◎ 1. Amplop ◎
Suara napas yang putus-putus terdengar dari bibir tipis seorang cewek yang terus menahan kakinya agar tidak berhenti bergerak. Di depannya terlihat jarak yang semakin jauh antara posisinya kini dengan teman-temannya.
"Davia, semangat! Lari! Lari! Lari!"
Sorakan demi sorakan terdengar dari seorang guru olahraga yang memakai kerudung dan peluit di bibirnya. Sesekali terdengar suara peluit tanda sudah berkurangnya jatah jarak murid lain.
"Bu, nyerah! Nyerah!" teriak cewek yang dipanggil Davia itu terputus. Ia tampak sangat kelelahan, dan pipinya memerah seperti tomat. Di detik selanjutnya, ia terjatuh dengan tangan terus melambai.
"Lumayan, Dav. Kamu berhasil lari dua setengah putaran dengan waktu lima belas menit," kata gurunya dengan suara bangga. Ia memberi jempol pada Davia, lalu mengulurkan tangan membantu cewek itu berdiri.
Napas Davia masih belum normal, tetapi ia tersenyum. Meskipun ia tahu usahanya masih belum cukup, setidaknya ia sudah mengalami kemajuan. "Kurang dua setengah putaran lagi, ya, Bu?"
Bu Ida—guru olahraganya—mengangguk, lalu berjalan menjauh. Tiupan peluit kembali terdengar dan murid-murid kelas Davia mulai berbaris kembali melakukan olahraga.
Davia menyeret langkahnya menuju barisan paling belakang sebelum memulai pemanasan lagi. Ia sangat membenci jam olahraga, tapi juga menyukai bagaimana matahari pagi menyinari tubuhnya seperti sekarang.
Ia memejamkan mata sambil terus berusaha bergerak menikmati matahari hangat. Bisik-bisik kembali terdengar, perlahan senyum di bibirnya luntur dan ia memejamkan mata lebih dalam.
"Katanya Davia nambah setengah putaran?"
"Iya, tiap bulan nambah setengah putaran, kapan sampai lima putarannya?"
Kemudian tawa cekikikan terdengar, membuat cewek berpipi chubby dengan ikat ekor kuda itu merasa sedikit jengah. Ia sudah terbiasa dengan ejekan demi ejekan di hidupnya, tapi semua masih sama menyakitkannya tiap kali terdengar.
"Untung aja tuh anak pinter, kalau enggak sih, mana mau gue temenan sama dia."
Sebuah suara terdengar lagi. Ia mulai muak, dengan kencang ia menghitung gerakannya agar suara-suara yang mengejeknya itu tidak lagi terdengar.
"Eh, kayaknya Davia denger, deh. Mati gue, bisa-bisa dia enggak mau ngasih gue contekan lagi."
"Memang dia pernah ngasih lo contekan? Dia kan pelit. Sayang aja kesayangannya semua guru. Gue males cari ribut aja sama dia makanya diem."
Cukup, Davia merasa semua ini sudah keterlaluan. Ia membuka mata, lalu berjalan menghampiri dua cewek yang sejak tadi membicarakan dirinya.
"Vina, Dista, mungkin lain kali kalian harus kecilin suara kalian kalau ngomongin orang," ucap Davia santai, senyum tercetak di bibirnya yang tipis. "Gue bisa denger suara kalian dari jarak sejauh tadi. Enggak lucu, kan, lo ketauan sama orang yang lo omongin kalau lo lagi ngomongin dia?"
Ekspresi dua cewek yang sejak tadi bicara itu berubah menjadi sedikit kesal. Vina, mengerutkan kening lalu membuang muka dan menjauh. Sementara Dista hanya tertunduk, dan sesekali bibirnya mengeluarkan gumaman tidak jelas.
Melihat itu Davia tersenyum puas. Ia melangkah mundur beberapa kali hingga sampai di tempatnya tadi. Meski hatinya masih sedikit terluka, ia tetap berusaha tersenyum. Tidak semua orang perlu tahu bagaimana ia bisa begitu rapuh, kan?
Ralat, tidak semua orang berhak tahu kelemahan dan menjatuhkannya lagi dan lagi. Davia tahu itu, dan ia tidak akan membiarkan siapa pun menjatuhkannya lagi, selain dengan keadaan tubuhnya yang sangat gempal.
◎ ◎ ◎
Suara gemericik air terdengar dari wastafel tempat Davia mencuci muka. Ia memandangi pantulan dirinya di cermin. Mata bulat yang kecil dengan iris cokelat itu tampak sedang bersedih. Ah, ia menggeleng, kapan ia tampak bahagia—yang benar-benar bahagia? Rasanya ia sudah begitu lupa rasanya bahagia.
Cewek itu menunduk, lalu membasahi tangannya sekali lagi sebelum akhirnya mematikan keran air dan memutar tubuh. Pelajaran olahraga sudah selesai sejak lima belas menit lalu, tapi ia masih enggan untuk berjalan ke kelas.
Tubuhnya masih terlalu lelah, itu terlihat dari beberapa memar kebiruan yang muncul di lengannya. Lagipula, ia belum siap kembali menjadi Davia yang dingin pada ejekan juga penuh tawa menjawabnya.
Ia menghela napas, berusaha mengendalikan dirinya sendiri agar kembali baik-baik saja. Dalam hatinya ia menghitung hingga sepuluh sambil menarik napas lebih dalam hingga bahunya naik dan turun beberapa kali.
Selesai, ia berbalik dan mengikat rambutnya menjadi satu lagi. Ia sudah baik-baik saja kini dan akan segera pergi ke kelas sebelum guru biologinya masuk dan melarangnya ikut kelas karena datang terlambat.
Sepanjang perjalanan menuju kelas, jarinya memainkan ponsel berukuran lima setengah inchi di tangan kiri dengan semangat. Terdengar tawa dari bibirnya meledak sesekali, dan mata bulatnya menyipit, sepertinya ada sesuatu yang begitu menarik di dalam ponselnya itu.
Dari kejauhan ia mendengar suara berisik. Refleks, Davia melihat jam di ponselnya yang menunjukkan waktu istirahat belum juga dimulai. Penasaran, ia menyimpan ponsel di dalam kantung seragam kemudian mempercepat langkah ke kerumunan yang ternyata ada di depan kelasnya.
Badan besar Davia tidak terlihat kesulitan sama sekali ketika menerobos keramaian di depan pintu kelas. Ia berusaha masuk dan tidak menghiraukan keluhan orang lain yang terdesak oleh tubuh bongsornya.
"Davia Meitarisa?"
Davia mengangguk mendengar namanya disebut oleh cowok yang berdiri tidak jauh di depannya ini.
"Gue Devan, Devano Tritaniya dari kelas 11 MIPA 1. Gue ke sini mau ngasih ini sama lo," kata cowok dengan kacamata dan rambut potongan pendek rapi itu cepat. Ia menyodorkan sebuah amplop berkop surat sekolahnya.
"A—apa ini?" tanya Davia tidak percaya, ia juga takjub melihat cowok yang ternyata menjadi sumber keributan ini datang ke sini dan bicara dengannya.
Cowok itu menghela napas, tapi masih terlihat keren hingga Davia bisa mendengar deru napas tertahan dan beberapa teriakan dari cewek-cewek yang mengerubungi pintu kelasnya.
"Ya buka aja, gue nggak banyak waktu," kata Devan sambil menaruh amplop itu di tangan Davia. "Kalau udah baca isinya, langsung tanda tangan. Gue balik dulu."
Davia membulatkan matanya heran, ia berulang kali melihat punggung Devan yang berlalu menjauh, lalu memandangi amplop di tangannya. Ia benar-benar penasaran apa isi amplop itu.
Pelan, ia membuka amplopnya dan binar di matanya terlihat semakin indah. Ia tersenyum, lalu berjalan memeluk amplop itu.
"Akhirnya!" seru Davia senang.
◎ ◎ ◎
Halo, lagi!
Selamat malam minggu buat kita semuaaa:3 Gimana malam minggu kalian? Tenang, mulai malam ini aku bakal nemenin kalian setiap malam minggu.
Anyway, malam ini aku membawa kisah Davia lebih lanjut. Menurut kalian, Davia ini kenapa? Dan apa yang kalian harapin dari sosok Devan?
Buat semua yang pengin kenal aku lebih, kalian bisa mampirin aku di tatamaraaa. Dan siapa pun yang menemukan komentar bahwa aku kelam, itu dusta semata, ya;)
Oke deh. Sampai ketemu Selasa malam jam 19.00 WIB. Muah♡
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro