◎ 8. Pulang Bareng ◎
"Ngapain naik angkot? Kita kan searah. Gue bonceng ajalah."
Perkataan Devan membuat mulut Davia terbuka lebar. Cewek itu tidak percaya dengan apa yang baru saja dikatakan oleh Devan.
"Dav, lo denger nggak?" kata Devan sambil mengibaskan tangannya di hadapan Davia.
Mata Davia mengedip beberapa kali, lalu mulutnya tertutup rapat. Ia memandang Devan ragu. "Boncengan sama lo?"
"Iya," jawab Devan sambil berjalan menuju parkiran lagi. "Kenapa? Lo nggak mau naik motor?"
Davia panik ketika Devan menanyakan hal itu dengan nada suara Devan kesal. Ia berlari menyusul Devan, lalu berhenti di depannya. "Nggak, nggak. Bukan gitu. Cuma, emm. Cuma ...."
"Cuma apa?"
"Motor lo nggak bakal kenapa-napa kalo ngebonceng gue?" tanya Davia ragu, ia memilin ujung roknya. Pipi gembil cewek itu memerah dan pandangan matanya tidak fokus.
Sesaat Devan hanya terdiam, memandangi Davia berulang kali. Lalu tertawa keras, sangat keras hingga Davia mengerucutkan bibir dan memukul lengan cowok itu.
"Ngapain ketawa sih?" rajuk Davia. "Nggak ada yang lucu tau!"
Devan masih tertawa, sangat keras. Ia tidak peduli jika orang di sekitarnya kini tengah memperhatikan mereka. Hanya Davia yang masih berusaha meredam tawa Devan sambil memukul lengan cowok itu berulang kali.
"Lo itu ...," Devan menggantung kalimatnya, tertawa lagi, "aneh. Ada ya spesies kayak lo gini?"
Davia semakin memajukan bibirnya, ingin sekali ia menampar cowok yang kini sibuk membersihkan kacamatanya karena sempat berembun saat dia tertawa lebar. "Maksudnya?"
"Lo pikir motor gue bakal kenapa?" tanya Devan kembali serius, ia memakai kacamatanya lagi. "Bakal hancur jadi gepeng karena ngebonceng lo?"
"Mungkin?" jawab Davia tidak yakin, ia mengigit bibir bawahnya. "Tukang ojek nggak pernah mau bawa gue. Katanya nanti motornya rusak, turun mesin."
Perkataan Davia membuat Devan mendecak. "Alasan doang. Berat lo berapa?"
"Emm, sembilan puluh delapan kilogram," jawab Davia, malu.
"Berat gue enam puluh lima, ditotal jadi 163 kilogram. Belum nyampe dua kuintal. Motor gue nggak bakal hancur cuma karena ngebonceng lo sekali," jelas Devan.
Davia mengangguk. "Tapi kan, berat beban maksimal motor itu 120 kilogram. Berarti kelebihan empat puluh tiga kilogram."
Devan tertawa kesal, ia menarik tas Davia lagi. "Udahlah nggak usah bawel. Motor gue kuat, nggak akan rusak karena lo naikin."
"Kak! Lo narik-narik mulu udah kayak apaan aja gue," jawab Davia kesal, tapi langkahnya mengikuti Devan sampai di depan sebuah motor berwarna biru keabuan.
Devan memberikan sebuah helm kepada Davia, lalu memakai helm miliknya sendiri. Ia menyalakan mesin dan menaiki motornya. "Pake, cepet naik."
Davia yang masih bingung hanya mengangguk. Ia mengenakan helm berwarna biru tua itu lalu duduk di jok belakang Devan. Setelah Davia naik dan sudah duduk dengan tenang, Devan segera mengarahkan motornya ke rumah Davia.
Untungnya, jalanan tampak sedikit sepi. Devan mengemudikan motor dengan kecepatan cukup tinggi dan membuat Davia sedikit ketakutan. Davia mengetuk bagian atas helm Devan.
"Kak, gue takut. Bisa pelan-pelan nggak?"
Devan memelankan laju motornya agar suara Davia terdengar. "Apa? Kencengan dikit."
"Gue takut! Gue baru pertama kali ini naik motor. Bisa nggak pelan-pelan aja?" teriak Davia karena kesal. Ia terus memegangi besi di bagian belakang jok motor.
"Pegangan aja, gue nggak mau kelamaan di jalan."
Setelah itu Devan menaikkan kecepatan motornya lagi. Ia tidak peduli ketika Davia berteriak kesal memintanya berhenti. Senyum aneh terukir di bibir Devan, ia tidak menyangka berurusan dengan cewek merepotkan ini bisa cukup menyenangkan juga.
◎ ◎ ◎
Sesampainya di rumah Davia, Devan langsung disambut hangat oleh mamanya Davia dan diantarkan ke ruang tengah oleh Bi Ani agar mereka bisa belajar lebih tenang. Mama Davia tampak begitu bahagia melihat Devan, entah kenapa.
Setelah Davia selesai mengganti seragamnya dengan kaos dan celana panjang, ia menghampiri Devan dengan tumpukan buku di tangannya.
"Jadi sekarang belajar apa?" tanya Davia cepat. Ia menaruh ponsel di tengah meja.
Devan mengeluarkan dua lembar kertas soal, lalu menyerahkannya pada Davia. "Itu soal buat lo. Satu yang hari ini dan satu lagi jatah latihan lo dua hari lalu."
"Kok disatuin?"
"Lo harus tanggung jawab dengan ngerjain semuanya," jawab Devan santai. "Kalo lo bingung, tanya gue aja. Sekarang gue mau belajar bab kelas 12 dulu. Soal latihannya baru dateng minggu depan."
Davia mengacungkan ibu jarinya tanda setuju. Ia langsung larut dalam soal-soal itu. Sebenarnya, Davia begitu menyukai angka. Ia merasa hanya angka yang bisa membawanya ke dunia lain yang sunyi, juga menyenangkan. Sampai tiba-tiba ....
"Dav, handphone lo bunyi terus. Kenapa sih?" omel Devan.
Davia mengambil ponselnya, lalu membuka pesan itu cepat. Senyum kecil muncul di bibirnya. "Oh, ini ada LINE."
"LINE? Grup kelas lo pake LINE? Itu kan aplikasi anak kecil. Kebanyakan stiker berisik," jawab Devan lagi.
Davia menggeleng. "Bukan, ini grup ... emm, apa namanya, ah ya itu."
"Grup apa?"
"Itu ... RP."
Devan memandang Davia tidak percaya, lalu kembali menunduk. "Roleplayer?"
Davia menganggukkan kepala sebagai jawaban. Ia kembali mengerjakan soal dengan tekun, meskipun tangan kirinya kini memegang ponsel miliknya.
"Sejak kapan main gituan?"
Tangan Davia yang sedang menulis terhenti. Ia memandang Devan dengan alis terangkat satu. "Maksudnya, Kak?"
"Sejak kapan lo main di dunia kayak gitu? Di pertemuan pertama kita lo masih nggak megangin handphone terus."
Davia mengangkat bahu. "Setelah kelas pertama itu."
"Jangan sampai ngeganggu belajar lo," pesan Devan lagi. Ia mengambil kertas kosong, lalu mulai mencoret-coret di sana.
Sepintas Davia merasa aneh dengan sifat Devan, tapi ia hanya mengangguk. Ia harus mulai mengerti, apa pun yang Devan katakan dan lakukan padanya, itu demi kebaikannya sendiri.
Satu jam berlalu dengan keheningan. Davia sudah berhasil menyelesaikan satu paket soal miliknya. Ia memberikan kertas jawaban pada Devan, lalu meregangkan tubuh.
"Seru banget rasanya main angka, ya?" kata Davia membuka pembicaraan.
Devan tidak menjawab dan hanya diam meneliti jawaban di kertas Davia.
"Gue suka banget sama angka, loh. Soalnya kakek gue suka ngajarin gue ngitung. Terus sebagai cucu yang paling deket sama beliau, gue ngerasa kehilangan pas kakek meninggal. Dan sejak itu gue selalu bisa ngerasain kehadiran kakek gue tiap gue lagi deket sama angka gini," jelas Davia lagi. Ia terus mengoceh pada Devan yang tampak tidak peduli dan sesekali menulis pada buku catatannya.
"Kalo lo, kenapa lo suka matematika?" tanya Davia. "Lo jenius banget kan sampe Bu Eka percaya sama lo buat ngajar gue di awal kelas tambahan kita."
Devan menarik kertas Davia, lalu mengambil pensil. "Gimana cara lo bisa dapet rumus ini? Gue ngerjain pake rumusan lama, dan jadinya panjang banget."
Davia memperhatikan rumus yang ditunjuk Devan. "Oh itu dari guru les gue. Gue bakal ajarin, tenang, tapi lo harus jawab dulu pertanyaan gue tadi."
"Pertanyaan apa?" tanya Devan balik.
"Kenapa lo suka matematika?"
◎ ◎ ◎
Hai. Hai. Hai.
Aku tau banget nih kalian udah bosen sama x dan y yang ngga pernah mau mandiri kekekekekeke, jadi aku kasih divider lain deh buat bab ini.
Aku bacaaaaaa semua komen kalian, tapi ya kadang nggak kebales huhu maafin aku ya?
Aku bakal berusaha lebih baik tiap minggu buat kalian, jadi ... makasih ya udah support aku?
Okee, kemarin aku udah nanya pertanyaan ini di ig, tapi aku bakal tanya lagi di sini. Sejauh ini, adegan apa yang paliiing kalian suka? Kasih alasannya juga, ya!
Terakhir, aku mau kasih tau kalo aku lagi hobi banget ngebucinin Yeonjun sambil teriak-teriak :( Sebagai bonus, aku bakal kasih kalian tatapan maut Yeonjun. Tapi, Yeonjun punya aku, okay?
Oh iya, yang nanya apa aku main rp atau engga, jawabannya iya aku main rp. Main rp di mana? Di line aja, aku lelah di apk lain hehe. Terus, akunku apa? Rahasia dong kekekeke. Sampai ketemu hari Kamis.
Muah,
Tamara
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro