◎ 5. Kebohongan Pertama ◎
"Hai, Daffydav. Selamat datang di roleplayer world. Kamu butuh apa? Ayo jadi temanku!"
Mata Davia berbinar menerima pesan itu. Belum lama ia bergabung, tapi seseorang sudah menawarinya pertemanan. Kenapa di dunia nyata tidak bisa seindah ini? Ia pun mengetik balasan dengan cepat.
"Aku noob, kamu mau temenan?"
Ting!
"Mau, dong! Eh, daf, kebetulan dormku butuh chara Sana. Mau join?"
Dahi Davia berkerut, ia menggigit bibir bawahnya, lalu mengetukkan jari di dagu. Sebagai pemula, ia tidak tahu pasti apa yang dimaksud dengan dorm, atau apa pun itu. Setelah menimbang sebentar, ia kembali berselancar di dunia maya untuk mencari tahu apa itu dorm.
"Oke! Ajarin aku, ya, kalau aku masih kaku."
Setelah mengetik balasan itu, ia kembali larut dalam perbincangan dengan teman baru miliknya. Jemari Davia terus menari di atas papan ketik, bibirnya tidak pernah berhenti melengkungkan senyum.
Dalam sekejap, dunia Davia yang gelap mulai menjadi terang. Bahkan, ia melesat dan menjadi seorang pemain yang sangat mahir. Ia pandai menirukan aegyo idol yang dipilihnya sebagai wajah ke dua. Ia juga benar-benar bersikap seperti idol itu.
Waktu berjalan dengan sangat cepat. Bahkan Davia tidak sadar jika sekarang langit sudah gelap, mama dan papanya yang memanggil pun seolah tidak terdengar. Hanya satu yang bisa menyadarkan Davia: batu baterai ponselnya yang habis.
Davia berlari menuruni tangga buru-buru, mengeluarkan seuntai kabel dan kembali berlari ke kamar.
"Davia!" panggil Mama sambil menuju ke arah tangga. "Dav, kamu ngapain lari-larian gitu? Mama panggilin juga nggak kamu jawab daritadi."
Tidak ada jawaban dari Davia, hanya suara cekikikannya yang terdengar cukup kencang. Merasa kesal, Mama berjalan menaiki tangga dan mengetuk keras pintu kamar Davia.
"Davia. Buka pintunya," perintah Mama.
Tidak ada jawaban.
"Davia!"
Masih tidak ada jawaban.
"Davia, buka pintunya sekarang atau Mama dobrak?"
Suara berisik terdengar dari balik pintu, lalu disambung dengan jawaban Davia. "I—iya, Ma. Bentar, Davia buka pintunya."
Setelah mendengar jawaban dari putri semata wayangnya itu, Mama merasa sedikit tenang. Dan tidak lama kemudian pintu pun terbuka, memperlihatkan wajah Davia yang cerah. Tidak seperti biasanya.
"Apa, Ma? Kenapa?" tanya Davia santai.
Mama memperhatikan wajah anaknya itu, lalu menggeleng. "Daritadi Mama sama Papa panggil kamu, kenapa nggak turun?"
Mata Davia terbuka lebar. "Ha? Davia nggak denger, Ma. Seriusan nggak denger."
"Kamu lagi dengerin lagu?" tanya Mama menyelidik, beliau pun mendorong tubuh anaknya dan masuk ke dalam kamar dengan cat dinding berwarna biru langit itu.
Davia menggeser tubuh, lalu berjalan ke arah kamar dan duduk di kursi belajarnya. Tidak jauh dari situ terdapat aliran listrik yang sedang mengisi baterai ponsel cewek itu.
"Enggak, Ma."
"Terus kenapa susah banget dipanggil? Nggak biasa-biasanya kamu nggak nyahut pas Mama panggil. Apa lagi ini jam makan malam," tanya Mama lagi penuh selidik. Matanya terus menjelajah isi kamar Davia.
"Nggak denger, Ma. Mungkin tadi Davia lagi terlalu seru."
"Seru ngapain?"
Jari Davia terkait satu sama lain mendengar pertanyaan mamanya yang menyelidik. Ia takut mengatakan yang sebenarnya. Dalam hati ia mengutuk kebodohannya yang tidak mendengar panggilan kedua orang tuanya.
"Seru ngapain?" tanya Mama lagi, kali ini sambil melipat tangan di dada dan memandang Davia tajam.
"B—belajar. Iya, Davia sibuk belajar!" jawab Davia sekenanya. Keringat mengaliri tubuh cewek itu yang terus membuat tanda dengan jari telunjuk dan tengahnya.
Pandangan Mama menyusuri meja belajar Davia yang tampak rapi, sangat rapi untuk seseorang yang mengatakan bahwa ia sedang sibuk belajar.
"Hm, ya udah, kamu turun. Mama sama Papa nungguin kamu buat makan malam bareng. Nggak pake lama ya, Dav," jawab Mama akhirnya.
Ekspresi Davia langsung cerah, ia tersenyum lebar dan pilinan jarinya terbuka. "Siap, Ma. Davia nunggu ponsel Davia keisi 30% baterainya."
Mama yang sudah akan melangkah ke luar kamar kembali memutar tubuh dan memandang tajam Davia. "Sejak kapan kamu peduli banget sama ponsel kamu?"
Lagi, Davia mengutuk dalam hati. Ia mengeluarkan jawaban yang menyesatkannya sekarang. "Mmmm, soalnya Ma, Davia lagi emm, itu ... ah, Kak Devan lagi ngirimin soal sama Davia!"
"Devan?"
"Iya, Kak Devan. Temen tim Davia yang bawel dan cerewet itu, Ma. Dia bilang Davia masih harus belajar supaya makin jago. Jadi, tiap malam dia ngirimin Davia soal dan harus dijawab dalam waktu secepetnya. Kalau Davia telat jawab, dia bakal kasih hukuman soal yang lebih susah dari sebelumnya," jelas Davia panjang lebar.
Mama memandang anaknya sekali lagi, lalu tersenyum. "Ya udah, kalau udah 30% kamu langsung turun ya? Mama sama Papa kan udah nunggu daritadi."
Davia tersenyum dan mengacungkan jempol. "Siap, Ibu Negara!"
Jawaban itu memancing tawa dari mamanya yang akhirnya keluar dari kamar. Davia menghela napas lega, tadi ia sangat ketakutan saat harus berbohong pada mamanya. Bagaimanapun juga, itu adalah kali pertamanya berbohong. Dan itu sangat ... menakutkan.
◎ ◎ ◎
Mata Davia mulai berkantung. Sudah dua hari ini ia selalu sibuk dengan ponsel yang melekat di tangan seperti ada lem yang mengeratkan keduanya. Ia semakin larut dalam kehidupan di dunia keduanya dan tidak peduli dengan sekitar.
Baiknya, ia mulai menutup telinga dan mata secara otomatis ketika mendengar seseorang menghina atau meledek badannya yang gempal. Bibirnya akan tersenyum, lalu menjawab, "Yang penting gue gendut bahagia, dan gue nggak ngenes kayak kalian yang selalu cari ribut sama kekurangan gue."
Namun, negatifnya adalah ... jam belajarnya semakin berkurang. Bahkan, ia menghindari Devan dan kelas tambahan mereka. Seperti yang akan ia lakukan saat ini. Matanya menelusuri lorong dan kakinya berjalan mengendap-endap waspada.
Ia akan segera pulang sekarang, dan harus menghindari Devan. Sebenarnya, bukan kelas Matematika itu yang menjadi alasan Davia bersikap begini. Hanya saja sikap Devan dan rasa bersalah Davia yang memaksanya untuk menghindar.
Tarikan napas lega Davia embuskan ketika melihat lorong sunyi. Devan artinya keributan, dan sunyi berarti tidak ada Devan. Ia tersenyum bahagia sambil mengeluarkan ponsel dari dalam kantung seragam dan mengetik pesan untuk seseorang di sana.
Sudah beberapa hari ini ia tergila-gila dengan ketampanan Kim Seokjin, salah satu member boy group yang sangat terkenal. Dan saat ini ia sedang mendekati salah satu teman dunia mayanya yang berwajah Jin Oppa.
Sebuah pesan masuk ke dalam ponsel Davia, dan membuat cengiran lebarnya terhenti. Ia membuka mulut dan matanya lebar, lalu menekan dadanya kuat. Tubuhnya gemetar, dan ponsel di tangannya terjatuh.
"Baby, i don't know how to explain this. But i feel so comfortable being around you. So, be mine?"
◎ ◎ ◎
D i c t i o n a r y
Dorm : Grup yang berisi pemain rp dengan chara satu grup yang sama (misal dorm Twice, dorm Red Velvet)
Chara : Face claim/muse, wajah idol yang dipakai sebagai 'wujud' dari pemain rp
Idol : Artis, boy group, girl group
Hai, selamat sore. Dengan tamara di sini, siapa di sana?
Bab ini gimana menurut kalian? Aku sengaja banget bikin sedikit kamus di bawah buat kalian yang kurang tau dan belum familiar sama istilah di dunia RP.
Kira-kira Davia bakal ketemu siapa aja ya di dunia sana? Dan apakah ini tandanya Davia bakal punya pacar RP buat pertama kalinya?
Seperti biasa, aku menunggu untuk ngobrol sama kalian! Ayo cerita! Dan oh, bab ini jauh lebih panjang dari bab bab selanjutnya, loh. Gimana, suka ngga?
Kekekeke, love,
Tamara
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro