bahwa agama kami berbeda. Faktanya Tuhan itu enggak pelit, Dia pasti mengabulkan doa dari anak untuk orang tuanya, meski mereka memiliki jalan berbeda.
Bapak juga sering mengatakan bahwa, apabila seseorang menyakitimu, maka berdoalah kepada Tuhan agar kamu tidak melakukan hal serupa kepada orang lain.
Aku mengingatnya dengan sangat baik kemudian merutuki hal tersebut hari ini. Melihat mobil Mama Jane yang bergerak semakin jauh meninggalkan rumah, akhirnya membuat emosi amarahku meledak-ledak, sehingga demi berusaha bersikap dewasa, aku segera berlari ke kamar, mengunci pintu, dan berteriak di balik bantal.
Demi Tuhan, setan-setan ini selalu mendebat keputusanku, hingga menghasilkan pertarungan batin. Bahkan sudah seminggu berlalu dan mereka enggak pernah capek untuk terus menghasut. Ya, Tuhan andai ada bapak di sini, dia pasti akan menenangkanku lalu memberikan banyak pikiran positif. Aku membutuhkanmu di saat-saat seperti sekarang, Pak.
"Come on, Darka! Jika kamu membencinya, maka hal itu sama saja dengan mengulang sejarah buruk."
Kamu pantas membencinya karena dia juga harus merasakan apa yang kamu rasakan.
"Merasakan apa? Dia ibuku orang yang selama ini kamu rindukan. Bukankah ini momen paling ditunggu seminggu terakhir ini?"
Percayalah, itu bukan rindu, tapi hanya kesepian karena iri melihat orang lain memiliki ibu. Kukatakan sekali lagi, Darka. Wanita itu enggak pantas mendapat perlakuan baikmu. Momen yang paling kamu tunggu bukan cintanya, tapi momen untuk membalas dendam.
Aku menggeleng cepat, memukul kepalaku cukup kuat lalu buru-buru bicara dengan pandangan positif yang selalu ditanamkan bapak. "Enggak! Balas dendam atau apa pun itu kalau punya niatan buruk tidak akan membuahkan hasil yang baik. Akhirnya kita bakalan sama kayak mereka. Percayalah, Darka! Kamu bisa memaafkan Mama Jane dan menjadi anak berbakti."
Anak berbakti hanya untuk ibu yang juga berbakti pada keluarganya, Darka.
Tanpa sadar, air mataku kembali berguguran. Berdebat dengan batin ternyata lebih menyakitkan, daripada dengan orang lain. Ini seperti memiliki perdebatan tiada akhir yang berakhir dengan rasa frustrasi. Aku kembali berteriak di balik bantal, mengeluarkan segudang amarah tertahan, enggak peduli bahwa baru-baru saja nenek mengetuk pintuku dengan panggilan khawatir.
"Darka, jangan lupa ambil wudu dan salat asar," kata nenek dari balik pintu lalu terdengar menuruni tangga.
Di celah pintu kulihat ada secarik kertas di sana yang ditulis dengan tulisan tangan nenek. Dia mungkin ingin bicara atau menghibur, tapi hanya karena masalah itu aku memilih mengurung diri sebab enggak mungkin kuperlhatkan amarah tidak terkontrol ini.
"Beri aku sedikit waktu untuk mengalahkan perdebatan batin ini, Nek. Aku bakalan baik-baik aja," bisikku pelan, bersamaan dengan suara demon yang mengatakan hal buruk untuk nenek.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro