◎ Another Dream - FanFiction2 TMoA ◎
Sore itu, tak jauh dari rumahnya, Davia duduk di bawah rindangnya sebuah pohon apel besar yang menjadi persinggahannya setelah berlari cukup lama sebagai olahraga yang kini menjadi rutinitas yang wajib ia lakukan setiap harinya.
Tak banyak orang-orang yang berada di sana. Hanya terlihat beberapa anak kecil yang tengah berlarian, bermain bersama teman sebayanya diikuti pengawasan dari orang tua mereka masing-masing dari jarak jauh. Sisanya, hanya terlihat menyendiri dengan kesibukan sendiri.
Di tengah istirahatnya, Davia dengan cepat membuka mata pada saat ia memejamkannya beberapa detik yang lalu, menjadi desisan jengkel ketika sebuah apel dengan ukuran yang mirip dengan kepalan tangannya jatuh tepat mengenai kepalanya. Ia melirik sinis ke atas, memandang pohon yang menyebalkan itu.
Ia berdecak sekilas saja, berusaha untuk tidak mengurusi pohon tersebut. Baginya, mungkin tadi hanya kesialan semata. Maka, ia kembali memejamkan matanya.
Tapi, lagi-lagi apel kembali jatuh di atas kepalanya. Davia kesal bukan main. Jelas saja, sebab apel yang jatuh itu sudah meninggalkan rasa yang lumayan membuat kepalanya merasa nyeri.
“Kok makin ngeselin ya, nih pohon?!” ketusnya yang kemudian bangkit sambil menatap pohon apel tersebut dengan jengkel.
Hingga seorang cowok muncul mengambil dua apel sebelumnya yang terjatuh, namun dibiarkan oleh Davia. Gadis itu tampak kaget ketika matanya menangkap dengan jelas bahwa sosok di depannya sekarang adalah kakak kelasnya.
“Kak Devan?”
Cowok itu meliriknya seraya menggigit dan mengunyah apel yang baru saja ia bersihkan dengan menggosoknya ke baju.
“Jadi, ini ulah lo, Kak?” Melihat katapel yang berada di genggaman sebalah kiri Devan, Davia yakin bahwa cowok itu memang menyentil apel-apel yang ia makan dengan katapel yang dibawanya.
“Mau?” tawar Devan, wajahnya tampak santai, seolah tidak peduli dengan kekesalan yang jelas ditunjukkan oleh Davia.
“Gak, makasih!” jawab Davia ketus. Lantas, Devan menarik kembali tangannya yang sempat terulur ketika menawarkan apel tersebut.
“Ngapain lo di sini?”
“Ya habis olahraga lah, masa—“
Tiba-tiba, Devan terkekeh. Membuat Davia sedikit ngeri melihatnya. Memangnya, apa yang lucu sehingga Devan terkekeh begitu?
“Ada yang lucu?”
“Ya, elo.”
“Gue?” Davia mengerutkan dahinya, sebelum ia menatap dirinya secara tak langsung dan sadar bahwa Devan sedang mengejeknya. “Oh, maksud lo, gue lucu gitu karena masih kelihatan gendut walaupun—“
“Gue gak bilang, ya,” sela Devan cepat sembari mengunyah lagi apel yang ada ditangannya. Cowok itu bersandar di pohon dengan kedua tangan terlipat di depan dada.
“Tapi jujur, lo lumayan kurus sekarang,” puji Devan tiba-tiba. Padahal, ia baru saja mengejek Davia, bukan? Ya, kira-kira itu yang ditangkap oleh Davia.
Davia memutar bola matanya, masih sebal.
“Ngomong-ngomong, apa kabar, Dav? Rasanya, gue udah lama banget nggak ketemu sama lo,” ucap Devan yang menjatuhkan pandangan pada rerumputan yang menjadi tapakannya.
Mendadak, Davia merasa sesak di dadanya muncul. Ia hampir lupa bahwa ini pertemuan pertamanya kembali setelah hari itu. Ya, sejak perjalanan mereka ke bukit Moko dan akhirnya memutuskan untuk menghilang seolah tak pernah kenal satu sama lain, mereka tak pernah lagi terlihat atau bahkan saling bertemu. Berakhirnya hubungan sebagai rekan dalam tim Olimpiade, juga mengakhiri pertemuan mereka.
Namun, hal itu tak lantas menjadi landasan untuk mereka benar-benar menghilang dalam kehidupan masing-masing. Buktinya saat ini mereka dipertemukan di tempat yang bahkan pernah mereka lewati bersama ketika masih bersama.
“Gue rasa, lo masih ingat pesan-pesan gue, deh. Gue gak nyangka lo benar-benar menjalankan hidup sehat dengan pola hidup yang baik. Tapi mungkin sekarang itu semua harus lo lakuin sendiri, gak kayak dulu waktu gue masih bisa ingetin lo supaya gak gampang nyerah.” Devan melebarkan senyumnya, memperlihatkan deretan gigi putihnya.
Sedangkan Davia, ia tampak terdiam. Bungkam mengenai apa yang sedang dibahas Devan bersamanya. Rasanya, ia tidak kuat mengenang kembali hari-hari yang pernah terjadi kemarin.
“Lo sendiri gimana? Hubungan lo sama nyokap lo tetap berjalan baik ‘kan sampai sekarang?” tanya Davia, berusaha menutup nada getir akibat terbawa suasana.
Devan mengangguk, “Bahkan kami jauh lebih baik daripada sebelumnya. Itu pun berkat lo. Gue gak bakal lupa sama apa yang udah lo lakuin buat nyatuin gue sama nyokap gue kembali. Makasih ya, Dav.”
Davia mengangguk sekilas sebagai balasan.
Devan memainkan salah satu apel yang belum ia makan. Dengan melemparnya ke atas udara, lalu di dijatuhkan kembali ke telapak tangannya secara terus-menerus, Devan seolah teringat suatu hal.
“Lihat apel gini, gue jadi keinget sama matematika, yang jadi pemisalan buat soal cerita di ujian minggu lalu,” katanya, lalu terkekeh kecil.
Davia ikut terkekeh, “Lo jadi ingetin gue sama masa-masa kita dulu. Gimana gue tau seberapa ambisiusnya lo buat menang waktu kita berusaha mati-matian buat menangin Olimpiade tahun lalu.”
“Gue inget banget itu,” sahut Devan.
Dan sore itu semakin menggelap. Malam seperti hampir tiba, tetapi keduanya tidak beranjak sedikitpun dari sana selain saling sibuk pada perasaan masing-masing yang tak karuan.
Davia menunduk sejenak sebelum menatap kakak kelasnya itu, “Gue pikir kita gak bakal ketemu setelah pertemuan terakhir kita tahun lalu.”
Devan tersenyum, “Gue juga. Tapi gue pikir, mungkin pertemuan ini yang akan jadi pertemuan terakhir kita.”
Perlahan, raut wajah Davia berubah menjadi serius dan sedikit tegang mendengar apa yang belum Devan jelaskan sepenuhnya.
“Minggu depan adalah hari kelulusan gue. Setelah itu, gue bakal lanjutin pendidikan gue ke jenjang yang lebih tinggi. Mungkin lo berpikir bahwa ini bukan masalah, tapi seperti yang udah gue bilang, gue masih pengen kejar apa yang jadi mimpi dan cita-cita gue. Cuma, nggak di sini.”
Davia sudah menduga itu. Apalagi yang harus ia harapkan? Pertemuannya kembali dengan Devan saat ini yang akan tetap terjadi di hari-hari berikutnya? Atau berharap pertemuan di lain waktu seperti sekarang ini?
“Gitu ya?” kata Davia lemah. Ia tidak bisa berkata banyak untuk hal itu. Setelah ini, perasaannya harus terkubur kembali dalam jangka waktu yang tak menentu untuk hal yang sama dalam artian menunggu.
“Lo gak percaya ‘kan kalau ini bakal jadi pertemuan terakhir kita?”
Pertanyaan Devan yang membingungkan membuat Davia mendongak dengan wajah menuntut maksudnya. Devan malah tertawa kecil membalas kebingungan Davia.
“Jujur, gue benar-benar berat waktu gue sendiri mutusin buat jauh dari lo demi ambisi gue. Tapi nyatanya, gue sendiri gak bisa ngelakuin itu. Setiap kali gue mikirin lo, gue malah jadi gak karuan. Gue yakin, lo juga sama, ‘kan?”
“Ma-maksud lo, Kak?”
“Dasar nggak ngerti kode. Intinya, lo harus serius belajar, supaya lo bisa dapetin beasiswa, kayak gue. Jadi, lo bisa deh, nyusul gue di Australia nanti. Gue percaya kalau lo bisa untuk itu,” kata Devan dengan senyuman lebar.
Davia melebarkan matanya yang sebelumnya terlihat sendu, berganti dengan rasa haru dan terlihat seulas senyum mengembang penuh menghiasi wajah tembamnya. Tanpa keraguan atau malu-malu, Davia memeluk kakak kelasnya itu.
“Gue bakal nungguin lo, Dav. Gue janji,” bisik Devan sembari membalas pelukan adik kelasnya itu.
Semua tidak akan bisa menjadi realita tanpa ekspetasi, walaupun tidak ada yang tahu kapan, di mana dan seperti apa nanti waktu mewujudkannya.
Satu hal yang kembali Davia ingat dari kata Devan, mereka perlu mengejar mimpi dan cita-cita mereka terlebih dahulu. Masalah hati yang awalnya ingin mereka pendam tanpa tahu batas waktunya, mungkin akan muncul kembali beriringan dengan mimpi dan cita-cita yang akan mereka raih setelah mereka mewujudkannya.
Ya, semua itu lagi-lagi tidak ada yang tahu. Semoga saja, prediksi Devan benar bahwa Davia bisa mendapatkan beasiswa itu dan menyusulnya ke lintas negara seberang. Kakak kelasnya itu memang selalu benar, ‘kan?
◎ ◎ ◎
HALOOOO!
Balik lagi sama aku dan FanFiction ke dua dari TMoA yang ditulis oleh mevipz!
Gimana menurut kalian? Aku sih ... suka bangeeeeeet~! Devannya cool dan tetep charming as always, tapi juga ngasih tantangan buat Davia nih.
OHIYA, GIVEAWAY THE MEMORIES OF ALGEBRA VERSI CETAK RESMI AKU TUTUP YAAA~!
Terima kasih yang sudah ikutan♡♡ Pengumuman pemenangnya akan aku taruh di ig Base of TMoA (affection.baseoftmoa_) pada hari Minggu, 3 November 23.59 WIB dan akan ditaruh di ig dan wp-ku dua hari setelahnya. Jadi, yang kepo banget sama pengumumannya bisa langsung follow ig Base of TMoA aja yaaa~♡
Oh iya, aku masih menunggu kiriman fanfict dalam bentuk apa pun untuk The Memories of Algebra loh. Yakin nggak mau mejeng di sini? :3
Buat bonus kalian minggu ini karena aku lagi baik ehehehehehe, ada Fake Chat The Memories of Algebra buatan ipehhhh45. Aku link di media, yaaa. Jangan lupa ditonton~!! Kalian juga bisa bikin kayak gitu loh.
Jadiii sayang-sayangku, siapa yang nggak sabar menanti The Memories of Algebra versi cetak absen dulu sini~!
Siapin tabungannya, karena TMoA bakal segera diproses untuk sampai ke pelukan kalian. Diuyel-uyel juga boleh. Asal jangan disakiti, yaaa. Ehehehehehehe.
Oh iya, ada yang tau 3 November itu ada apa? Hayo coba siapa tau? ㅋㅋㅋ
Oke deh. Luv. Sampai ketemu di Days Without Him hari Kamis~!
B3 h4ppy guys♡♡♡
—Tamara
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro