Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

◎ 35. Berubah Perlahan ◎

Tangan Devan mengepal ketika melihat mata adik kelas sekaligus rekan satu timnya itu mulai terbuka. Ia berusaha menahan rasa kesal dan bersikap wajar.

"Di mana nih, Kak?"

"Rumah sakit," jawab Devan. "Lo pingsan, dan suhu badan lo tinggi. Kata dokter, lambung lo luka. Lo belum makan dari kapan?"

Davia menggigit bibir. "Terus sekarang udah nggak apa-apa, kan? Gue mau balik aja."

"Nyokap lo udah gue telepon dan lagi menuju ke rumah sakit," kata Devan lagi. "Sebenernya ngapain sih lo nggak makan? Lomba makin deket dan lo malah bikin ulah kayak gini. Jaga kesehatan kek."

"I—ih, maksud gue nggak gitu," sanggah Davia. "Gue cuma males makan aja. Semalem juga kan lo bilang supaya gue—"

"Lo diet?" tembak Devan langsung. "Nggak gitu caranya. Diet itu bukan nggak makan. Lo ini pinter-pinter rada lola, ya."

"Maksudnya?"

Belum sempat Devan menjawab, terdengar suara pintu yang dibuka. Dari balik pintu, masuklah mama Davia yang langsung menghampiri anaknya dengan khawatir.

"Makasih ya, Nak Devan, udah anter Davia ke sini," kata mama Davia pelan. Pandangannya beralih ke anaknya yang masih terbaring lemah. "Kamu kenapa sih, Dav?"

"Nggak apa-apa—"

"Lambungnya luka, Tante. Kata dokter, mungkin Davia nggak makan teratur atau nyoba diet, jadinya kayak gini," potong Devan cepat.

Mata Davia membulat kesal mendengar pernyataan kakak kelasnya itu yang sekarang malah tampak tidak peduli. "Nggak gitu, Ma, Davia cuma lagi males makan," jawabnya pelan.

Mama memperhatikan wajah anaknya, lalu menggeleng. "Kalo kamu mau diet, kita ke dokter gizi. Dari dulu Mama nunggu kamu yang minta, tapi kayaknya kamu nyaman-nyaman aja dengan kondisi kamu. Cuma, karena sekarang kamu keliatannya tertarik diet, ayo kita konsul."

"Eh," Davia akan menyanggah, tapi mulutnya langsung tertutup lagi. "Iya, Ma. Sekarang Davia mau pulang aja."

"Ya udah, Mama coba ngomong sama dokternya dulu," kata Mama sambil berjalan ke luar ruangan.

Suasana kembali hening sesaat, kemudian Davia membuka mulutnya. "Lo ngapain sih, Kak, pake ngadu-ngadu segala sama Mama?"

"Nyokap lo nanya, ya gue jawab."

"Ya kan nggak usah bilang soal gue nyoba diet," jawab cewek itu ketus. "Gue nggak diet, kok."

"Lo itu nggak pinter bohong," sahut kakak kelasnya. "Banyak yang harus lo perhitungkan kalo mau diet. Berapa asupan karbohidrat sehari yang lo butuhin, gimana proteinnya, apa yang harus diubah."

Davia mengunci mulut rapat-rapat.

"Banyak banget hal yang nggak bisa asal lo lakuin. Jangan diet kalo nggak tau gimana caranya, bukan kurus malah sakit kayak gini jadinya. Gue udah bilang juga, kan, yang penting itu kualitas tubuh lo, kurus cuma bonus?"

Cewek itu masih diam. Semburat merah muncul di pipinya. Yang dikatakan Devan tadi memang benar, ia juga tidak paham kenapa sejak pagi tadi ia enggan makan dan memutuskan untuk diet yang tidak sehat padahal kondisi tubuhnya sedang lelah.

"Gue balik dulu, hari ini bokap keluar dari rumah sakit," kata Devan. "Jangan ngelakuin hal konyol lagi. Gue khawatir."

Kemudian cowok itu berjalan ke luar ruangan dan menghilang. Pipi Davia kembali memerah, ia tidak yakin dengan yang didengarnya barusan. Devan khawatir? Apakah mungkin?

Segera ia menampar pipinya keras agar kembali sadar. Ia tidak boleh berharap. Biasanya, apa yang diharapkan tidak akan menjadi kenyataan. Lagipula, kakak kelasnya itu pasti hanya khawatir karena olimpiade semakin dekat, bukan karena hal lain, bukan?

◎ ◎ ◎

Waktu berjalan begitu cepat, persiapan olimpiade semakin dekat. Davia dan Devan semakin sering bertemu, tapi hanya untuk membahas soal Matematika yang terus merepotkan mereka. Bahkan di akhir pekan, keduanya tetap bertemu dan menyelesaikan paket latihan soal.

"Abis ini mau langsung pulang apa gimana, Dav?"

Davia yang sedang merapikan tas menengok ke arah kakak kelasnya itu. "Nggak ada, langsung pulang. Kenapa?"

Cowok itu hanya mengangguk, ia merapikan barangnya dan berjalan mendahului Davia. Tidak lama kemudian, cewek berbadan gempal itu menyusul.

"Lo ada acara apa abis ini? Malam Minggu, nih," tanya Davia.

Devan mengangkat bahu. "Memang kenapa kalo malam Minggu? Apa bedanya sama malam lain?"

"Bedanya, besok libur. Kalo malam lain kan besoknya masih masuk," jawab cewek itu asal. "Ya udah, gue balik duluan, ya. Gue mau beli es krim dulu di toko depan soalnya—"

Belum selesai Davia bicara, ia merasa tangannya ditahan oleh rekan satu timnya itu. "Eh, kenapa?"

"Temenin gue mau nggak?"

"Ke mana?"

Cowok dingin itu melepas tangan Davia, lalu mengusap tengkuknya tidak nyaman. "Nggak usahlah, nggak jadi."

"Serius? Kenapa? Mau ditemenin ke mana?" tanya Davia penasaran. Tidak biasanya, kakak kelasnya ini meminta sesuatu. Jika akhirnya ia meminta Davia menemaninya, pasti itu adalah hal yang sangat penting.

"Ketemu nyokap."

Mata Davia membulat, hatinya berbunga-bunga sekarang. Ia sangat senang karena tahu Devan akan bertemu dengan mamanya. "Ayo gue temenin, Kak. Gue udah lama banget nih nunggu cerita soal lo sama nyokap."

Sekarang giliran Devan yang dibuat bingung dengan tingkah adik kelasnya yang mendadak sangat bersemangat. Bahkan cewek itu menarik tangan Devan menuju parkiran.

"Pelan-pelan aja," jawab Devan cepat. "Ngebet banget lo ketemu nyokap gue?"

"Iyalah. Gue udah lama nungguin kalian baikan. Kemarin mau nanya, tapi kita sibuk banget sama latihan dan bimbingan. Mumpung sekarang lo ngajak, makanya gue excited!"

Devan membuang wajahnya ke samping, lalu tersenyum singkat. "Ya udah cepetan, gue janjian jam enam, dan sekarang udah jam lima lewat dua puluh. Jarak ke sana itu kira-kira sepuluh kilo—"

"Nggak usah banyak ngomong, ayo berangkat!" potong Davia sambil berlari dan menarik tangan kakak kelasnya agar ikut berlari. "Motor lo masih diparkir di bawah pohon yang tengah parkiran, kan?"

Devan mengangguk, ternyata Davia masih mengingat hal itu. Matanya terus memperhatikan Davia yang terlihat agak berbeda belakangan ini. Cewek itu tampak lebih ... atraktif?

"Kak Devan, lo jalan kayak siput banget? Perlu gue hitung nggak, harusnya berapa menit lo nyampe sini?" kata Davia dengan nada menyindir.

Tawa Devan pecah. Ia berjalan cepat, lalu memberikan helm pada Davia dan memundurkan motornya. Tidak sampai lima menit, keduanya sudah berkendara di jalan raya menuju rumah mama Devan.

"Dav, kemarin gue liat lo ke kantin nggak sendirian lagi," kata cowok itu memulai pembicaraan. "Udah punya temen?"

"Oh," Davia tertawa. "Iya, sama Emy dan Dijah. Bener banget sih yang lo bilang, Kak. Gue kemarin cuma nggak nyaman sama diri gue sendiri, makanya ngerasa nggak ada yang mau temenan sama gue. Padahal nggak gitu juga. Mereka berdua baik banget."

Senyum Devan muncul sekilas, lalu hilang lagi. "Terus jadi diet?"

Refleks, Davia memukul pundak cowok itu. "Ngapain nanyain gituan, deh? Itu hal sensitif buat cewek tau!"

"Sebelumnya juga gue bahas lo nggak apa-apa, kan?" tanya Devan bingung. "Gue cuma mau mastiin aja, lo beneran ngikutin saran gue. Perjanjian kita waktu itu kan isinya gue bakal bikin lo ngerasain punya temen dan nyaman di sekolah."

Senyum Davia hilang mendengar jawaban kakak kelasnya. Entah kenapa, ia tidak suka saat tahu cowok itu bertanya hanya untuk memastikan keberhasilannya dalam perjanjian itu. Mood Davia berubah, tapi ia berusaha menutupi hal itu.

"Jadi gimana?"

"Iya, jadi diet. Waktu itu Mama langsung ngajak ke dokter gizi dan konsul. Terus ... ya udah. Gue juga sekarang ikut yoga."

"Bagus kalo gitu. Besok mau gue temenin lari pagi, nggak?" kata Devan menawari.

Perubahan mood kembali dialami Davia, ia mengangguk cepat. "Ketemu di taman jam berapa?"

"Jam enam aja gue jemput di rumah lo, ya?"

Cewek itu mengacungkan jempolnya ke arah spion agar Devan melihat. Ia merasa senang sekarang, banyak hal dalam hidupnya yang berubah menjadi lebih baik. Dan itu karena pertemanannya dengan kakak kelasnya ini.

"Rendi pindah sekolah?" tanya Devan lagi.

Davia menggeleng. "Bukan pindah, tapi dikeluarin. Ketauan lagi ngerokok di kantin belakang. Ya lo tau sendiri kan, Kak, aturan sekolah kita ketatnya kayak apa. Kasian sih, sebenernya."

"Kenapa kasian?" Devan mengeraskan suaranya, jalanan semakin bising, dan ia takut pertanyaannya tidak terdengar oleh cewek yang sedang diboncengnya.

"Dia anak broken home, katanya. Makanya sikap dia kayak gitu. Cuma ... gimana, ya? Menurut gue, broken home itu nggak bisa dijadiin pembenaran buat seseorang ngelakuin hal yang salah," kata Davia cepat. "Bukan gue nggak simpati, tapi gue prefer mereka ngebalas kekecewaannya dengan ngelakuin hal baik, kerja keras buktiin sama orang tua mereka, kalo mereka kuat."

Devan tidak menjawab, sebagai anak dari keluarga yang tidak lengkap, ia sedikit memahami sikap Rendi. Namun, apa yang dikatakan adik kelasnya itu ada benarnya juga. Benar, tapi sulit dilakukan.

"Gue setuju sama lo," Devan menggantung kalimatnya, "tapi saran gue, lo nggak usah terlalu frontal ngomong kayak gitu depan orang lain. Kita nggak bener-bener tau apa yang dirasain sama orang lain, termasuk mereka yang broken home. We never know how it feels to be someone except we walk in their shoes."

Perkataan cowok itu membuat Davia menutup mulutnya rapat. Ia tanpa sadar mungkin telah menyinggung kakak kelasnya. "Maaf, Kak. Nggak maksud nyindir. Cuma ... gue memang nggak suka ngeliat orang yang jadiin broken home sebagai alasan dia berbuat nggak baik. Karena gue liat dengan mata gue sendiri, ada di antara mereka yang malah tumbuh dengan sangat kuat. Contohnya, ya elo, Kak."

Ada sengatan listrik di perut Devan mendengar kata-kata Davia. Hampir saja cowok itu menabrak sesuatu karena kehilangan fokus. Ia menarik napas lega. "Itu juga karena ada orang lain yang akhirnya gue percaya. Dan orang itu elo."

◎ ◎ ◎

Rumah mama Devan sangat besar. Ukuran ruang tamunya saja mencapai dua kali ukuran kamar Davia. Cewek itu duduk berhadapan dengan mama Devan dan menyesap cangkir teh yang baru saja disajikan.

"Jadi saya ke sini mau ngobrol sama Mama," kata Devan cepat. "Mungkin saya harus belajar mendengarkan alasan seseorang lebih dulu sebelum menilai mereka buruk."

Mama Devan tersenyum, sangat lebar. Matanya tampak berkaca-kaca. "Akhirnya kamu mau denger penjelasan Mama, Dev?"

Cowok itu mengangguk. Davia menoleh ke arah Devan, lalu menggenggam tangan cowok itu sesaat, meyakinkannya bahwa yang ia lakukan saat ini benar.

"Waktu itu Mama bener-bener nggak tau apa yang harus Mama lakuin. Papa kamu bangkrut, sementara keluarga Mama masih butuh biaya untuk menutupi utang kami. Mama dipaksa meninggalkan papa kamu saat itu untuk menikah dengan orang lain, dan bodohnya ... Mama mengiyakan," kata Tante Anna memulai penjelasan.

"Bukan hal mudah buat Mama ninggalin kamu yang masih kecil sama papa kamu, tapi Mama nggak punya pilihan lain. Kakek kamu bakal dipenjara kalo Mama nggak sanggup bayar utang dan bunganya. Sampai akhirnya Mama nikah sama Om Renard, dan keuangan keluarga Mama membaik."

Tante Anna mengambil selembar tisu, lalu mengusap matanya yang basah. "Namun, itu nggak berlangsung lama. Om Renard tau kalo Mama cuma manfaatin uangnya aja, dan sekarang ini yang harus Mama jalani. Mama tau ini kedengerannya drama banget, kayak nggak mungkin, tapi hidup selalu penuh dengan kemungkinan terburuk, kan?"

"Apa yang dia lakuin ke Mama?" tanya Devan, datar. Tangannya terkepal dan rahang cowok itu mengeras. "Mukulin Mama? Bikin Mama memar?"

Tante Anna tersenyum. "Apa pun itu, nggak penting lagi, Dev. Selama Mama masih bisa liat kamu dan papa kamu. Bisa terus ngawasin kalian dari jauh, dan sekarang komunikasi langsung sama kamu. Semua hal buruk yang pernah terjadi sama Mama, sekarang nggak berarti apa-apa lagi, setelah kamu mau denger penjelasan Mama."

Air mata Davia turun, ia tidak menyangka begitu banyak kehidupan buruk di luar sana. Ia merasa bodoh karena pernah begitu terpuruk hanya karena kekurangan fisik yang dimilikinya—dan masih bisa diubah olehnya.

Devan berdiri, kemudian menghampiri Tante Anna dan berlutut di hadapannya. "Maafin saya, Ma."

◎ ◎ ◎

Hayo, ada yang tau nggak itu lambang apa? Menurut kalian, apa filosofi di balik lambang itu?

Selamat datang di The Memories of Algebra lembar ke tiga puluh enam sekaligus empat bab terakhir menjelang tamat.

Terima kasih udah bertahan sejauh ini, ayo istirahat sebentar buat berpikir. Apa aja yang kalian dapat selama baca The Memories of Algebra dan nemenin Double D?

Oh iya, aku dan keluarga besar The Memories of Algebra mau minta maaf yang sebesar-besarnya dan mengucapkan selamat menjalani ibadah puasa bagi yang menjalankan! Semangat, semangat, semangat!

Eh ada fakta lain, di sini ada nama 2 orang member Base of TMoA yang menang event satu bulanan kita waktu itu hihi. Bab ini juga jadi bab terpanjang selama aku nulis TMoA. Kerasa, nggak?😂😂

Terakhir, aku mau ngingetin kalo ada kelas bersama kak Shireishou di WA dan LINE. Iya, WA juga ada. Jadi, udah ikutan? Ayo cek akun kak shi dan buka 2 bab terakhir di WATTPAD TIPS buat tau persyaratannya! #ShireishouxTMoA.

Kalo gitu udah dulu, ya? Sampai ketemu hari Kamis! Eh, kalian ada ide nggak, mau buka puasa pake apa? Aku bingung huhu

♡Tamara

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro