◎ 2. Kabar Baik ◎
Davia menjatuhkan dirinya di tempat tidur, masih sambil memeluk amplop yang diberikan oleh kakak kelasnya itu. Ia berguling, lalu tertawa sendiri. Jam menunjukkan pukul empat sore, dan mamanya baru akan pulang dua jam lagi. Artinya, ia harus menahan euforia itu untuk waktu yang cukup lama.
Tidak ingin membuang waktu, ia berlari ke kamar mandi dan membersihkan dirinya dalam waktu singkat, lalu menuju dapur dan mengenakan celemeknya. Hal itu sudah menjadi kebiasaan bagi Davia, ia akan memasak makanan enak ketika merasa bahagia.
Sambil mengetuk jari di dagu, ia membuka kulkas dan memilih beberapa jenis sayuran dan protein yang akan diolah. Untungnya, ia memang sudah terbiasa memasak sejak kecil dan tidak lagi canggung.
Ia bersiul sambil memotong wortel, buncis, kentang, lalu memasak air. Semua dilakukannya dengan ringan. Mungkin karena sudah begitu lama ia tidak merasa sebahagia ini. Sesekali ia merapikan anak rambutnya ke samping, lalu kembali sibuk memasak.
"Wah, ada apa ini anak Mama rajin banget? Memang Bi Ani ke mana?"
Davia menoleh ke sumber suara dan tersenyum lebar. Ia berlari menghampiri mamanya dan menghambur ke pelukan wanita berumur pertengahan empat puluh tahun itu.
"Ma, Davia seneng banget ini," kata Davia, senyum terus terukir di bibirnya. "Seriusan banget seneng. Bi Ani ada di belakang, kok. Lagi Davia kasih libur."
"Iya, kenapa? Mau cerita? Tumben banget kamu ngasih libur dadakan ke Bi Ani," jawab Mama sambil menarik Davia pelan ke kursi di meja makan yang tidak jauh dari tempat mereka berdiri.
"Mau, tapi ...," Davia menggantung kalimatnya, membuat Mama mengangkat salah satu alisnya, menunggu penjelasan. "Davia masih masak. Mama mandi dulu aja, nanti kalau udah matang semua, kita ngobrol."
Mama mengusap puncak kepala anak kesayangannya itu lalu mengangguk. "Iya deh, Mama mandi dulu. Papa juga sebentar lagi pulang."
Davia mengacungkan jempol ke arah mamanya tanda setuju. Ia bergegas memutar tubuh dan kembali ke dapur menyelesaikan masakannya yang tertunda. Ia terus bersiul, mama dan papanya pasti akan bangga.
Kira-kira satu jam kemudian, Davia selesai memasak dan menyiapkan makanan di meja makan. Ia memanggil kedua orang tuanya lalu berlari ke kamar mengambil amplop yang sejak tadi siang menjadi barang berharga miliknya.
"Jadi, kamu kenapa?" tanya Mama sambil memasukkan suapan pertama ke mulutnya. "Udah lama kamu nggak masak besar gini."
"Nggak besar-besar amat kok, Ma. Davia cuma masak sop dan ayam goreng. Hitung-hitung bantu Bibi masak," sanggah Davia. Ia makan dengan lahap, tidak sabar ingin menceritakan semua pada mama dan papanya.
Di meja makan pun hanya terdengar suara sendok dan piring yang bersentuhan sesekali. Tidak ada suara pembicaraan lain, bahkan Papa pun hanya diam. Bukan hal aneh memang, karena sifat Papa memang sangat pendiam dan Davia sudah mengenalinya cukup lama.
Selesai makan, Davia membantu Bibi merapikan piring dan membawanya ke tempat cucian. Sementara itu mama dan papanya sudah menunggu di ruang santai.
Ketika cewek chubby itu masuk ke ruang santai, ia melihat pemandangan yang sudah biasa dilihatnya. Mamanya sibuk dengan rajutan di tangan, sementara papanya dengan gawai yang terus tergenggam.
"Ma, Pa," panggil Davia. Ia duduk di kursi seberang mama dan papanya.
"Jadi kenapa, Dav?" tanya Mama tanpa mengangkat pandangannya dari rajutan. "Kamu seneng banget, ada apa? Dapet door prize?"
Davia menggeleng.
"Terus kenapa?" tanya Mama lagi.
Tanpa menjawab, Davia menaruh amplop di meja yang menjadi penghalang ketiganya. "Coba Mama sama Papa buka deh."
Papa menaruh gawainya di meja, lalu membuka amplop yang disodorkan Davia. Beliau membaca kalimat yang tertera di dalam surat itu, dan memberikannya pada mamanya Davia.
Mama menerima amplop itu dengan antusias, secercah senyum langsung muncul di bibirnya. Mama menaruh rajutan lalu menghampiri anak satu-satunya itu dan memeluk erat tubuh gempalnya.
"Wah, anak Mama hebat. Bisa kepilih jadi tim olimpiade Matematika satu sekolah. Bareng sama anak kelas 11 pula," puji Mama sambil mengacak rambut Davia.
Davia tertawa senang. "Makanya, Ma. Davia juga nggak nyangka, padahal seinget Davia saingannya banyak banget dan beberapa dari mereka itu kakak kelas."
"Kamu harus belajar lebih lagi, Dav. Buktiin walaupun kamu masih kelas 10, kamu bisa bantu temen tim kamu buat menangin ini," pesan Mama lagi. Beliau melempar pandangan ke arah Papa sambil berdeham.
Papa yang menyadari kejanggalan itu segera mengangkat wajah. "Ya ... bagus."
"Pa!" tegur Mama gemas. "Papa nggak mau bilang apa-apa sama Davia?"
Senyum lebar di bibir Davia mendadak hilang, sebenarnya ia sudah tahu papanya akan tetap diam dan tidak mengatakan apa-apa padanya. Hanya saja, ternyata hatinya masih belum cukup kuat ketika harus langsung berhadapan dengan sikap dingin Papa.
"Ya, selamat. Memang harus begitu kalau jadi anak Papa," kata Papa lagi, bibirnya sedikit terangkat, seperti tersenyum. Senyum yang dipaksakan dan malah jadi terlihat aneh.
"Iya, Pa, Ma. Davia janji bakal lakuin yang terbaik buat olimpiade ini. Davia nggak akan main-main lagi," kata Davia berusaha tertawa.
"Iya, Sayang, kalau kamu perlu les tambahan atau apa. Kamu bisa bilang sama Mama dan Papa. Mama dan Papa bakal bantu kamu," kata mamanya lagi, ia sangat bangga dengan apa yang diperoleh anak semata wayangnya ini.
"Davia bakal ada kelas tambahan bareng Kak Devan sih, Ma. Dibimbing sama Bu Eka dan guru matematika lain juga. Jadi kayaknya udah cukup buat sementara," jawab Davia.
"Kamu harus buktiin kamu bisa menang, Dav," kata Papa tiba-tiba. "Jangan tunjukkin kelemahan dan kekurangan kamu, tapi tunjukkin apa yang bisa kamu lakuin dengan kekurangan kamu."
Perkataan Papa membuat semangat Davia bertambah. Meskipun hanya satu kalimat tidak terlalu panjang dan terkesan dingin, ia benar-benar membutuhkan itu sebagai masukan.
Davia menghambur ke pelukan Papa. "Davia janji sama Papa. Davia bakal menang."
◎ ◎ ◎
Mata Davia sudah nyaris terpejam ketika suara ponsel terdengar. Ia menimbang sebentar, lalu mengangkat panggilan yang masuk di ponselnya.
"Besok jam tiga sore di perpustakaan lorong lima."
Davia mengernyit heran, tanpa perlu berpikir lama pun ia sudah tahu siapa yang sedang menelepon dan bicara dengannya ini. Hanya saja, ia sedikit kaget karena cowok di seberang sana bicara langsung tanpa mengucapkan salam.
"Iya, Kak Devan."
"Jangan terlambat, waktu kelas tambahan cuma dua jam dan gue enggak mau lo buang waktu," kata Devan lagi. "Oke, tidur sekarang. Udah malem."
"Tapi Kak ini gu—"
Sambungan dimatikan secara sepihak. Lagi-lagi Davia hanya bisa melongo memandang ponsel yang perlahan mati di tangannya. Satu yang Davia mulai sadar, olimpiade Matematika itu akan memiliki banyak halangan, termasuk Devan.
◎ ◎ ◎
Selamat hari Selasa!
Jadi, siapa yang ekspektasinya terhadap Devan hancur begitu saja? Atau jangan-jangan malah makin jatuh hati sama Devan?
Oh iya, aku lagi galau, nih. Kira-kira, enaknya aku update jam berapa, ya? Coba coba kalian kasih saran. Kalian mau baca TMoA ini jam berapa?
Oh iya lagi lagi, misal kalian nemu quote lucu atau percakapan yang kalian suka, dan pengin pos di IG, jangan lupa tag aku, ya! Akun ig-ku @tatamaraaaa, jangan salah, yaa, a-nya ada 4! Aku bakal meluncur ke IG kalian ASAP. Dan jangan lupa hastag-nya #TheMemoriesofAlgebra :3
Terakhir, aku sayang kalian, meskipun lebih sayang Jungkook Oppa dan Yeonjun uwu. Sampai ketemu hari Kamis!
Love,
Tamara
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro