Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

10. Golden Time

Yang kulakukan setelah selesai menikmati kue poffertjes buatan Annora, ralat nenek adalah mencuci piring dan perkakas lainnya, serta mandi sekaligus mencuci baju seragam bau amis, akibat berenang bareng ikan koi di parit besar beberapa hari lalu (Serius aku lupa buat nyuci itu baju, enggak kebayang, deh gimana aromanya saat direndam dengan air sabun). Bodo amat, Annora mau sendirian atau bareng nenek nonton drama Korea di ruang keluarga. Toh dia tamu nenek, bukan tamuku.

Selesai mandi, meski kepo di mana dua perempuan beda usia itu berada, karena enggak keliatan di sekeliling rumah, aku memutuskan untuk kembali ke kamar—segera bersiap-siap untuk pergi ke toko. Mungkin nenek dan Annora sedang ngobrol di halaman sebelah atau bisa juga melakukan ini-itu di suatu tempat, aku enggak tahu—katanya masalah perempuan, laki-laki dilarang tanya. Namun, baru saja melangkah masuk ke kamar jantungku sudah jungkir balik kayak naik roller coaster.

Pintu kamarku terbuka lebar, memperlihatkan keadaan yang super berantakan; buku-buku di atas tempat tidur (salah satunya buku alumni SD, SMP, dan SMA), komputer menyala yang lupa dimatikan, selimut dan seprai yang kusut seperti habis dipakai, dan jendela juga terbuka lebar. Andai ini film kartun, pasti rahangku sudah jatuh ke lantai, jantung lari terbirit-birit, serta mata keluar saking kagetnya. Sekali pun aku enggak pernah ninggalin kamar dalam keadaan super-duper berantakan kayak gini, seriusan ini sudah kayak dirampok, tapi gagal sebab tak ada barang berharga.

Seketika wajahku gatal. Stress karena melihat pemandangan di depan dan lutut ikut melemas kayak lagi bertopang pada jelly.

Makan sayur lodeh pake ikan asin,

Pingsan sekarang aja boleh, 'kan?

Bersandar pada bingkai pintu untuk sementara, aku berusaha menenangkan diri. Salah satu hal yang paling tidak kusukai adalah kondisi yang berantakan, jadi dengan langkah gontai aku memilih untuk mematikan komputer terlebih dahulu, lalu membereskan buku-buku dan memasukkannya ke dalam rak, kemudian ....

Sapi merayap! Cewek berambut cokelat karamel keliatan sedang duduk di ranting pohon mangga, sambil nyanyi. Telinganya disumpal earphone, ada buku merah magenta di pangkuannya. Yakin, deh, mataku masih normal dan dia bukan kuntilanak di sore hari atau wewek gombel yang mau nyulik Aling. Dia Annora, penyusup sekaligus biang dari kamar berantakan ini.

"Kamu ngapain di sana?!" bentakku, berusaha menyaringkan suara hingga oktaf tertinggi supaya Annora menyadari keberadaan dan kemarahanku.

Annora bergeming.

Koala kusut! Ini anak pasang volume suara berapa persen, sih?! Bikin makin kesal.

"Annora!" teriakku lagi. "Kamu ngapain di sana?!" Seriusan, rasanya mau pinjam toa masjid kalau Annora enggak dengar-dengar. Tapi syukur, deh itu anak akhirnya nge-respon juga. Meski dengan punggung menegak dan hampir terjatuh. Untung sempat pegangan, kalau enggak pasti rumahku bakalan terpampang di koran harian Bandung.

"Hah?! Enggak dengar!!"

Aku mendecak. "Buka earphone-nya, Kumal!" Tiap hari latihan vokal teriak-teriak kayak begini, mungkin nanti bisa jadi salah satu kontestan di Indonesia Idol. "Kamu ngapain di sana? Turun!" perintahku sudah kayak emak-emak di lapangan, setelah menunjuk-nunjuk telinga mengisyaratkan Annora supaya melepas earphone-nya.

Annora malah ketawa lalu melambaikan tangan, mengajakku supaya mendekat atau lebih tepatnya menempel pada dinding jendela. Jangan bilang kalau dia mau nyuruh aku untuk ikutan nongkrong di sana. Demi cabe keriput, duduk-duduk di ranting pohon mangga jam segini itu ....

Bukan Darka banget!

Aku lebih milih nongkrong di sana habis subuhan, daripada sore-sore begini. Yang ada kalau nongkrong sekarang malah menghirup debu dari genteng rumah Aling dan bikin muka gatal.

"Aku bakal turun kalau kamu jemput aku di sini." Annora buru-buru menyembunyikan buku warna magenta tersebut di balik jaketnya lalu menggeser posisi duduk, memberikan ruang untukku. "Kak Darka enggak bilang kalau di sini pemandangannya bagus. Aku suka ngeliat sunset dari sudut pandang begini."

"Begini gimana? Biasa aja, kok. Cuma ngirup debu dari genteng orang doang." Duduk di jendela, aku masih enggan buat nyusul Annora di sana.

Annora mengembuskan napas. "Makanya duduk sini biar bisa liat. Cemen banget enggak berani manjat!"

"Oh, jangan salah. Sebelum kamu, aku sudah tiap subuh nongkrong di sana."

"Ya sudah sini. Kalau mukanya gatel nanti aku garukin, biar kamu makin kangen di saat aku nanti enggak ada."

Oh, Annora sadar kalau dari tadi tanganku enggak berhenti buat garuk-garuk muka. Seharusnya ini anak paham kalau aku alergi debu, tapi dia malah cuek bibeh dan berantakin kamar. Enggak tahu lagi, deh, mau marah gimana yang ada buang-buang tenaga, terus hasilnya nol. Selain itu omongan Annora juga kayak mau pergi jauh saja, padahal tiap hari nempel mulu.

Percaya tidak percaya, Annora itu sudah kayak stalker merangkap jadi secret admirer gadungan selama di kampus dan di Toko Bunga Dahlia. Tiap berangkat, istirahat sampai pulang ngampus, pasti ketemu dia. Enggak tanggung-tanggung, Annora sampe nunggu di depan gedung utama kampus, depan kelas atau di pintu loker, plus setumpuk surat cinta yang dia selipkan ke dalam loker berisi satu kata di satu kertas. Catatan, Annora biasa kasih sepuluh surat artinya satu kertas berisi satu kata, berarti kalau digabung bakalan jadi satu kalimat. Sedangkan kalau di toko bunga, Annora bakal pesan gojek buat beli bunga matahari plus kartu ucapan lalu diberikan untuk Darka Sagraha. Setelah itu dia bakal video call, terus maksa agar aku melakukan foto screenshoot kemudian kirim. Alhasil, Boss Benji, Putri, dan Kirana ngira kalau gebetanku itu Annora. Padahal, Enggak. Sama. Sekali.

"Enggak perlu digarukin, kamu Cuma harus turun lalu beresin hasil karyamu di kamarku ini. Sumpah, ya, demi cabai keriput sejuta kali lipat! Bentar lagi aku kudu ke toko dan ninggalin kamar yang super duper berantakan itu bikin aku enggak te ... Woy! Duduk, enggak! Kamu mau bunuh diri?!" Sumpah ini anak bikin jantungan, buat apa coba berdiri kayak lagi akrobatik di ranting pohon? Kalau sudah ahli, sih enggak masalah. Tapi dia, 'kan bukan tukang sirkus.

Gara-gara tingkah Annora yang sudah kelewat liar kalau lagi di atas pohon, ngalahin keliaran monyet, akhirnya terpaksa aku menyusul dan duduk di sana. Beberapa daun berguguran, bersamaan ketika aku duduk di sebelah Annora. Bukan berarti sekarang lagi musim gugur, Indonesia Cuma ada dua musim, tapi karena Annora ngelemparin daun-daun yang habis dirobek sambil teriak 'Yay! Musim gugur! Musim gugur telah tiba.'

Sumpah norak banget kalau diladenin, itu tandanya kalian sama-sama gila dan aku enggak segila itu.

"Kamu percaya reinkarnasi?" tanya Annora tiba-tiba, sambil memandang ke depan, memperhatikan deretan burung gereja di antara kabel listrik yang melilit awan jingga. Ekspresinya seketika serius, bikin suasana sudah kayak di ruang ujian saja. "Buku Life Between Life, bilang kalau Psikiater Dr. Joel L. Whitton, PhD menggunakan cara hipnotis buat ngeliat kehidupan pasien sebelumnya. Kalau itu beneran bisa, aku ingin tahu bagaimana cara aku mati di kehidupanku dulu," kata Annora, sambil mengambil satu helai daun, meletakkan di telapak tangan kemudian meniupnya.

Obrolan Annora seketika bikin merinding disko. Seriusan, deh, meski kedengarannya sepele, tapi rasanya kayak ini cewek mau mati besok saja. Belum lagi dia selalu bilang, 'Supaya kamu kangen kalau aku enggak ada.' Pikiran positifnya, bisa jadi dia mau pergi ke suatu tempat di bumi, sedangkan pikiran negatifnya ... ah, jangan sampai. Enggak maksud doain macem-macem.

Aku meneguk saliva kuat-kuat, tiba-tiba cairan di dalam tenggorokan bisa jadi sekeras batu, lalu menoleh ke arah Annora. Dilihat dari dekat, ternyata rambut cewek satu ini enggak selurus yang kukira, bagian dalam—anak-anak rambutnya keriting dan mata hijau cerahnya jika dilihat dari samping, seperti berada di hutan tropis dengan sentuhan sedikit cahaya matahari—lingkaran terluar hijau gelap, kemudian hijau muda, hingga menguning di bagian terdalam mendekati pupil. Bintik hitam berukuran kecil di bawah mata Annora juga manis, pantas kalau orang-orang bilang dia cantik. Namun, percaya, deh, aku enggak pernah mikir Annora begitu.

"Akhir-akhir ini, kamu enggak ada ngerasa getaran di sekujur tubuh, 'kan?" tanyaku tiba-tiba setelah ingat tentang pelajaran Agama Islam mengenai tanda menjelang kematian. Semoga, Annora bilang tidak.

"Hah? Kenapa tiba-tiba nanya begitu?" Mimik Annora seketika menampilkan keheranan luar biasa, membuatku jadi bernapas lega. "Kalau getaran karena selalu dekat kamu, sih, ada. Bahkan rasanya kayak naik histeria."

"Kamu juga kenapa tiba-tiba ngomongin reinkarnasi? Pake acara mau liat gimana cara mati segala, sudah kayak mau meninggal besok aja."

Annora mendecak lalu meletakkan kedua tangannya di pipiku, menatapku lekat-lekat. "Kak Darka, liat mataku. Kalau getaran yang kamu maksud itu sama dengan yang kupikirkan, maka jawabannya one hundred percent, yes, karena kalau selalu dekat kamu itu rasanya kayak naik histeria tanpa pengaman." Tawa Annora pecah lalu ia mengambil ponselnya dan tanpa izin mengambil fotoku.

"Eh, siapa suruh foto?!"

"Apaan, sih? Geer banget. Ini, ya, aku lagi nge-tes, flash-nya masih aktif apa enggak. Soalnya nanti malam mungkin listrik bakalan padam. Udah, ah, ayo beresin kamar, aku mau nganter kamu ke toko bunga." Annora mengetuk keningku dengan ponselnya lalu menghentak-hentakan badan, hingga ranting yang kami duduki bergerak.

Kuda jongkok, Annora beneran liar kalau di pohon. Ngalahin monyet, musang, tupai, dan orangutan.

"Enggak usah dianter. Aku masih punya dua kaki," tolakku tegas ketika berhasil masuk ke kamar dan menunggu Annora melangkahkan kaki di bingkai jendela.

"Dan tugas dua kaki Kak Darka adalah mengayuh sepeda sore ini, karena aku yang duduk di belakang kamu." Annora meletakkan buku bersampul merah magentanya di atas meja belajar, melipat selimut dan lanjut merapikan tempat tidurku. "Aku mau kita sering-sering ngelewatin golden time bareng. Hitung-hitung menyambut malam kemudian tidur. Kalik aja, kamu bakal lihat aku di mimpimu, kayak aku yang selalu lihat kamu di mimpi aku. Romantis, 'kan?"

Annora cekikikan dengan gombalan receh yang mulai membuatku terbiasa, hingga akhirnya bisa menggerakkan jariku di kening cewek itu. Satu dorongan pelan menggunakan telunjuk lalu usapan rambut untuk merusaknya. "Gombalannya sudah enggak mempan. Butuh dosis tambahan."

"Bayarannya kamu bonceng aku ke toko bunga, naik sepeda," kata Annora penuh semangat dan dia menggenggam gemas kedua telingaku. "Enggak mempan apanya? Dua jamur di kepala Kak Darka aja sampai merah gitu. Kak Darka, saranghae."

"Hah? A-apa?"

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro