Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

◎ 30. Menyadari Sesuatu ◎

"Lo bisa nggak jaga mulut dan kelakuan lo, Mel? Atau lo mau posisi ketua Jurnalistik pindah dari tangan lo?"

Davia mundur begitu mendengar suara tenang dan dalam dari seseorang yang melepaskan pegangan tangan Melisa darinya.

"Loh, D—Devan? Ngapain lo di sini?" tanya Melisa sambil mengusap tengkuk belakanganya, panik.

Devan menatap Melisa tajam. "Gue nggak suka ngeliat lo ngelakuin hal kasar ke adek kelas. Dan gue rasa pembimbing jurnalistik juga nggak akan suka kalo dia tau kelakuan lo kayak gini."

Muka Melisa memerah, ia akan membuka mulut membalas perkataan Devan. Namun, kilat tajam dari mata Devan seolah memberitahunya untuk menutup mulut. Ia melempar pandangannya ke arah Devan, lalu membuang wajah ke samping. Ia meninggalkan Davia dan Devan dengan langkah besar.

Davia memutar bola matanya, lalu meninggalkan Devan yang baru saja menoleh ke arahnya. Ia tidak peduli dengan Devan, ia tidak ingin bertemu dengannya untuk saat ini.

"Dav."

Langkahnya tidak berhenti, ia terus berjalan menjauh dari Devan. Dari ekor matanya, ia melihat Devan mengikutinya dari belakang. Seketika punggungnya memanas, ia yakin mereka berdua sedang menjadi pusat perhatian.

"Dav, gue mau ngomong," kata Devan memegang tangan Davia pelan, mencoba menghentikan langkahnya.

Davia berhenti, menghempas tangan Devan. "Apa?"

"Nggak di sini," jawab Devan. "Lo mau kita jadi tontonan orang?"

Pandangan Davia berkeliling, benar yang dikatakan mantan rekan timnya ini. Beberapa murid kelas sebelas tampak mencuri pandang ke arah mereka. Davia menghela napas, sebenarnya ia ingin mengikuti egonya saat ini. Namun, ia tahu ego tidak akan menyelesaikan masalah.

"Ya udah di mana?"

Tiba-tiba bel pulang sekolah berbunyi. Davia tersenyum di balik maskernya. "Udah masuk."

"Nanti aja pulang sekolah, di parkiran, gue tunggu," kata Devan cepat, lalu ia berbalik dan berjalan menuju kelasnya. Davia memperhatikan Devan yang menjauh, kalimat cowok itu kemarin kembali terngiang di telinganya.

Tubuhnya bergetar, ia ingin pergi sejauh-jauhnya dari semua orang karena mereka hanya ingin menyakitinya. Tanpa terasa, air mata turun di pipi Davia.

◎ ◎ ◎

Kalau saja Davia mempunyai kekuatan super untuk menghilang secepatnya, ia sudah menggunakan kekuatan itu sejak bel pulang sekolah berbunyi. Nyatanya, ia hanya manusia biasa, dan menghilang secepat kilat adalah khayalan baginya.

Devan sudah mengiriminya pesan sejak lima menit lalu mengatakan ia akan menunggu di parkiran. Davia menghela napas, ketika ia mulai mencintai dirinya sendiri, selalu saja ada hal yang membuatnya sakit dan kecewa. Bahkan orang yang mengatakan banyak hal baik untuknya pun, menyakiti hatinya dengan kata-kata lagi.

Dengan malas Davia menyeret langkah menuju pintu kelas. Ia akan langsung pulang tanpa menemui Devan. Tadi pagi ia sempat berpikir untuk menemui Devan, tapi sepertinya ia belum siap.

Ketika tinggal beberapa langkah lagi menuju pintu kelas, kaki Davia berhenti. Ia memandang kosong sosok di depannya yang berdiri menyandar pada pintu.

"Feeling gue bilang lo bakal pergi, makanya gue nunggu lo di sini," kata Devan pelan.

Davia terdiam, tidak menjawab.

"Lo lupa kita ada kelas hari ini? Sebelum minggu depan bareng sama Bu Eka."

Davia memandang Devan. "Lo lupa kalo gue bilang sama lo buat cari pengganti? Gue mundur."

"Nggak ada mundur buat lo, nggak sekarang."

"Kenapa?" balas Davia tenang. "Kenapa gue nggak boleh mundur? Lo bisa cari orang lain yang lebih pinter dari gue. Cari yang nggak nyusahin dan terlalu suka ikut campur kayak gue."

"Kalo aja gue bisa nemuin orang itu, gue nggak bakal nungguin lo di sini," kata Devan pelan. "Satu-satunya orang yang bisa jadi temen setim gue itu elo."

Senyum sinis Davia muncul. "Seinget gue, lo pernah bilang kalo banyak yang ngincer posisi gue di tim olimpiade ini. Berarti gampang, kan, nyari pengganti gue?"

"Gampang emang, nyari yang nggak main di dunia maya juga gampang," jawab Devan dengan nada menyindir halus, "yang nggak gampang adalah nyari orang sepinter lo."

Entah kenapa Davia merasa hatinya sakit mendengar jawaban Devan, bahkan ketika cowok itu tahu Davia akan meninggalkan tim pun, ia tidak berusaha menghibur atau bersikap baik pada Davia. Ia masih berkeras menunjukkan bahwa ia hanya membutuhkan otak Davia.

"Gue mundur, dan itu keputusan mutlak," kata Davia lagi, ia berjalan melewati Devan yang langsung menahan langkahnya.

"Lo nggak bisa mundur. Bukannya lo butuh sesuatu buat bikin orang-orang berhenti ngehina lo? Dan ini salah satu jalannya."

"Gue ngelakuin apa pun, mereka akan tetep ngehina gue," jawab Davia, "bahkan lo sekalipun, orang yang gue pikir nggak akan ngehina gue nyatanya malah nganggap gue cuma sekadar barang. Jadi mulai sekarang gue bakal tutup telinga dari kalian semua."

"Kapan gue nganggap lo barang?" tanya Devan, menuntut.

"Kemarin, dan tadi. Lo bilang cuma butuh otak gue. Apa bedanya gue sama barang? Udah cukup, gue nggak peduli soal lo, atau siapa pun lagi. Gue nggak akan biarin orang masuk ke hidup gue lebih jauh, bahkan sampai berpikir kalau dia berhak ngapus akun sosial media gue," ucap Davia pelan.

Devan tersentak. Emosinya naik ketika mendengar kalimat terakhir Davia. Ia mencekal lengan Davia erat. Rasa panas dan tidak suka memenuhi pikirannya, ada sedikit denyutan yang juga terasa di dadanya. "Lo mundur gara-gara gue ngapus akun RP lo? Lo masih belain kehidupan semu lo di dunia itu? Bahkan lo lebih peduli sama Jevan dibanding gue—jam belajar lo bareng gue?"

Davia mengerutkan kening, tidak suka dan bingung dengan perkataan kakak kelasnya itu. "Gue marah bukan cuma karena lo ngapus akun RP gue, Kak. Gue marah karena lo nggak memperlakukan gue sebagai temen tim lo, gue cuma barang buat lo, sesuatu yang bisa lo atur seenaknya," kata Davia menjelaskan. "Jadi, gue mundur. Semoga lo bisa nemuin orang buat gantiin posisi gue."

"Nggak bisa!" jawab Devan. "Apa yang gue lakuin sama lo sebanding sama apa yang lo lakuin ke gue."

"Tentang nyokap lo?" tanya Davia, ia tersenyum miring. "Lo harusnya mikir kenapa nyokap lo sampe nyuruh gue jadi mata-mata lo, Kak. Itu karena lo nggak biarin beliau ngejelasin semuanya. Lo nge-judge nyokap tanpa denger penjelasannya, Kak."

Devan terdiam.

"Lo selalu bilang sama gue, jangan biarin siapa pun nyakitin diri gue. Harusnya kata-kata itu lo pake buat diri lo sendiri, Kak. Lo memang nggak ngebiarin diri lo disakitin sama siapa-siapa, tapi lo nyakitin diri lo sendiri dengan sikap kayak gini," ucap Davia pelan, tapi tegas. "Sekarang gue cuma ngejalanin pesan lo, Kak. Jangan biarin siapa pun ngatur dan bikin gue tertekan, kan? Sorry, sekarang lo bikin gue tertekan, dan karena itu gue pergi."

Setelah mengatakan itu panjang lebar, Davia melepas tangan Devan yang memegang tangannya, lalu berjalan meninggalkan Devan yang terdiam. Tampak wajahnya cukup terpukul dengan perkataan Davia.

Davia melangkah menjauh. Ia menguatkan hatinya, ia hanya melakukan hal yang harus ia lakukan. Untuk dirinya sendiri, Davia tidak akan membiarkan siapa pun mengatur atau merasa memiliki kendali atas dirinya. Bukankah itu langkah pertama untuk lebih mencintai diri sendiri?

◎ ◎ ◎

Devan memijat pelipisnya pelan. Ia melihat jam yang menunjukkan pukul 02.00 tengah malam. Sejak tadi sore ia hanya diam di kamar dan melahap habis semua materi olimpiade di hadapannya. Kertas tampak berserakan, begitu pula dengan bekas serutan dan penghapus.

Sejak mengamuk kemarin, ayahnya belum juga mau menemui Devan. Itu bukan hal aneh bagi Devan, karena dulu ayahnya pernah menolak bertemu dengannya selama sebulan. Sudah beberapa tahun belakangan, ayah Devan mengidap Skizofrenia. Dan itu cukup membuat Devan terbiasa dengan kondisi ini.

Ia masih mengutuk mamanya yang meninggalkan mereka ketika ayah Devan mengalami bangkrut besar-besaran. Ia membenci mamanya. Sangat. Ia tidak peduli dengan apa pun yang dikatakan mamanya sejak itu. Padahal, dalam hati ia sebenarnya tahu kalau ayahnya membutuhkan mamanya untuk sembuh. Paling tidak, Mama bisa membantu Papa menerima keadaan sedikit demi sedikit.

Mungkin sejak itu Devan berubah menjadi tidak peduli dengan semua orang atau tanggapan orang terhadapnya. Ia menutup telinga dan mata untuk menjaga perasaannya sendiri. Baginya semua orang harus memiliki manfaat untuk terus berada di sekitarnya.

Namun, perkataan Davia tadi sore mengganggunya sekarang. Bagaimana mungkin cewek yang selalu menjadi bahan cemoohan orang dan terlihat lemah itu mampu menampar Devan sedemikian keras?

Ia mengacak rambutnya sendiri. Kalau Davia mundur, kesempatannya untuk memenangkan olimpiade ini semakin kecil. Mungkin akan ada pengganti Davia, tapi ia tidak yakin mampu bekerjasama dengan orang itu. Ia baru menyadari bahwa ia sudah terbiasa dengan kehadiran Davia.

Cewek chubby itu sudah memiliki tempat sendiri di kehidupan dan hatinya. Sebuah tempat yang mungkin ia pikir akan selamanya kosong. Tempat yang sangat tertutup dan dalam. Ia sadar Davia sudah mengetuk dan mencoba masuk ke sana. Satu yang ia tahu sekarang, ia tidak akan bisa melalui semua ini tanpa adik kelasnya yang menyusahkan itu.

Devan mengambil ponsel dan menekan nomor seseorang. Panggilan dijawab beberapa saat kemudian. "Halo, Ma?"

◎ ◎ ◎

Selamat hari Kamis dan selamat datang di lembar ke tiga puluh satu The Memories of Algebra. Tinggal beberapa bab lagi nih perjalanan Double D. Gimana sejauh ini?

Sudahkah kalian merasa perasaan campur aduk atau masih flat aja?

Di bab ini masihkah ada yang menghujat Devan?😂😂😂

Oh iya, Base of TMoA masih open member sampai tanggal 26 April 2019, ya. Yang belum join, yuk join. Kontak ke kak nulnul, ya. Nomornya ada di bab 15 TMoA. Sengaja aku ngga naruh lagi banner-nya. Biar kalian nge-scroll ehehehehehe.

GA ke tiga juga ditutup nanti malam jam 23.59 WIB yaaa! Yang belum ikutan jangan lupa cus ke ig @PhiliaFate, HiiragiIzumi dan devanotritaniya_ buat ikutan.

Besok eliminasi ke tiga, tetep support The Memories of Algebra dan Double D, yaaa. Supaya kita masih bisa ketemu di garis finish nanti!

Mana yang siap-siap untuk berlayarnya kapal DoubleD? Atau karamin aja, ya? Hehehehe.

See you! Love,
Tamara

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro