Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

◎ 20. Keputusan Salah ◎

Baby, i miss you.

Ponsel Davia berbunyi berulang kali. Cewek itu mematikan ponselnya dan berlari menuju kelas. Ia tahu pasti siapa pengirim pesan itu, dan ia membencinya.

Sesampainya di kelas, Davia menaruh kepalanya di atas meja, lalu memejamkan mata. Ia benar-benar sangat kesal sekarang. Setelah apa yang dilakukan Rendi dan Arman di kantin, kali ini giliran ponselnya yang berubah.

Davia sempat melihat pengirim pesan tadi, ia memilih tidak membalasnya lebih dulu. Ia tidak mengerti kenapa orang itu kembali datang ke hidupnya. Padahal Davia sudah berusaha melupakannya.

Ia mengeluarkan ponsel di kantungnya, lalu menyalakan benda itu lagi. Layar putih muncul dan beberapa menit kemudian ponselnya menyala. Davia menggerakkan jarinya ke arah aplikasi perpesanan ketika bunyi notifikasi kembali terdengar.

By
Maaf
Saya tahu saya salah karena pergi gitu aja
Tapi saya balik buat kamu
Kamu jangan diemin saya kayak gini
Ayo bicara
Baby

Davia melempar ponselnya ke dalam tas. Ia sudah berhasil merangkak keluar dari dunia itu. Namun, kenapa cowok yang membuatnya patah hati itu kembali? Ia merasa muak karena seperti dipermainkan, tapi ia tidak bisa berbohong. Ada rindu yang masih tersisa di hatinya.

Kesal, Davia pun memutuskan untuk menutup kembali pesan itu dan mematikan ponselnya. Ia tidak akan menjawab pesan Jevan kali ini. Tidak akan.

◎ ◎ ◎

Jam pulang sudah berbunyi, Davia buru-buru merapikan tas dan berjalan keluar kelas. Ia masih takut setiap mengingat kejadian kemarin, ketika ia dikunci di dalam kelas sendirian.

Ia berjalan cepat menuju pagar sekolah dan menunggu taksi yang dipesan melalui aplikasi daring datang. Sambil menunggu, sesekali ia melihat ponsel dan menggigit bibirnya. Seharian ini Devan tidak mengabarinya, Davia juga belum melihat Devan sama sekali, bahkan di perpustakaan.

Ia sedikit khawatir, tapi tetap berpikir positif. Mungkin kakak kelasnya itu sedang mengurus ayahnya di rumah sakit. Tiba-tiba senyum Davia melebar.

Tidak lama kemudian, sebuah mobil berwarna hitam menepi ke arahnya, ia mendekat dan membuka pintu di samping kursi pengemudi.

"Pak, atas nama Davia?" tanya Davia ramah.

Bapak yang memegang kemudi itu mengangguk. "Iya, Dek, selamat sore, ya. Silakan naik."

Bunyi kunci mobil yang dibuka terdengar. Davia duduk di sebelah pengemudi dan memakai safety belt-nya.

"Pak, saya ubah lokasi nggak apa-apa, kan? Tadinya mau langsung pulang, tapi tiba-tiba pengin mampir ke satu tempat dulu," tanya Davia. Ia sudah memegang ponsel dan membuka aplikasi pemesanan taksi daring itu.

"Iya, nggak apa-apa, Dek. Langsung ubah aja di aplikasi. Memang mau ke mana dulu jadinya?"

"Rumah Sakit Indra Medical."

◎ ◎ ◎

Tangan Davia sudah penuh dengan satu keranjang berisi buah-buahan. Ia berjalan memasuki lobi rumah sakit dan segera menuju lift dan menekan angka 4 sebagai lantai tujuannya.

Sesampainya di lantai 4, ia berjalan menelusuri lorong sambil mengingat nomor kamar ayah Devan. Iya, Davia akhirnya menjenguk ayah rekan timnya itu. Mungkin saja nanti ia akan bertemu dengan Devan.

Terasa aneh memang, tapi Davia merasa harus melakukan ini. Ia harus datang dan menjenguk ayah Devan lalu memastikan keadaan Devan baik-baik saja sekarang.

Davia sampai di depan kamar bernomor 412. Ragu, Davia mengintip dari lubang kecil di pintu. Ia segera mundur ketika melihat seseorang sedang berada di dalam sana.

Dari bayangannya, seseorang itu adalah wanita yang anggun. Rambutnya disanggul ke belakang, dan badannya tampak tegak meski dalam posisi duduk. Setelah menimbang sebentar, Davia menunggu di kursi. Ia akan masuk ketika wanita itu selesai menjenguk.

Sambil menunggu, mendadak kekhawatiran Davia muncul. Ia belum pernah bertemu dengan ayah Devan. Bagaimana jika nanti ayahnya itu malah mengusir Davia? Pemikiran itu membuat Davia cemas, ia menggigit kukunya.

Ia berdiri, berjalan mondar-mandir, dan akhirnya memilih kembali pulang tanpa menemui ayah Devan. Ia meninggalkan keranjang buah yang dibawanya tadi di depan ruangan.

Saat akan berjalan ke arah lift, tiba-tiba terdengar suara teriakan yang sangat keras. Langkah Davia terhenti, kakinya gemetar. Ia yakin suara itu berasal dari kamar 412.

Pelan, ia melangkah kembali menuju kamar di mana ayah Devan dirawat. Ia melangkah dengan takut dan gemetar. Ketika ia mengulurkan tangan akan membuka pintu, suara derap langkah mengagetkannya.

Davia menoleh dan melihat beberapa suster dan seorang dokter menuju ke arahnya. Mungkin, tombol darurat di dalam kamar telah ditekan. Davia mengambil langkah mundur dan bersandar pada dinding. Tangannya dilipat di dada, sambil sesekali ia berdecak.

Tidak lama kemudian, dari dalam kamar 412 keluarlah seorang wanita dengan air mata menggenang di pelupuk matanya. Wanita itu tampak sangat shock. Ia memeluk tubuhnya sendiri.

Davia berada pada dilema, haruskah ia menghampiri wanita itu dan bertanya ada apa? Namun, bagaimana jika Devan nantinya marah pada Davia?

Naluri Davia tersentuh. Ia mengeluarkan sekotak tisu dari dalam tasnya, lalu menghampiri wanita itu. Ia menawarkan tisu pada wanita yang sedang menangis itu.

"Tante, butuh tisu?" kata Davia, dengan suara sangat pelan.

Wanita itu mengangkat wajahnya, dan mengangguk. Ia mengambil beberapa helai tisu lalu menghapus air mata yang membasahi wajahnya.

Davia memperhatikan wanita itu, ia seperti mengenal sosoknya, tapi tidak ingat sama sekali siapa. Wanita itu masih tampak cantik meski wajahnya sembab dan matanya bengkak. Eyeliner hitam yang luntur memperparah tampilan wajahnya.

"Terima kasih," kata wanita itu. "Kamu lagi menjenguk temanmu?"

Davia menggeleng. "Tadi mau jenguk papanya teman, Tante, tapi sepertinya Davia salah waktu," jawabnya sambil tersenyum ramah.

Wanita itu mengangguk, ia menarik tangan Davia pelan dan mengajaknya duduk. "Maaf kita bertemu dalam waktu yang nggak benar. Kamu akan menjenguk di kamar nomor berapa?"

Ragu, Davia pun menunjuk kamar yang baru saja didiami oleh wanita di hadapannya. "Davia mau jenguk papanya Kak Devan, Tante. Cuma tadi ada Tante dan akhirnya Davia mutusin buat pulang."

Mata wanita itu membesar. "Kamu kenal Devan?"

"Iya, Tante. Kak Devan itu kakak kelas sekaligus rekan tim olimpiade Davia. Kenapa, Tan? Tante ini tantenya Kak Devan, ya?" tanya Davia lagi.

Wanita itu menggeleng. "Saya Anna, mamanya Devan."

◎ ◎ ◎


Selamat soreee~
Pasti pada nyariin matematika lagi, ya?

Sengaja aku umpetin dulu buat matematikanya, kita balik fokus sama masalah yang lain hehehe. Gimana? Ada yang tebakannya waktu itu benar?

Anyway, mulai bab ini aku bakal jarang nongol, nih. Eits, tapi tenang aja, bakal ada orang lain yang muncul buat nemenin kalian.

Penasaran? Coba komen yang banyak di bab ini supaya dia bakal muncul secepatnya kekekeke.

Buat yang nanya grup WA The Memories of Algebra, kita udah close member, yaaa. Bakal open member lagi, tapi nanti. Tunggu aja waktunya, ok?

Dan siapa di sini yang udah ikut Giveaway Putaran Kedua? Ayo ajak semua temenmu ikutan biar kesempatan hadiah keluar dan jadi punya kamu semakin besar. Langsung cus ke akun MosaicRile, EttaGurl, dan acrizzely buat ikutan!

Oki doki, sampai ketemu hari Kamis.
Love,
Tamara

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro