Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

◎ 10. Mama ◎

Semalaman Davia tidak bisa tidur. Ponsel miliknya sengaja dimatikan. Ia tidak ingin diganggu siapa pun. Entah kenapa pikirannya mulai terganggu. Baru dua hari ia berpacaran dengan Jevan, tapi sudah ada yang menerornya begini.

Untungnya hari ini adalah hari Sabtu, sekolahnya libur, tapi tidak dengan jadwal kelasnya bersama Devan. Sabtu artinya kerja rodi, ia akan memulai kelas pukul 10 pagi dan selesai pukul 3 sore.

Davia menguap, menyeret langkah ke kamar mandi, dan mencuci muka asal. Bodohnya, ia adalah seorang pemikir. Dan terornya di dunia lain itu mengganggu pikirannya. Dengan malas ia berjalan ke ruang makan karena Mama dan Papa sudah menunggu.

"Pagi, Dav. Hari ini belajar jam berapa?" tanya Mama yang menaruh selembar roti di piring Davia.

"Jam sepuluh."

"Di mana?" tanya Mama lagi. "Di rumah aja gimana? Mama bisa siapin makanan dan camilan buat kamu dan Devan belajar."

Davia menggeleng. "Kak Devan bilang mau belajar di perpustakaan kota. Senin aja belajar di sini lagi. Papa ke mana, Ma?"

"Papa tadi pagi berangkat ke Medan. Kamu tahu kan Papa ada proyek di sana?"

"Oh," jawab Davia sambil mengunyah pelan rotinya. "Ma, Davia mau cerita sama Mama. Tapi, jangan marah ya?"

Mama menaruh cangkir teh miliknya, lalu memandang Davia. Begitu menenangkan. "Iya, kenapa Sayang?"

"Kalau Davia main sesuatu yang berisiko gimana, Ma?"

"Main apa? Kamu jangan aneh-aneh deh, Dav," jawab Mama.

"Engga aneh-aneh, Ma. Bukan yang berisiko bahaya gitu, tapi main RP."

Mama memandang Davia perlahan. "Terus, biar menang harus gimana? Kalau kalah, gimana? Kamu dapet apa dari sana?"

Davia tertawa kecil. "Bukan gitu, Ma. Di RP itu nggak ada menang dan kalah. Kita kayak ngejalanin hidup biasa aja, tapi nggak ketemu, cuma lewat dunia maya dan aplikasi LINE. Nanti kita kenalan sama orang asing, temenan, atau malah bisa aja jadi keluarga atau pacar."

"Oh makanya kemarin kamu lari ngambil charger handphone terus buru-buru balik lagi ke atas itu karena main ini?" tanya Mama curiga. "Udah Mama duga ada yang aneh. Bohong ya, kamu."

Davia tersenyum malu. "Maaf, Ma, Davia bingung gimana ngomongnya ke Mama makanya waktu itu terpaksa bohong. Davia janji nggak akan bohong lagi deh."

Mama berdeham. "Itu cuma bisa main di LINE atau Facebook juga bisa? Kalo bisa, Mama mau dong main bareng temen arisan Mama. Mama kan punya Facebook, rame juga."

Tawa Davia pecah. "Nggak bisa dong, Ma. Kita nggak boleh bongkar identitas asli kita ke temen di sana. Jadi yang mereka tau itu ya identitas kita di RP."

"Bahaya dong, Dav?" Mama mengerutkan keningnya. "Nanti kalo kamu taunya temenan sama pembunuh atau orang jahat gimana?"

"Selama Davia ngejaga identitas asli, Davia aman kok, Ma."

Mama memandang Davia dalam, sedikit khawatir. "Kamu janji, ya, jangan bongkar identitas asli kamu?"

Davia mengangguk mantap. "Iya, Ma. Tenang aja. Masalahnya bukan itu, Ma, tapi pacar RP Davia ... katanya punya pacar selain Davia."

"Kamu udah punya pacar di sana?" Mama membulatkan mata lalu menggelengkan kepala. "Ya kalo gitu tinggal putus aja, cari lagi yang baru."

"Mamaa," rengek Davia. Ia membenturkan pelan kepalanya ke meja. "Davia kan sayang sama Kak Jevan."

"Sayang?" tanya Mama seolah memastikan. "Kamu baru kenal sama dia nggak sampai seminggu dan kamu bilang kamu sayang dia? Dav, jangan becanda coba. Ini nggak lucu."

Kalimat itu tanpa sengaja menampar Davia keras. Davia menggigit bibirnya lagi. "Konyol, ya, Ma? Terus kalo Davia sampe kepikiran terus gimana? Kalau  Davia diteror suruh putus sama Kak Jevan gimana?"

Mama menggeleng, menatap anak semata wayangnya itu dengan kesal sekaligus prihatin. "Kamu harus inget kalau dunia itu cuma boongan. Nggak semua harus kamu pikirin. Mama nggak ngelarang kamu buat main RP, tapi tolong tau porsi dan prioritas kamu."

Davia hanya diam, ia sedikit kesal, tapi mengakui kalau ia salah.

"Dan masalah pacar boongan kamu itu, selama dia nggak buat kamu kecewa atau susah, lanjutin aja nggak apa-apa. Tapi kalau kamu udah sering nggak jelas karena dia, lepasin. Inget, dia cuma boongan, dia bisa pergi kapan aja. Ngerti?" pesan Mama sambil tersenyum kecil.

Davia mengangguk menjawab pertanyaan Mama. Mamanya tidak akan mengerti bagaimana dunia itu benar-benar terasa nyata baginya dan mereka yang berada di dalam sana. Hanya mereka yang berada di sana yang mengerti, bagaimana rasanya sakit dan bahagia, meskipun hanya berupa pesan dan garis miring.

◎ ◎ ◎

Davia berlari cepat ketika jam di tangannya menunjukkan pukul sepuluh lewat lima menit. Karena terlalu banyak memikirkan bagaimana agar lepas dari teror yang dialaminya di RP, ia sampai lupa untuk berangkat ke perpustakaan kota.

Napasnya terputus-putus, sambil berlari ia cepat-cepat menyalakan ponsel yang sejak tadi pagi masih dimatikan. Bunyi notifikasi terdengar bersahutan ketika layar berukuran lima inchi itu menyala.

Davia mengabaikan pesan dari akun LINE-nya dan mencari nomor Devan. Begitu ia menemukan nomornya dan akan menekan tombol memanggil, sebuah panggilan masuk di ponsel Davia, nama Devan muncul di layarnya.

"H—halo, Kak. Maaf gue telat," sapa Davia sambil mengatur napas. "Gue udah deket kok."

Terdengar decak kesal Devan di ujung sana. "Gue tunggu lima menit lagi."

"Iya, siap. Gue tadi ketiduran makanya telat. Maaf banget, Kak," kata Davia sedikit lega. Pandangannya telah menemukan bayangan Devan di kejauhan, sekitar 200 meter di depannya. "Gue udah deket, gue tutup ya, Kak."

Panggilan pun diputus oleh Devan secara sepihak. Davia tidak peduli, yang penting adalah cowok itu menunggunya lima menit lagi. Masa bodoh jika nantinya ia kena marah atau ribut seperti biasa. Tanpa sadar hal itu sudah menjadi rutinitas bagi Davia.

Ia memperlambat langkah sambil membuka pesan di ponselnya. Sangat banyak, dan rata-rata hanya memberi ucapan selamat hari libur atau grup yang dimasuki Davia. Kening Davia berkerut ketika melihat room chat Jevan telah hilang dari pesan yang disematkannya.

Dengan tergesa ia menekan layar ponsel dan menemukan sesuatu yang mengejutkan. Tubuhnya gemetar, ia panik. Tanpa sadar ia berlari tanpa arah, terus hingga menabrak sesuatu.

"Lo telat delapan menit berarti lo harus traktir gue makan siang nanti," kata seseorang yang ditabraknya tadi.

Davia mengangkat wajahnya, lalu kembali menunduk, tanpa suara. Devan yang melihat pipi juga mata Davia memerah mengangkat alisnya bingung. Ia sedikit menunduk agar sejajar dengan wajah Davia.

"Lo kenapa, Dav?"

Tidak ada jawaban dari Davia. Ia mengangkat ponselnya ke arah Devan. Mata Devan membulat bingung ketika melihat apa yang tertera di sana.

Kak Jevan left the chat.

◎ ◎ ◎

Selamat hari Sabtu sayang-sayangkuuu~

Akhirnya sampai di lembar ke sepuluh sekaligus lembar akhir penjelasan soal RP, yaaa. Gimana? Buat yang belum tahu RP itu apa dan cara mainnya gimana, apa udah bisa meraba sekarang?

Buat anak RP, gapapa ya, kita sedikit main di dasar RP dulu?

Nah nah nah, kemarin aku udah tanya sama kalian kan, kalian tim mana? Dan ternyata kalian TimTam, alias tim aku. Sini aku ketjup satu satu!

Berhubung aku manis dan baik hati, jadi ... aku akan membiarkan Davia untuk membajak akun sosmedku selama satu hari penuh, BESOK.

Siapa pun yang mau ngobrol dan nanya sama Davia, boleh komen di sini! Davia akan jawab besok.

Terus, apa lagi, ya? Udah kayaknya. Udah cukup gemes dan baper kan sama Double D? Minggu depan makin seru, loh. Jadi tetep tungguin update aku setiap Selasa, Kamis dan Sabtu.

Kalau punya quote yang disuka, silakan share di IG. Jangan lupa tag aku @tatamaraaaa, beliawritingmarathon, dan kasih hastag #TheMemoriesofAlgebra #TMoA #beliawritingmarathonbatch3 #loveyourselfmore. Jangan lupa follow IG dan WP-ku buat tahu kejutan di minggu depan. Aku serius, loh :)

Selamat berakhir pekan! Chuuuuu😘😘😘

Tamara

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro