Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Part 9 - And The Journey Begins

Setelah pertengkaran mereka, Daya pergi seharian dengan dengan Adeline dan Mama. Sementara Maja menyibukkan diri dengan mengatur keberangkatan mereka dan memeriksa ulang seluruh jadwal kerja dari dalam kamar hotel. Kapal pesiar yang akan mereka naiki adalah kapal yang baru dipugar ulang dan sudah memiliki kontrak sewa dengan perusahaan pelayaran dari Italia setelah sebelumnya disewa oleh salah satu perusahaan pelayaran Singapura. Jadi di sana dia bisa bekerja dan memeriksa semua hal untuk memastikan lagi sebelum akhirnya kapal itu berangkat ke Eropa. Dari empat kapal yang dia punya, tiga disewakan, dan satu yang dia ingin coba kelola sendiri. Saat ini kapal tersebut masih disiapkan.

Mereka berdua akan berangkat besok ke Singapura dengan jet, lalu mereka akan menaiki pesiar selama enam hari hingga Thailand, setelah itu menemui perwakilan dari Italia untuk memeriksa kapal dan menentukan kapan kapal akan siap untuk berlayar ke Eropa. Satu hari di Singapura, enam hari pesiar ke Thailand, mungkin dua hari di Thailand untuk menyelesaikan urusan kerja. Lalu mereka akan kembali ke Jakarta di hari ke sepuluh dengan pesawat boeing yang baru tiba bulan lalu.

Dua minggu itu empat belas hari, Maja. Ah, persetan dengan permintaan Mama. Dia tidak akan sanggup berada bersama Daya lebih dari itu. Tapi Dayana adalah istrimu, Maja. Kalian akan tinggal bersama juga. Dia tersenyum karena tahu mereka tidak perlu benar-benar tinggal di apartemen yang sama. Ya, dia sudah menyiapkan apartemen untuk Daya persis di sebelah apartemen miliknya. Mama tidak akan tahu karena mereka tinggal di bangunan yang sama.

Matanya beralih ke jam tangan di meja kerja dalam kamar hotel. Sudah pukul delapan. Kenapa para wanita belum kembali? Ponsel dia angkat untuk menghubungi mama.

"Halo, Ma. Sudah malam belum balik? Kalian nggak apa-apa kan?" tanyanya ketika Mama mengangkat sambungan.

"Sabar, kita sudah di jalan ke hotel. Kamu sudah makan, Sayang?"

"Nanti gampang. Okey, kalau begitu. Hati-hati di jalan," sambungan dia sudahi. Ketika dia ingin meletakkan ponsel, benda itu berbunyi lagi. Agam.

"Ya, Gam?"

"Malam, Pak. Maaf saya baru hubungi lagi soal pertanyaan Bapak tadi siang tentang siapa Rendy." Agam diam sejenak. "Jadi Rendy itu pelatih olahraga professional, ahli gizi yang bersertifikat, juga fisioterapis khusus yang kebetulan juga handle Mba Adeline di MG Hospital. Klien-klien Rendy biasanya artis, atlit, atau kalangan keluarga kaya."

"Apalagi selain itu?"

"Satu kali menikah dan cerai tiga tahun lalu tanpa anak. Sampai saat ini single, tinggal di salah satu apartemen mewah dan selain bekerja klien-kliennya, Rendy juga terdaftar sebagai anggota NGO dan aktif jadi sukarelawan untuk bencana alam. Kebanyakan di negara-negara Asia."

"Hmm," dia diam sejenak. "Apa hubungannya dengan Daya?"

"Sudah lima tahun Rendy jadi pelatih pribadi Mba Daya. Bahkan Mba Daya masuk ke dalam list top client-nya. Biasanya Mba Daya akan berlatih di gym milik Rendy tiga kali seminggu, dan dua kali sebulan konsultasi gizi dan cek kesehatan. Jadi mereka memang rutin bertemu kecuali saat Rendy sedang terbang keluar negeri. Rendy pasti kirim orang untuk cek Mba Daya."

"Top client maksudnya apa?"

"Top client di sini ada sepuluh. Termasuk Mba Daya dan Mba Adeline, sisanya artis-artis terkenal atau istri pejabat. Jadi Rendy harus siap kapan saja untuk sepuluh klien-nya."

"Termasuk Daya?"

"Iya, Pak. Karena kesibukan Mba Daya, biasanya mereka bertemu setelah jam sembilan malam di gym milik Rendy untuk latihan. Atau Rendy datang ke apartemen Daya pukul lima pagi sebelum Mba Daya berangkat kerja. Tergantung jadwal Mba Daya. Satu lagi...." Agam berhenti.

"Apa?"

"Ini nggak ada di hasil pencarian resmi, tapi info dari Tari kalau Mba Daya sakit biasanya Rendy pasti akan nemenin ke dokter atau menginap di rumah sakit."

Mata dia pejamkan sejenak menahan kesal mendengar semua keterangan tentang laki-laki ini. Kemudian dia ingat kalimat Rendy pada Daya di loby. Saya jatuh cinta sama kamu, Daya. Sudah lama dan saya yakin kamu tahu itu. Tangannya mengepal kuat karena sekalipun dia tidak cinta Daya, dia tetap tidak suka jika ada yang mengusik apa yang menjadi miliknya. Ya, Daya adalah miliknya sampai kontrak berakhir.

"Apa Rendy punya hobi aneh?"

"Di catatan saya nggak ada, Pak. Normal semua. Rendy tidak merokok, tidak minum-minuman keras dan hasil laporan kesehatannya selalu baik."

"Apa dia pernah punya skandal?"

"Tiga tahun terakhir enggak. Tapi tahun sebelumnya saya belum periksa."

"Periksa. Cari tahu kekurangan Rendy. Satu lagi..." dia mengetik cepat pada laptop dan mengirimkan email pada Agam. "Barusan saya email kamu soal pengaturan saya saat di pesiar. Tolong sampaikan pada Andito di sana. Minta dia atur semua persis seperti apa yang saya mau."

"Baik, Pak."

"Terimakasih. Malam, Agam," sambungan dia sudahi.

Tepat ketika itu Daya masuk bersama Mama dan Adeline yang mengiringi.

"Malaaam, Bapak Admajaa," kekeh Adeline terdengar bahagia. "Ya ampun, kerja mulu. Aku sita laptopnya lho."

Laptop dia tutup kemudian dia berdiri. "Belanjaan ditaruh dimana?"

"Punya Mba Daya langsung diangkut ke jet, biar besok nggak ribet. Punya aku sama Mama dikirim ke rumah," adiknya sudah berdiri di dekatnya. "Aku seneng banget kamu udah ada temennya sekarang. Kalian nggak boleh sering-sering berantem," senyum Adeline mengembang lebar.

Lalu dadanya bereaksi. Seperti ada yang mengganjal dan naik ke tenggorokan tiba-tiba. Ekspresi Mama dan Adeline yang sedang menatapnya mengandung banyak pengharapan dan kelegaan karena pernikahan dia dan Daya. Rasa sesak yang sedari tadi tidak ada saat ini menghimpit dada. Tidak cukup sampai di situ, Adeline memeluknya erat.

"Kalian harus awet sampai tua. Punya anak banyak jadi mereka nggak kesepian. Aku bahagia buat kalian," bisik Adeline.

Refleks matanya mencari Daya. Seseorang yang seharusnya mengerti tentang apa yang bergejolak di dadanya saat ini. Daya tidak ada di sana karena wanita itu masuk ke dalam kamar mandi. Sejenak pelukan Adeline menguat kemudian terlepas perlahan.

"Kalian berlebihan," saliva dia loloskan sambil mencoba tersenyum kecil.

"Sayang, jaga Daya baik-baik, okey? Nikmati liburan kalian. Setelah kembali kami sudah siapkan kejutan lain," Mama mencium pipinya singkat lalu berdiri tegak lagi.

Sosok yang dia cari keluar dari kamar mandi. Mama dan Adeline pamit pergi, meninggalkan dia dan Daya berdiri termenung menatap pintu kamar hotel yang sudah tertutup. Mereka berdua diam saja. Dia diam karena kehabisan kata dan berusaha keras mengusir cemas yang datang tiba-tiba. Sementara dia tidak tahu alasan diamnya Daya. Kemudian Daya membalik tubuh melewati dirinya untuk masuk ke kamar mandi lagi. Sekilas dia melihat tatapan sendu Daya. Kemudian dia teringat ekspresi Daya kali ini adalah sama dengan saat mereka bertengkar di apartemen Daya setelah makan malam pertama dengan keluarganya.

Kalian berdua tahu resikonya, Maja. Jadi jangan mulai melankolis.

Pintu kamar mandi tertutup perlahan. Daya berada di dalam sana dua jam lamanya. Sedangkan matanya sendiri nyalang hingga jam dua pagi. Berusaha meyakinkan diri bahwa semua akan baik-baik saja.

***

"Maja, bangun. Kita bisa telat," Daya berusaha membangunkan Maja sejak satu jam lalu sambil bersiap-siap. Tapi laki-laki menyebalkan ini tidak mau bangun juga.

Matanya menatap ke sekeliling ruangan mencari cara membangunkan Maja selain berteriak di telinga laki-laki itu yang sudah dia coba tadi tapi tidak berhasil juga. Jam berapa sih si grumpy ini tidur semalam?

"Maja!" satu jari menyentuh bahu Maja dan berusaha menggoyangkannya. Dia tidak sudi jika Maja berpikir dia ingin menyentuh laki-laki itu. "Majaaaaa!!!"

Karena kesal cara itu tidak berhasil, dia pergi ke kamar mandi untuk mengambil sikat gigi elektrik Maja di wastafel. Kemudian kembali mendekati Maja di sofa sambil mulai menyalakan sikat gigi itu dan memasukkan dengan paksa ke mulut Maja. Laki-laki menyebalkan itu terkejut lalu refleks menampik tangannya dan duduk tegak. Rambut Maja yang selalu on fleek berantakan, Maja terlihat kekanakan dan masih menyebalkan pastinya. Lihat, mata Maja yang melotot kesal seperti mau keluar.

"Kamu apa-apaan sih?" teriak Maja kesal.

"Ya lagian kamu nggak bangun-bangun. Ini udah jam sembilan dan kita berangkat jam dua belas, Maja. Cepetan siap-siap. Jalan ke airport itu macet," omelnya.

"Hrrghh, saya yang punya pesawat jadi semalam saya sudah mundurin jadwal ke jam dua siang."

"Oh, okey. Aku berenang dulu kalau gitu," sikat gigi Maja dia lempar ke dada Maja kemudian dia berdiri untuk mengambil baju renangnya.

"Eh, enak aja abis bangunin nggak sopan mau kabur lagi?" protes Maja yang sudah berdiri mengekori dia.

"Terus kamu mau aku temenin di sini? Berduaan di dalam kamar lama-lama? Beneran?" tubuh dia balik kemudian mereka berdiri berhadapan.

Dia tersenyum puas melihat ekspresi serba salah dan kesal Maja padanya.

"Nggak sudi," desis Maja.

"Nah, mangkanya. Mendingan aku cari kegiatan kan? Bukan cuma tidur aja sampai siang. Dasar tukang molor."

"Hey, saya kerja sampai jam dua malam. Emang kamu mandi lama banget. Kayak bisa bikin muka kamu tambah cantik aja."

"Aku udah cantik. Jadi aku mandi lama karena nggak mau liat muka jelek kamu di dalam kamar. Mandi sana, bau tahu nggak."

"Hrrghhhhh..." geram Maja kemudian dia melenggang ke kamar mandi lagi.

Cepat-cepat Daya mengenakan pakaian renang dibalik outer santai panjang dan celana pendek. Dia sudah keluar dari kamar mandi dan menemukan Maja sedang berdiri meletakkan gelas air di meja nakas.

"Saya pesankan kamar di sebelah. Setelah berenang kamu bisa siap-siap di sana. Mama dan Adeline sudah pulang kan?" ujar Maja masih kesal.

Dia terkekeh kecil. "Itu ide aku dari semalam dan gagal. Mama kamu ninggalin Basri di sebelah kamar kita buat ngikutin kita kemana aja. Tadi aku sarapan sama dia."

"Apa? Ngapain Basri ikut-ikutan?" Maja terkejut.

"Tanya Papa kamu sana. Mana aku tahu. Anyway, aku nggak mau berkubang dengan kekesalan dan kebingungan. Segala sesuatunya udah nggak bisa diubah juga kan. Udah ah, ke bawah dulu berenang. Bye, Mr. Grumpy. Semoga kamu keselek waktu makan."

"Dasar nyebelin!"

Pintu dia tutup kemudian dia tersenyum karena tahu Admaja tambah kesal. Sarapan sudah dia pesan untuk diantarkan ke kamar. Ya, sayangnya Admaja menambahkan pasal menyiapkan sarapan dalam kontrak mereka. Sekalipun Maja tidak mengatakan apapun soal jenis sarapannya. Jadi dia sudah punya kejutan istimewa yang lain untuk membuat kesal Maja.

Daya berenang satu jam lamanya. Tidak salah jika The Emperor adalah hotel terbaik dan termewah di kota. Karena memang fasilitas hotel ini yang tidak main-main. Seluruh staff sangat professional juga ramah. Ini bukan pertama kali dia bertandang ke hotel ini.Tapi biasanya dia hanya seminar atau meeting singkat di sini, tanpa sempat menginap atau menikmati fasilitas hotel. Ditambah lagi, keluarga Hadijaya kenal dengan keluarga Darusman si pemilik hotel. Jadi pelayanan untuk dia dan Admaja lebih istimewa.

Suasana kolam renang hotel sepi karena memang yang dia gunakan adalah kolam renang VIP. Sebenarnya dia lelah. Setelah pernikahan mereka, dia belum benar-benar beristirahat dengan baik. Menginap di tempat baru selalu membuat dia merasa resah. Ditambah lagi kamar hotel bukan kamar miliknya sendiri. Ada Mr. Grumpy yang selalu memasang wajah cemberut dan mendelik marah padanya. Sikap Admaja benar-benar menyebalkan, tidak bisa senyum sama sekali. Pilihannya hanya dua. Datar dan dingin, atau marah-marah sambil melotot.

Empat belas hari, Daya. Empat belas hari. Jangan tunjukkan kamu kesal atau Mr. Grumpy makin senang. Hhhh, tapi empat belas hari itu hanya awal. Dalam kontrak mereka harus mempertahankan hubungan apapun alasannya hingga 365 hari. Sedangkan baru dua hari mereka terus bertengkar. Nafas dia buang perlahan untuk menghalau rasa tidak enak di dada.

Outer santai dia lepas untuk bersiap-siap. Dia mulai dengan sedikit pemanasan kemudian mulai berenang. Temperatur air pas, tidak dingin menyengat padahal setengah bagian kolam terlindung atap. Tangannya terus mengayuh dan kakinya terus menendang saat kenangan lama datang. Dulu, ayah yang mengajarkannya berenang. Sementara ibu menunggu di pinggir kolam sambil menyiapkan makanan. Kemudian bayangan keluarganya berganti dengan tatapan tulus dari keluarga Admaja. Semakin nyata bayangan itu, dia semakin kuat mengayuh. Lalu setelah kakinya kelelahan dia berhenti di pinggir kolam bagian garis infinity. Menatap langit kota di atasnya.

Seluruh jadwal dia sudah susun rapih. Tari sudah menyiapkan segala kebutuhannya untuk perjalanan ini. Tampuk kepemimpinan juga sudah dia atur. Reza dan Melly akan menjadi pejabat sementara saat dia pergi. Ya, entah setelah berapa lama dia akhirnya dipaksa untuk menyisihkan waktu. Bukan karena dia mau, tapi lebih karena kontrak perjanjian itu. Kenapa selama ini dia tidak pernah berlibur? Jawaban mudah, karena saat dia sendiri seluruh kenangan ayah dan ibu datang. Masa kecil yang bahagia, disusul kecelakaan itu, lalu masa remaja yang menyesakkan. Sekarang, ditambah dengan hati nuraninya yang berisik sekali sejak pernikahannya dengan Admaja.

Mata dia pejamkan sesaat, kemudian air mata entah karena apa atau bagaimana menetes satu, lalu dua, disusul yang lainnya. Dia berusaha menjadi wanita berhati besi, tapi hatinya sendiri tidak mau mati. Selalu hidup lagi ketika dia melihat keluarga Hadijaya yang hangat dan bahagia. Lalu wajah lucu Maja saat dia bangunkan dengan sikat gigi elektrik tadi pagi muncul dalam ingatannya. Rambut hitam pendek namun bergelombang Maja berantakan, atau bagaimana ekspresi terkejut Maja terlihat lucu sekali. Kemudian dia tersenyum kecil. Tanpa dia sadar air matanya sudah berhenti.

"Nyonya, apa anda baik-baik saja?" suara Basri dari arah belakang membuat dia mengusap sisa air mata cepat-cepat.

"Saya baik-baik, Basri," tubuhnya meluncur ke pinggiran kolam lalu Basri membantunya untuk naik, mengambilkan handuk besar untuk menyelimuti tubuhnya. "Kamu ikuti saya? Bukannya harus jagain Tuan Muda?" dia menahan kekehan geli saat Basri memberi tahunya panggilan Admaja.

"Tuan Admaja yang meminta saya ke sini. Kolam renang VIP selalu sepi."

Kepalanya hanya mengangguk saja. Basri pasti berbohong karena tidak mungkin Admaja memperhatikan dirinya. Atau Admaja mengirim Basri ke sini hanya karena laki-laki itu juga tidak suka diikuti Basri.

"Sudah satu jam, sebaiknya anda kembali ke kamar untuk bersiap-siap."

"Satu jam? Selama itu?" dia melirik jam tangan yang Basri kenakan.

Akhirnya dia menurut dan memutuskan untuk kembali ke kamar dengan Basri yang berjalan di belakangnya. Ini aneh, tapi ini resikonya. Jadi dia akan membiasakan diri. Lagian Basri adalah laki-laki paruh baya yang sabar juga pendengar yang baik. Pintu kamar sudah dia buka kemudian dia melihat Admaja masuk ke dalam kamar dari arah balkon dengan kemeja linen santai dan celana panjang.

"Kamu mau ngeracunin saya?" itu kalimat pertama Maja.

"Emang kamu keracunan?" dia bertanya balik. "Itu masih bisa marah-marah."

"Saya udah bilang kalau saya nggak suka pedas. Kenapa kamu pesenin aglio olio yang pedas?"

"Kan kamu bilangnya ke aku, bukan chef hotel ini. Jadi dia nggak tahu. Nah, aku nggak bilang ke chef karena di buku menu nggak ditulis pedas," baju ganti dia ambil dari dalam koper kemudian dia berdiri menatap Maja. "Kepedesan banget ya? Udah minum? Keselek nggak tadi?" senyumnya tanpa dosa.

"Kamu bisa berhenti bersikap konyol begini nggak?"

"Konyol gimana? Aku nggak ngapa-ngapain kok? Kamu minta sarapan, aku pesenin sarapan. Kita juga udah sepakat nggak lama-lama bareng di ruangan yang sama kan. Aku udah ngalah keluar kamar terus dari kemarin. Besok-besok kamu yang keluar. Paham?" deliknya berubah galak.

Rahang Admaja bergerak-gerak menahan kesal. Sementara dia hanya membalik badan dan berjalan menuju kamar mandi.

"Tiga puluh menit lagi kamu harus siap atau saya tinggal," ujar Maja ingin membalasnya.

"Tinggal aja. Basri jadi tahu dan bisa lapor ke Mama kamu," kepalanya menyembul dari pintu kamar mandi. "Mandi dulu yah."

Dia masuk ke dalam kamar mandi tidak peduli pada geraman kesal Admaja di luar.

***

Lalu lintas siang ini lancar, jadi hanya empat puluh lima menit dari hotel tempat mereka berangkat tadi. Sekalipun begitu, Daya tertidur di perjalanan. Mungkin lelah karena seluruh jadwal mereka yang padat sejak pernikahan berlangsung. Hah, masa bodoh apa juga pedulinya. Rutuk Admaja dalam hati. Sikap Daya membuat dia benar-benar kesal. Padahal sebelum mereka menikah Daya tidak separah ini menyebalkannya.

Tapi karena suasana mobil yang sepi, hanya supir dan Basri yang duduk di depan. Juga alunan musik klasik dari radio berputar perlahan, serta laju mobil yang stabil dan tenang, ditambah lagi tidak ada apapun di dalam ponselnya yang menarik. Semua hal itu membuat dia sedikit merasa lebih rileks dan refleks kepalanya adalah menoleh menatap wajah tidur Daya di sebelahnya.

Biasanya rambut Daya yang hitam dicepol ke belakang dengan beberapa bagian yang mencuat menimbulkan kesan berantakan, atau dikuncir tinggi rapih. Saat ini, rambut bergelombang itu tergerai lepas. Membingkai wajah Daya hingga menutupi rahang tegas wanita itu. Geraian itu membuat wajah Daya lebih manis, apalagi mendengar nafas Daya yang berhembus teratur.

Maja, kenapa jadi ngeliatin Daya? Matanya berpindah ke tempat lain tanpa tahu Basri yang mengawasi dari spion tengah. Beberapa menit sebelum sampai di airport, Basri meminta dia membangunkan Daya.

"Tuan, sebaiknya anda membangunkan Nyonya," pinta Basri.

Kepalanya menoleh pada Daya kemudian mencolek bahu Daya dengan satu jari. Dia tidak mau Daya menyangka dia mau menyentuh tubuh Daya. Tidak sudi. "Daya, bangun. Udah mau sampai," bisiknya perlahan karena tahu dia diawasi.

"Hmm..." mata Daya masih terpejam erat tapi wanita itu mulai bergerak.

"Sudah sampai. Cepetan bangun."

"He-em," malahan kepala Daya menoleh ke arahnya tanpa membuka mata.

Hal itu membuat dia bisa melihat jelas wajah Daya. "Kamu saja yang bangunkan," dia menatap Basri dari spion tengah.

"Kalau Nyonya adalah istri saya, saya bisa membangunkannya mudah dengan berbagai macam cara," ujar Basri tegas.

Ini yang dia kesal dari Basri. Laki-laki yang telah mengabdi pada keluarganya berpuluh tahun benar-benar tidak bisa dia perintah. Ya, Basri tidak akan mau dia ajak kerja sama perihal Daya. Basri akan melakukan hal yang benar, mengingatkannya. Lebih menyebalkannya lagi, Basri bekerja untuk Mama dan Papa, bukan untuknya. Jadi ancaman apapun tidak akan mempan.

Pikir lagi caranya apa, Maja. Sebentar lagi sampai. Injak kaki Daya? Nanti dia dianggap kasar. Berteriak juga tidak sopan apalagi ada supir keluarga. Hhhh, kenapa ini cewek nggak bangun-bangun sih. Kemudian dia punya ide bagus. Kendaraan sudah parkir di teras airport. Basri dan supirnya sedang mengeluarkan barang. Kesempatan.

Dua tangan dia sedekapkan di depan tubuhnya. Kepalanya mendekat pada wajah Daya yang masih menoleh kiri. Kemudian dia berbisik pada telinga kanan Daya. "Ada tender baru dari ID Tech."

Dan benar saja, Mata Daya langsung terbuka tapi yang tidak Maja duga adalah refleks kepala Daya menoleh ke arah kanan sebelum dia sempat menjauh. Jadi selama beberapa detik bibir mereka bersinggungan. Dia terkejut, begitupun Daya. Tapi reaksi terkejut mereka justru membuat mereka diam dan akhirnya bibir mereka menetap di sana. Waktu terasa berhenti, teori relativitas itu dia bisa rasakan saat ini. Jelas sekali. Lalu entah setelah berapa lama, dua tangan Daya menjauhkan tubuhnya.

"Pelanggaran!" pekik Daya yang dia langsung bungkam mulutnya.

"Sssst, banyak orang," desisnya panik. Basri masih berada di luar kendaraan setelah selesai menurunkan koper. Matanya menatap Daya penuh ancaman. "Kamu yang susah dibangunin."

"Nggak ada physical contact kecuali pegangan tangan kalau diperlukan. Jangan pikir..." mungkin karena panik Daya pun menyerocos tanpa henti dengan dia yang masih membungkam mulut Daya.

Dia melihat Basri yang akan membuka pintu dan Daya yang masih panik belum berhenti bicara. Ini gawat. Basri tidak boleh tahu atau semuanya berantakan. "Daya, diam dulu," tangan Basri sudah mengulur dan handle pintu sudah digenggam.

Bukannya diam, Daya malah tambah panik dan terus bicara. "Itu ada di pasal..."

Merasa tidak punya pilihan karena pintu sudah terbuka, satu tangan yang membungkam mulut Daya berpindah ke tengkuk wanita itu cepat dan dia mencium bibir Daya. Terpaksa, sungguh ini terpaksa. Seluruh kalimat Daya berhenti. Mata Daya membelalak terkejut tapi Basri tidak akan tahu. Karena posisi Daya yang membelakangi Basri. Dia sendiri berusaha untuk menikmati ciuman ini dengan cara memejamkan mata sejenak. Sementara Daya diam saja karena tidak ada pilihan. Dia pun tidak punya pilihan.

"Tuan, Nyonya, mari," ujar Basri.

Kemudian dia melepaskan Daya perlahan, mengabaikan apapun yang dia rasa dalam hati dan segera turun dari mobil. Wanita itu dapat mengendalikan diri dengan baik, karena dengan anggun Daya sudah menenteng tas dan mengenakan kacamata hitam. Mereka berjalan beriringan tanpa bersentuhan lagi. Seolah mengerti mereka butuh jarak untuk menenangkan diri setelah kejadian tadi. Apalagi pada kasusnya. Karena tiba-tiba dadanya bergemuruh aneh mengingat rasa bibir Daya pada bibirnya.

Basri yang mengurus seluruh administrasi sementara mereka sudah selesai menjalani prosedur pemeriksaan standar airport. Mereka menunggu lima belas menit. Saat itu Daya sudah masuk ke dalam salah satu toilet ruang tunggu. Hingga Basri harus memanggilnya keluar karena mereka harus naik ke pesawat. Sepanjang itu semua, mata Daya tidak mau menatapnya sama sekali. Hhhh, dia benci untuk tahu bahwa mungkin saja Daya beranggapan bahwa dia sengaja melakukan hal tadi. Karena dia tidak sengaja, sumpah.

Di dalam jet, lagi-lagi dia hanya duduk diam menunggu. Menatap ke luar jendela dan tidak menyadari Daya kembali masuk ke toilet dan lama berada di sana. Dia melihat Basri memeriksa Daya beberapa kali. Sampai tirai pembatas depan ditutup dan ada suara pramugari dan Basri yang bicara pada Daya dengan nada perlahan, Pilot sudah memberi instruksi agar mereka bersiap lepas landas.

Daya bikin ulah apalagi sih? Bikin drama karena kejadian tadi? geramnya kesal kemudian berdiri untuk memeriksa.

"Tidak akan ada apa-apa. Saya berjanji, Nyonya. Semua akan baik-baik saja," bisik Basri. "Saya panggilkan Tuan ya?"

"No, no, no, Basri. No, please. Jangan bilang apapun padanya. Satu menit lagi, tolong. Saya ingin bernafas, satu menit. Sebentar lagi obatnya bereaksi."

"Bilang pada pilot untuk stand by," pinta Basri pada pramugari di sana.

Suara-suara itu dia dengar dari balik tirai. Makin penasaran, dia memutuskan untuk mengintip dari sela-sela tirai. Basri sedang memeluk Daya yang bahunya berguncang. Ada apa dengan Daya? Apa benar karena ciuman tadi? Tidak mungkin Daya sepanik ini.

"Saya ada di sini, Nyonya. Ada Tuan di depan yang selalu akan ada. Tarik nafas dalam, perlahan," mata Basri menangkap matanya. "Ulangi lagi."

Ada apa? Dia menggerakkan bibir tanpa suara agar Basri tahu. Basri memintanya untuk kembali duduk dan pura-pura tidak tahu dengan gerakkan kepala dan tatapan mata. Daya masih memeluk Basri erat, seperti ketakutan atas sesuatu. Trauma? Kemudian dia memutuskan untuk duduk lagi, menunggu. Lima menit kemudian tirai terbuka dan Daya yang sudah mengenakan kacamata hitam lagi berjalan ke arah kursi dengan Basri yang mengiringi. Dengan telaten Basri memastikan Daya sudah nyaman di kursi sebelah Basri sendiri.

Pesawat mulai berjalan perlahan. Matanya melirik Daya yang meletakkan dahinya pada bahu Basri.- Seperti tidak mau melihat keluar. Satu tangan Basri menggenggam tangan Daya erat. Sementara tangan Daya yang lain memegang lengan Basri. Seluruh gesture tubuh Daya seperti mencari perlindungan, ketakutan. Berbeda sekali dengan sikap Daya dua hari kemarin yang superior, bossy, menyebalkan dan galak terkadang. Apa yang Daya takutkan? Kenapa Daya melarang Basri memanggilnya?

Oke, pernikahan mereka memang bukan pernikahan sungguhan. Tapi seberapapun menyebalkannya sikap Daya, diam-diam dia tetap tidak suka ketika Daya mencari orang lain untuk memberikan perlindungan. Sepuluh menit kemudian Daya tertidur di bahu Basri.

Tubuh Daya yang tidur Basri atur sedemikian rupa agar nyaman. Maja yang makin kesal sudah berdiri dan meminta selimut pada pramugari dan menyelimuti tubuh Daya. Kemudian dia meminta Basri untuk duduk di sebelahnya.

"Ada apa dengan Daya?" suara dia pelankan.

"Saya akan cari tahu, Tuan. Tapi Nyonya trauma hebat akan sesuatu dan Nyonya tidak mau bercerita. Apa Tuan tahu tentang ini?"

Dahinya mengernyit dalam. "Apa karena kecelakaan mobil orangtua Daya?"

"Bisa jadi. Saya akan menanyakan hal ini pada orang-orang terdekatnya setelah kita tiba."

"Daya nggak dekat dengan siapapun. Hanya bekerja saja."

"Sekretarisnya, dan juga Rendy maksud saya. Mungkin mereka tahu sesuatu."

"Nggak perlu telpon Rendy. Cari tahu dari Tari saja dan selidiki soal kecelakaan keluarganya."

"Baik."

Kepala menoleh ke arah Daya yang sedang tidur. Basri sudah melepas kacamata hitam Daya tadi. "Apa dia baik-baik saja?"

"Sekarang ya. Tapi saya khawatir Nyonya akan ketergantungan dengan obat-obat anti depresan itu. Juga obat tidur."

"Separah itu?" matanya masih lekat pada Daya.

"Trauma hebat, saya yakin itu."

Nafas dia hirup dalam, menatap wajah tidur Daya. Wanita bertangan besi yang ternyata memiliki trauma hebat. Daya sungguh tangguh bisa menyembunyikan itu semua selama ini. Karena dia tidak tahu sama sekali.

"Saya tidak bisa selalu ada untuk Nyonya, tapi Tuan bisa. Jadi tolong jaga Nyonya baik-baik, sementara saya akan telusuri segalanya."

Kepalanya mengangguk dua kali, masih merasa terganggu dengan segala kejadian tadi. Ciuman mereka yang masih membekas di bibirnya, juga wajah ketakutan Daya.

***

Mereka tiba di salah satu hotel Singapore ketika hari sudah menjelang sore. Karena keberadaan Basri akhirnya mereka harus sekamar lagi. Entah kenapa keinginan Maja untuk memaki hilang begitu saja sejak melihat rapuhnya Daya tadi. Setelah mendarat dengan selamat, sikap Daya lebih tenang dan diam. Sesekali Daya akan berbicara dengan Basri. Sepanjang perjalanan airport ke hotel dia memperhatikan Daya yang berusaha menyembunyikan getar pada tangan yang Daya remas sendiri.

Sebagian barang mereka sudah dikirim ke kapal pesiar karena besok mereka berangkat pagi-pagi. Jadi mereka hanya membawa satu koper ukuran cabin size masuk ke dalam kamar. Daya masih diam saja ketika meletakkan koper dan membuka benda itu. Baju renang Daya ambil dari dalam koper sementara dia sudah mengeluarkan laptopnya sambil memperhatikan Daya.

"Mau kemana?" tanyanya.

"Berenang," cepat-cepat Daya masuk ke dalam kamar mandi.

Dia menunggu Daya keluar lalu berujar lagi. "Kamu belum makan apa-apa."

"Nanti, gampang," Daya memeriksa isi tas besarnya dan tidak mau membalas tatapannya.

"Makan dulu."

Kacamata hitam Daya kenakan lagi kemudian wanita itu menatapnya. "Saya nggak apa-apa. Jalan dulu."

"Daya..." pintu sudah ditutup dan Daya sudah menghilang dari ruangan mengabaikan dia.

Hhrrghhh, wanita keras kepala. Dia melangkah keluar kamar untuk menyusul Daya. Belum sampai pintu benda itu terbuka lagi. Sudah ada Basri yang menarik lengan Daya perlahan untuk masuk ke dalam kamar. Wajah Daya kesal sekali. Tangan Basri terlepas kemudian Basri berdiri tegak lalu berujar.

"Saya sudah pesankan makanan untuk Tuan dan Nyonya. Sehubungan dengan kondisi Nyonya, makan malam kalian akan dikirim ke dalam kamar. Semua akan disiapkan. Setelah itu silahkan beristirahat karena besok kita akan berangkat pagi-pagi."

Daya hanya diam saja tidak menyahut. Ekspresi Daya yang kesal berhasil ditutupi dengan baik. Basri pamit pergi lalu keluar ruangan. Dia menatap Daya yang berjalan ke arah teras masih dengan tasnya.

"Saya yang minta, kamu nggak nurut. Basri yang minta, kamu diam aja," ujarnya kesal.

"Setop!" delik Daya galak. "Jangan mulai," tubuh Daya balik lalu lanjut berjalan ke teras balkon.

Hh, dia benci diperintah apapun alasannya. Jadi dia terus mengikuti Daya. "Saya benci diperintah. Kamu pikir saya mau berada di situasi ini?"

Satu bungkus rokok elektrik Daya keluarkan dari dalam tas. Dia sedikit terkejut karena tidak tahu jika Daya merokok. "Daya, jangan merokok di sini."

"Setop!" teriak Daya marah. "Aku nggak bisa pergi kemana-mana karena kamu!"

"Kamu itu kenapa sih? Jangan teriak-teriak, kita ada di balkon salah satu hotel mewah. Bukan di hutan," hardiknya keras sambil mendekati Daya untuk mengambil rokoknya.

"Hrrghhhhh..." Daya menggeram marah lagi kemudian berlalu ke dalam.

Dia menarik lengan Daya kemudian Daya mendorong tubuhnya menjauh. "Leave me alone!"

"Daya, hey," dia bersikukuh terus mengikuti Daya yang lagi-lagi menuju kamar mandi.

Dahi dia pijit karena bingung harus berbuat apa. Mau tidak peduli juga dia tidak bisa. Sejak dulu dia terbiasa mengemban tanggung jawab sebagai anak pertama. Seluruh harapan besar keluarga dan juga tuntutan untuk selalu menjaga adiknya pasti dia penuhi. Karena itu melihat Daya ketakutan di pesawat tadi membuat dia teringat akan Adeline yang takut ketinggian dulu. Adeline akan memeluknya erat sambil gemetaran.

"Daya..." pintu kamar mandi dia ketuk perlahan. "Buka pintunya dulu."

Diam, tidak ada sahutan.

"Okey, saya keluar dari kamar tapi kamu harus makan," dia menunggu namun masih tidak ada sahutan.

Nafas Maja hela dalam. Akhirnya dia memutuskan untuk memberi Daya ruang. Jadi dia memasukkan laptop ke dalam tas dan beranjak ke luar kamar. Dia bisa bekerja dari kafe di lantai bawah. Alasan akan dia cari nanti jika Basri menemukannya. Bel pintu kamar berbunyi dan dia mempersilahkan petugas hotel yang membawa makanan masuk. Dia sendiri tidak terlalu bernafsu. Jadi dia keluar kamar bersama dengan petugas hotel tadi yang sudah selesai meletakkan makanan.

***

Maja lagi bingung, mau marah terus juga nggak bisa. Mau suka juga belum suka. Apa udah? Eh, eh. Ruwet pokoknya urusan sama Daya. Trauma Daya nanti dijelasin pelan-pelan ya. Sekarang go with flow dulu.

Btw, ini part mereka panjang-panjang dan lebih dari 3000 words. Hope you enjoy!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro

Tags: #romance