19. Love Sausage
Ada beberapa macam jenis galau. Pertama Gadungan, galau antara mendung dan hujan. Kedua Gampangan, galau mencari pasangan. Ketiga Gabungan, galau butuh pasangan. Keempat Garut, galau rutin seperti tiada hari tanpa gundah gulana. Dan Kelima Gajian, galau ujian. Aku berada di 80% kelompok kedua, 20% kelompok kelima. Menjadi gampangan karena sejak kemarin sore sampai hari ini Annora masih tidak menampakkan batang hidungnya, serta menjadi gajian akibat Pak Sony mengadakan ujian dadakan melalui presentasi individu tentang paper analisis konflik yang kukerjakan semalam.
"Gokil banget, dah, Pak Sony kayak enggak ada ide buat kasih kejutan lain aja!" Fariz melangkah mondar-mandir di dalam Toko Bunga Dahlia, sambil main berburu Pokemon melalui ponselnya. "Dia kira presentasi tanpa latihan dan ngisi amunisi buat ngejawab pertanyaan audiens itu kayak tawar-menawar di pasar apa?!"
Menghentikan aktivitas merangkai bunga, kupalingkan pandangan ke arah Fariz. Serigala tanpa bulu! Bukan hanya main pokemon di dalam toko, ternyata Fariz juga menghabiskan roti sobek pemberian istri Boss Benji, tanpa mengingat bahwa satu temannya ini belum mendapatkan sesuap makan siang. Alhasil, demi kenyamanan pelanggan yang duduk di bangku depan etalase—menunggu pesanannya jadi—aku memilih mengabaikan Fariz untuk sejenak.
"Bangke, buruanku lepas!" maki Fariz, sambil meremas rambutnya dan—sepertinya—ingin membanting HP saking gemasnya. Namun, digagalkan dengan tangan kiri mengarah ke kotak roti sobek yang kosong.
Seolah menyadari tidak ada apa pun di sana, Fariz pun menoleh ke arah kotak roti sobek tersebut kemudian menatap ke arahku. Pandangannya seperti menuduh dan tentu saja aku tidak akan tinggal diam, sehingga—
"Kamu ngabisin rotinya, enggak ingat kalau ada aku, ya?!" tuduh Fariz senyaring toa masjid dengan mata yang dipelotot-pelototin.
"Buaya buntal, yang ada kamu ngabisin sambil main Pokemon, sampai enggak sadar kalau sudah ngabisin satu balok sendirian."
"Ah, masa?" Fariz meragukanku, "Mba, jawab jujur siapa yang ngabisin rotinya?"
Yang ditanya menatap risi. Bukan karena Fariz bersikap SKSD, tapi mba-mba itu baru saja datang dan aku yakin dia pun enggak tau mau jawab apa. Jadi daripada menunggu lama, lebih baik segera meluruskan hal tak penting ini kemudian lanjut menggalau karena tak kunjung mendapat pesan atau telepon Annora, setelah pelanggan memberi uang hasil jasaku.
"Seriusan demi liat Spiderman pake baju batik, cuma kamu yang makan rotinya. Mba-nya aja setuju kalau dari tadi kerjaanmu cuma mondar-mandir main HP terus nyomot roti enggak pake liat kiri kanan dan enggak pake tau siapa yang punya."
"Emang siapa yang punya?" Fariz menaikkan sebelah alisnya. Pertanyaannya buang-buang waktu, padahal sudah tau kalau roti sobek itu untuk semua karyawan di Toko Bunga Dahlia dan dia bukan orangnya.
Memiringkan bibir untuk kesepersekian detik, kuputuskan untuk kembali melanjutkan merangkai bunga. Jangan sampai membuat pelanggan menunggu lama, masih ingat dengan motto itu, bukan? Kami masih menerapkannya karena jika pengerjaan cepat dan rapi, maka kemungkinan besar mereka akan memberikan tip. Secara pembeli 'kan raja.
Karangan bunga mawar merah dan kuning selesai dirangkai, ukuran yang cukup besar karena mba di hadapanku ini—satu-satunya pelanggan sejak menit pertama shift siangku—memesan sebanyak tiga puluh tangkai.
Awalnya kami; aku dan Fariz syok dengan jumlah angka yang disebutkan bahkan sempat khawatir kalau bunganya enggak cukup. Putri juga sempat laporan sama Boss Benji yang tadi kebetulan lagi ngantar pulang istrinya, untuk beli beberapa tangkai bunga mawar emergency jikalau nanti enggak cukup untuk memenuhi pesanan mba-nya. Namun, memang rejeki pelanggan dan penjual karena ternyata bunganya cukup, bahkan tersisa empat tangkai di ember.
"Makasih, ya, Mas," katanya, "serius, saya juga sampai keliling buat nyari tiga puluh tangkai bunga. Untung di sini ada dan cukup karena saya mau kasih kejutan monthsary ke pacar saya."
Mendengar pengakuan yang sudah tidak asing lagi, kedua alisku terangkat kemudian mengangguk. Cukup aneh, kenapa harus memberikan banyak bunga sampai merogoh kocek enggak main-main hanya untuk pacar? Padahal status mereka pun tidak jelas, tidak tercatat di catatan sipil, tidak pula di mata hukum. Bukannya alim atau apa, tapi kalau itu aku, rasanya sayang mengeluarkan modal sebanyak demikian pada orang asing yang belum tentu menjadi masa depanku.
Buntelan badak, gara-gara mba-mba pelanggan ini, jadi keingatan Annora. Dia hobi banget kasih aku ini-itu, menuh-menuhi loker dengan sejuta surat, sampai tidak jarang mengirimkan ojol ke toko Bunga Dahlia, sekadar memesan bunga kemudian diberikan kepadaku. Kurang kerjaan banget, 'kan? Aku yang bikin, aku juga yang nerima buketnya. Jadi enggak heran kalau kalian lihat kamarku, maka ruangan itu sudah tak beda jauh dengan taman bunga. Namun, untuk beberapa hari ini, Annora ke mana, ya?
"Sampai jumpa lagi dan silakan datang kembali." Itu kata Fariz, sambil membukakan pintu toko meninggalkan bunyi lonceng yang mengembalikan akal pikiran, setelah melalang buana tanpa arah.
Aku mengambil ponsel di dalam saku celana, kembali mengecek Line—entah sudah keberapa kali—mungkin ratusan—membuka chat Annora yang masih sama seperti kemarin lusa.
Annora benar-benar menghilang. Apa lagu Judika yang kunyanyikan kemarin adalah karma? Idih jangan sampai, lah.
"Hayo! Ketahuan, 'kan nyariin Annora." Kuda jongkok, hampir saja ngejatohin HP akibat dapat dorongan mendadak dari Fariz. Aku menoleh ke belakang dan dia berdiri di sana, membuatku menyimpulkan bahwa barusan ia mengintip. Bukti sudah di depan mana, enggak ada jalan untuk mengelak apalagi berbohong. "Kamu sudah mulai suka sama Annora, ya?"
Lebih baik diam saja. Aku tahu jawaban apa yang diharapkan Fariz. Kalau jawab iya dia bakal ngejek dan ember, sedangkan kalau jawab enggak dia bakal bilang aku bohong. Lebih parah lagi jikalau bilang enggak tau, dia bakalan jadi pakar cinta dengan sejuta analisisnya.
"Ngaku aja, deh," tuntutnya sambil memeteng leherku. "Barusan aku lihat bal—"
Ucapan Fariz terputus ketika suara lonceng pintu utama Toko Bunga Dahlia berbunyi, menampilkan cowok berjaket hijau dengan paketan di tangannya. Kami pun refleks melepaskan pergulatan, sebelum tamu tak diundang itu berpikir yang aneh-aneh.
"Selamat datang di Toko Bunga Dahlia, ada yang bisa dibantu, Mas?" Dengan lugas kukatakan kalimat sapaan sehari-hari di pekerjaanku sambil tersenyum.
Si mas balik tersenyum lalu mengangguk dan mengangkat sedikit paketan berukuran sedang tersebut. "Ada paketan untuk Bapak Darka Sagraha," katanya sambil menatap ke arah kami.
Auto mengernyit, dong! Rasanya enggak ada pesan apa-apa pakai jasa ojek online? Salah kirim kalik, ya.
"Rasanya saya enggak ada pesan sesuatu, Mas."
"Mas-nya Darka Sagraha, ya?"
Aku mengangguk, meng-iyakan pertanyaan mas ojol.
"Ini bukan pesanan, tapi kiriman," katanya, semakin membuat bingung.
"Iya. Saya enggak ada pesan apa-apa."
"Tapi—"
"Boleh tau siapa pengirimnya, Mas?" sela Fariz si penengah di antara ajang ngotot-ngototan.
Mas ojol mengangguk kembali mengangkat paket untuk membaca tulisan apa yang tertera di sana, sekaligus mengecek ponselnya. "Kalau di paket namanya ditulis 'Dari cewek yang kau sebut di radio', tapi di aplikasi namanya Amber."
Bamb! Cewek yang kau sebut di radio katanya? Sudah jelas itu Annora, tapi ....
... gimana dia bisa tahu kalau aku kirim pesan ke radio? Bukannya populasi pengguna radio di Indonesia hanya 13%, di mana sisanya berada di media lain. Setahuku, terbanyak adalah pengguna televisi, yaitu 91% dan aku yakin Annora salah satunya. Namun, paket ini ....
Baperin cewek itu lewat nyanyian dan gitar.
Demi 13% itu, apa ini takdir?
"Amber? Cewek di radio? Kita enggak—"
"Saya terima, Mas," ucapku menyela omongan Fariz sebelum sesuatu yang paling ditunggu menghilang lagi.
Rasanya berbunga-bunga saat tahu Annora tidak menghilang. Namun, di sisi lain juga rada khawatir karena Annora mendengar curhat dadakanku di radio. Dua rius, jadi kepo sama isi di dalamnya.
Mas ojol pergi dengan tenang, meninggalkan toko setelah tersenyum tulus, tapi kalah lebar dengan senyumanku. Sambil bersiul-siul membuka paketan dari Annora, aku benar-benar melupakan keberadaan Fariz jika cowok sableng itu tidak memukul kepalaku.
"Sehebat apa dia sampai bisa bikin kamu senyum-senyum begini, terus pake gaya norak nyebut namanya di radio?" Fariz melilitkan kedua lengan di atas dada, setelah sebelumnya menahan tanganku untuk membuka paketan. "Annora aja setengah mati buat dapat perhatian kamu."
Buntalan cumi, kalau bisa mengelak sekarang mungkin bakalan kulakuin sampai Fariz percaya. Yang ada Annora sekarang sudah bikin galau karena ngilang tiba-tiba, belum lagi kalau ingat Fariz main serong gitu aja udah bikin kesal. Namun, Tuhan itu memang baik, mau mendengar dan melihat kegundahan hambanya kemudian mengirimkan sesuatu yang ditunggu-tunggu.
Sayangnya, mengingat nama Amber di aplikasi ojol kembali menjadi lubang kecil di dadaku. Diam-diam jadi penasaran, siapa Amber? Cewek atau cowok? Kalau cowok, siapanya Annora? Kalau cewek ....
... lebih baik cewek, deh karena enggak mungkin Annora lesbi.
"Kamu enggak usah tau," kataku melirik sejenak ke arah Fariz dan melanjutkan pembongkaran paket. "Memberitahu teman selalu berpotensi dengan tikungan keras."
"Tikungan keras?"
Aku mengangguk, sambil mengeluarkan kotak berbahan plastik semacam tempat bekal makan siang kemudian menciumi baunya. Sudah kayak kucing sebelum memutuskan menyentuh makanan.
"Kamu maksa aku buat peka sama Annora, maksa aku buat coba nerima perasaan Annora, maksa aku juga buat baik-baikin dia, tapi kamu malah mulai main tikung-tikungan." Melangkah menuju dapur darurat melalui celah kecil akibat keberadaan etalase yang cukup besar, Fariz mengikutiku dengan ber-hah ria.
Nada suaranya seperti bertanya, sekaligus kaget. Berulang kali, sampai ia mendorong jidatku menggunakan telapak tangannya, saat kami sama-sama berhenti di depan buffet.
"Dapat pikiran dari mana kamu?!" tanya Fariz cukup tinggi, tapi dari sorot matanya seperti tidak ada kemarahan di sana. "Yang ada aku terpaksa begitu, supaya Annora enggak sedih karena terus dicuekin kamu. Sekaligus nyadarin kamu supaya kalik aja kamu ...." Fariz menggantungkan kalimatnya, sambil melakukan gerakan super lebay.
Meletakkan kedua tangan di atas kepala, menganga lebar, membulatkan kedua mata, lalu ....
"Oh my God! Don't say it, Darka," pinta Fariz, "kamu cemburu, ya? Terus yang dari pagi itu bukan galau karena ujian, tapi galau karena enggak ketemu Annora. Iya, 'kan?"
Sudah jatuh tertimpa tangga pula. Mungkin seratus persen analisis Fariz benar, tapi tentu saja tidak akan ku-iya-kan sehingga tanpa perlu mengangguk atau menggeleng, aku memilih membuka kotak makanan yang sempat terlupakan beberapa saat. Baunya lezat, menimbulkan dampak perut semakin keroncongan karena enggak kebagian roti sobek.
To : Darka Sagraha
From : The girl who you mention on radio
Seperti terhempas dari ketinggian empat ratus meter tanpa parasut, perasaan lega menyeruak hingga ke pusat saraf. Hormon serotonin, dopamin, endorfin, dan oksotosin pun bergabung menjadi kesatuan hakiki hingga menimbulkan lengkungan terbalik di bibirku. Rasanya mustahil untuk menyembunyikan ekspresi tersebut, sampai Fariz pun kembali menggangguku dengan senggolan kecil di bahu.
"Dikasih sosis jumbo," ucap Fariz, sepertinya malas kepo dengan surat kecil yang berada di dalam kotak bekal tersebut atau mungkin emang enggak lihat karena terlalu fokus dengan keterkejutannya. "Tau enggak artinya apa?"
Makanan Hamster itu kuaci.
Fariz, sumpah, aku enggak peduli.
"Kalau di film-film bokep sosis itu enggak beda jauh dengan tytyd, jadi menurut kamu apa cewek itu ngajak ... eh, enggak. Enggak boleh! Darka masih polos dan cuma buat Annora! Enak aja itu cewek main rebut-rebut sasaran orang terus—"
"Kucing bunting, serius, Fariz. Aku lapar dan enggak ada bagian buat kami, jadi gantiin aku jaga toko sana," sergahku enggak bisa menunggu lebih lama untuk menyantap sosis pemberian Annora dan membaca isi suratnya.
Aku kangen Annora dan gengsi menghalangi segalanya. Jadi kalau sudah begini ya ... hanya bisa menunggu.
Fariz mendengkus kesal. Ia memberengut kayak cewek, lalu setelah mendecak ia pergi begitu saja.
Tidak benar-benar pergi, sih karena baru selangkah ia kembali berbalik ke arahku. "Aku enggak pernah tau kamu jadi sepopuler ini. Sejak kapan?" Sebelah alis Darka terangkat. "Ah, bodo amat! Yang jelas ingat, ya, Ka, aku cuma mau kamu fokus sama Annora. Dia jelas baik dan rasanya buat kamu itu enggak kaleng-kaleng," kata Fariz sudah kayak emak-emak yang kasih tau anaknya supaya jangan nakal. Aku hanya mengangguk, demi memuaskan hasrat mak comblang sekaligus kemampuan cenayang cintanya sebelum Fariz akhirnya benar-benar pergi untuk menggantikanku menjaga toko.
Menjaga toko dalam artian menunggu pelanggan dan ketika yang ditunggu datang, maka Fariz akan memanggilku untuk kembali bekerja.
Duduk di sofa panjang yang biasanya dijadikan kasur darurat bagi Boss Benji, Putri, dan Kirana, secara perlahan kubuka kertas kecil yang terselip di antara sosis bakar terbungkus plastik, serta tidak lupa juga menyantap makan siang mewahku hari ini.
Hai, Kak. Kangen aku, ya? Aku dengar pesan kamu di radio semalam. Pertanyaannya ambigu, sih dan aku enggak ngerti. Tapi kalau kamu penasaran, kenapa kita enggak ketemuan aja?
Nanti malam, di acara radio SBS. Pantengin, ya ^^
Sosisnya aku yang buat, jadi jangan sampai enggak dimakan, apalagi enggak dihabisin. Selamat makan Kesayanganku.
Dengan seribu cinta untuk Kak Darka, dariku.
Begitulah yang tertulis di surat tersebut, menggunakan tulisan tangan di mana yakin, deh ini pasti punya Annora. Sehingga tanpa menunggu lama, segera kupasang alarm pukul sembilan demi mendengar jawaban Annora.
Kalau sudah begini, rasanya jadi enggak sabar buat nunggu malam tiba.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro