◎ 26. Janji Bertemu ◎
"Halo?"
Davia menggigit bibirnya, takut dan khawatir. Devan menyapa beberapa kali, lalu memberikan ponsel itu pada Davia.
"Nggak ada suaranya," kata Devan.
Davia menghela napas lega. Ia mengambil ponsel dari Devan dan langsung mematikan panggilan yang masih tersambung. "Tante gue dari Jogja. Sinyalnya jelek kali."
Devan tidak menjawab dan hanya mengangguk. Kejadian tadi benar-benar membuat Davia sangat terkejut. Untung saja Tante Anna belum bersuara sehingga Devan tidak menaruh curiga lebih.
"Kak, materi keterbagian ini selalu ada?" tanya Davia berusaha mengalihkan perhatian.
Devan mengangguk. "Paling banyak cuma dua soal, tapi lo tetep harus kuasain itu. Kita harus jawab soal dengan benar sebanyak mungkin."
"Lo bisa ngerjain ini?" tanya Davia lagi.
Devan mengangkat salah satu alisnya. "Kalo gue nggak bisa, yang ngajarin lo tadi siapa?"
Tawa Davia pecah, ia merasa konyol dengan pertanyannya sendiri. Saking kerasnya ia tertawa, Davia tidak sadar Devan memperhatikannya sedari tadi. Ada sesuatu yang membuat Devan nyaman bersama Davia, tapi Devan tidak tahu itu apa.
"Dav," panggil Devan pelan.
Davia menghentikan tawanya dan memandang Devan. "Kenapa, Kak?"
"Nggak," jawab Devan, ia melihat jam di tangannya. "Udah sore, gue langsung balik, ya. Lo jangan tidur kemalaman, besok Sabtu dan kita bakal adain double kelas."
Cewek di hadapan Devan itu memajukan bibirnya, sedikit kesal. Ia memang mencintai angka dan matematika, tapi tidak sampai membuatnya begini terobsesi.
"Kak ... libur dong," kata Davia. "Besok Sabtu kan, biar jalan-jalan dulu."
Devan menggeleng. Ia merapikan barangnya dan segera berdiri. "Gue balik sekarang, sampai ketemu besok jam 11 siang."
Setelah mengatakan itu, Devan sudah menghilang di balik pintu ruang tamu. Davia menjatuhkan tubuhnya di sofa. Ia tidak paham kenapa Devan sama sekali tidak bisa diajak bermain-main.
Dengan malas cewek itu merapikan tumpukan kertas dan buku yang berserakan di meja, lalu membawanya ke kamar. Ia harus segera mandi sebelum semakin sore.
Sesampainya di kamar, cewek itu menyambungkan pengisi daya ke ponsel miliknya lalu berlari ke kamar mandi. Karena merasa sangat lelah, ia mandi dengan cepat.
Hanya dalam waktu dua puluh menit, cewek itu sudah duduk di kursi belajar sambil mengutak-atik ponsel. Rambutnya yang masih basah tergulung handuk. Ia membuka daftar kontak, kemudian menekan nomor seseorang.
"Selamat sore, Tante," sapa Davia.
Awalnya tidak terdengar jawaban dari ujung sana, hanya suara berisik yang tidak jelas. Ketika Davia akan mematikan sambungan ponselnya, suara Tante Anna terdengar.
"Davia, ya?" tanyanya, nada suara Tante Anna sangat antusias. "Tadi itu Devan, Dav? Kalian lagi jalan berdua?"
Davia mengangguk, lalu menggeleng. Ia merutuk kebodohannya yang mengangguk padahal Tante Anna tidak dapat melihatnya sekarang. "Iya, Tante. Habis belajar bareng."
"Tante tadi seneng banget bisa denger suara Devan, hampir aja Tante lupa dan nyapa dia," jelas Tante Anna, "kabar Devan baik, Dav? Gimana dia? Om Akbar?"
Davia menarik napas. "Baik, Tante. Kak Devan tetap kayak biasa, galak dan tegas juga kaku. Davia tadi diomelin sama dia. Kalau Om Akbar katanya udah mendingan, Tante."
"Diomelin kenapa, Dav?"
"Gara-gara main HP pas lagi belajar," jawab Davia.
Tante Anna tertawa, bahagia. Davia bisa mendengar itu. Rasa penasaran menguasai Davia lagi. Ia sangat ingin tahu kenapa Devan berbohong dan mengatakan mamanya sudah meninggal? Padahal yang dilihat Davia, mamanya sangat menyayangi Devan.
"Kapan kalian ketemu lagi?"
"Besok, Tante."
"Wah," kata Tante Anna, suaranya tampak kagum. "Kalian sedekat itu, ya?"
"Eh," jawab Davia kikuk, ia tidak ingin Tante Anna salah paham, "Bukan gitu, Tante. Davia sama Kak Devan kan teman satu tim untuk olimpiade, jadi kita memang bakal sering ketemu buat belajar."
Tante Anna tertawa lagi. "Selain belajar juga nggak apa-apa, Dav. Kamu anak yang baik, kok, Tante yakin."
Davia hanya tersenyum, ada rasa bahagia aneh di dalam hatinya mendengar perkataan Tante Anna. Bahkan pipinya tanpa sadar bersemu.
"Ya udah, Tante besok telepon kamu lagi, ya? Malam aja supaya aman dari Devan, gimana?" tanya Tante Anna.
"Iya, Tante, boleh. Atau Davia aja yang telepon Tante setelah Davia sampai rumah," jawab Davia.
"Oke, Davia. Selamat malam," kata Tante Anna mengakhiri panggilannya.
Davia memandang layar ponselnya yang mulai meredup. Ia bahagia mendengar nada suara Tante Anna, tapi tidak dapat dibohongi, ada rasa takut yang juga menghampirinya. Bagaimana jika Devan tahu?
Merasa bingung, cewek itu pun menjatuhkan lagi dirinya di tempat tidur. Ia melempar handuk yang membungkus rambutnya dan menutup kepalanya dengan bantal. Tiba-tiba ponselnya berbunyi lagi.
Davia meraba tempat tidur dan mengambil ponselnya. "Halo?"
"By, ini Jevan."
Bantal di kepala Davia langsung terlempar entah ke mana. Tubuh Davia yang tadinya tertidur langsung dalam posisi duduk. Ia memandangi layarnya berulang kali, dan di sana tertulis nama Jevan sedang terhubung melalui panggilan telepon.
"By?"
Davia merutuk dalam hati. Ia langsung mematikan panggilannya. Bukankah RP seharusnya tidak begini? Kenapa Jevan dengan berani meneleponnya hingga dua kali?
Ponsel Davia terus berbunyi, tapi Davia sama sekali tidak mau mengangkatnya. Cewek itu takut, dan juga ragu. Ia tidak tahu apa yang harus dikatakannya nanti.
Setelah lima kali berdering dan tanpa jawaban, bunyi pesan kembali masuk ke ponsel Davia. Buru-buru Davia membuka pesan itu.
By
Ayo ketemu
Davia tidak habis pikir dengan perkataan Jevan. Bagaimana mungkin ia bisa bertemu dengan seseorang yang ... tidak nyata? Pesan kembali masuk ke ponsel Davia.
Besok
Di taman kota
Jam 10 pagi
Saya bakal pake kemeja biru dan bawa mawar merah tiga tangkai
Saya harap kamu datang
Cewek itu mematikan ponselnya. Ia langsung memejamkan mata meskipun sangat sulit. Jevan benar-benar membuatnya pusing. Bagaimana mungkin cowok itu dengan mudah mengajaknya bertemu? Ia juga mengutuk dirinya sendiri yang dulu pernah memberitahu Jevan di mana kota tempat ia tinggal. Sialnya, Jevan juga tinggal satu kota dengannya.
Davia bangun dan berjalan ke cermin. Ia memandangi dirinya, sambil menaruh tangan di pinggang. Memang, ia sudah menerima apa yang diberikan Tuhan pada tubuhnya, tapi ... apa Jevan akan menerimanya jika mereka bertemu?
Ia menggeleng berulang kali. Bukankah malah bagus jika Jevan tidak menerimanya? Ia tidak perlu meladeni cowok itu lagi, bukan?
Dengan cepat cewek itu mengambil ponsel dan menyalakannya. Setelah menyala, ia menuju ruang obrolannya dengan Jevan, kemudian membalas pesannya.
Oke, besok aku bakal dateng ke taman kota
Buat selesaiin semuanya
Secara rp, dan rl
Setelah memastikan pesan itu terkirim, Davia mematikan lagi ponselnya. Ia menggulung diri dengan selimut, kemudian memejamkan mata erat-erat. Besok pagi ia akan bertemu Jevan, lalu belajar bersama Devan dan melapor pada Tante Anna soal Devan.
Semua hal itu terdengar melelahkan, dan ia butuh istirahat untuk mempersiapkan diri atas segala kemungkinan pada esok hari. Semoga, tidak terjadi apa-apa. Semua akan baik-baik saja, bukan?
◎ ◎ ◎
Everything's gonna be okay. It's okay :)
selamat sore semuaaa♡
Dengan tamara lagi di sini, siapa dan dari mana di sana?
Pemanasan buat minggu ini segini dulu, ya? Minggu ini bakal berat soalnya. Berat buat aku, Davia, Devan, dan kalian yang baca. Penasaran?
Grup TMoA akan open member dalam waktu dekat, kalian tunggu info selanjutnya dari aku, yaaa? Kita ngobrol bareng nanti.
Visual Davia dan Devan juga akhirnya ditemukan. Semoga nanti memenuhi ekspektasi kalian deh. Kapan ya aku munculin? Rahasia :) Tunggu aja sebentar lagi.
Mmmmmm aku lagi super gelundungan minggu ini. Ada yang mau nemenin? Kekekeke. Atau ada yang mau ngobrol aja sama aku? Yuk, silakan komen.
Sampai ketemu lagi Hari Kamis, mumuumuah.
Tamara
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro