Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

◎ 29. Pecahnya Sebuah Tim ◎

"Lo ... ngapain?" tanya Davia, suaranya bergetar antara ingin menangis dan marah. "How dare you!"

Devan mengangkat bahu. "Ngelakuin hal yang seharusnya gue lakuin dari dulu."

"Berani banget lo ngelakuin ini, Kak? Sekalipun gue emang deket sama lo, lo sama sekali nggak berhak buat ikut campur urusan gue terlalu jauh!" bentak Davia, wajahnya memerah menahan marah. "Lo nggak berhak ngapus akun RP gue!"

"Dan lo nggak berhak jadi mata-mata nyokap gue," jawab Devan tenang. "Udah berapa kali gue bilang sama lo buat berenti ikut campur urusan gue?"

Mata Davia berkaca-kaca. "Kalo gue nggak ketemu nyokap lo, gue nggak akan tau soal itu! Dan kalo aja nyokap lo nggak minta tolong sama gue, sedikit pun gue nggak akan nyentuh urusan lo!"

"Ngapain lo ke rumah sakit waktu itu?" balas Devan.

Davia menggigit bibirnya. "Karena ... karena gue ngerasa harus ngelakuin itu, gue temen tim lo dan gue juga harus perhatian sama bokap temen gue!"

Senyum sinis Devan terukir. "Itu salah lo, terlalu ikut campur. Gue nggak perlu lo buat merhatiin urusan gue. Gue cuma butuh otak lo supaya kita bisa menang olimpiade ini!"

Kali ini kesabaran Davia sudah sampai pada batasnya. Tangannya mengepal. "Jadi menurut lo, gue ini cuma barang yang bisa dimanfaatin?"

"Iya," jawab Devan, ia balas menatap Davia tajam. "Bukannya gue pernah bilang sama lo, kalo urusan kita cuma olimpiade ini? Gue memang cuma butuh otak lo."

Dibanding kalimat yang tadi diucapkan Rendi, perkataan Devan lebih menusuk untuk Davia. "Kalo lo cuma butuh otak orang yang pinter Matematika," ia memasukkan ponsel ke tas dan memutar tubuhnya, "lo cari aja orang lain buat gantiin posisi gue. Kali ini gue mundur."

Devan tidak menjawab apa pun, ia membiarkan Davia pergi menjauh. Perkataan Davia hanya dianggapnya tidak serius. Ia mengacak rambutnya, kesal. "Kenapa gue bisa kehilangan kontrol gini?"

◎ ◎ ◎

Mama Davia mengerutkan kening melihat anak semata wayangnya memasuki pintu rumah lalu berlari ke atas tanpa menyapa. Mama melihat jam di dinding, baru dua jam berlalu sejak anaknya pergi. Biasanya, Davia dan Devan akan belajar sampai sore.

Merasa tidak tenang, Mama menyusul Davia ke kamar. Diketuknya pintu kamar anaknya itu tiga kali, tapi tidak ada jawaban. Akhirnya Mama mendekatkan telinga ke arah pintu, dan terdengar suara isak tangis pelan.

"Dav?" panggil Mama.

Tidak ada jawaban lagi, membuat insting keibuannya bergerak dan membuka pintu kamar Davia. Ternyata pintu itu tidak terkunci. Mama melihat Davia tidur menyamping ke arah dinding sambil memeluk boneka beruang besar miliknya. Pundaknya naik-turun, terisak.

"Kamu kenapa, Dav?" tanya Mama, ia berjalan mendekat ke tempat tidur Davia. "Apa ada sesuatu yang terjadi?"

Davia mengeratkan pelukannya pada boneka beruang, berusaha menenggelamkan wajah di sana. Namun, Mama tetap mendekat dan duduk di sisi tempat tidur, lalu mengusap rambut anaknya itu.

"Nangis dulu, Dav. Mama tungguin," kata Mama sambil mengusap rambut Davia. "Kamu tau, kan, kalau Mama bakal selalu nemenin kamu? Nggak usah khawatir, Sayang."

Tangis Davia makin keras. Ia memutar tubuh tiba-tiba lalu memeluk perut Mama dengan erat. "D—Davia ... Davia benci sama diri Davia, Ma."

Jawaban itu membuat hati Mama seperti teriris. Apa yang sudah terjadi dengan anaknya ini dan tidak ia ketahui sama sekali?

"Kenapa, Sayang?"

Davia hanya menggeleng, menangis terisak. Mama merasa ada suatu beban di dadanya. Sudah begitu lama sejak terakhir kali ia menangis begitu sedih seperti ini.

"D—Davia tadi ketemu Kak Jevan," kata Davia memulai cerita. "Nggak ada perasaan apa-apa, Davia cuma mau masalahnya selesai, Ma."

Mama mendengarkan, tanpa suara. Ia terus mengusap punggung Davia, menenangkan sekaligus memberitahunya bahwa semua akan baik-baik saja.

"Ternyata, ternyata Kak Jevan itu Rendi, Ma," lanjut Davia, lalu menangis lagi, mengeratkan pelukannya pada Mama.

Mama mengerutkan kening, ia sama sekali tidak mengenal atau mendengar sesuatu tentang cowok bernama Rendi. "Rendi itu siapa, Sayang?"

Tangis Davia makin keras, Mama tidak mengerti apa yang membuat Davia begitu tertekan begini. "Mama yakin kamu udah dewasa, Dav. Saat kamu mutusin untuk ketemu sama Jevan, kamu pasti udah tau kalau semua kemungkinan terburuk itu ada, kan?"

Davia mengangguk pelan.

"Terus apa yang buat kamu sebegini sedih? Apa dia ngelakuin atau ngomong hal buruk ke kamu?"

Pelan, Davia melepas pelukannya, lalu bangun. Ia memegang tangan Mama sambil menatap Mama dalam. "Maafin Davia, Ma. Davia nggak jujur sama Mama. Davia tau Mama selalu ngajarin Davia buat cerita apa pun sama Mama, tapi semakin dewasa, Davia nggak bisa, Ma."

"Karena?"

"Karena Davia nggak mau ngerepotin Mama, Davia nggak mau Mama sedih pas tau apa yang terjadi sama Davia," jawab Davia pelan. "Mama udah ngajarin Davia banyak hal buat bertahan dari ejekan orang-orang, tapi ... itu nggak berefek dengan baik, Ma."

Jawabannya membuat Mama merasa bersalah. Dalam hatinya menangis, merasa bodoh karena bisa tidak sadar bahwa anaknya masih mengalami hal yang buruk. Ia pikir semua sudah membaik sejak anaknya itu mampu melakukan semuanya sendiri. Bermain piano dengan baik, memiliki kemampuan akademis yang tinggi, mampu bicara tiga bahasa.

Namun, itu semua tidak menjaminnya bisa bebas dari hal buruk dan komentar negatif tentang tubuhnya. Mama memeluk Davia erat.

"Nggak, Dav. Kamu nggak salah, Mama tau kamu udah berusaha buat nyelesaiin semuanya sendiri. Maaf Mama nggak perhatian sama kamu sampai nggak tau apa yang terjadi sama kamu," jawab Mama.

"Davia nggak apa-apa, Ma. Semua baik-baik aja," jawab Davia. "Davia cuma kaget karena ternyata Kak Jevan itu Rendi, temen kelas Davia yang selalu nge-bully Davia. Bahkan, pas dia tadi masih ngeledek Davia dengan kata-kata kasar."

Mama masih diam, menunggu penjelasan Davia selanjutnya. Sementara Davia terisak pelan.

"Davia masih bisa pertahanin harga diri Davia dengan balikin semua kata-kata dia dan pergi ninggalin dia begitu aja, tapi ternyata ngerasa disakitin musuh itu nggak seberapa dibanding disakitin temen ya, Ma?" tanya Davia dengan kata-kata tidak jelas.

"Davia nyoba alihin pikiran Davia soal Rendi dengan belajar bareng Kak Devan, tapi ternyata ... Kak Devan marah sama Davia," katanya lagi. "Kak Devan tau kalo Davia disuruh mamanya jadi mata-mata, Kak Devan juga nggak terima karena Davia tau masalahnya terlalu jauh."

Mama mengusap punggung Davia, menenangkan. Ia tidak tahu apa yang harus dikatakan pada putrinya.

"Kak Devan makin marah waktu tau Davia abis ketemuan sama Kak Jevan yang ternyata Rendi. Dia ngerasa Davia nggak serius dan selalu ngebelain urusan RP dibanding belajar sama dia. Maksud Davia nggak gitu, Ma," kata Davia lagi, tangisnya semakin kencang.

"Kamu udah jelasin ke Devan?"

Davia mengangguk. "Kak Devan nggak mau peduli, Ma. Dia malah ngapus akun RP Davia seenaknya. Dia cuma manfaatin Davia, dia cuma butuh Davia buat menang di olimpiade ini. Dan Davia ... Davia mutusin mundur," kata Davia yang diakhiri dengan rengekan kecil dan isakan.

"Dav, kamu mundur?"

"Maaf, Ma, maaf. Davia pikir Davia bisa memperbaiki semuanya dengan olimpiade ini. Davia pikir kalo Davia pintar, semua teman Davia akan berhenti ngeledek dan ngehina Davia, tapi ternyata apa pun yang Davia lakuin selalu salah. Davia mundur, Davia cuma bisa ngecewain Mama dan Papa, Davia benci sama diri Davia sendiri."

Mama memeluk Davia erat, berusaha meredakan kesedihan anaknya. Apa yang keluar dari mulut Davia menampar Mama cukup kencang. Ia telah gagal menjaga anaknya. "Jangan sedih, Sayang, anggap aja semua ini proses belajar. Apa yang kamu rasain, luapin aja, Mama ada di sini. Mama nggak akan ke mana-mana. Jangan benci diri kamu sendiri, Sayang."

◎ ◎ ◎

Davia bersyukur ia mengenakan masker hari ini. Begitu masuk kelas saja, suara nyaring Rendi sudah terdengar. Cowok itu benar-benar serius dengan apa yang dikatakannya kemarin.

"Ndut, kenapa hapus akun? Malu, ya?" teriak Rendi dari kejauhan.

Davia menulikan telinganya. Ia memasang earphone dan menyalakan lagu yang cukup keras.

"Jadi kemarin gue main RP, ngilangin bosen aja, sih. Terus gue pacaran sama RP Sana. Iya, Sana Twice yang imut itu. Ternyata lo tau, nggak? RP Sana itu si Gendut," kata Rendi tidak bisa diam, ia tertawa sambil menunjuk Davia.

"Lah berarti lo pacaran sama Davia dong, Ren?" tanya Arman sambil menatap Rendi bingung.

Rendi mengangguk. "Secara virtual, iya, tapi di dunia nyata? Nggaklah. Ngga banget gila."

Tawa Rendi terus terdengar begitu memuakkan di telinganya yang bahkan sudah dipasang earphone. Davia berdiri dan berjalan ke luar kelas. Ia tidak tahu ke mana kakinya melangkah, ia hanya ingin menjauh dari keramaian.

"Eh, Davia," sapa seorang cewek dengan rambut panjang dan senyum sinis terukir di bibirnya. "Ngapain di sini? Nyariin Devan?"

Davia mengangkat wajah, lalu mundur dan memutar arah. Ia sedang malas meladeni Melisa atau siapa pun yang ada di hadapannya sekarang.

"Kok kabur, Dav?" ledek Melisa, ia menarik tangan Davia. "Enak nggak waktu itu dimandiin siang-siang?"

Kening Davia berkerut, ternyata benar Melisalah yang menyiramnya waktu itu. Belum sempat Davia membuka mulut, tangannya terasa dihempaskan. Dan suara Devan terdengar.

"Lo bisa nggak jaga mulut dan kelakuan lo, Mel? Atau lo mau posisi ketua Jurnalistik pindah dari tangan lo?"

◎ ◎ ◎

Ini adalah contoh percakapan antar simbol di matematika😂😂😂

Selamat hari Selasa.

Selamat membaca bab-bab yang kembali dipenuhi kegalauan. Kapal Double D karam. Gimana dong?

Oh iya, Selamat Hari Kartini, Hari Bumi, Hari Buku dan Hari Hak Cipta, ya. Banyak banget tuh hari-hari yang lagi dirayakan beberapa waktu belakangan ini.

Eh, siapa kemarin yang tebakannya benar soal Devan ngapus akun RP Davia? Huehehehe.

Dan siapa yang saat ini lagi kesel, atau kesel banget sama Devan? Ngaku hayo.

Kira-kira, bab depan bakal ada kejadian apa, ya? Davia bakal beneran keluar dari tim nggak, ya?

Aku mau ngingetin kalau GA di akun ig @PhiliaFate, akun wp HiiragiIzumi dan devanotritaniya_ bakal ditutup DUA HARI LAGI. Baru satu hadiah yang keluar nih, mana partisipan yang lainnn?

Okedeh, selamat sore dan sampai ketemu lagi hari Kamis. Muah muah.

Tamara

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro