29. Collapse
Seharusnya manusia diberi kemampuan membaca masa depan, setidaknya beberapa menit ke depan atau jam kalau misalkan minggu, bulan, dan tahun terlalu muluk. Jadi mereka bakalan terhindar dari yang namanya kelimpungan, panik, bahkan merasa bersalah jika hal buruk terjadi. Seperti sekarang, andai saja Amber enggak nyelonong masuk ke rumah lalu menyusul Annora di halaman samping, dekat kolam renang, mungkin kondisi cewek itu akan semakin parah.
Annora kolaps, seorang diri, tanpa baju hangat, di luar rumah, dan parahnya kami berdua tidak tahu-menahu sebelum Amber berteriak memanggil kami. Waktu itu, aku dan Tante Jane masih berada di dapur. Beruntung Amber tidak tahu apa yang kami lakukan di sana, tetapi juga bukan berarti bahwa itu adalah hal terlarang. Pada saat tersebut, aku dan Tante Jane hanya sedang menangisi sesuatu, sambil berpelukan dengan alasan masing-masing.
Dan sekarang hal melankolis itu malah menjadi salah satu penyesalanku, sebab aku telah teledor dalam menjaga Annora.
Kupikir bukan hanya aku yang merasa menyesal. Tante Jane yang berdiri di sampingku, ternyata masih memeluk Amber, terlihat menyalahkan diri sendiri hingga beberapa kali Amber harus menghiburnya. Bahkan sejak kejadian dan sesampainya kami di rumah sakit, tubuh Tante Jane tidak berhenti bergetar sedikit pun dan air mata senantiasa membasahi pipi beliau.
Seandainya aku menurut agar menyerahkan tugas mencuci piring kepada Tante Jane dan langsung menemani Annora, mungkin semuanya akan berakhir berbeda.
“Nyonya Demirel, mengenai Annora ... saya mohon maaf karena harus mengatakan ini.” Seorang dokter perempuan, ber-name tag Anggraini yang menangani Annora di ruang perawatan darurat, menyentuh pundak Tante Jane. Ia menampilkan ekspresi prihatin, menandakan bahwa ada hal buruk yang terjadi. “Infeksi terus-menerus akibat bakteri Pseudomonas aeruginosa (Pa) yang merupakan salah satu dari komplikasi cystic fibrosis telah membuat kondisi paru Annora semakin memburuk. Jadi hari ini paru-paru Annora mengalami kolaps dan hingga sekarang pun kami selalu berusaha mencarikan pendonor untuknya.”
Setelah mendengar penjelasan Dokter Anggraini mengenai kondisi Annora, rasanya seperti terkena jutaan pisau di sekujur tubuh sehingga untuk mengucapkan sepatah kata pun tak berguna sama sekali. Tubuhku seketika berubah kaku dan dari bangku tunggu, aku mendengar isak tangis Tante Jane semakin keras. Wanita itu hampir terduduk ke lantai jika saja ia tidak ditahan Amber.
“Kapan kira-kira Annora bisa mendapatkan pendonor dan ya, Tuhan ... bagaimana keadaan Annora sekarang?” Amber, satu-satunya orang yang paling tenang di sini memutuskan untuk mengambil alih.
Jangan tanya aku di mana dan mengapa hanya diam di bangku tunggu, mendengarkan perbincangan mereka. Aku terlalu takut dengan kenyataan yang akan kudengar serta yang akan terjadi sebentar lagi. Jadi sebelum Dokter Anggraini menjawab pertanyaan Amber, dengan keputusan seperti seorang pengecut aku memilih pergi dengan langkah gontai.
Lebih baik enggak dengar sama sekali jika menghadapinya saja terlalu menyakitkan.
Hari ini, aku menyadari bahwa Annora telah masuk ke dalam hatiku dan diam-diam membawakan luka karena waktu kami tidak sebanyak yang semestinya.
“Paru-paru adalah organ penting selain jantung. Tanpa paru-paru enggak akan ada sirkulasi pernapasan dan jika mengalamai kerusakan, maka akan berpengaruh dengan jantung. Transplantasi paru bukan hal yang mudah. Ya, Tuhan, sampai sekarang aku enggak tau apa alasan sampai aku harus masuk ke dalam masalah ini.” Bersandar di tiang selasar rumah sakit, tangisku pun akhirnya pecah. Meski tak terdengar nyaring, tapi siapa pun yang berada di dekatku pasti akan mendengar isakan tersebut.
Dalam diam, meski terus menangis lalu memutuskan untuk menjauh dari Tante Jane dan Amber, aku memutuskan untuk berdoa. Mengetuk pintu rumah Tuhan agar Dia bersedia mendengar permintaanku, setidaknya meski semua manusia pasti meninggal. Namun, Tuhan pasti bersedia memberikan sedikit waktu untuk Annora agar aku bisa melunasi janjiku.
Tanpa sadar kedua lulutku melemas lalu duduk bersandar dengan wajah tertunduk di antara kedua lutut. Terserah jika orang dewasa berpikir bahwa aku adalah cowok paling cengeng sedunia karena mereka tidak pernah tahu apa yang terjadi.
Annora seperti ini karena keteledoranku. Seharusnya aku berada di sana, di sisinya dan peka dengan alasan mengapa tiba-tiba dia mengakhiri makan malamnya, di saat nasi di piring masih tersisa sedikit kemudian pergi meninggalkan kami. Tentu ada alasan di balik sikap Annora. Pasti Annora sedang kesakitan saat itu lalu enggan membuat Tante Jane khawatir, sehingga dia ....
“Ya Tuhan, kenapa aku enggak bisa mempelajari karakter eccedentesiast itu?“ Punggungku bergetar hebat, sambil sesekali memukul kepala dengan tangan kanan seperti orang frustrasi.
“Darka,” panggil seorang wanita yang dari usapan tangannya di kepalaku, sudah begitu melekat di memori otak sejak aku kecil.
Sudah cukup larut malam dan nenek menyusul karena mengkhawatirkanku di sini.
Tangisanku semakin pecah, sudah seperti terakhir kali aku menangis karena kehilangan bapak dan hal itu membuat nenek memelukku. Entah bagaimana nenek bisa berada di sini, padahal aku sendiri enggak tahu ke mana langkah kaki berhenti.
"Nenek di sini, Cu. Semua penyakit pasti ada obatnya.” Nenek masih bertahan dengan posisinya. Bersabar memeluk dan mengusap punggungku.
“Jika berharap memang membuahkan hasil, maka aku akan melakukannya, Nek. Tapi penyakit Annora enggak seringan yang nenek ....” Seketika ucapanku terputus. Melupakan bahwa nenek tidak tahu apa-apa tentang hal ini. Aku meletakkan kepalaku di bahu nenek lalu berbisik, “Maafkan aku, Nek.”
“Pikiranmu lagi kacau,” kata nenek. “Annora akan baik-baik saja.”
“Lihatlah, Nek dan katakan padaku. Aku terlalu pengecut untuk terlihat di depan Annora. Aku ....” Lagi-lagi kusembunyikan wajah menangisku. “Annora mengidap penyakit langka dan penyakit itu merusak ginjalnya lalu hari ini juga merusak paru-paru Annora. Aku ... terlalu cengeng buat bersikap kuat dengan keadaan ini.”
“Darka,” panggil nenek lembut. Sekali lagi wanita itu mengusap kepalaku. “Ada alasan mengapa kalian dipertemukan begitu pula dengan reaksimu terhadap kondisi ini.”
“Sayangnya sampai sekarang pun aku tidak tahu.”
“Kamu menyanyangi Annora dan itu seperti kamu menyanyangi bapakmu. Ini kedua kalinya kamu menangis seperti demikian. Jadi temui Annora lalu beri dia semangat. Nenek bersamamu, Darka.”
Sambil mengulurkan tangan, nenek memberikan senyum penyemangatnya untukku dan setelah mengembuskan napas panjang sekadar mengontrol emosi yang barusan meledak-ledak, aku menggandeng tangan nenek lalu mengantar beliau ke kamar perawatan Annora.
Berjalan pelan di badan selasar, kuharap waktu bisa berhenti sesaat karena rasa takut untuk mendengar kabar terburuk lagi-lagi mendominasi. Aku terlalu takut jika sampai di sana yang kutemukan hanyalah bunyi monitor dari alat penopang kehidupan dan Annora yang tertidur di atas kasur. Seriusan hal tersebut mengingatkanku dengan kondisi bapak yang sungguh menyakitkan. Oleh sebab itu, pergi atau pura-pura tidak mendengar adalah jalan terbaik, tapi nenek kembali memaksa agar aku menghadapinya.
Ya, Tuhan, aku tidak tahu banyak tentang penyakit Annora jadi aku hanya berharap berita yang terbaik tentang keadaannya.
Tinggal beberapa langkah lagi, ruangan tempat Annora mendapat perawatan darurat akan terpampang jelas dan saat itu juga perasaanku semakin gelisah. Tidak ada siapa pun di luar. Suasana rumah sakit begitu sepi karena sudah lewat jam besuk dan yang tersisa hanyalah pasien-pasien baru. Lagi-lagi tanganku gemetar, tapi nenek terlebih dulu menenangkanku dengan mempererat genggamannya. Namun, seketika langkah nenek terhenti mendadak ketika kami berada di depan pintu kamar Annora.
“Jannie Green, kamu kah itu?”
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro