◎ 3. Kelas Pertama ◎
Baru kali ini Davia berharap waktu bisa ia hentikan beberapa jam lagi. Jam pulang sekolah akan segera tiba, tapi tidak seperti biasanya ia begitu malas untuk segera pulang dari sekolah.
Alunan musik pertanda bel pulang sudah terdengar. Dengan enggan Davia merapikan isi tasnya. Ia menggendong tas di bahu kiri, lalu menyeret langkah dengan malas menuju perpustakaan di lantai dua.
Sesampainya di perpustakaan, cewek itu menaruh tas di dalam loker dan mengeluarkan beberapa alat tulisnya lalu berjalan menuju lorong nomor lima.
Baru lima menit sejak bel pulang berbunyi, ia pasti belum terlambat sekarang. Dengan dagu terangkat, ia berjalan menuju sebuah meja di ujung lorong nomor lima.
"Telat dua menit."
Sebuah suara yang dingin mengagetkan Davia. Hampir saja buku di tangannya terjatuh. Ia menarik kursi di sebelah pemilik suara itu lalu memangku dagunya dengan tangan.
"Baru juga bel pulang, kenapa lo udah ada di sini aja sih, Kak?" omel Davia kesal. "Gue nggak telat, ya. Kan lo bilang jam tiga sore, dan ini baru jam tiga lewat lima menit."
"Lo telat dua menit."
"Gue kan perlu waktu buat jalan ke sini! Lo pikir gue bisa terbang?" jawab Davia setengah membentak, ia sangat kesal dengan cowok yang sibuk menulis di sebelahnya ini.
"Jarak dari kelas lo ke sini cuma 500 meter, kalau lo jalan normal rada males dengan kecepatan 50 meter per sekon aja lo cuma butuh waktu 10 detik buat sampai sini," jelas Devan tetap cuek. Ia memandang Davia sekilas sambil menaikkan letak kacamatanya.
"Lo pikir begitu guru keluar, gue bisa langsung cabut gitu aja, Kak?" jawab Davia lagi, ia tidak mau kalah. Tangannya sudah terkepal menahan emosi.
"Sepuluh detik jalan ke sini itu artinya enggak sampai semenit. Lo bisa pakai dua menit buat nunggu guru keluar dan ngurus izin masuk perpus di depan."
"Kak Devan, lo tuh bener-bener, ya!" teriak Davia tidak ditahan. Hal itu membuatnya ditegur oleh beberapa murid dan penjaga perpustakaan.
"Lo mau terus ngomel atau duduk diem dan mulai kelas tambahan?"
Perkataan Devan membuat Davia tersadar pada tujuan utamanya sekarang. Ia menarik napas dalam, memejamkan matanya lalu memberi pesan positif untuk dirinya.
"Oke, sekarang kita mau ngapain?" tanya Davia setelah selesai menenangkan dirinya.
"Belajar," jawab Devan tidak kalah tenang. Ia menggeser kertas soal di depannya ke arah Davia. "Tadi Bu Eka nitip soal ini ke gue. Lo disuruh kerjain itu dan kumpulin sebelum pulang."
Davia mengambil kertas itu lalu mempelajari soal yang tertulis di sana. "Memang Bu Eka ke mana?"
"Ada."
"Terus kenapa gue cuma berduaan sama lo, Kak?"
"Bu Eka bilang kita disuruh mandiri dan saling ngakrabin diri dulu sebelum nanti bimbingan tim."
Tanpa bisa ditahan, mata Davia membulat dan ekspresinya seperti menahan geli mendengar kalimat Devan. "Ngakrabin diri sama lo?"
Devan mengangkat wajahnya yang sedari tadi terus terpaku pada catatan dan soal-soal di depannya. "Enggak usah ngerasa geli sama kalimat itu, bisa? Gue juga sebenernya enggak pengin sama sekali buat akrab sama lo. Sayang aja sampai lima bulan ke depan, gue harus terus bareng lo."
"Maksud lo apa ngomong gitu? Lo pikir gue mau barengan sama lo terus, Kak?" jawab Davia tidak kalah sarkas dengan nada bicara Devan. "Lo pikir gue seneng deketan terus sama manusia datar yang bahkan nggak tahu sopan santun, nelepon tanpa ngucap salam?"
Devan tidak menjawab, ia hanya tersenyum sinis, lalu melanjutkan aktivitasnya. "Kali aja lo lupa, ini perpustakaan dan lo harusnya bisa jaga volume suara lo sebelum ditegor lagi buat kedua kalinya."
"Oh sekarang lo yang nggak tahu aturan mendadak jadi tahu aturan," jawab Davia. Ia mengambil pensil dan mulai mengerjakan soal matematika di hadapannya. "Besok-besok lo harus belajar etika nelepon sama gue. Apa nyokap lo nggak ngajarin lo kalau nelepon itu harus bilang salam dulu?"
Rahang Devan mengeras mendengar perkataan Davia. Pensil yang dipegangnya sedari tadi patah menjadi dua bagian. Sontak Davia menggigit bibirnya, ia merasa telah salah mengucapkan sesuatu.
"Kerjain sekarang," bisik Devan, dingin. Setelahnya, cowok itu bangun dan berjalan meninggalkan Davia yang merasa takut dan bersalah di waktu yang bersamaan. Ia hanya memandangi punggung Devan yang menjauh.
Lima menit berlalu. Devan belum juga kembali ke perpustakaan, Davia mulai gelisah. Ia memutar pensil di tangannya berulang kali sambil menyipitkan mata melihat ke arah pintu perpustakaan.
Sepuluh menit.
Dua puluh menit.
Tiga puluh menit.
Satu jam berlalu dan soal di kertas Davia sudah terjawab semua. Ia berdiri dan berjalan mondar mandir di dekat meja sambil terus menggigiti kuku. Cewek itu sama sekali tidak tahu kenapa Devan bisa jadi begitu mengerikan tadi. Apa kata-katanya keterlaluan?
Davia menggeleng. Salah Devan sendiri yang menyudutkannya hanya karena hal kecil. Mulai dari keterlambatan sekian menit yang tidak masuk akal sampai sikapnya semalam saat menelepon. Davia hanya mengatakan hal yang benar, bukan?
Tiba-tiba suara langkah kaki terdengar, buru-buru Davia duduk dan memainkan rambutnya asal seolah sedang mengerjakan soal. Tidak lama kemudian Devan sudah duduk di kursinya tadi.
"Kak Devan, ma--"
"Udah selesai? Kalau udah lo taro aja di meja, terus pulang. Udah sore," kata Devan begitu tenang.
Davia mengintip ke arah Devan melalui ekor matanya dan tidak melihat ekspresi atau raut kesal di wajah kakak kelasnya itu. Tatapannya datar menuju kertas soal, dan ia dengan tenang mengerjakan soal miliknya.
"Nggak ada kesulitan, kan? Gue denger lo jenius," kata Devan lagi.
"Ya sejauh ini nggak ada," jawab Davia pelan, lebih seperti berbisik. "Kak, gue minta ma--"
"Kalau gitu lo pulang sekarang," perintah Devan, tetap tenang, tanpa melihat ke arah Davia. "Dan inget, kita di sini cuma temen satu tim, mau gimana pun kita harus deket nanti, urusan kita cuma olimpiade ini. Jangan pernah mikir kalau lo berhak ikut campur urusan gue yang lain, paham?"
◎ ◎ ◎
Hai. Hai. Hai.
Selamat sore semuaaaa. Tamara lagi di sini menemani Kamis sore kalian.
Gimana gimana bab ini? Kasih aku komen dong, apakah Devan harus aku masukin kulkas biar tambah dingin atau oven aja biar jadi hangat?
Kekekekeke. Anyway, aku ngga bisa ngomong banyak bab ini soalnya aku lagi mimisan lihat teaser-nya Yeonjun asdfghjklalqnsbsnkaka. Jadi, sampai ketemu hari Sabtu!
Love,
Tamara
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro