◎ 13. Mencari Alasan ◎
Dav, udah tidur?
Kening Davia berkerut membaca pesan itu. Pertama, tidak ada yang pernah mengiriminya pesan manis. Ke dua, pesan itu bukan berasal dari akun RP miliknya.
Matanya yang nyaris terpejam langsung terbuka lebar, ia membuka pesan untuk melihat siapa pengirimnya. Dan lagi-lagi ia terkejut. Nama Devan muncul di sana.
Dengan cepat Davia mengetik balasan untuk Devan. Pasti ada sesuatu yang sangat penting hingga membuat kakak kelasnya itu terpaksa menghubunginya melalui Whatsapp.
Belum
Kenapa, Kak?
Nggak.
Gue cuma mau tau jam berapa lo biasa tidur
Loh
Buat apa?
Davia menunggu jawaban Devan yang terasa sangat lama itu. Ceklis dua di pesannya belum juga berubah warna menjadi biru. Mungkin Devan sudah tertidur, sehingga ia pun memutuskan untuk mematikan ponselnya dan tidur.
Sayangnya, beberapa menit setelah ia memejamkan mata, sebuah pesan balasan untuknya telah dikirimkan oleh Devan.
Buat ngitung apa waktu belajar kita kelamaan dan bikin lo tertekan.
Jangan sampe kayak tadi lo tiba-tiba nggak mood.
◎ ◎ ◎
Davia merutuki dirinya sendiri sejak tadi. Ia meremas jari-jarinya berkali-kali. Sambil berjalan mondar-mandir, ia terus menggigiti kukunya dengan kesal
Sudah sepuluh menit ia berada di kamar mandi sekolahnya ini. Namun, ia belum memiliki keberanian untuk keluar dari sana. Padahal bel pulang sudah berbunyi sejak lima belas menit lalu.
Ponsel Davia berbunyi, ia terkejut dan mengecek nama peneleponnya. Setelah itu ia mengangkat panggilan sambil menggigiti jari.
"Dav, pulang jam berapa?"
"Bentar lagi pulang, Ma. Mau belajar juga kan di rumah. Kenapa?" sahut Davia.
"Mama mau nyusul Papa ke Medan. Bi Ani ada di rumah, kamu sama Bi Ani nggak apa-apa, kan?"
Bibir Davia mengerucut. "Kok dadakan, Ma?"
"Iya, Papa ada ketinggalan berkas. Daripada sayang ongkir kalau pake kurir, mending Mama yang anterin langsung sekalian jalan-jalan, kan?" jawab Mama sambil tertawa.
"Terus Davia gimana?"
"Kan ada Bi Ani," ucap Mama lagi, terdengar suara pintu mobil ditutup. "Jangan manja, ya? Mau dibawain oleh-oleh apa?"
"Bika Ambon," jawab Davia sedikit kesal, tapi tiba-tiba seakan mendapat pencerahan. Mungkin saja kondisinya ini bisa menyelamatkannya. Ia menjentikkan jari dan senyum lebar hadir di wajahnya. "Ya udah, Mama hati-hati, ya."
"Kok tiba-tiba kamu mau ditinggal?" tanya Mama curiga. "Tapi Mama buru-buru, nanti malam Mama telepon lagi, ya? Bye, Sayang."
Panggilan pun ditutup. Davia segera keluar dari kamar mandi dan berjalan terburu-buru menuju kelasnya. Beberapa kali Davia melirik jam di tangan kirinya, lalu mempercepat langkah.
Setelah sampai di kelas, ia merapikan tas dan barangnya, lalu berjalan keluar kelas. Ia harus menemui Devan secepatnya. Tadi siang Devan mengiriminya pesan dan memintanya menunggu di parkiran sekolah.
Davia dengan mudah menemukan cowok itu, motor biru kesayangannya selalu parkir di tempat yang sama, lima puluh meter dari pohon besar di tengah parkiran. Ia juga melihat Devan sedang memainkan ponselnya sesekali.
"Kak Devan!" panggil Davia, ia berusaha menyelip di antara motor-motor yang berjarak sempit. Sesampainya di depan Devan, ia berkata, "Kayaknya hari ini harus istirahat dulu deh, Kak. Soalnya nyokap gue pergi ke Medan, rumah kosong."
Devan memegang helm yang tadinya akan ia berikan pada Davia. "Batal? Nggak bisalah, gue udah bilang sama Bu Eka hari ini kita bakal belajar. Bu Eka juga minta gue ngirimin hasil kerjaan kita."
"Duh, gimana ya? Gue nggak enak kalo belajar di rumah sementara rumah kosong," kata Davia lagi. "Atau, di perpus aja gimana?"
"Perpus hari Senin tutup jam empat, sekarang udah jam tiga lewat dua puluh lima menit. Lo sanggup ngerjain soal cuma tiga puluh lima menit?" tanya Devan kesal.
Davia menggigit bibir. "Atau, di rumah lo aja gimana, Kak?"
Perkataan Davia membuat Devan mengerutkan kening, ia terlihat tidak nyaman. Diusapnya bagian belakang leher dengan kasar. "Rumah gue?"
"Iya. Gimana? Mau di taman aja atau nggak? Tapi di taman nggak ada colokan, handphone gue low batterai," jawab Davia lagi, tangannya ia sembunyikan di balik tubuh dengan dua jari saling bersilang. Ia berharap Devan akan menolak ajakannya itu.
Devan tampak menimbang sebentar, kemudian memberikan helm pada Davia. "Ya udah, di rumah gue. Ayo berangkat."
Mulut Davia nyaris terbuka lebar saat mendengar perkataan Devan. Ia benar-benar tidak percaya cowok di hadapannya ini mengizinkannya untuk belajar di rumahnya.
"Eh, eh. Di rumah lo ada siapa, Kak? Kalo rumah lo kosong, mending nggak usahlah. Kan masih ada besok?" bujuk Davia bingung. Jawaban dan reaksi Devan tadi bukanlah yang ia inginkan.
"Ada bokap. Nggak kosong. Udah jangan alesan, gue nggak bakal biarin lo dan alasan lo bikin rencana kita hancur. Cepet naik," kata Devan tegas.
Davia memajukan bibirnya kesal, tapi tidak menolak. Ia pun memakai helm dan menaiki motor Devan. "Kak, motor lo aman dipake gue udah dua hari?"
"Aman."
"Gue naik taksi aja, lo kasih alamatnya," kata Davia lagi. "Nanti motor lo rusak, gue nggak bisa ganti."
"Gue nggak minta ganti juga. Fokus gue cuma olimpiade ini, dan gue rasa motor gue bakal kuat buat bonceng lo sampe olimpiade kita kelar. Lo bisa ngitung sendiri, kan, kisaran nilai suatu barang yang punya masa kerja?" kata Devan cepat.
Kali ini Davia membuka mulutnya lebar, ia sama sekali tidak mengerti apa yang dimaksud oleh Devan.
"Ck, Ekonomi Akuntansi, bab dua kelas sepuluh," kata Devan. "Lo ambil apa sih?"
Davia tersenyum lebar. "Gue ambil Sosiologi, bukan Ekonomi. Ya udah ayo cepet."
Devan menyalakan mesin dan langsung menancapkan gas. Jaraknya ke rumah tidak begitu jauh, dan lebih cepat sampai tampak lebih baik.
Hanya dua puluh menit perjalanan, Davia sudah sampai di sebuah rumah dengan pagar tinggi berwarna hitam. Devan membuka pagar dan mempersilakan Davia masuk.
Rumah dengan cat hijau itu harusnya tampak asri dan menyenangkan. Beberapa tanaman dalam pot terlihat di pekarangan rumah, mata Davia langsung tertuju pada sebuah pot berisi bunga matahari yang sedang mekar.
"Jangan dipegang," kata Devan. "Itu bunga kesayangan bokap gue, dia nggak bolehin siapa pun megang bunga itu."
"Termasuk lo?"
Devan mengangguk. Davia hanya tersenyum simpul sambil membuka helmnya. Ia mengulurkan helm itu ke arah Devan. "Yang nanam ini, nyokap?"
Devan berdecak. "Lo masuk aja lewat pintu depan, nggak dikunci. Duduk di sofa, terus diem. Gue masuk lewat belakang."
Setelah mengerti instruksi Devan, Davia mengangguk dan membiarkan Devan meninggalkannya. Davia masih sibuk melihat beberapa tanaman di sana, semua tampak indah dan terawat. Ia yakin mamanya Devan adalah sosok yang sangat penyayang.
Setelah merasa cukup puas mengagumi halaman depan rumah Devan, Davia melangkah masuk ke dalam rumah. Ia mengetuk pelan pintu berwarna kayu itu lalu berjalan masuk. Tepat ketika ia melangkahkan kaki ke dalam rumah. Suara benda jatuh yang cukup kencang terdengar, disusul teriakan keras seperti ada pertengkaran.
"Pergi kamu! Gara-gara kamu, Anna meninggalkan saya! Pergi!"
◎ ◎ ◎
Happy weekend!
Pertama aku mau tanya dulu, ada yang tahu nggak, kemarin itu hari apa? Yaps, kemarin itu adalah Hari Phi! Tanpa phi, rumus matematika kalian nggak akan lengkap, loh. Kayak TMoA tanpa Davia atau Devan.
Yang ke dua, udah tau kan kalau TimTam lagi ngadain GA di PhiliaFate, Kinudang_B dan Rayhidayata? AYO IKUTAN DAN AJAK TEMEN KALIAN IKUTAN hehehe. Bakal banyak hadiah yang menanti selanjutnya, udah aku spill kan hadiahnya? :3
Yang ke tiga, berdasarkan hasil vote di IG, aku mutusin buat bikin grup khusus TMoA di Whatsapp. Ada yang mau jadi admin? Komen inline di sini, ya!
Yang terakhir, ayo kita main sama matematika! Aku minta kalian untuk ngebuat satu puisi empat baris atau quote atau apa pun, dengan tema PHI. Komen di sini!
Hadiahnya? Karena ini permainan dadakan, pemenang dengan komen terunik boleh minta satu hal ke aku. Bisa berupa apa aja ehehe. Besok sore aku bakal pilih pemenangnya.
Hmm. Apa lagi, ya? Aku rasa udah cukup kebawelanku kekeke. Jangan lupa terus baca dan ajak temen kalian buat baca TMoA, yaa.
Love,
Tamara
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro