Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Part 7 - The Plan Arrangement

Kemenangan Digicom diumumkan oleh Digjaya satu hari setelahnya. Daya tahu mereka menang bukan karena perjanjian pernikahan itu, mereka menang karena mereka hebat. Bahkan saat dia menyelesaikan presentasi kemarin, dua Direktur Digjaya menghampirinya dan memuji proposal mereka. Dia juga harus mengakui bahwa timnya sudah bekerja dengan sangat baik. Proposal untuk Digjaya adalah salah satu proposal terbaik yang pernah mereka racik dan sajikan. Ten out of ten.

Daya berdehem sedikit kencang untuk menghentikan kegaduhan di ruangan. "Hello, My Superhero Team." Suara-suara mereka mereda dan semua sudah memperhatikannya yang berdiri di depan ruangan. "You've done a great job. We got the straight win," senyumnya merekah lebar.

Lalu keriuhan dimulai lagi ditambah dengan suit-suit gembira dari Reza dan Dion. Setelah reda, Daya berujar lagi. "Kalian layak mendapatkan cuti yang tenang tapi bergantian." Tepuk tangan menggema lagi. "Ini kerja keras tim, jadi rayakan sebaik-baiknya. Tapi setelah itu, we need to get back to work. Eksekusi dari apa yang ada di proposal untuk Digjaya harus sempurna. Tidak boleh ada kesalahan. Saya akan pimpin sendiri perihal ini."

"Presentasi kamu juga keren, Mba. Pak Maja benar-benar terpesona sekalipun wajahnya datar aja," ujar Tari.

"Kalian lebih keren daripada saya," dia tersenyum kecil. "Anyway, silahkan mulai atur cuti dan informasikan pada Tari. Dalam dua minggu kita sudah harus kerja keras lagi," dia menutup meeting sore ini lalu melangkah ke luar ruangan.

Tari berjalan mengikutinya. "Mba, kami mau ngerayain dan makan di luar. Mba mau ikut?"

"Kalian aja. Lagian nggak akan nyaman kalau ada saya. Karena kalian mau ngomongin saya kan?" ujarnya tanpa basa-basi.

"Hehehe, kok gitu mikirnya, Mba," timpal Tari tidak enak hati.

Mereka sudah tiba di ruangannya. "Mba, tadi Agam telpon dan nanya alamat apartemen Mba Daya. Pak Maja mau kirim bunga."

Tubuh Daya senderkan di meja sambil memperhatikan Tari. "Tari, ada sesuatu yang harus kamu tahu."

"Ya, Mba?"

"Apa yang saya akan ceritakan ke kamu adalah highly confidential. Level paling atas. Saya butuh bantuan kamu untuk atur semua, dan juga untuk menjaga rahasia."

Ekspresi senyum di wajah Tari sudah berganti dengan tatapan serius. "Iya, Mba. Saya paham."

Kemudian dia mulai menceritakan tawaran Admaja dan rencana pernikahan mereka pada Tari yang mendengarkan dengan seksama. Tanpa tahu bahwa Tari sedang setengah mati menahan diri untuk tidak melompat gembira mendengar rencananya dan Agam yang berhasil.

***

Sebagian tim Digicom mulai mengambil cuti bergantian. Daya memberikan mereka waktu dua minggu hingga tim lengkap kembali bekerja. Ini bagus hingga gossip-gossip hubungannya yang baru dimulai dengan Admaja tidak terlalu ramai di kantor. Daya menggunakan kesempatan itu untuk mengatur ulang seluruh rencana. Dia meminta Tari untuk menunda cuti dan sekretarisnya itu tidak menunjukkan keberatan apapun. Malah sepertinya Tari lebih semangat daripada dirinya sendiri.

Buket bunga selamat dari Digjaya sudah datang, ditambah satu buket lain atas ajakan makan malam dari Admaja. Daya menatap tidak berselera. Ada apa dengan laki-laki dan bunga. Dia lebih suka hadiah yang tidak picisan seperti ini. Tapi ya sudahlah. Itu semua juga hanya pura-pura kan.

"Mba, jangan lupa makan malam dengan Pak Maja hari ini."

"Hmm.." matanya menatap jadwal di layar laptop. "Minta Maja menjemput saya di kantor jam tujuh malam. Tidak kurang atau lebih. Bilang padanya saya masih ada meeting hingga jam tujuh."

"Baik, Mba."

Matanya melirik Tari yang tidak keluar ruangan. "Ada apa, Tari?"

"Gini, Mba. Maaf sebelumnya. Tapi ada berita nggak enak dari Wincorp. Setelah tahu Pak Maja dekati Mba, mereka merasa kemenangan Digicom karena hal itu."

Data terkekeh. "Menurut kamu gimana?"

"Menurut saya, kita menang karena memang proposal kita keren banget. Tapi kebetulan setelahnya memang..."

"Tari, orang yang tidak mampu akan banyak suara. Berisik. Digicom menang, karena Digicom hebat, kalian hebat. Bukan karena hubungan saya dengan Admaja," dia menatap Tari tegas. "Kamu harus belajar untuk mengolah berita yang masuk ke pikiranmu. Berita seperti itu adalah sampah. Racun yang bisa mengotori ide-ide brilianmu di kepala. Apa yang kamu lakukan dengan sampahmu, Tari?"

"Dibuang, Mba."

"Kalau gitu, buang. Bilang pada mereka, air yang beriak-riak menandakan pikiran yang dangkal. Wincorp kalah karena mereka tidak lebih baik dari Digicom. Ask them to deal with it. Kita nggak punya waktu dan punya banyak tender lain untuk dimenangkan."

Senyum Tari mengembang lebar. "Baik, Mba. Oh, satu lagi jangan lupa. Besok ada makan siang dengan Ibu Ferina Soedibyo dan pesanan Mba sudah sampai. Besok saya berikan."

"Okey. Terimakasih, Tari."

Tari sudah keluar dari ruangan. Kursi kerja dia putar hingga dia bisa melihat ke jendela luar. Hubungannya dengan Ferina berlanjut setelah insiden sepatu. Sikap Ferina sangat hangat dan keibuan membuat dia nyaman. Selama ini dia sendiri, tanpa teman, atau keluarga dekat, atau pasangan. Orang-orang yang dekat dengannya adalah Tari si sekretaris dan Rendy personal trainer-nya. Selebih itu tidak ada. Jadi ketika dia bertemu Ferina, dia menemukan sosok ibu yang sudah lama hilang.

Entah kenapa ada ganjalan di dalam hati, sejak dia menyetujui permintaan Admaja. Perasaan tidak nyaman yang menganggu, mungkin nurani atau firasat bahwa akhir dari semua ini akan buruk sekali. Tapi bayangan tentang betapa besarnya Digicom nanti sungguh membuat dia tidak bisa berhenti. Dia ingin mencoba apa saja karena Digicom adalah prioritas satu-satunya.

Nafas dia hela. Obat terbaik dari segala penyakit adalah bekerja. Selalu bekerja. Jadi kursi sudah dia putar kembali, kemudian dia mulai sibuk lagi.

***

"Dimana saya harus menjemputmu?" tanya Admaja pada Daya melalui ponsel. Dia baru saja menyelesaikan meeting.

"Tujuh tiga puluh. Kamu terlambat tiga puluh menit," ujar Daya di seberang sana.

"Bukan hanya kamu yang sibuk."

"Saya akan masukkan ke salah satu pasal nanti, bahwa kamu harus menghargai waktu saya. Saya benci orang yang tidak tepat waktu."

"Jangan basa-basi. Tunggu saya di lobby," titahnya.

"Nope, selamat malam Admaja," sambungan diputus oleh Daya.

What? Dia menggeram namun mengangkat ponselnya lagi saat Agam masuk ke ruangan.

"Kamu tutup telpon saya?" protesnya tegas.

"Kamu tidak menghargai waktu saya, Admaja. Lima belas menit saya maafkan. Tiga puluh menit saya tinggal. Selesai. Selamat beristirahat. Kita sambung lagi..."

"Dayana!!" potongnya dengan nada tinggi.

Tangan Agam sudah bergerak-gerak untuk menenangkannya. "Tarik nafas, Pak," bisik Agam. "Ingat makan malam keluarga beberapa hari lagi."

"Jangan tinggikan nadamu. Saya bukan pegawai kamu," ujar Daya tenang. "Duduk dan minum dulu, Maja. Kamu butuh itu. Bilang pada Agam untuk keluar ruangan, saya bisa mendengar dia berbisik. Kita berdua bisa menyelesaikan urusan tanpa Agam, kan?"

Tangannya terkepal kuat. Kepala dia gerakkan memberi tanda pada Agam agar keluar ruangan. Nafas dia hirup dalam tiga kali. Seumur hidupnya dia tidak pernah bertemu dengan wanita jenis ini. Pintu ruangan sudah tertutup.

"Saya tidak akan mentolelir sikap tanpa hormat kamu, Daya."

"Admaja, mari kita saling menghargai. Saya menunggumu hingga pukul tujuh dua puluh. Saya menghargai waktu dan menghargai kamu. Jika saya tidak menghomartimu, kemarin saat kamu menawarkan perjanjian ini saya sudah tertawa dan mengancam akan membeberkan semua. Kedudukan kita sama dan kamu juga harus menghormati saya."

Saliva dia loloskan. Emosi yang tadi naik sedikit mereda. Harinya panjang dengan banyaknya isu hingga dia lupa waktu. "Dimana kamu sekarang?"

"Di jalan pulang."

Nafas dia hirup lagi. "Okey, Agam akan atur lagi makan malam ini besok."

"Jangan terlambat, okey?"

"Malam, Dayana."

"Maafnya mana?"

Maja menggeram kesal lalu menutup ponselnya.

***

Sesuai dengan rencana, makan malam diatur ulang keesokan harinya. Kali ini Admaja tidak terlambat sementara Daya baru selesai meeting sepuluh menit dari waktu yang ditentukan. Akhirnya Maja terpaksa menunggu di ruang kerja Daya diiringi tatapan penasaran dari seisi kantor Daya. Menyebalkan. Saat pintu ruangan terbuka dan Daya masuk, dia sudah berujar. "Sekarang kamu yang terlambat."

"Selamat sore, Maja," senyum Daya. "Terimakasih, Tari. Kamu boleh pulang," ujar Daya pada sekretarisnya. Pintu sudah tertutup kemudian Daya melanjutkan. "Senyum, Maja. Banyak mata memandang."

"Kamu terlambat," dengkusnya.

"Hanya sepuluh menit, masih dalam batas toleransi. Lagian saya sengaja terlambat," ujar Daya sambil mengambil tas dan berkaca untuk menambahkan lipstiknya.

"Sengaja?" emosinya mulai naik lagi. Dia sudah berdiri dan rasanya ingin pergi dari ruangan ini.

"Admaja, tarik nafas," tubuh Daya berdiri berhadapan dekat sekali. "Seluruh pemberitaan sudah dimulai. Besok keluargamu akan tahu, juga semua orang yang sebelumnya hanya bergunjing saja. Menunggu saya di ruangan dengan sebuket bunga akan jadi cerita romantis yang menarik," bisik Daya.

Kepala Maja turunkan sedikit hingga bibirnya hanya berjarak tiga senti dari telinga Daya. Wangi perfume Daya yang segar menguar ketika dia berbisik. "Jangan buat saya menyesal sudah memilih kamu, Dayana."

Daya tidak mau kalah dengan menengokkan kepalanya sedikit hingga nafas Daya bisa dia rasakan di pipi. "Jangan buat saya kesal, Maja. Ingat, kita sedang menjalankan proposal bisnismu."

Lalu wanita ajaib ini menjauhkan diri perlahan. Dengan tenang Daya berdiri menunggunya untuk melangkah keluar. Mereka berjalan beriringan dengan banyak tatapan penasaran. Maja bisa melihat sosok Daya pada pantulan kaca. Berjalan dengan anggun dan sopan di sebelahnya. Sekalipun dia tidak suka mengakui ini, tapi secara fisik mereka memang serasi. Hhhh, ini menyebalkan.

Ketika sudah sampai di mobil mereka sibuk dengan ponsel masing-masing. Dia menghubungi salah satu kolega sementara Daya mengetik dengan cepat di tabletnya, entah mengerjakan apa. Mereka tidak saling bicara. Asyik dengan dunia masing-masing. Ketika mereka sudah tiba di salah satu restoran terbaik di kota, mereka turun dan jalan beriringan.

"Ada beberapa pers di sini. Hati-hati," Daya memperingatkan setelah melihat ke sekeliling ruangan.

"Tahu darimana?"

"Pers itu sahabat-sahabat saya, Maja. Saya bisa membaui mereka dari jauh," jawab Daya.

"Pemilihan sahabat yang sangat baik," bisiknya menyindir Daya.

"Make your friends close, and your enemy closer. Control them, or they will control you," senyum Daya lagi ketika mereka sudah duduk di meja mereka.

Maja sudah melakukan pemesanan sebelumnya. Jadi dia dan Daya hanya tinggal memesan minuman saja. "Sudah berapa lama kamu di industri advertising?"

"Saya nggak ngitung waktu. Karena waktu selalu berlari. Kamu sendiri? Sejak kapan kamu pegang usaha keluarga?"

"Dari kecil."

Daya mengangguk mengerti. "Kita harus bertukar informasi sebelum menuju tahap berikutnya."

"Okey. Mari mulai dengan kamu," makanan pembuka datang.

"Saya yakin kamu sudah mempelajari saya. Tidak ada yang menarik kan?" Daya menyuap sup hangat itu.

"Kehidupan pribadimu biasa-biasa saja. Tapi prestasimu luar biasa," dia memberi jeda. Berhati-hati memilih kalimatnya. "Maaf, tapi keluargamu meninggal karena kecelakaan. Apa benar begitu?"

Sejenak Daya membeku, tapi kemudian wanita itu bergerak lagi. "Ya, benar. Saya anak tunggal, tanpa saudara. Paman dan bibi ada di pulau seberang."

"Apa beliau bisa datang saat kita melanjutkan ke fase berikutnya nanti?"

"Saya akan atur. Jangan khawatir."

"Kamu punya...sahabat? Atau teman?"

"Hanya satu. Namanya pekerjaan atau sebut dia Digicom Creative," senyum Daya. "Sudah tentang saya. Bagaimana dengan kamu?"

"Apa yang ingin kamu tahu?" tanyanya karena dia juga yakin bahwa Daya sudah mencari tahu.

Makanan utama datang. Mereka mulai menyantap perlahan. "Adikmu. Apa dia sakit? Maaf kalau saya to the point?"

Kali ini dia memberi jeda. "Adeline adalah orang penting untuk saya. Saya harap kamu dan dia bisa cocok, sekalipun hanya untuk sementara."

"Adikmu cantik, senyumnya hangat. Semoga dia cepat pulih apapun penyakitnya," ujar Daya tulus.

"Dia membaik dan masih fisioterapi di rumah sakit MG."

"Bagaimana dengan ayah dan ibumu?"

"Kamu tidak tahu mereka?"

Kepala Daya menggeleng. "Saya hanya tahu tentang adikmu yang sakit. Beritanya beredar dimana-mana."

"Tidak ada yang menarik dengan mereka. Pernikahan mereka biasa-biasa saja. Tidak hangat, tapi juga tidak berjarak. Ayah saya selalu sibuk dan mama terus-terusan khawatir dengan Adeline, seperti saya."

"Keluarga yang manis," bisik Daya sambil menatapnya. Kemudian Daya berdehem sebelum melanjutkan. "Apa kamu punya mantan pacar? Atau mantan istri?"

"Tidak ada. Hidup saya sama sibuknya seperti kamu."

"Ya, bekerja selalu lebih sederhana daripada segala romansa," ujar Daya.

"Saya senang kita sependapat."

Sejenak mereka asyik dengan hidangan mereka. Hingga menu utama berganti dengan menu penutup.

"Hhh, ini makan malam terbanyak saya, Maja," Daya tersenyum lagi. "Dan ini enak sekali."

"Restoran ini milik keluarga Daud."

"Daud, yang itu?" tanya Daya penasaran.

"Ya, Daud yang itu. Saya akan undang mereka ketika kita menjalankan fase kedua."

Senyum Daya mengembang lebih lebar. Dia tahu bahwa wanita ini setuju dengan rencana gilanya hanya untuk koneksi saja. Tapi saat Daya terlihat lebih tertarik dengan hal itu daripada dirinya, Maja kesal juga. "Kamu bahkan nggak berusaha menutupi reaksi kamu, Daya."

"Itu susah, sudah by default begini," ekspresi Daya berubah serba salah.

Diam-diam dia menikmati ekspresi itu. Karena sejak pertama, Daya selalu menunjukkan superioritasnya. Jadi saat Daya tiba-tiba memberikan ekspresi serba salah, dia merasa tertarik sekali.

"Kapan pengacara kita dijadwalkan bertemu?" Daya berdehem seperti tahu dia yang memperhatikan.

"Kamu sudah siap dengan klausa-mu?"

"Sudah."

"Apa yang ada di nomor satu?" tanyanya penasaran.

"Separate room, no physical touch, no string attached," minuman Daya sesap perlahan. "Kamu sendiri?"

"Tidak main hati, menjaga nama baik keluarga sampai kontrak berakhir, serta bersedia berpisah baik-baik ketika masa kontrak habis," pungkasnya.

Kepala Daya mengangguk setuju. "Okey."

Mata Daya menatap wajahnya seperti ingin bicara tapi ditahan. Karena penasaran dia bertanya. "Ada apa dengan wajah saya?"

Daya tertawa kecil lalu berdiri untuk melangkah ke dekatnya. Tubuh Daya membungkuk dengan kepala yang mendekati wajahnya. Wanita ini ingin apa? Ini tempat ramai.

Kemudian satu tangan Daya mengambil serbet makan dan mengelap ujung bibirnya perlahan. "Ada saus di ujung bibirmu," ujar Daya.

Saliva dia loloskan kemudian dia mengambil serbet putih itu dari tangan Daya. Itu malahan membuat ujung jari mereka bersentuhan. Ini norak tapi dia jadi serba salah sendiri. Kemudian dengan tenang Daya kembali ke tempat duduknya. Ada apa dengannya?

Serbet putih itu dia cermati. Dia tidak pernah ceroboh ketika makan. Jadi dia menatap heran pada Daya saat dia tidak menemukan noda apapun. "Kamu bercanda?"

"Ya," Daya terkekeh lagi. "Hanya ingin menggoda kamu yang kaku sekali. Lagian, reporter gossip di sudut kanan butuh foto yang meyakinkan."

Rahangnya bergerak perlahan menahan kesal.

"Semua skenario malam ini sudah selesai. Apa bisa kita pulang?" pinta Daya.

Dia hanya mengangguk lalu menyelesaikan semua pembayaran. Daya menunggunya di ujung ruangan sambil berdiri dan menatapnya saja. Beberapa orang memperhatikan Daya. Wajah Daya tidak silau cantiknya. Tapi seluruh aura percaya diri, juga tatapan mata tajam berpadu dengan senyum yang menarik, seolah membuat Daya seperti magnet yang bisa menarik siapa saja. Entah kenapa dia memiliki firasat yang aneh. Wanita di hadapannya benar-benar spesies yang sama sekali berbeda. Berbahaya.

***

Kabar berita tentang hubungan mereka sudah beredar resmi di beberapa platform berita. Admaja menatap berita-berita yang ditulis dengan baik seolah mereka pasangan bahagia yang jatuh cinta pada pandangan pertama. Mereka sudah tiga kali berkencan, jumlah yang Daya atur sendiri. Tiga kali adalah jumlah yang pas, tidak berlebihan dan sudah bisa dengan tepat menunjukkan bahwa mereka berhubungan.

Oh, jangan lupa dengan foto-foto mereka yang tampak mesra. Padahal saat itu mereka hanya bermain peran saja. Hhh, segala sesuatu yang palsu juga bisa menyesakkan juga. Tapi dia yang memilih ini semua. Langkah selanjutnya adalah memperkenalkan Daya pada keluarganya. Dia heran sendiri karena tiba-tiba mama tidak menghubunginya lagi. Mungkin mama sudah membaca seluruh berita.

"Del, kamu sama mama?" tanyanya di ponsel.

"Enggak. Aku baru sampai rumah dan tadi di rumah sakit heboh karena ada berita 'high quality single man in town' yang tiba-tiba punya pacar," ujar Adel. "Itu serius, Kak? Atau ini akal-akalan kamu aja."

"Hey, cewek yang ini beda. Pinter banget. Nyebelin tapi..."

"Cantik? Namanya Dayana, kayak Lady Diana. Iya kan?"

"Iya," adiknya tidak boleh tahu.

"Berarti makan malam minggu ini diajak dong?"

"Yes."

"Kak, kamu serius kan? Bukan lagi pura-pura. Aku bisa deteksi itu lho dan aku nggak mau kamu pura-pura untuk hal sepenting ini."

"Serius. Ketemu nanti ya. Aku ada meeting lagi. Bye, Sayang," dalihnya.

"Bye, nyebelin," kekeh Adeline kemudian sambungan diputus.

Nafas dia hirup dalam kemudian ponsel dia buka. Pesan-pesan dari Daya dia tatap. Wanita ini sangat terperinci jika sudah mengerjakan suatu rencana. Jadi Daya mengharuskan mereka berkirim pesan singkat yang manis setiap hari.

Daya: Selamat pagi. Hari ini jadwal penuh?

Admaja: Ya, tebakan aku jadwal kamu sama penuhnya.

Daya: <emoticon tertawa> Have a nice day.

Admaja: You too.

Daya: Jangan terlambat makan, okey.

Atau pesan yang lain saat malam tiba.

Admaja: Kamu sudah pulang?

Daya: Sudah, capek banget. Kamu masih di kantor?

Admaja: Iya. Satu meeting lagi. Jangan lupa besok dinner.

Daya: Mana bisa lupa. Aku udah siap-siap dari kemarin <emoticon silly face>. Kamu udah makan?

Admaja: Agam sudah belikan. Besok-besok, kamu yang belikan?

Daya: Emangnya mau dibeliin apa?

Admaja: Apa aja. Udah dulu, meeting mau mulai.

Daya: Take care.

Itu semua adalah skenario Daya. Setiap kata dan kalimatnya, juga pukul berapa mereka harus berkirim pesan. Tidak ada kata cinta atau sayang yang berlebihan. Semua wajar dan normal seperti dua manusia dewasa yang sedang menjalin hubungan. Tapi entah kenapa ketika dia membaca lagi itu semua, tetap saja pesan-pesan itu terkesan istimewa. Dia suka. Hhh, ada apa dengan otaknya.

Ponsel dia letakkan. Fokus Maja. Get married soon and get it done. No string attached. Big NO.

***

Daya menatap sosoknya di cermin. Gaun yang dia pilih sempurna untuk makan malam dengan keluarga Hadijaya. Tapi entah kenapa rasa mengganjal itu muncul lagi. Dua minggu ini mereka berpura-pura dengan baik, tapi ketika dia harus bertemu dengan keluarga Hadijaya dan berpura-pura di hadapan mereka, rasanya salah. Dia cemas dan gugup hingga tidak bisa tidur sejak semalam.

"God, I hate it," dia berteriak kesal pada diri sendiri. Tarik nafas Daya. Tarik nafas. It will be okey. This is what you want, what you need.

Bel pintu apartemennya berbunyi. Admaja datang menjemput. Dia membukakan pintu dan menatap sosok nyaris sempurna Admaja Hadijaya. "Sudah siap?"

Matanya terpejam sesaat, nafas dia hirup panjang, bibir dia basahi. "Yes."

Mereka berjalan beriringan sepanjang koridor hingga lobby. Sudah ada sedan hitam mewah menunggu. Dalam perjalanan dia terus menggenggam tangannya sendiri dan menatap kaca jendela. Berusaha menenangkan pikirannya yang sibuk sekali.

"Daya? Are you okey?" sentuhan tangan Maja pada bahunya membuat dia berjengit kaget. "Kamu pucat, Daya?"

Saliva dia loloskan. "I'm okey. Just give me space, please," dia menggeser duduknya menjauhi Admaja.

Mobil mereka sudah tiba di pekarangan rumah besar keluarga Hadijaya. Admaja sudah berputar untuk membukakan pintu. Tapi dia masih duduk terpaku.

"Hey, Daya. Tarik nafas. Saya nggak tahu kenapa kamu begini, but please work this with me," Admaja tidak berani menyentuhnya jadi laki-laki itu hanya berjongkok di hadapannya.

Oksigen dia hirup banyak-banyak.

"We are a great team. Dua minggu kemarin sukses besar, Daya. We are a great team," ulang Admaja sambil meletakkannya tangannya di atas bahu Daya.

Kepalanya mengangguk kemudian dia melangkah turun. Admaja menggandeng tangannya karena memang seharusnya begitu. Tapi itu sama sekali tidak bisa menenangkannya. Dadanya sedikit lebih tenang saat mereka masuk ke dalam ruang tamu yang sudah disambut dengan gadis cantik dengan tongkat jalan yang dia tebak adalah Adeline.

"Kakak," senyum Adeline mengembang lebar.

Admaja memeluk adiknya itu sejenak lalu memperkenalkan mereka. Dia tersenyum sambil memperkenalkan diri. Sikap Adeline hangat sekali. Tersenyum dan tertawa sambil terus bercerita. Mereka mengobrol ringan sambil terus berjalan ke arah ruang tengah.

"Halo, Sayang. Akhirnya," senyum Ferina lebar sekali.

Mata Daya mengerjap tiga kali karena benar-benar terkejut. Sosok Ferina Soedibyo berdiri di tengah ruangan. "Tante?" kepalanya menoleh pada Admaja bingung.

"Selamat malam, Daya," sapa Ferina. "Apa kabarmu, Sayang?" Ferina sudah melangkah ke arahnya yang berdiri mematung.

Kendalikan dirimu, Daya. Hardiknya pada diri sendiri. Dia masih bingung saat Ferina menempelkan pipi mereka kanan dan kiri. Ini Ferina Soedibyo, bukan Hadijaya kan?

"Kalian sudah kenal?" tanya Admaja lebih heran lagi.

"Oh, yang saya tahu ini Tante Ferina Soedibyo," jawabnya sopan. "Saya benar-benar tidak tahu kalau..."

"Soedibyo nama keluarga Tante," jawab Ferina. "Daya menolong Mama dulu, Maja. Wanita ini istimewa."

"Ma?" tatapan Maja seperti protes pada mamanya.

"Kami bertemu tidak sengaja saat Mama selesai menjewer kupingmu karena terus bekerja," jelas Mama. "Kemudian kami bertemu untuk makan siang yang selalu menyenangkan setelah itu. Mama tidak tahu sampai saat berita di media turun."

"Karena itu Mama diam saja?" bisik Maja.

"Jangan tidak sopan, Admaja. Hargai calon istrimu," tangannya sudah digenggam oleh Ferina sehingga mereka berjalan beriringan. "Ayo, Sayang. Kita mengobrol di teras belakang sambil menunggu makanan disiapkan."

Sebelumnya Daya mengira bahwa dia akan bertemu sosok keluarga kaya yang sombong hingga mudah untuknya berpura-pura. Tapi ketika tahu bahwa Ferina yang dia kenal adalah Ferina Hadijaya, ibu dari laki-laki yang meminta dia berpura-pura, jantungnya melorot pergi. Ya Tuhan, kenapa jadi begini.

***

Tangan Maja dirangkul oleh Adeline. Dengan cepat adiknya itu mengambil ponselnya dari dalam saku. "Adel, apa-apaan sih."

"Pemeriksaan pertama. Kalau kamu beneran pacaran sama Mba Daya, kalian pasti chattingan," dengan sigap Adeline memeriksa pada aplikasi whatsapp ponselnya.

"Siniin," ujarnya kesal.

Senyum Adeline mengembang lebar sambil terus membaca pesan-pesan dia dan Daya. Kemudian adiknya itu tertawa. "Nih, lolos. Ciyee yang punya pacar. Kamu kenal dimana?"

Matanya mengawasi Daya dan mama yang sedang mengobrol di pinggir kolam renang. "Kantor, urusan kerja."

"Romantis banget sih, kayak di drakor." Adeline juga menatap dua sosok yang sama. "Mama happy banget waktu tahu kalau pilihan kamu adalah Princess Diana."

"Jadi kamu udah tahu?"

"Aku awalnya nggak tahu. Mama cuma cerita waktu mama ditolong sama Kak Daya. Setelah itu mama suka janjian makan siang memang. Tadinya aku pikir malahan mama akan minta kamu ketemu Kak Daya. Tapi ternyata kamu malah suka duluan. Bagus kan? Akhirnya ada satu hal yang kamu dan mama setuju."

Dahi Maja pijit karena kebetulan yang terlihat menyenangkan ini justru menambahkan komplikasi pada hubungan sementaranya dengan Daya. Ya, dia hanya berencana untuk mengenalkan Daya basa-basi saja pada keluarganya. Kemudian menikah, kemudian bercerai setelah perjanjian berakhir, kemudian dia akan melajang dan kembali fokus bekerja. Harusnya semua mudah karena sudah direncanakan matang-matang. Tapi mamanya terlihat sangat bahagia sekarang. Hubungan Daya dan mama dekat tanpa sepengetahuannya.

Apa mungkin Daya tahu akan hal ini dan juga menjebaknya? Karena itukah Daya mahir sekali berpura-pura dan gugup ketika mereka menuju ke sini tadi? Juga pesan-pesan yang Daya atur sedemikian rupa. Daya tahu Adeline akan memeriksa, jadi Daya menyiapkan segalanya sempurna. Wow, dia sudah terperdaya.

"Kak, kok bengong," ujar Adel. "Jangan kaget nanti mama langsung minta kalian nikah bulan depan," kikik Adel tanpa tahu apa yang sedang Maja pikirkan saat ini.

Mama dan Daya masuk kembali setelah makanan siap. Ayahnya turun dari lantai atas lalu memperkenalkan diri. Daya membawa dirinya dengan sangat baik. Karena ayah yang biasanya kaku terlihat tertarik dengan topik-topik pembicaraan yang Daya angkat. Adeline kagum dengan ide-ide kreatif yang Daya ceritakan saat wanita itu memenangkan tender-tender untuk perusahaannya. Mama jangan ditanya. Ekspresi mama seperti sudah akan menyeret dia dan Daya ke pelaminan besok.

Sementara Daya? Wanita ini terlihat cantik sekali. Dengan gaun malam yang sopan dan tidak berlebihan. Sekalipun ketika di perjalanan tadi wajah Daya pucat pasi, entah kenapa. Malam ini rambut hitam Daya yang ternyata bergelombang tergerai panjang. Daya terlihat nyaman dengan dirinya sendiri, banyak tersenyum dan menatap keluarganya satu per satu dengan penuh rasa perhatian. Daya bahkan mendengarkan dengan sabar cerita-cerita lucu Adeline dan tertawa bersama mama. Wanita ini sungguh pandai berpura-pura.

Dia sendiri entah harus merasakan apa. Senang karena semua rencananya berjalan lancar? Atau merasa ditipu karena Daya seperti berhasil mengambil hati keluarganya dan sudah menyiapkan ini semua. Apa dia dijebak? Atau terjebak dalam permainannya sendiri? Dia harus memperjelas hal ini dengan Daya nanti.

Acara makan malam yang hangat selesai satu jam lebih lama. Karena mama, bahkan papa tidak mau melepaskan Daya begitu saja. Akhirnya dia harus menarik Daya pulang dengan alasan Daya terlihat lelah dan ingin beristirahat. Jadi mereka pergi setelah berpamitan sopan. Sikap mereka kembali berjarak saat berada di dalam mobil. Daya lebih diam bahkan dari sebelumnya. Wajah Daya juga selalu menatap keluar, entah kenapa.

"Kita harus bicara," ujarnya ketika mereka tiba di lobby apartemen Daya.

"Setuju."

Mereka melangkah beriringan menuju apartemen Daya. Wanita itu membukakan pintu lalu dia masuk dan berdiri berhadapan dengan Daya. Apa mata Daya sembab? Tidak mungkin Daya menangis tadi kan?

"Bagaimana kamu bisa kenal dengan mama saya?" dia membuka suara.

Daya berdiri mematung seperti kehilangan kata-kata. "Daya?" ujarnya lagi.

"Yang saya kenal adalah Ferina Soedibyo, bukan Ferina Hadijaya. Saya tidak tahu kalau beliau adalah mama-mu sampai malam ini," jawab Daya.

"Bagaimana bisa saya percaya kalau kamu bahkan tahu jika Adel akan memeriksa ponsel saya."

"Itu hal mendasar saat adikmu sangat menyayangimu. Seperti remaja lain Adeline pasti akan penasaran dan memeriksa semua yang terjadi sangat cepat ini. Jika bukan Adeline, mama mu yang akan memeriksa entah bagaimana caranya," jelas Daya. "Mereka menyayangimu, Maja. Kamu sangat beruntung."

"Apa kamu menjebak saya?"

"Wow...sepertinya kamu lupa siapa yang menawarkan semua ini sejak pertama." Dahi Daya mengernyit seperti menahan sakit tak kasat mata. "Saya tahu kontrak sudah ditanda-tangani. Semua pasal sudah disetujui dan kita sedang berada di fase kedua."

Dia diam membiarkan Daya melanjutkan kalimatnya. Yakin benar bahwa Daya tidak akan melakukan apapun pada kontrak mereka.

"Saya akan batalkan kontrak kita dan penuhi semua ganti ruginya."

Kalimat Daya mengejutkannya. "Apa?"

Nafas Daya hirup dalam. "Saya setuju sebelumnya karena saya berpikir...lupakan. Lupakan apa yang saya pikir. Intinya, kita sudahi ini."

"Apa?" tatap Maja tidak percaya. Wanita ini sudah mengusik seluruh ego laki-lakinya. Saat ini emosinya sedang sangat tinggi hingga dua tangannya mengepal dan dia menahan diri untuk tidak memaki. "Saya akan menarik keputusan saya soal tender," geramnya marah karena merasa dipermainkan oleh Daya.

Daya menatapnya juga dengan banyak ekspresi yang ditahan. "Selamat malam, Maja."

Tubuh Daya berbalik dan melangkah ke salah satu kamar, menutup pintunya. Sementara dia berdiri terpaku lalu akhirnya pergi dari apartemen Daya.

***

Naah, malah putus kan. Jadi bisa married itu gimana ceritanya? Again, stay tune teruss.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro

Tags: #romance