◎ 17. Rumah Sakit ◎
Devan menyalakan motornya, lalu berkata, "Bokap gue bermasalah. Gue harus cepet ke sana."
Davia hanya bisa menuruti setiap perkataan Devan saat itu. Ia langsung mengeluarkan ponsel dan mengirim kabar kepada mamanya kalau ia akan pulang terlambat hari ini.
Devan mengemudikan motor dengan kecepatan sedang, ia berusaha menghindari kemacetan dengan memasuki beberapa jalan kecil. Davia sama sekali tidak tahu apa yang harus dilakukannya saat ini.
Ketika mesin motor dimatikan pun, Devan masih diam tanpa suara. Davia memegang ujung jaket Devan yang berjalan cukup cepat di depannya. Bukan karena apa, ia takut jika Devan panik dan meninggalkannya.
Keheningan terjadi ketika keduanya berada di dalam lift menuju lantai empat. Davia hanya merasa tubuh Devan terasa sedikit bergetar dari balik jaketnya, ia membetulkan posisi kacamatanya berulang kali sambil mengacak rambut.
"Kak," panggil Davia takut.
Devan menoleh, tapi tidak menghentikan langkahnya. "Kenapa?"
"Gue ... gue—"
Perkataan Davia terhenti ketika seseorang menghampiri mereka yang baru saja keluar dari dalam lift. Orang itu terlihat ramah dan menenangkan, ia menepuk bahu Devan, lalu mengajaknya menyusuri lorong.
"Papa gimana, Om?" tanya Devan.
Orang yang dipanggil Om itu tersenyum kecil. "Udah mendingan, tapi dia nyari kamu dari tadi."
"Kenapa bisa?" tanya Devan lagi.
Langkah keduanya berhenti di depan satu ruangan bernomor 412. Davia mundur, nalurinya berkata ia sebaiknya segera menjauh, mungkin Devan membutuhkan waktu untuk sendiri tanpa diganggu. Dari sudut matanya, Davia melihat Devan mengusap wajah, sebelum akhirnya masuk ke dalam ruangan itu. Om yang tadi mengantar meremas bahu Devan, seolah menguatkan.
Jari Davia tertaut satu sama lain. Ia benar-benar merasa kebingungan dan tidak tahu apa yang harus dilakukannya lagi. Ia memutuskan untuk membuka ponsel dan mengamati isinya demi membuang waktu.
"Maaf, Dek, kamu temannya Devan?" tanya Om itu sambil tersenyum ramah.
Davia mengangguk. "Iya, Om. Teman satu tim olimpiadenya Kak Devan."
Keheningan kembali terjadi, hanya terdengar langkah kaki yang melewati lorong dan detik dari jarum jam. Davia terus berusaha sabar menanti, ia tidak boleh mengucapkan kalimat yang mungkin ia sesali nanti. Ia berulang kali meminta agar dirinya dapat menahan rasa ingin tahunya.
"Kemarin ... kamu ke rumah Devan, kan?"
Davia mengangkat wajahnya, lalu mengangguk. "Iya, Om. Beberapa hari lalu."
"Itu pertama kalinya saya ngeliat temannya Devan datang ke rumah," kata om itu. "Devan banyak berubah, sejak kepergian ibunya sepuluh tahun lalu."
Dilema mulai dirasakan Davia. Cewek itu penasaran, tapi juga ragu, apa ia boleh mendengar semua cerita ini. Namun, akhirnya ia memutuskan untuk menyimpan ponsel dan mendengarkan apa yang bapak itu katakan.
"Om tetangga dari keluarga Devan sejak lama. Dulu mereka bahagia, sangat. Namun, tiba-tiba sesuatu—"
Pintu ruangan tempat Devan tadi masuk terbuka. Tidak lama kemudian muncul sosok Devan yang tampak sedikit kusut. Ia melangkah menghampiri Davia.
"Om Aris, Papa udah tidur. Makasih Om udah nemenin Papa tadi, saya nggak tau akan gimana kalau nggak ada Om," kata Devan sopan.
Om Aris mengangguk. "Ya udah, Dev. Kamu anter dulu temenmu pulang, udah malem juga."
"Eh, nggak usah, Om," jawab Davia, beralih ke Devan, "Kak, gue balik sendiri aja. Tinggal mesen ojek daring."
Devan menggeleng. "Tadi kan gue bilang gue bakal anter lo balik, jadi ya lo pulang sama gue."
"Tapi, Kak, bokap lo kan lagi sakit. Gue nggak mau ngerepotin, gue bisa balik sendiri, kok," jawab Davia, keras kepala.
Devan tidak menjawab, ia menarik pelan tas Davia dan menyeretnya menuju lift. Davia memberontak hingga tangan Devan terlepas dari tasnya.
"Kak, gue itu bukan kambing. Kalo lo emang mau nganterin gue balik, baik-baik dong," kata Davia. "Gue tadi cuma nggak mau ngerepotin lo."
Devan tidak menjawab, ia mengusap wajah. "Kita masih d rumah sakit. Kalo lo mau ngajakin gue debat, nanti di luar."
Setelah mengatakan itu Devan mundur hingga ke sudut lift dan bersandar di sana sambil melipat tangan di dada. Matanya terpejam, meski beberapa kali keningnya berkerut.
Pintu lift terbuka, Davia beranjak keluar diikuti Devan di belakangnya. Cowok itu menyamakan langkahnya dengan Davia.
"Udah bilang nyokap lo belum kalo lo pulang telat karena nemenin gue?" tanya Devan.
Davia mengangguk. "Udah, kata Mama jangan ngerepotin lo, Kak. Makanya tadinya gue mau pulang sendiri aja."
Devan mengembuskan napasnya kesal, ia meninggalkan Davia di belakang. Perasaannya saat ini sangat tidak jelas, ia merasa sedikit lelah.
Davia yang melihat itu hanya terdiam dan mengikuti Devan. Mungkin sudah saatnya cewek itu menutup mulutnya. Davia mengeluarkan ponsel dari kantung seragamnya. Ia memilih untuk berjalan menghabiskan waktu ke tempat parkir sambil mengecek sosial medianya.
Sesekali Davia tertawa kecil, menahan malu karena sedang berada di luar ruangan. Cewek itu sesekali mempercepat langkahnya untuk mengejar Devan yang tidak sekalipun menoleh lagi ke belakang.
Sesampainya di samping motor Devan, cewek itu memasukkan ponsel dan memakai helm. Devan masih menutup mulutnya. Ia menyalakan mesin motor dan memberi tanda agar Davia naik.
Davia segera naik ke boncengannya, ia membuka kaca helm yang menutupi wajahnya dan berkata, "Kak, masih inget jalan ke rumah gue, kan?"
Devan mengacungkan jempol. Ia mulai mengemudikan motor. Suasana kembali hening, hanya terdengar bising jalan raya. Anehnya, hening itu tampak menyenangkan. Davia merasa lelah dan mengantuk, belum lagi apa yang terjadi dengannya hari ini benar-benar ... membuatnya terkejut.
"Dav, jangan tidur," kata Devan pelan.
Davia yang tadi nyaris memejamkan matanya langsung terbangun. Ia mengerjapkan mata beberapa kali. "Udah sampe?"
Pandangan Davia berkeliling hingga keningnya berkerut. "Ini di mana sih, Kak? Katanya mau nganterin gue pulang?"
Devan mematikan mesin motor dan membuka helm. "Makan dulu. Lo dari tadi belum makan, kan?"
Mulut Davia terbuka lebar mendengar perkataan Devan, tapi ia tetap turun dari motor dan menyerahkan helm pada Devan. "Makan? Lo traktir?"
"Enggaklah, bayar masing-masing," jawab Devan singkat. Ia berjalan menuju salah satu tenda kaki lima yang menjual ayam goreng dan nasi uduk.
Ia memilih salah satu meja di pojok tenda. Davia mengikuti Devan sambil menggerutu kesal mendengar jawabannya. Ia pun duduk di hadapan Devan yang sedang memesankan makanan. Setelah selesai memesan, Devan memandang Davia yang terus saja memajukan bibirnya kesal.
"Kenapa lagi lo? Kesambet?"
◎ ◎ ◎
Selamat pagi dan selamat datang di pertengahan kisah The Memories of Algebra!
Ada yang aneh, nggak, lihat aku update jam segini? Kekekekeke. Pengin aja nyobain update pagi, semoga bisa terus gini. Kalau pagi tuh, bawaannya masih good mood soalnya.
Buat yang nanyain divider rumusnya mana, kak? Udah aku kembaliin lagi, tuh, divider rumusnya. Sekarang waktunya aku jawabin pertanyaan yang banyak kalian tanyain, nih.
Terus terus, yang nanyain visual Double D ... sabar dulu, ya? Rencanaku kemarin rada meleset. Dan untuk nyari visual yang fit sama Davia ini susah. Beneran susah.
RP TMoA BELUM ada. Cuma, aku udah buat grup base TMoA. Gimana joinnya? Chat aja ke salah satu admin dan minta join ke grup itu. Satu admin aja, ya, jangan lebih? Nomornya ada di bab 15.
Di grup bakal ada apa? Banyak. Intinya di situ kita mau seru-seruan sambil sharing dan saling ngedukung. Ngehalu jadi adeknya Devan juga boleh hahaha. Aku juga bakal muncul sesekali di jam yang nggak jelas haha.
Info pentingnya, grup TMoA AKAN CLOSE MEMBER tepat HARI INI JAM 22.00, ya. Setelah itu kita akan open member lagi di waktu yang nanti diinfokan. Jadi, tunggu apa lagi buat join?
Pertanyaan terakhir, Giveaway Review sama penulis pemenang Wattys2018 masih berlangsung sampai hari Rabu. Udah ikutan? Jangan sampe nggak ikutan, yaaaa!
Sekarang, aku mau nanya, nih. Rabu ini aku bakal biarin salah satu tokohku membajak sosmedku lagi. Kali ini aku biarin Melisa atau Rendi yang bakal ngebajak. Kalian lebih pengin ngobrol atau ngomelin yang mana? Atau pengin sama dua-duanya?
Komen pertanyaan, omelan, dan segala macamnya buat Melisa dan Rendi di sini, okaaay?
Ya udah kalo gitu. Sampai ketemu besok, ya! Besok bincang sama Melisa dan Rendi ya, hehe.
Keep love yourself more and be happy, xoxoxoxo
Tamara
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro