26. First Kiss
Pukul delapan malam, suara musik dan canda tawa bergema di rooftop, memeriahkan keramaian kendaraan yang lalu-lalang di jalan raya depan toko. Boss Benji masih terlihat betah dengan microphone portable yang dibawa Fariz dan hingga kini sedang berkaroke ria bareng Putri. Di sisi lain, lebih tepatnya di meja makan dengan bangku panjang di bagian kiri-kanan, Kirana, Fariz dan Amber bertugas untuk menghabisi sisa barbeque.
Di saat mereka sedang sibuk bernyanyi serta menikmati makanan, maka hal tersebut berbeda dengan yang aku dan Annora lakukan sekarang. Diam-diam kami memilih untuk bersantai sejenak di atas meja kayu berukuran besar, setinggi lutut, dan diletakkan di tepi pagar pembatas. Enggak perlu bohong, tentang gimana reaksi pertama saat Annora mengajakku ke sini dan melihat meja kayu biasa yang berakhir menjadi padang rumput berbahan polypropylene. Seriusan, deh kaget banget! Karena enggak pernah kepikiran buat bikin beginian. Padahal kalau dihitung-hitung lumayan buat dekor toko supaya lebih fresh, apalagi setelah Annora menyampirkan kain sewarna biru pastel di atasnya, sudah terasa kayak lagi tamasya di lapangan berumput.
Sambil duduk membelakangi Annora lalu terdiam sejenak, tanpa diketahui oleh siapa pun, aku kembali teringat dengan perkataan cewek itu sewaktu kami menata makanan bersama. Annora sempat bilang, bahwa dia ingin menikmati pemandangan bintang-bintang di atas lapangan berumput. Namun, hal itu malah gagal sebab Putri terlalu takut serangga dan Kirana takut kodok, sehingga karena mereka berdua begitu takut sekaligus juga mau mencobanya, tercetuslah ide untuk mengubah salah satu meja tidak terpakai di rooftop sebagai lahan berumput darurat.
Jadi setelah diingat-ingat lagi, mungkin ini yang menjadi salah satu alasan Annora mengajakku ke sini. Bukan hanya karena meja ini sepi dan terabaikan, tapi karena Annora ingin merasakan sensasi memandang bentangan lukisan malam dari sudut yang berbeda.
Annora masih setia dengan posisi setengah berbaring di atas meja dan sepertinya ia juga masih menatap bintang, sembari sesekali terdengar sedang menghitung benda langit tersebut. Diam-diam aku pun ikut menebak bahwa tidak jarang cewek itu memperhatikan punggungku. Beneran, deh terasa banget kalau dia lagi merhatiin, karena di waktu bersamaan Annora akan menempelkan telunjuknya di punggungku lalu membentuk sebuah kata dan akhirnya dia akan memaksaku untuk mengatakan apa yang tertulis.
Contohnya kayak sekarang. Annora lagi-lagi menuliskan satu kata di punggungku lalu tertawa pelan.
"Coba bilang aku tadi tulis apa? Enggak mungkin kamu enggak tau karena anak SD pun pasti bisa," kata Annora sambil cekikikan kayak mak lampir.
"Sudah kubilang kata itu enggak bisa diucapkan sembarangan. Apalagi kalau sama cewek."
"Kalau begitu anggap aja aku cowok." Annora mulai keras kepala, memaksaku agar mau menuruti kemauannya.
"Lebih parah lagi kalau nganggep kamu cowok, Ann yang ada orang bakal mikir kalau kita pasangan homo."
Annora kayaknya pura-pura enggak ngerti, padahal sudah sering kali kukasih tahu bahwa bilang cinta di depan cewek itu bukanlah suatu lelucon, karena jika disalahartikan pasti akan membuat hati seseorang jadi berharap. Makanya setiap Annora mengatakan hal tersebut, buru-buru aku mengingatkannya sebab di waktu bersamaan aku juga memperingatkan diriku agar enggak berpikir macam-macam.
Tahu, 'kan kalau baper berakhir luka itu gampang banget diciptakan?
"Kalau gitu, kasih tau saja kapan kira-kira kamu bisa bilang cinta ke aku?"
Seketika wajahku memanas, pasti telingaku juga memerah. Kenapa Annora bisa nanya yang begituan, sih? Enggak ada pertanyaan lain apa? Dicari di Google pun jawabannya enggak bakal ketemu!
"Tidak ada jawaban." Aku memutar tubuh, menatap Annora yang ternyata masih melihat langit sambil mengarahkan telunjuk ke udara. Bisa dibilang, mungkin Annora berimajinasi sedang melukis langit dengan bintang-bintang sebagai titik tumpunya.
Menarik untuk dicoba, tapi berpotensi bakal dibilang kayak orang gila.
"Daripada ngomongin masalah cinta, ada beberapa pertanyaan yang terus berputar di kepalaku."
"Pertanyaan apa? Jangan banyak-banyak, ya. Aku sedang sibuk. Lukisanku sebentar lagi selesai," kata Annora masih saja menggerakkan telunjuknya di udara.
Tuh, 'kan benar ini anak lagi ngayal ngelukis langit dengan bintang-bintang sebagai titik tumpunya. Kayak di film aja. Mungkin Annora sedang menggambar layang-layang, sesuai dengan posisi bintang yang sering kulihat kalau sedang iseng dengerin cerita nenek sambil duduk di jendela kamar beliau.
"Tentang Journal of Memory, halaman sepuluh," ucapku sambil berbaring di sisi Annora. Mengikuti kesibukan gadis itu, yaitu melukis bintang dengan khayalan seadanya.
"Oh, jadi kamu sudah baca sampai halaman sepuluh. Gimana? Enggak pusing, 'kan pas ketemu sama gambar tanpa narasi?"
Kudengar dia tertawa pelan lalu memalingkan kepalanya. Menatapku dan aku tidak ingin melakukan gerakan serupa, seperti yang ada di setiap drama kesukaan nenek. Cukup mengetahui bahwa, Annora melihatku secara langsung dengan cara melirik kemudian pura-pura tidak tahu. Itu lebih aman.
"Awal-awalnya memang kayak lagi main tebak-tebakan, tapi sekarang sudah bisa ngikutin."
"Bagus, deh kalau gitu. Jadi enggak perlu capek buat ngejelasin. Beda banget sama Amber yang begonya kebangetan! Journal of Memory, dia bilang lebih ribet dari buku tulisan sansekerta." Annora mendengkus kesal, membuatku menyunggingkan senyum. "Memangnya dia pernah lihat tulisan sansekerta asli? Baru juga tinggal di Indonesia enam tahun sudah kayak lahir di sini aja."
"Secara enggak langsung kamu bilang aku cerdas, loh." Seriusan, sampai sekarang senyum masih mengembang jelas di wajahku. Siapa, sih yang enggak suka dipuji secara tidak langsung. Apalagi perbandingannya sama orang yang jelas jauh lebih keren dari diri sendiri.
"Kalau enggak cerdas, ngapain aku jatuh cinta sama kamu terus bagi-bagi Journal of Memory dan mau ngebuat kenangan bareng? Buang-buang waktuku yang sisa sedikit aja, tau! Eh, sorry kelepasan."
Aku menggangguk kaku lalu terdiam sejenak.
Apa yang dikatakan Annora barusan, meski memang enggak sengaja ternyata kembali membuatku teringat dengan tujuan awal memulai obrolan ini. Topik yang memang menyedihkan di saat orang di sekitar sedang bersenang-senang. Namun, jika terus dipendam akan membuat pikiranku jadi tidak terkontrol dan akan meledak suatu saat nanti.
"Ann, sebelum kamu suruh aku baca Journal of Memory. Kira-kira, menurutmu berapa halaman aku bisa menyelesaikannya dalam sehari?"
Aduh, Darka! Kamu habis lihat gajah duduk kelindes motor, ya?! Lebih baik enggak usah ngomong, deh kalau cuma basa-basi.
Sesaat batinku meronta-ronta karena otak dan mulut tiba-tiba berjalan tidak selaras, padahal sebelumnya tadi pertanyaan-pertanyaan di kepalaku sudah memaksa untuk dimuntahkan. Namun, yang terucap malah pertanyaan enggak bermutu kayak lagi chat gebetan cuma nanya kamu lagi ngapain?
Melirik sekilas, kulihat Annora mengerutkan kening hingga kedua alis tebalnya menyatu. Nah, 'kan bener. Dia saja anggap pertanyaanku enggak mutu bin aneh.
"Yakin nanya gituan? Aku kasih kamu tiga pertanyaan buat Journal of Memory, karena malam ini temanya kita harus happy."
"Eh, kalau gitu aku enggak—"
"Terlambat, pertanyaan yang sudah ditanyakan enggak boleh diganti." Mengubah posisi, Annora duduk bersila di sampingku lalu menyilangkan kedua tangan di atas dada. Anak rambut cokelat karamel milik Annora bergerak lembut mengikuti arah angin, menyapu sedikit keningnya sekaligus menyisakan hawa dingin Kota Bandung di malam hari. Jadi ingat kalau dari tadi aku enggak bawa jaket ke rooftop, padahal dinginnya bukan main.
Annora mengedikkan bahu sembari menampilkan ekspresi sedang berpikir. "Awalnya kupikir kamu cuma bisa nyelesaiin lima halaman perhari, soalnya aku yang gambar aja bisa butuh waktu dua hari. Ya sudah, sekarang ada apa dengan halaman satu sampai sepuluh?"
Mengembuskan napas, kucoba untuk enggak merutuki diri sendiri karena telah membuang satu kesempatan bertanya dengan pertanyaan basa-basi. Padahal sudah tahu punya banyak pertanyaan penting, eh yang keluar malah beda sama di otak. "Setelah transplantasi ginjal, apa semua baik-baik aja? Maksudku dari keluarga pendonor dan reaksi tubuhmu terhadap benda asing, karena waktu aku baca di Google kadang tubuh menolak organ baru."
"Hmm ... jadi ini yang bikin kamu dari tadi enggak fokus. Oke aku bakal cerita versi lengkapnya, tapi ...." Tanpa melanjutkan kalimatnya terlebih dahulu, Annora malah menarik tanganku lalu mengarahkan agar aku duduk di depannya. "Jangan disela, ya karena sebentar lagi mungkin bakalan ada yang nyadar kalau kita sedang menyendiri di sini dan kepo dengan cerita rahasia kita." Annora menunjuk ke belakang, membuatku refleks menoleh mengikuti arah telunjuknya.
Di belakangku Boss Benji, Putri, Kirana, Fariz, dan Amber masih terlihat sibuk berkaroke ria, seolah suara mereka sampai sekarang tak ada habis-habisnya. Amber dan Fariz bahkan dengan suara fals serta enggak fasih bahasa Korea pun nekad menyanyikan lagu dari negara gingseng tersebut, sedangkan dua cewek itu memilih melakukan tarian boy band yang terpampang di layar LCD punya Amber lalu di sebelah mereka berempat, Boss Benji kembali membakar sosis.
Sepertinya Boss Benji kelaparan karena lelah bernyanyi.
"Enggak bakalan ada yang sadar, lagian mereka juga lagi asik sendiri, kok." Aku mengedikkan bahu lalu kembali menghadap Annora.
Kayaknya ini anak sengaja mau mengalihkan pikiranku, supaya enggak fokus dengan topik utama kami yaitu tentang Journal of Memory.
Annora tertawa kecil, seolah barusan ada yang lucu dengan tampangku. Enggak tahu apaan? Mungkin dia terlalu receh. "Ternyata Kak Darka beneran kepo. Kukira cuma iseng doang nanya ginian. Oke, deh kita mulai," kata Annora. "Aku bikin pesta kecil-kecilan begini buat ngerayain ulang tahun untuk ginjal yang akhirnya bisa kudapatkan setelah menunggu sekian lama, sekaligus buat mengingatkanku bahwa ada orang lain yang lebih berjasa karena sudah memberikan organ tubuhnya untukku. Padahal kalau dipikir-pikir kami tidak saling mengenal selama hidup.
"Setelah didiagnosa mengalami gagal ginjal dan membutuhkan transplantasi, butuh waktu lama untuk mendapatkan pendonor yang cocok dan pada saat itu, karena rasanya semakin sakit aku sempat putus asa kemudian berpikir untuk mati saja. Namun, di saat kembali melakukan perawatan di rumah sakit karena cystic fibrosis menyumbat paru-paruku lagi, ternyata Tuhan punya rencana. Aku mendapatkannya, meski hingga sekarang tidak tahu siapa yang bersedia membagi ginjalnya untukku. Padahal andai bisa bertemu aku ingin mengucapkan terima kasih sebanyak-banyaknya."
"Dan berapa lama tubuhmu beradaptasi dengan ginjal itu? Apa setelahnya enggak ada yang perlu dikhawatirkan lagi?"
Setelah ngomong kayak tadi, aku jadi ngerasa seperti dokter lagi ngobrol sama pasiennya. Padahal sebenarnya enggak tahu apa-apa.
Namun, kalau boleh ngomong jujur sama Annora, aku bakal bilang bahwa rasa khawatirku sudah beribu-ribu kali lipat. Masalahnya, halaman sepuluh saja sudah transplantasi ginjal, gimana nanti halaman selanjutnya? Belum lagi terakhir kubaca di Google, cystic fibrosis memiliki komplikasi penyakit yang lumayan banyak dan hal itu bisa mengakibatkan Annora membutuhkan banyak transplantasi organ demi bertahan hidup.
Ah, sebenarnya apa rencana Tuhan mengenalkanku dengan Annora bahkan sampai harus masuk sejauh ini?
Lagi-lagi mataku terasa basah dan sentuhan jemari Annora terasa hangat di pipiku, ia menyeka lembut jejak-jejak air di sana lalu menampilkan senyum tegar seperti senyuman bapak, saat aku bertanya tentang keberadaan ibu. "Maaf, aku gagal untuk bersikap baik-baik saja di depanmu."
"Enggak pa-pa, aku senang. Artinya kamu peduli sampai harus membuang air matamu untukku. Dua pertanyaan terakhir enggak bakal aku jawab di sini karena kamu bisa lihat di halaman selanjutnya. Oh, ya sampai lupa. Besok, aku bakal ganti bunga mataharinya—"
"Enggak usah diganti. Kamu sudah terlalu sering kasih bunga, sampai kamarku berubah jadi kayak taman bunga gara-gara kamu."
Annora menggeleng pelan. "Nah, justru itu karena bagiku cuma Kak Darka yang paling cocok untuk jadi sinar matahari dan sinar bulanku. Aku enggak butuh sunflowers sebab sudah ada Kak Darka di sini. Saranghae," kata Annora dengan bisikan di akhir kalimat lalu tanpa permisi terlebih dahulu, dia mendaratkan sebuah ciuman singkat di pipiku dan buru-buru pergi bergabung dengan yang lain.
Akhir kata, malam ini baru kusadari bahwa ternyata indra perasa juga memiliki keunggulan lain, yaitu menyimpan memori. Rasa Annora masih begitu kuat di pipiku bahkan mengalahkan rasa panas yang berhasil membuat keringat jagung berjatuhan.
Stop memukul-mukul organ dalamku dengan palu bengkok kurang sambelmu itu, robot kecil! Kuda jongkok yang barusan itu bukan first kiss dan Annora ... Ya Tuhan, dia terlalu agresif!
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro