Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

◎ 23. Serangan Lanjutan ◎

"By, balik please. Aku kangen banget. Aku minta maaf."

Kening Davia berkerut mendengarnya. Ia yang tidak tahu siapa penelepon itu langsung menjauhkan ponsel dan melihat nama peneleponnya. Seketika tubuh Davia menegang. Ia mematikan telepon tersebut.

"Kenapa, Dav?" tanya Mama sedikit khawatir.

Davia menggeleng. "Ada hantu bisa nelepon, Ma."

"Hantu?"

"Iya, hantu," jawab Davia. "Dia udah mati RP, tapi tau-tau bangkit dari kubur."

Mama meringis, tidak mengerti apa yang Davia katakan. "Terus gimana Devan tadi?"

"Ah iya," Davia menepuk keningnya pelan, "jadi kemarin di rumah sakit itu, Davia malah ketemu orang yang katanya mama Kak Devan. Setelah Davia perhatiin, emang mukanya mirip Kak Devan, sih, Ma. Dan sikapnya juga sedikit banyak mirip."

Davia menarik napas sesaat, kemudian melanjutkan, "Mamanya ini suka merintah, dingin, persis kayak Kak Devan. Kalo mukanya, di hidung dan rahang itu mereka mirip banget. Suaranya juga sedikit mirip," jelas Davia. Tiba-tiba saja cewek itu terdiam. Ia menyadari sesuatu, suara penelepon tadi juga terdengar sangat familiar.

"Terus, Dav? Mamanya bilang apa?" tanya Mama memecah lamunan Davia.

Davia mengerjapkan mata beberapa kali. "Oh, mamanya minta Davia jagain Kak Devan."

"Jagain gimana? Devan kan bukan bayi," jawab Mama jahil.

"Jagain ... nggak tau juga, Ma. Bingung, sih."

Mama tertawa mendengar jawaban Davia. "Terus sebenernya apa yang jadi pikiran kamu?"

"Kak Devan pernah bilang sebelumnya kalo mamanya udah nggak ada, Ma," jawab Davia pelan, ia menyesap susunya, "dan dia dengan tegas bilang supaya Davia nggak ikut campur urusannya lagi. Sekarang Davia udah tau kalo mamanya masih ada. Bahkan Davia jadi mata-mata mamanya. Gimana kalo nanti Kak Devan tau?"

"Kamu tau nggak kenapa Devan bilang mamanya udah nggak ada?"

Davia menggeleng. "Kayaknya hubungan Kak Devan sama mamanya nggak baik, Ma. Karena mamanya juga minta Davia jangan bilang apa-apa ke Kak Devan."

"Beliau bilang nggak alasannya apa?"

Davia mengetuk dagunya dengan jari, lalu berkata, "Nggak? Kayaknya cuma cerita kalau mamanya itu berusaha hubungin Kak Devan, tapi selalu diabaikan sama Kak Devan. Davia nggak tega, Ma, liat mamanya nangis."

Mama mengusap punggung tangan Davia. "Terus keputusan kamu sekarang apa?"

"Mungkin jalanin dulu? Mama Kak Devan beneran khawatir sama Kak Devan, Davia bisa lihat dari matanya," jawab Davia. "Masalahnya, gimana biar Kak Devan nggak tau?"

"Bersikap sewajarnya," jawab Mama. "Jangan tunjukkin kalo kamu tau sesuatu atau lagi ngumpetin sesuatu. Bikin aja seolah-olah kamu nggak paham apa pun."

Davia menghela napas. "Oke, Ma. Doain Davia supaya nggak ketauan, ya? Davia udah kayak mata-mata FBI, nih."

Mama tertawa. "Iya, Sayang. Yang penting apa yang kamu lakuin ini baik dan nggak merugikan orang lain, Mama bakal dukung."

"Makasih ya, Ma," kata Davia sambil berhambur memeluk mamanya. "Davia nggak tau apa yang dialamin Kak Devan, tapi Davia harap Kak Devan mau sedikit aja nantinya berbagi sama Davia."

"Kenapa?" tanya Mama.

"Kenapa apa, Ma?"

"Kenapa kamu mau Devan berbagi sama kamu?" tanya Mama sambil mengusap punggung anak semata wayangnya itu.

Sesaat Davia terdiam. "Nggak tau, Ma. Davia cuma merasa banyak hal yang Kak Devan tanggung sendirian, dan Davia yakin itu pasti berat. Kenapa nggak coba minta Kak Devan buat berbagi?"

Mama tersenyum. "Itu gunanya partner tim, ya?"

Davia mengangguk. Ia melepas pelukan Mama, lalu melihat jam di tangannya. "Ma, Davia terlambat. Davia berangkat dulu, ya."

Mama mengangguk dan hanya memperhatikan Davia yang segera berlari ke kursinya untuk mengambil tas. Dalam hati Mama, beliau sangat bersyukur memiliki seorang anak seperti Davia. Meskipun Davia terlihat tidak peduli, sebenarnya dia adalah orang yang paling peduli. Dan lagi, semakin banyak Mama menghabiskan waktu dengan Davia, semakin jelas pula Mama menyadarinya: Davia sudah tumbuh dewasa, dengan sangat cepat.

◎ ◎ ◎

Pulpen di tangan Davia terus mengetuk-ngetuk buku di hadapannya. Mata Davia nyaris terpejam, tapi ia masih bertahan dan terus memperhatikan papan tulis. Pelajaran Sejarah adalah hal yang sangat dibenci oleh Davia. Mengingat tanggal dan nama orang asing adalah pekerjaan yang melelahkan.

Belum lagi jika terdapat butir-butir perjanjian, nama tokoh asing, jenis peninggalan, dan bahasa yang tidak ia mengerti. Pokoknya, Sejarah adalah pelajaran yang mendapat urutan pertama di daftar hitam Davia.

Cewek itu terus memandangi jam di atas papan tulis yang berdetak pelan. Ia berharap ada sebuah keajaiban supaya jam itu berdetak lebih cepat. Di tengah keputusasaannya, Davia akhirnya meminta izin ke kamar mandi.

Sepanjang perjalanan menuju kamar mandi, cewek itu bersiul demi menghilangan kantuk. Jam pelajaran masih dua puluh lima menit lagi, dan ia akan memanfaatkan waktu selama yang ia bisa di dalam kamar mandi.

Beberapa meter sebelum sampai kamar mandi, Davia melihat Melisa yang sedang berbicara dengan pembimbing mading, Pak Jaka. Melisa yang bicara dengan senyum ramah di wajahnya langsung berubah saat melihat Davia. Ia memandang Davia tidak suka, menilai dari atas ke bawah.

Davia merasa risih, tapi tidak ingin memperpanjang hal itu. Ia langsung buru-buru masuk ke kamar mandi dan memilih bilik paling ujung, lalu mengunci pintu dari dalam.

Ia hanya diam di dalam bilik sambil sesekali bersiul menghilangkan sepi. Beberapa hari ini pikiran Davia sangat kacau. Kerumitan hidup mulai menghampiri. Dulu, Davia berpikir hidupnya sangat datar. Hanya ada ledekan dan kata kasar dari orang lain untuk tubuhnya yang gempal. Namun, sekarang ia mulai menyadari bahwa banyak di luar sana yang hidup lebih buruk dari dirinya.

Davia tertawa kecil, pipinya memerah ketika ia mengingat bagaimana ia merasa begitu tertekan dengan pemikiran orang lain terhadap bobot tubuhnya itu sampai memutuskan untuk mencari pelarian ke dunia lain. Sebenarnya, ia tidak begitu menyesal karena menemukan dunia itu. Karena ia sama sekali tidak melakukan hal buruk di sana.

Hanya saja, perasaan tersiksa yang dulu menghampiri itu membuatnya sangat malu. Kesedihannya sama sekali tidak ada apa-apanya dibanding banyak orang di luar sana. Davia memejamkan mata, ia mulai membayangkan bagaimana hidup Devan selama ini.

Devan yang tinggal sendirian dan harus merawat papanya. Belum lagi Davia yakin ada luka terpendam di hati kakak kelasnya itu. Pasti sangat tidak menyenangkan berada di posisinya. Sebagai anak, Devan pasti merindukan sosok ibu. Namun, sesuatu membuatnya menolak semua rasa itu.

Perasaan bersalah menghampiri Davia, harusnya ... ia bisa menolong Devan. Harusnya. Semangat juga muncul di hatinya, ia akan melakukan apa pun untuk menyatukan Devan dengan mamanya.

Kemudian pemikiran Davia berubah lagi. Kali ini soal dunia keduanya ... dan Jevan. Ia merasa hidupnya lebih baik sekarang, tapi tidak jarang ia juga merindukan dunia keduanya itu. Dan Jevan, sudah beberapa hari ini cowok itu terus mengiriminya pesan, bahkan sampai menelepon pagi tadi.

Davia tertawa, ia tidak menyangka kalau Jevan benar-benar dimainkan oleh seorang cowok. Padahal selama ini Davia berpikir bahwa semua yang ada di balik akun RP adalah seorang cewek. Namun, suara Jevan tadi pagi membuktikan bahwa pemikirannya salah.

Ia mengerutkan keningnya lagi, suara Jevan sangat familiar. Ia seperti sudah sangat sering mendengar suara itu. Akan tetapi, ia tidak mampu mengingat siapa pemilik suara itu. Yang diingatnya hanya ada seseorang yang pernah berbicara dengannya di telepon dan memiliki suara seperti Jevan.

Tiba-tiba Davia mengernyit dan mengibaskan tangan di depan wajahnya cepat. Selama ini hanya Devan yang pernah bicara dengannya di telepon. Tidak mungkin kalau Jevan itu Devan, kan?

"Nggak, nggak. Nggak mungkin, Dav. Orang kayak Kak Devan nggak mungkin main RP. Waktunya udah habis buat belajar dan ngurusin bokapnya. Lo mikir apa sih, Dav?" tanya Davia pada dirinya sendiri.

Ia menggigit bibir dan kembali mengingat percakapannya dengan Devan dulu. Kakak kelasnya itu tampak sangat cuek dan terbuka soal RP. Devan seperti sangat mengenal apa itu RP dan bagaimana cara memainkan juga apa saja yang ada di dalam sana.

Davia melompat-lompat kecil, berusaha menolak pemikiran konyol yang terdengar logis itu. Kalau Jevan adalah Devan, berarti selama ini ...

Byur!

Serangan air menghantam Davia dari atas, membuat tubuh cewek itu basah kuyup. Belum sempat Davia sadar, ia mendengar suara derap langkah yang berisik dan menjauh dari bilik kamar mandinya.

Klik.

Davia sangat panik begitu mendengar suara pintu dikunci. Ia buru-buru berlari keluar dari bilik kamar mandi dan tidak mempedulikan tubuhnya yang basah. Tidak, jangan lagi. Ia tidak ingin terkunci lagi sekarang, apalagi dengan tubuh basah dan berada di kamar mandi. Itu adalah hal terburuk yang bisa ia bayangkan saat ini.

"Buka!" teriak Davia sambil menggedor pintu kamar mandi.

Suara cekikikan terdengar, tapi tidak ada tanda-tanda kunci akan dibuka. Davia mulai ketakutan, ia benci di ruang tertutup ini.

"Gue balik ke kelas dulu, ya, Dav. Bentar lagi jam pulang, nih. Lo baik-baik di dalam kamar mandi, nanti kuncinya gue titip sama satpam, deh," kata cewek di balik pintu itu sambil tertawa cekikikan. "Oh iya, Dav, gue kasih tau sama lo satu hal lagi. Devan itu punya gue, jadi jangan pernah mikir lo bisa dapetin dia meskipun lo sering ngabisin waktu sama dia!"

◎ ◎ ◎


Aaaaaaaaaaaaaaa!

Udah panjang, kan? Awas aja ada yang bilang kurang panjang lagi. Ini hitungannya udah 1.5 bab yang biasa, loh!

Selamat datang lagi di The Memories of Algebra lembar ke dua puluh empat. Bagaimana kabar perasaan kamu?

Aku dapet banyak pengalaman dan pelajaran selama bergabung di sini dan kenal kalian semua. Ayo janji temenan sampe nanti? kekekeke.

Bab-bab minggu ini bakal penuh kejutan, aku harap kalian terkejut? Ehehehe.

Oh iya, GIVEAWAY PUTARAN KEDUA NYARIS DITUTUP. Udah ikutan? Jangan lupa ikutan dan lengkapin persyaratannya, ya? Giveaway ketiga menanti kalian, nih.

Okedeh, ada mau cerita atau bahas sesuatu? Ayo di kolom komen.

Sampai ketemu di bab-bab selanjutnya, yaaa!

Love,
Tamara

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro