Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

◎ 18. Pembicaraan Singkat ◎

"Kenapa lagi lo? Kesambet?"

Emosi Davia naik mendengar perkataan Devan. Ia membuka mulutnya lebar hendak meluapkan kekesalannya pada cowok di hadapannya ini. Namun, Devan cepat tanggap. Ia memberi tanda agar Davia menutup mulutnya.

"Gue lagi pengin bahas hal lain, jangan debat gue dulu," kata Devan. "Hari ini kita nggak belajar, kan? Berarti harus ada hari kita bikin dua sesi. Minggu ini gimana?"

"Kak, yang bener aja. Hari Minggu masih harus ngerjain soal olimpiade dua sesi?"

Devan mengangguk. "Kenapa emang?"

"Lo nggak takut kepala lo berasap?" tanya Davia tidak mengerti dengan Devan. Ia tahu cowok ini berambisi untuk menang, tapi hal ini terasa sangat tidak masuk akal.

Devan mengangkat bahu, ia melepas kacamata, memijit ujung hidungnya pelan, lalu memakai kembali kacamata itu. "Gue yang nentuin kapan kelas, jadi lo harus terima suka nggak suka."

"Terus ngapain tadi lo nanya sama gue?" kata Davia ketus. "Gue nggak ngerti deh, Kak. Kenapa sih lo selalu aja nyari ribut sama gue?"

Devan mengeluarkan ponselnya, menggeser layar, lalu menunjukkan benda itu pada Davia. "Gue nggak paham kenapa jawabannya bisa sesimpel ini. Lo ngerti nggak?"

Kening Davia berkerut, lalu tawanya pecah. Ia mengambil selembar kertas dan pulpen dari dalam tasnya lalu mencoret-coret di sana.

"Ini soal konyol, Kak, lo nggak bisa?" kata Davia. Ia membuat enam kolom dan menulis angka di setiap kolomnya.

16 — 06 — 68 — 88 — n — 98

"Nah, kita harus cari n itu berapa, kan?" kata Davia lagi. Ia memperlihatkan sekilas kertas pada Devan.

Cowok itu mengangguk. "Gue nggak ngerti itu lompatannya berapa rumusannya gimana, kenapa bisa nemu n-nya?"

"Lo nggak ngertinya gimana, Kak?"

"Dari enam belas, ke enam, terus ke enam puluh delapan. Nggak ada rumus yang bisa dipake buat itu semua," jawab Devan. Ia menyesap teh tawar yang baru saja disajikan.

Davia tertawa lagi. "Ya emang nggak ada. Ginian doang mana butuh rumus."

Kali ini giliran Devan memandang Davia bingung, ia mengernyitkan kening. "Mana bisa ngerjain soal kayak gitu nggak pake rumus?"

"Ini cuma masalah sudut pandang, Kak," jawab Davia. Ia memberikan kertas coretannya pada Devan. "Coba liat, ada yang beda, nggak?"

Devan memperhatikan kertas itu lekat-lekat, memutarnya 180 derajat, lalu kembali ke posisi semula. Menyerah, ia menyerahkan kertas itu lagi pada Davia. "Nggak ngerti gue."

"Gue bilang kan soal sudut pandang, Kak," jawab Davia. "Coba sekarang lo balik kertasnya."

Devan mengikuti perintah Davia, keningnya kembali berkerut. "Nyerah, kasih tahu gue rumusnya."

Davia tertawa. "Ini nggak pake rumus, Kak. Lo cuma perlu balik kertasnya, dan liat dari sisi lain. Angkanya berubah nggak?"

Mata Devan terbuka lebar, ada semu merah di pipi tanda ia malu karena tidak teliti. Angka yang dikiranya enam belas tadi berubah menjadi sembilan puluh satu. Angka nol dan enam menjadi sembilan puluh dan begitupun selanjutnya.

"Jadi ini cuma suruh ngurutin?"

Davia mengacungkan jempolnya. "Bener. Gampang, kan? Jawabannya delapan puluh tujuh. Karena kolom pertama itu delapan puluh enam dan kolom ketiga delapan puluh delapan."

Tawa Devan pecah. Ia merutuki kebodohannya tadi, tapi juga merasa puas dengan jawaban Davia. "Keren juga. Logika matematika lo jalan ya, Dav?"

"Nggak juga, sih, Kak. Cuma emang kadang perlu usaha yang sederhana buat nyelesaiin soal. Gimana, ya, menurut gue sih kadang kita perlu chill. Nggak usah terlalu ambisius buat sesuatu, apa pun yang berlebihan kan nggak baik?" kata Davia menjelaskan.

"Lo nyindir gue?" jawab Devan santai, ia mulai memakan makanannya yang baru datang.

"Enggak, yaaa ... dikit deh," kata Davia. "Lo terlalu serius dan kadang ambisius, Kak. Gue jadi serem sendiri. Bagus, sih. Cuma ... ya gimana ya?"

"Menurut gue, lo terlalu chill. Gue nggak tau sih apa yang lo jalanin, tapi nggak semua orang bisa dapet apa yang mereka mau kalau nggak usaha keras," jawab Devan. "Nggak semua orang hidup seenak lo."

Davia menggigit bibirnya. "Jadi gue itu juga nggak enak, Kak. Gue chill karena gue nggak mau stress."

"Nggak enaknya gimana?" tanya Devan. "Karena lo selalu diledekin sama spesies-spesies yang kekurangan bahan bully?"

Tidak ada jawaban dari Davia. Ia merasa tubuhnya bergetar. Kejadian tadi sore kembali muncul di pikirannya. Bukan, ia bukan takut. Hanya saja ia terlalu lelah menghadapi semua hal yang tidak menyenangkan itu.

"Lo nggak akan diledek kalo lo nggak ngebiarin diri lo diledek," kata Devan pelan. "Lo harus berdiri ngelawan mereka, bukan biarin diri lo diinjek-injek sama mereka."

"Gimana caranya?" tanya Davia, bibirnya bergetar menahan tangis. "Gimana caranya ngelawan kalo apa yang mereka bilang itu benar?"

"Buktiin kalo omongan mereka salah. Mereka cuma nilai lo dari kekurangan lo yang sekarang, nggak berguna. Lo harus buat kekurangan lo jadi nilai tambah lo. Bukan penghalang lo," kata Devan lagi.

"Lo nggak tau seberapa beratnya hidup gue," kata Davia. "Dan gue juga nggak tau apa yang lo jalanin."

Devan hanya diam, ia terus sibuk dengan makanannya sementara Davia kehilangan selera makannya, ia tidak ingin menyentuh makanan itu, tapi ia takut Devan akan kembali mengoceh.

"Bokap lo kenapa?" tanya Davia, berusaha mengalihkan pembicaraan.

"Kena pecahan kaca," kata Devan. "Jatoh katanya pas ngambil makan."

"Kok bisa?"

"Kepeleset, gue nggak tau. Kan gue nggak ada tadi," jawabnya lagi. Ia membersihkan sekitar mulutnya dengan tisu. "Bokap udah nggak apa-apa tapi, nggak usah khawatir."

Davia mengangguk. Ia menimbang sebentar, sebelum akhirnya melanjutkan. "Nyokap ke mana, Kak?"

Rahang Devan mengeras seketika, ia berdiri dan berjalan menuju tempat pemesanan. Davia bingung, tapi ia berlari menyusul Devan.

"Kak?"

Devan tidak menjawab, setelah membayar, ia berjalan ke arah motor tanpa mengeluarkan suaranya sedikit pun. Davia tahu ia berbuat kesalahan lagi sekarang. Ia berlari mengejar Devan dan langsung mengambil helm yang disodorkan cowok itu.

Dalam waktu singkat, Devan sudah menjalankan motornya dengan cepat. Davia berpegangan pada tas cowok itu, ia takut. Namun, ia percaya Devan tidak akan mencelakainya.

Setengah jam perjalanan terasa sangat lama. Davia menarik napas lega saat akhirnya kakak kelasnya itu menurunkannya di depan rumah miliknya.

"Kak, makasih ya, udah dianter pulang. Tadi makan berapa?" kata Davia pelan.

Devan menurunkan kaca helmnya dan menyalakan mesin. "Nggak usah, gue traktir. Anggep aja ucapan makasih gue karena lo nemenin gue."

Davia hanya mengangguk. Tidak berani menjawab.

"Kak, maaf soal pertanyaan gue tadi."

Devan mengangguk. "Nyokap gue udah nggak ada, jadi jangan pernah tanya lagi apa pun itu tentang nyokap gue."

◎ ◎ ◎

Selamat siaaaang!
Apa kabar hari ini? Udah pada makan siang? Yang ujian, gimana ujiannya? Yang libur, gimana liburannya?

Selamat datang di pertengahan kisah The Memories of Algebra, lembar ke sembilan belas. Sejauh ini, ada yang udah capek baca pertengkarn mereka?

Semoga makin banyak yang suka dan terinspirasi pas baca TMoA ini, yaaa. Aku seneng banget setiap ada yang cerita kalau kalian ngerasa relate atau terinspirasi karena TMoA. Remember this, you are not alone, and let's spread your love for your ownself, k?

Oh iyaaa, GIVEAWAY PERTAMA RESMI DITUTUP, yaaa. Tunggu pengumuman pemenangnya di akun Kak Bong, Kinu, dan Ray. Sekarang aku bawa kabar lagi.

GIVEAWAY PUTARAN KEDUA!

Kali ini aku dan tim punya hadiah yang menarik banget buat kalian. Apa aja list hadiahnya?

1. Novel My Sister's Keeper by Jodi Picoult
2. Novel Sepenggal Kata + paket bonus by Anna Chrisdae
3. Pulsa total 100k

Gimana? Makin makin kan hadiahnya? Penasaran dan mau ikutan? Gampang, kok! Meluncur aja ke akun EttaGurl, MosaicRile, dan acrizzely lalu lihat message board-nya untuk ketentuan lebih lanjut. Good luck!

Terakhir, #SaveDoubleD supaya nggak tergantung, yaa? Ayo ajak temen-temen kalian buat baca dan dukung The Memories of Algebra.

Terima kasih.
Love,
Tamara

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro