Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

◎ 34. Memulai Kembali ◎

Devan memandang Davia ragu saat mereka telah sampai di sebuah rumah yang cukup besar. Rumah itu tidak memiliki pagar, hanya lahan yang cukup luas dan dijadikan garasi juga jalan setapak.

"Nggak apa-apa kita dateng semalam ini?" tanya Devan ragu.

Davia mengangguk. "Nggak apa-apa, pasti Tante Anna juga ngerti karena kondisinya emang darurat. Lo telepon aja sekarang."

Cowok berkacamata itu mengambil ponsel dan menekan nomor mamanya. Tidak lama kemudian, panggilan telah tersambung.

"Ma, saya di depan rumah," kata Devan langsung. "Papa kritis, dan Papa butuh Mama. Mama bisa nggak ke rumah sakit?"

Terdapat sedikit jeda, lalu Devan mengangguk dan mematikan sambungan. Pandangannya beralih ke cewek di sebelahnya yang memandang penuh harap. "Nyokap bilang bakal keluar sekarang."

Baru saja kalimat Devan selesai, dari pintu terlihat Tante Anna keluar dan mengendap-endap. Davia sedikit terkejut ketika melihat wajah Tante Anna dari kejauhan. Devan menghampiri mamanya.

"Mama udah pesan taksi daring, tapi di pos satpam depan. Kalian naik apa?" tanya Tante Anna yang tampak tidak terkejut dengan kehadiran Davia, ia malah tersenyum seolah mengatakan bahwa ia sudah tahu Davia akan ada di sini.

"Pipi Mama kenapa?" tanya Devan pelan.

Tante Anna menutupi pipinya yang memar dengan rambut. "Kebentur. Jadi sekarang kalian naik apa?"

"Motor," jawab Devan singkat. "Mama berangkat duluan aja, saya sama Davia nyusul di belakang."

Tante Anna mengangguk. Mereka bertiga berjalan menuju pos satpam tanpa suara apa pun, hanya terdengar langkah kaki. Sampai di pos satpam, taksi yang dipesan sudah ada. Tante Anna segera naik lalu menuju rumah sakit meninggalkan Devan dan Davia yang menyusul dengan motor.

"Dav," panggil Devan saat motor mulai berjalan.

Davia mendekatkan tubuhnya ke arah Devan. "Iya, Kak?"

"Kenapa nyokap gue memar gitu pipinya, ya?"

Pertanyaan itu membuat cewek yang duduk di boncengannya terdiam. Ia sama sekali tidak tahu akan menjawab apa, bagaimana jika jawabannya ternyata memancing emosi cowok ini?

"Nggak tau, Kak. Tadi Tante Anna bilang kan kebentur," jawabnya pelan.

Devan menggeleng. "Bohong pasti, gue yakin. Apa mungkin karena suaminya?"

Davia menepuk bahu kakak kelasnya itu pelan, berusaha menenangkan. "Nggaklah, Kak. Masa masih aja ada suami yang tega kayak gitu?"

"Bukan nggak mungkin, Dav."

"Iya sih," jawabnya pelan, "tapi kita harus mikir positif. Gue yakin bukan karena suaminya nyokap lo. Ya udah mending lo ngebut sekarang, Kak. Nanti Tante Anna keburu nyampe terus kita ketinggalan."

Devan tidak menjawab, ia mempercepat laju motornya. Sangat cepat, hingga Davia harus berpegangan pada pinggang cowok itu dengan erat. Ia merasakan amarah dari Devan, atau mungkin rasa khawatir dan frustrasi? Dan ia membenci itu semua. Ia ingin rekan satu timnya ini baik-baik saja, tanpa terluka sedikit pun.

◎ ◎ ◎

Benar yang Davia katakan, Tante Anna sudah sampai di ruang ICU ketika mereka sampai di sana. Devan melangkah ke kursi dan duduk.

"Semoga kondisi Om Akbar membaik, Kak," kata Davia pelan. Ia duduk di sebelah Devan, kemudian mengeluarkan ponselnya.

"Jam berapa sekarang?"

"Jam sembilan lewat lima belas," jawab Davia. "Kenapa, Kak? Capek, ya? Maaf gue bikin lo capek hari ini. Pake minta dianterin ke mana-mana, harusnya tadi gue-"

Jari telunjuk Devan menghentikan kalimat cewek yang duduk di sebelahnya itu. "Kan gue emang janji sama lo, nggak usah minta maaf. Bentar, ya, gue istirahat bentar baru anter lo pulang."

"E-eh," pipi Davia memerah, ia sangat malu sekaligus gelisah. "Nggak usah, Kak. Gue balik sendiri aja, bisa naik taksi juga."

"Gue udah janji sama nyokap lo mau nganterin lo balik. Jadi harus gue tepatin," kata Devan, ia bersandar di kursi dan memejamkan mata. "Bentar aja, lima belas menit."

Tanpa suara, Davia mengangguk. Ia memperhatikan wajah cowok yang sedang tertidur ini. Kakak kelasnya itu tampak sangat kelelahan, kerutan di keningnya terlihat jelas sesekali. Davia tersenyum miring melihat fakta ternyata kakak kelasnya ini bahkan masih berpikir ketika tidur.

Mata Davia terasa berat, ia sangat mengantuk. Pelan, ia bersandar pada bahu Devan dan memejamkan mata. Lima belas menit saja.

Belum lama Davia memejamkan matanya, tiba-tiba saja Tante Anna keluar dari ruang ICU. Devan yang mendengar suara hak sepatu segera membuka mata dan merasa sedikit berat di bahunya.

"Jangan berisik, Dev," bisik Tante Anna sambil menaruh telunjuk di bibirnya. "Papa kamu kondisinya udah stabil, Mama pulang dulu, ya?"

"Sekarang jam berapa, Ma?"

"Jam sebelas malam. Makanya Mama harus pulang dulu. Kamu ditinggal di sini nggak masalah, kan?" tanyanya lagi.

Devan mengangguk. Ia bergeser sedikit, membuat Davia ikut bergerak, seperti terganggu. Tawa kecil terukir di bibirnya, Davia yang tidur tampak sangat menggemaskan. Pasti cewek di bahunya ini sangat lelah hari ini, mereka melakukan sangat banyak kegiatan dan begitu banyak emosi yang keluar.

"Ehm," Tante Anna berdeham, membuat anaknya membuang wajah ke arah berlawanan dan menutupi wajahnya yang tersipu. "Mama pulang dulu, jangan lupa kabarin mamanya Davia, ya. Sampai ketemu besok, Devan."

Tangan Devan terangkat tepat ketika Tante Anna memutar tubuh dan berjalan menjauh. Ia mengepal, lalu menjatuhkan tangannya lagi. Ia menggeleng, belum saatnya, belum.

"Kak?"

Suara Davia yang serak membuat Devan menoleh. "Udah tidurnya, Tuan Putri?"

Davia merenggangkan tubuh, lalu mengucek mata beberapa kali. "Gue ketiduran, sekarang jam berapa?"

"Jam sebelas. Gue anter pulang sekarang, ya?"

Anggukan kepala Davia menjadi jawaban. "Sorry gue tadi ketiduran. Abisnya muka tidur lo bikin ikut ngantuk sih, Kak."

"Lo merhatiin gue pas tidur?"

Ups. Tangan Davia segera menutup mulutnya. "Eh, nggak. Nggak gitu, tadi nggak sengaja doang. Muka lo kayak anak kecil. Mata lo yang suka melotot gitu tiba-tiba keliatan sayu dan kalem banget dan-"

"Ganteng?" potong Devan.

"BIG NO!" sentak Davia, ia berdiri dan berjalan menjauh dari Devan. Sementara cowok itu hanya tertawa kecil, ia merasa sangat tenang sekarang meskipun ayahnya sedang dalam kondisi tidak stabil. Davia membuat keadaan menjadi lebih baik, paling tidak, ketika mereka sedang bersama.

"Katanya mau nganterin pulang," kata Davia. "Jadi nggak?"

Devan berdiri. "Iya, jadi. Ayo pulang cepetan, gue harus minta maaf sama nyokap lo."

"Minta maaf kenapa?" tanya Davia bingung.

"Karena udah telat nganterin anak kesayangannya pulang," jawabnya singkat. "Ayo cepet, gue mau balik ke sini lagi."

"Harusnya, lo juga minta maaf sama nyokap lo, Kak. Nyokap lo lebih butuh maaf dari lo dibanding nyokap gue," kata Davia tiba-tiba. "Lo nggak pernah mau denger penjelasannya, tapi Tante Anna tetep dateng pas lo cari. Bukannya itu udah cukup?"

Suara Devan tidak terdengar, membuat cewek itu menghela napas panjang. "Pikirin dulu aja, Kak. Gue nggak maksa, kok."

◎ ◎ ◎

Davia menyeret langkah untuk memasuki kelas. Tadi malam ia sampai di rumah jam dua belas malam, seperti Cinderella saja. Untung mamanya tidak menegur karena sempat dikabari. Namun, ia merasa sangat kelelahan sekarang. Begitu sampai di kursi, ia langsung duduk dan menidurkan kepala di meja.

Kalau saja hari ini bukan hari pertama bimbingan dengan Bu Eka, ia tidak akan masuk. Bel tanda pelajaran pertama pun terdengar. Davia memaksa dirinya untuk fokus dan menerima pelajaran hari itu. Beberapa kali ia merasa pusing atau kedinginan, tapi ia menahannya hingga bel pulang berbunyi.

Ia merapatkan jaket abu-abunya, lalu berjalan menuju perpustakaan. Bimbingan pertama mereka dilakukan di sana, sesuai permintaan Bu Eka.

Begitu sampai di sana, ia melihat kakak kelasnya sudah duduk manis sambil mengerjakan beberapa soal. Kacamata kayu itu tidak pernah lepas membingkai matanya. Davia membawa beberapa tumpuk buku dan berjalan ke arah Devan.

Baru beberapa langkah, tiba-tiba saja Davia merasa tubuhnya oleng. Ketika ia nyaris jatuh, sebuah tangan menahan lengannya, dan membantunya berdiri.

"Kenapa? Sakit?"

Davia menggeleng. "Nggak, Kak. Kecapean mungkin."

"Muka lo pucet, gue aja yang bawain buku lo."

Devan mengambil beberapa buku Davia dan berjalan menuju kursi lebih dulu sebelum akhirnya cewek itu menyusul duduk dan menaruh kepalanya di meja lagi.

"Demam? Masih kuat, nggak? Udah makan?" tanya Devan, nadanya datar, tapi sorot matanya tampak begitu khawatir.

"Nggak, masih kuat, belum," jawab Davia cepat.

Suara langkah kaki terdengar, Bu Eka masuk dan langsung memberikan lim lembar soal pada keduanya. "Ibu minta kalian mengerjakan ini dan kumpulkan sebelum pulang di meja saya. Saya mau melihat seberapa jauh kalian berkembang selama ini. Olimpiade tinggal satu bulan kurang lagi, kalian harus bekerja lebih keras, paham?"

Devan mengangguk, begitu pula dengan Davia. "Yang nggak bisa gimana, Bu?" tanya cewek itu. "Apa ini penilaian individu?"

Bu Eka mengangguk. "Iya, individu. Kerjakan yang menurut kalian paling mudah, jangan diskusi. Saya tunggu di meja saya jam lima sore."

Kedua murid itu mengangguk paham dan mulai mengerjakan. Tangan Davia bergetar sesekali, membuat Devan terus melirik ke arah cewek itu memastikan ia baik-baik saja.

"Saya tinggal dulu, selamat sore," kata Bu Eka pamit.

Davia tersenyum, lalu mengangguk. Setelah Bu Eka menghilang dari hadapan keduanya, Devan segera menempelkan tangannya ke dahi Davia.

"Lo nggak demam, sebenernya lo kenapa?" tanyanya.

Davia menggeleng, ia menepis tangan kakak kelasnya itu dan terus mengerjakan soal. Awalnya Devan kesal, tapi ia memilih mengerjakan soalnya lebih dulu sebelum memastikan keadaan Davia lagi.

Dua jam berlalu dengan keheningan, hanya terdengar suara guratan pensil di atas kertas, dan sesekali ketukan-ketukan di meja. Devan merapikan kertas jawabannya yang sudah selesai dan memandang cewek yang duduk di sebelahnya ini dengan pandangan kesal bercampur khawatir.

"S-selesai," kata Davia mengangkat kertas jawabannya dan memberikan itu ke rekan satu timnya lalu merapikan buku-bukunya dengan sedikit gemetar. Bibir cewek itu sangat pucat. "Gue mau pulang-"

"Davia!"

◎ ◎ ◎


YEHEY HARI SABTU!
Selamat malam minggu semuanyaaaa. Ayo ayo cerita rencana kalian apa hari ini?

The Memories of Algebra kembali menemani kalian yuhu~ ini serangan terakhir Double D buat minggu ini. Apa jantung kalian masih aman?

Buat yang kangen sama rumus dan matematika, aku masukin sedikit matematikanya di sini hehehehe. Nanti lagi, yaa. Kita main sama matematikanya.

Oh iya, aku punya pengumuman yang penting banget banget buat kalian. Aku yakin 100% kalian nggak akan mau ketinggalan info ini.

Di buka KELAS UMUM: OPTIMISASI WATTPAD bersama Shireishou

GRATIS!

Apa sih optimisasi itu?

Menurut KBBI, optimisasi adalah proses, cara, tindakan untuk membuat sistem atau rancangan seefektif mungkin.

Jadi maksudnya apa ya?

Maksudnya, setelah ikut kelas ini, kalian bakal lebih ketje dalam berselancar di dunia orange ini.

Sebagai reader, kalian bisa menemukan cerita yang sesuai dengan selera kalian.

Sebagai penulis, kalian bisa menemukan para pembaca yang sesuai dengan cerita kalian.

Seru kan?

Dan semua itu FREE! Alias ga perlu bayar pakai duit.

Tertarik? Langsung ke akun Shireishou di bab terakhir Wattpad Tips - No Rant, yaaa.

Nah, gimana? Pada tertarik join? Langsung ke wattpad-nya kak shi dan kepoin di sana, ya. Kesempatan langka loh, ini!
#ShireishouXTMoA

Terakhir, aku mau bilang ... AKU MEWEK OI BACAIN JAWABAN KALIAN DI BAGIAN PESAN UNTUK DOUBLE D(╥﹏╥)(╥﹏╥)

Sayang banget unch sama kalian, semoga Double D bisa kalian peluk secara nyata dalam waktu dekat ini, ya.

Okedeh, sampai ketemu hari Selasa! Dan oh, aku minta maaf selama ini ada salah ya sama kalian, kan mau puasa nih hehe. Enaknya, aku update jam berapa kalau puasa?

Love,
Tamara

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro