Part 6 - The Woman Parade
Parade sirkus wanita dari mama dimulai. Admaja menatap bosan wanita di seberangnya yang bernama...entah siapa – dia lupa, tapi yang jelas wanita ini nomor lima. Berusaha fokus pada makanan yang terhidang di depan mata dan sungguh sangat bersyukur karena ini hanya makan siang saja. Waktu mereka terbatas dan itu bagus.
"Jadi kalau menurutku, Paris lebih baik dari Roma. Kamu setuju?" tanya si nomor lima.
Nafas dia hirup dalam berusaha untuk lebih tabah dan sabar. "Kalau kamu menilai suatu kota hanya dari seberapa banyak kamu bisa belanja, Paris pasti akan selalu jadi nomor satu. Kebijakan politik apa yang kamu kurang setuju di sana? Saya lebih tertarik dengan topik itu."
"Politik? Maja, kami wanita yang tidak suka politik."
"Kami? Atau kamu?"
Si nomor lima mendesah kesal. "Apa kamu selalu menyebalkan begini?"
Minuman dia teguk dan habiskan. Kemudian dia berdiri. "Saya benar-benar minta maaf. Tapi sepertinya kita nggak akan cocok, dan saya punya meeting penting lima belas menit lagi." Kepalanya mengangguk sopan. "Saya pamit dulu. Terimakasih."
"Bill nya?" tanya si nomor lima.
"Jangan khawatir, sekretaris saya sudah urus semua. Selamat siang." Cepat-cepat dia pergi dari sana.
Ketika sudah berada di dalam mobil, dia menghubungi mama. "Ma, hentikan ini."
"Sayang, apa Edna baik? Dia cantik kan?"
"Ma, ya Tuhan. Sudah dua minggu aku jalani ide konyol ini. Sudah cukup, Ma."
"Pilih salah satu. Kamu sudah bertemu lima wanita. Pilih salah satu dan mama akan atur makan malam untukmu."
"Ini gila, Ma," dia berusaha keras untuk menahan makiannya.
"Andjani pintar, Edna cantik, Windy punya senyum yang menawan..."
"Aku nggak pilih mereka semua. Apa Mama pikir cari pasangan segampang bertemu beberapa kali lalu menikah dan selesai?"
"Memang nggak gampang, karena itu Mama bantu. Adikmu juga ikut serta pilih mereka."
"Tapi..."
"Admaja, kalau kamu merasa lebih pintar dari Mama soal ini, pilih sendiri jodohmu. Syaratnya dia harus wanita baik-baik dan terhormat. Itu saja. Mama kasih kamu dua minggu. Jika tidak ada calon darimu, Mama akan pilih Andjani untuk jadi calon istrimu. Kenapa? Karena kalian bertahan lebih dari satu jam makan siang. Wanita pintar sepertinya lebih cocok denganmu daripada yang cantik dan ramah."
"Ma!"
Sambungan disudahi dengan dia yang mendengkus kesal. Kemudian dia menghubungi Adeline.
"Yes?" sahut adiknya di sana. "Tumben telpon siang-siang."
"Del, bilang ke Mama untuk sudahi kekonyolan ini."
"Kak, mereka wanita baik-baik."
"Please put yourself in my shoes. Come on, Del," keluhnya.
"Your shoes is empty, and gloomy, and lonely. That's your shoes," jawab Adeline. "Kalau kamu nggak suka dengan wanita pilihan Mama. Kamu selalu bisa pilih sendiri, Kak. Mama dan Papa nggak akan maksa juga."
"Nggak maksa gimana?"
"Ya maksa makan siang doang. Biar kamu kenalan."
"I thought you're my sister," nadanya kesal.
"Yes, I am and I love you so much, Big Brother. Aku masih di rumah sakit, nanti malam kita telponan lagi, okey?" pamit Adeline.
"Aku sibuk."
Adeline hanya tertawa lalu menyudahi sambungan. Otaknya berputar cepat untuk mencari solusi atas segala kekonyolan yang sedang terjadi. Adeline benar bahwa dia bisa memilih sendiri. Tapi siapa? Siapa wanita yang cukup gila untuk setuju dengan ide perkawinan sesaat. Karena yang penting dia pernah menikah kan? Mungkin cukup satu tahun saja, kemudian dia akan menceraikan siapapun itu, memberi kompensasi yang layak, lalu bisa hidup tenang lagi.
***
"It is the hype and the pride! Cruising is the new vibe!" Daya menyuarakan apa yang ada di kepalanya sejak semalam. Tagline atau jingle untuk tender kapal pesiar milik Digjaya.
Daya terus mengulang kalimat itu sambil mencoba mencari nada yang pas. Hingga nanti bisa dibuatkan jingle yang sempurna. Tubuhnya terus melangkah ke ruang meeting dimana enam direkturnya sudah siap di sana.
"Selamat sore," pintu Daya buka lalu dia berdiri di ujung meja masih berjalan mondar-mandir karena sebentar lagi dia mendapatkan nada yang pas.
"Sore, Mba. Agenda meeting hari ini..." Tari memulai.
"Sssst..." dia meminta Tari berhenti. Kalimat tadi terus berputar di kepala kemudian dia mulai bernyanyi pelan. "It is the hype and the pride! Cruising is the new vibe!" matanya membulat antusias saat dia menemukan nada yang pas.
"Za, rekam cepetan," ujar Tari sementara Daya terus bernyanyi pelan. Tari tahu benar apa yang ada di dalam pikirannya saat ini.
Setelah Reza selesai merekam, Daya berujar. "Urus tagline atau jingle itu, Za. Mine is better than yours this time."
Senyum lebar Reza terkembang. "Jingle susu coklat buatan saya ya, Mba. Jangan lupa. Sekarang saya kalah bolehlah."
Dia tertawa kecil. "Apalah pokoknya kita dapet jinglenya. Okey, kalian sudah siap untuk menang lagi?" Daya menatap tujuh orang tim inti di kantornya yang membawahi masing-masing divisi. "Hey, ayolah. Dimana semangatnya," nafas Daya hirup dalam. "Digjaya bukan perusahaan main-main. Yang kita kejar bukan hanya kemenangan, tapi koneksi. Pintu-pintu akan terbuka lebar untuk perusahaan besar lain karena keluarga Hadijaya bukan keluarga sembarangan. Kalian tahu kan."
Timnya mengangguk. Tapi Daya masih kurang puas dengan reaksi mereka. Apa mungkin timnya lelah? Jenuh? Oh, no. Itu nightmare. "Okey. Saya tahu kalian capek, belum istirahat cukup setelah Trans Indo. Jadi, kalau kita lolos ke babak berikutnya dengan Digjaya, kalian saya kasih dua hari libur."
Kemudian ruangan mulai ramai dengan sorak gembira.
"Tapi gantian cutinya, okey? Nggak bisa barengan," ujarnya.
"Nggak akan ada telpon kan, Mba? Maksudnya waktu kita ambil cuti," ujar Dion.
"Nope."
"Serius, Mba?" Tari membelalak terkesima.
"Yes," kepalanya mengangguk. "Kayak waktu kita menang susu coklat. Saya nggak telpon kan?"
"Guys, kita harus menang Guys. Siapa tahu dari dua hari jadi seminggu," ujar Tari menatap ke sekeliling ruangan.
Timnya langsung menyambut dengan sorak gembira. "Menang doong."
Meeting berjalan dengan sangat lancar sore itu hingga malam. Tanpa keluhan, tanpa wajah lelah. Daya kemudian sadar, bahwa timnya mungkin butuh istirahat. Harapan akan itu saja sudah membuat produktifitas naik tinggi seperti sore ini. Jadi mereka akan menang, lalu timnya bisa beristirahat sejenak.
***
Sudah pukul sebelas ketika Daya tiba di apartemennya. Lampu-lampu menyala otomatis dengan sensor, hingga dia bisa menatap ke arah area dalam rumah yang sepi. Dulu kesendirian mengganggunya. Sekarang, dia sudah terbiasa. Tubuhnya melangkah ke arah walk in closet besar di dalam kamar sambil mulai melepas kancing blouse. Kepala dia putar dan gerakkan karena sedikit terasa nyeri.
Apa yang terjadi hari ini di kantor membuat dia bertanya-tanya juga. Jika timnya saja lelah dan jenuh, apa dia juga lelah? Karena tubuhnya sudah mulai mengirim sinyal-sinyal tidak fit seperti biasa. Ini karena sudah dua minggu jadwalnya padat sekali dan dia melewatkan kelas-kelas olahraga yang sudah disusun oleh personal trainernya – Randy. Setelah meletakkan tas, blazer dan sepatu, Daya melangkah ke ruang tengah untuk mendengarkan voice message dari ponsel dengan loudspeaker.
Tari mengirim beberapa voice message saat dia di jalan tadi. Ya, dia tidur sepanjang perjalanan pulang hingga Pak Sakih harus membangunkannya ketika mereka sudah tiba di lobby. Kemudian Melly si Media Director dan Randy si personal trainer.
"Ya, kok nggak dateng lagi? Vertigo kamu bisa kumat kalau kamu mangkir terus. Saya cek Tari dan makan kamu nggak benar," nada Randy kesal melalui voice message yang terdengar.
Biasanya dia hanya tertawa saja. Kali ini dia tersenyum kecil. Untuk tahu ada seseorang yang tidak takut dengannya, dan memperhatikan kesehatannya. Randy menghubungi lima kali setelah jam sembilan malam. Ya, dia memang punya sesi late night malam ini. Kulkas dia buka ketika ponsel berdering. Earphone yang masih menggantung di telinga dia aktifkan.
"Yes?" air minum dia tuang.
"Pasti baru pulang."
"Iya."
Randy mendengkus di seberang sana. "Itu tempat fitness sudah kamu booking dan buka nungguin kamu. Tapi kamu mangkir lagi."
Dia meneguk minuman. "Sorry. Tapi tadi meeting lagi seru banget."
"Daya, kamu harus latihan besok."
"Jadwal saya penuh besok, Ren."
"Kamu bisa sakit dan nyusahin saya nanti."
"Saya nggak pernah ngasih tahu kamu kalau saya sakit. Kamu yang tiba-tiba datang. I'm okey, Ren. Don't worry," nafas dia hirup dalam lalu gelas dia letakkan.
"Kamu tahu saya selalu nggak percaya tanpa data yang benar. Kalau kamu sehat, kamu ke sini dan buktikan kamu sehat. Saya jadwalin timbang ukur besok."
"Ren, hujan nggak di tempat kamu?"
"Nggak usah mengalihkan pembicaraan."
Dia terkekeh kecil. Randy sudah tahu apa yang selalu dia lakukan. "Kamu bukannya punya jadwal di Rumah Sakit hari ini? Buat fisioterapy."
"Daya, saya serius. Sekarang istirahat dan besok datang."
"Iya, iya. Saya datang besok....mungkin."
"Dasar bandel," kemudian hening di sana. Randy diam tiba-tiba. "Ya...
"Ren, saya istirahat dulu, okey. Thanks for calling." Sambungan dia sudahi.
Dalam hati dia tahu apa yang tertahan di ujung kalimat Randy tadi. Tapi dia tidak punya waktu, sungguh. Dia pernah dua kali mencoba dan gagal. Laki-laki akan merasa terintimidasi, atau mereka tidak akan punya waktu cukup untuk bersama-sama. Lalu ketika itu terjadi, mereka akan pergi dengan cara berselingkuh, atau hanya menghilang. Dia selalu kembali sendiri. Jadi buat apa memulai sesuatu yang dia sudah tahu ujungnya. Nafas dia hirup lalu buang sambil berdiri menatap lampu-lampu kota dari ruang tengah apartemen mewah miliknya. Kemudian jingle tadi terngiang di kepala. Dia tertawa, mungkin jodohnya hanya dengan pekerjaan saja. Dia tidak keberatan, karena itu lebih mudah daripada jatuh cinta.
***
Janji makan siang Ferina Soedibyo datang hari ini. Sesungguhnya Daya lupa karena seluruh jadwalnya yang gila. Tapi Tari mengingatkannya hingga dia tidak terlambat. Bagaimanapun juga tidak sopan menolak undangan makan siang dari wanita paruh baya yang masih terlihat cantik itu. Jadi Daya berencana untuk menyelesaikannya cepat karena meeting penting lain sudah menunggu.
"Halo, Daya. Apa kabarmu?" sapa Ferina hangat ketika dia tiba di salah satu restoran mewah.
"Baik, Tante. Bagaimana kabar Tante sendiri?" dia berbasa-basi karena Ferina terlihat segar dan sehat.
"Saya baik," Ferina mempersilahkan dia duduk. "Kamu sibuk?"
"Hanya seperti biasa," jawabnya sopan. "Terimakasih Tante sudah repot-repot mengundang saya. Seharusnya tidak perlu begini."
"Oh, jangan pikirkan. Saya hanya mau mengembalikan kebaikanmu, Sayang."
Dia bisa melihat satu paper bag besar bertuliskan nama desainer sepatu terkenal yang ada di kursi kosong sebelah Ferina.
"Saya harap paper bag besar itu hanya berisi sepatu saya saja. Atau ini akan terlalu berlebihan."
Makanan sudah datang karena dia yakin Ferina memesannya lebih dulu. "Pasti tidak berlebihan. Wanita akan selalu merasa tidak cukup banyak memiliki sepatu," lanjut Ferina.
"I can not agree more," Daya tertawa kecil. Menolak pemberian dari wanita ini akan dianggap tidak sopan. "Terimakasih banyak. Apapun yang Tante pilih pasti cantik sekali."
"Sudah, sudah. Makanannya bisa dingin," Ferina mulai menyuap salad di hadapan. "Apa pekerjaanmu, Daya?"
"Oh, saya bekerja di bidang periklanan. Hanya kecil-kecilan."
"Pasti menarik sekali. Apalagi di zaman seperti saat ini."
"Bukan hanya menarik, saya mencintai apa yang saya kerjakan. Hal itu adalah seluruh dunia saya," tanpa sadar mata Daya berbinar-binar.
Ferina tersenyum menatapnya. "Keluargamu pasti sangat bangga."
Jantung Daya seperti berhenti. Senyum dia paksakan. "Saya harap begitu."
Mata Ferina menatap kesedihan yang Daya tutupi. "Oh, ada apa? Keluargamu baik-baik saja kan?"
"Ayah dan Mama sudah tidak ada. Kecelakaan," jelas Daya sambil meneguk air dalam gelas karena tiba-tiba merasa gugup.
"Ya Tuhan. Maafkan saya. Saya turut berduka cita, Daya."
"Terimakasih, tapi saya sudah nggak apa-apa, Tante. Jangan dipikirkan," senyum dia kembangkan lagi.
Ekspresi Ferina masih menunjukkan rasa bersalah. Mereka diam sejenak sambil terus menyantap hidangan perlahan.
"Tante pasti ibu yang hebat," dia memecah keheningan untuk meredakan rasa bersalah Ferina.
"Entah, terkadang saya sendiri tidak yakin," ujar Ferina. "Anak saya dua. Satu laki-laki dan satu perempuan. Mereka segalanya untuk saya. Tapi terkadang apa yang mereka pikirkan sungguh berbeda dengan keinginan saya. Kami sering berbeda pendapat, terutama dengan anak laki-laki saya."
"Dulu Ibu saya pernah bilang bahwa jika kita mencintai atau menyayangi seseorang dengan tulus, maka orang itu pasti akan tahu dan suatu saat, juga membalas dengan perasaan yang sama. Paling tidak dengan perbuatan baik lainnya. Jadi jangan terlalu khawatir, Tante. Anak-anak Tante pasti sangat sayang dengan, Tante."
Tangan Ferina terulur menggenggam lengannya. "Wow, mama-mu pasti wanita yang luar biasa."
"Sama hebatnya dengan Tante," senyum Daya lagi.
Ferina menatapnya dalam, sekalipun dia tidak mengerti kenapa.
"Maaf, saya ingin bertanya," ujar Ferina.
"Ya?" dia menyudahi makannya.
"Apa kamu sudah bersuami?"
Dia tertawa kecil. "Saya memiliki sedikit sekali waktu untuk melakukan hal lain selain bekerja," bahu dia angkat sedikit. "Jadi saya menikmati kesendirian saya."
Kepala Ferina mengangguk kecil, lagi-lagi dengan ekspresi yang tidak bisa dia tebak. Kemudian obrolan santai kembali berlanjut. Herannya, dia merasa nyaman dengan wanita ini. Pembicaraan mengalir lancar hingga lebih dari satu jam terlewati. Mereka menyudahi makan siang dengan senyum di wajah masing-masing. Berjanji akan meluangkan waktu lagi untuk bertemu dan berbincang nanti.
***
Waktu berlalu cepat dan menyisakan hanya beberapa hari saja perihal batas waktu Admaja untuk mencari pasangannya sendiri. Jari-jari Maja mengetuk-ketuk meja kerjanya. Otaknya berputar keras karena sudah hampir dua minggu waktu berlalu. Sudah tidak ada makan siang konyol lagi dari mama dan dia kembali sibuk dengan tender yang baru saja dimulai. Karena itu semua dia lupa bahwa dia harus menemukan wanita gila yang mau dia ajak berpura-pura. Pura-pura apa? Pura-pura menikah.
Membayar seorang wanita panggilan yang professional tidak bisa dia lakukan. Resiko wanita itu berulah atau malah membeberkan semua pada media terlalu tinggi. Semua bisa rusak dalam sekejap. Jadi pilihan itu dia coret. Meminta salah satu wanita dari keluarga kaya untuk turut serta dalam sandiwara ini juga tidak mungkin. Wanita-wanita dari keluarga kaya cenderung lebih sensitif hingga lebih beresiko main hati. Oh, dia benci ini. Pernikahan sialaan.
Ponselnya berdering. Mama. Dia tidak mengangkat karena mama pasti akan mulai cerewet ini itu. Lalu mama-nya seperti tahu apa isi pikirannya. Karena sekarang telpon di mejanya berdering.
"Pak, ada Ibu Fe di line satu," ujar sekretarisnya.
"Bilang saya lagi meeting, sibuk."
"Ibu Fe bilang ini soal Mba Adeline di rumah sakit."
"Sambungkan," jawabnya cepat. Nada sambung terdengar satu kali lalu dia segera berujar. "Ma, Adel kenapa?" tanyanya cemas.
"Adeline kirim salam sama kamu."
"Maaa...ayolaah. Jangan pakai trik begini," keluhnya karena sadar mama sudah berhasil membodohinya. "Aku beneran khawatir."
"Kalau Mama nggak sebut Adel, pasti kamu nggak angkat. Iya kan?" keluh Mama di sana. "Tiga hari lagi, Maja. Kalau kamu nggak kasih tahu siapa wanita pilihan kamu, Mama akan hubungi keluarga Andjani. Titik," nada Mama tegas.
"Aku sibuk, Ma. Sudah dulu," dia menyudahi sambungan.
Dahi dia pijit kesal. Pintu ruangan diketuk lalu terbuka. "Pak, sebentar lagi tim Digicom sampai. Bapak sudah baca proposal pertama mereka?" tanya Agam.
Maja sudah berdiri dan berjalan mondar-mandir. Kesal karena fokusnya terpecah perihal perjodohan sialan ini. Agam yang melihat gelagatnya mulai bertanya lagi. "Pak, ada apa?"
"Dimana saya bisa mencari wanita yang..." oh, dia terdengar bodoh.
Agam menunggu dia berkata-kata. Dia sendiri bingung harus menjelaskan tentang apa permintaannya. Dia pimpinan dan rencana kawin kontrak bukan contoh yang baik bagaimanapun juga. Tapi dia putus asa. Matanya memindai Agam cermat. Apa sekretarisnya ini bisa dia percaya? Agam jarang sekali mengecewakannya. Tapi apa Agam orang yang tepat untuk diajak bicara. Dua kepala untuk berpikir lebih baik daripada hanya satu.
"Saya punya sedikit masalah, Gam," pintu di belakang Agam tertutup rapat.
"Apa yang bisa saya bantu?" sahut Agam.
"Hmmm, tapi ini rahasia. Sangat rahasia dan jabatanmu taruhannya," dia menekankan setiap kata.
Tubuh Agam sudah berdiri tegak dan kepalanya mengangguk. "Saya mengerti."
Sepuluh menit sebelum meeting dengan Digicom berlangsung, Maja menjelaskan kesulitannya pada Agam. Karena dia sudah kehabisan waktu dan sungguh tidak tahu harus mencari kemana.
***
Admaja duduk tenang menatap Dayana pemilik dari Digicom yang sedang menyelesaikan presentasi mereka. Sejak pertama dia sudah merasa wanita ini menarik dengan caranya sendiri. Tapi melihat Daya mempresentasikan ide-ide kratif untuk tender re-branding kapal pesiar miliknya, dia terkesima.
Market research yang dilakukan benar-benar lengkap dan menyeluruh. Segmen yang ditargetkan lebih luas tapi didukung dengan strategi yang tepat. Riset terhadap kompetitor asing juga dilakukan. Hal menarik lainnya adalah Daya menyiapkan rencana-rencana cadangan yang bisa menjadi rencana pengganti, atau pelengkap dari rencana utama. Seluruh hal tersebut diramu menjadi strategi marketing yang menarik dan dibagi menjadi beberapa fase sehingga simultan. Bukan hanya membanjiri media dengan iklan-iklan yang sporadis dan berantakan. Wanita ini gila, jenis gila yang dia suka.
"Semua yang kamu sampaikan memang lumayan menarik, tapi mahal," Maja menatap Daya. Sesungguhnya dia menyembunyikan ketertarikannya pada proposal Daya.
Alih-alih tersinggung, Daya malah tersenyum kemudian berujar, "Saya sudah prediksi reaksi kamu tadi. Yes, marketing tidak perlu selalu mahal, bahkan bisa gratis. It is true. Organic marketing is the dream of every big company," tubuh ramping Daya sudah melangkah ke dekat tempat Maja duduk. "Tapi ingat, untuk melakukan hal itu kekuatan brand dibutuhkan," kepala Daya menoleh pada Reza. "Apa judul tender ini, Za?"
"Cruise ship Re-branding Tender, Mba," jawab Reza.
"Kenapa re-branding? Dengan segala hormat, Maja. Paling tidak saat ini, brand kamu tidak sekuat itu di pasar. Posisi nomor dua belas terakhir saya cek. Bahkan bukan sepuluh besar," senyum Daya pada Maja yang diam saja. "Jadi paid marketing masih harus dilakukan, tapi kami akan berusaha mengoptimalkan biaya dan..." Daya melangkah kembali ke depan memotong kalimatnya. Kemudian wanita itu berbalik menatap Maja seolah menunggu Maja memintanya bicara.
Nafas Maja hirup dalam, memberikan apa yang Daya minta karena setengah mati dia penasaran, "...dan apa?"
"We have the organic plan in the next phase, but..." Daya bersedekap tangan. "Under one condition."
"Get to the point please," desak Maja.
"Give us the straight win."
Maja menahan senyum kecilnya dalam hati. Straight win maksud Daya adalah istilah untuk memberikan kemenangan langsung pada Digicom setelah presentasi pertama. "You ask a lot," dia ingin Daya terus membujuknya.
"I demand a lot, I ask a lot, I work a lot. But you will never regret the result."
Tiba-tiba kalimat Agam di ruangan tadi terngiang. Kalau Bapak tanya siapa wanita yang gila dalam artian bekerja dan pada komitmennya, saya hanya tahu satu, Pak. Pemilik Digicom, Mba Dayana Dayandaru. Single, workaholic with no family.
Maja menatap timnya sendiri yang duduk di dekatnya. Yusri bahkan seperti jatuh cinta pada Daya karena tatapan Yusri tidak lepas dari wanita itu, sementara Agam memberikan pandangan terkesima, dua direkturnya yang lain sudah mau menganggukkan kepala.
"Bagaimanapun, saya tetap harus diskusi lebih dulu dengan tim saya."
"Berapa lama kami harus menunggu?" tanya Daya.
"Secepatnya," elak Maja masih bermain sulit.
"Saya yakin Digjaya bisa memberikan komitmen waktu yang jelas. Jadi, kapan tepatnya?" nada Daya tekan sopan.
Komitmen waktu? Pernikahan yang berjangka waktu? Lagi-lagi suara di kepala Maja meraja.
"Besok, saya akan putuskan besok," tubuhnya sudah berdiri dan merapihkan jasnya. "Terimakasih atas kehadiran tim Digicom hari ini. Kalian sudah memberikan yang terbaik."
Tim Digjaya mulai bertepuk tangan yang disusul oleh senyum-senyum bahagia tim dari Digicom. Kedua tim sudah berdiri dari kursi dan saling berjabatan tangan mengucapkan terimakasih. Matanya menatap Agam yang seperti mengerti apa yang dia pikirkan. Ekspresi Agam seolah berkata 'benarkan apa kata saya, Pak'. Kemudian sebelum kenekatannya habis, dia menghampiri Daya di depan yang sedang membereskan laptop.
"Hai, again," Daya tersenyum padanya. "Terimakasih atas kesempatannya hari ini, Maja," tangan Daya terulur padanya.
Dia berdehem sejenak lalu menyambut jabatan tangan Daya. "Ada bisnis lain yang saya ingin tawarkan padamu."
Mata Daya membulat antusias.
"Apa bisa kita bicara sekarang di ruangan saya?" lanjut Maja.
"Tentu saja," senyum Daya mengembang lebar.
Daya melangkah di belakang mengikutinya. Dia meminta Agam memundurkan satu meeting lalu membukakan pintu ruangan. Daya sudah duduk setelah dia persilahkan, kemudian menatapnya dengan rasa penasaran. Tangannya sedikit dingin. Bagaimanapun dia memiliki banyak ego, dan kali ini dia harus menurunkan satu pada wanita asing yang sangat menarik ini. Tapi justru itu kan. Karena Daya bukan siapa-siapa untuknya jadi semua harusnya lebih mudah. Mereka tidak terlibat jenis perasaan apapun kecuali hubungan kerja.
Tanpa dia sadar tubuhnya berjalan mondar-mandir karena pikirannya sibuk sekali. Ini hal paling impulsif dan random yang pernah dia lakukan. Ah, ini ide gila! Daya akan berpikir dia merayu dan tidak professional. Tapi dia kehabisan waktu dan tidak ingin menikah sungguhan.
"Maja?" ujar Daya halus.
Buat ini seperti penawaran bisnis, Maja. Kamu tidak punya waktu dan kamu tidak suka siapapun wanita pilihan mama.
Nafas Maja hirup dalam kemudian dia bersender pada meja kerja, menatap wanita cerdas di hadapannya. "I have a business offer to you."
"Okey, tell me. I'm listening," timpal Daya dengan ketenangan sempurna.
***
Pikiran Daya ribut sekali setelah keluar dari ruangan Admaja Hadijaya. Jadi dia memutuskan untuk mentraktir timnya dengan berloyang-loyang pizza dan segera pulang. Jika tadi di dalam ruangan Admaja dia bisa berpura-pura untuk bersikap tenang, tapi setelah Admaja mengungkapkan penawaran bisnis untuknya yang sangat tidak lazim, pikirannya berputar cepat dan dadanya berantakan. Bagaimanapun sosok Admaja adalah sosok laki-laki nyaris sempurna. Admaja bahkan masuk ke dalam sepuluh besar lajang yang sangat diminati di kotanya.
Menikah adalah sesuatu yang tidak pernah ada di jadwal hidupnya. Jangankan menikah, pasangan saat ini Daya tidak punya. Bukan dia awam dengan perasaan jatuh cinta atau romansa, dia pernah berhubungan dua kali dan dua-duanya kandas karena dia sendiri yang tidak pernah mau menyisihkan waktu. Digicom terlalu penting untuk jadi nomor dua. Jadi para laki-laki itu mengerti dan tidak mau tinggal. Siapa juga mau berhubungan dengan bayangan.
Sore ini Admaja menawarkannya sebuah bisnis yang dibungkus dengan status pernikahan. Jika Admaja hanya menawarkannya pernikahan saja, sudah pasti dia akan tertawa dan menolak dengan sopan, mudah. Tapi Admaja berhasil meyakinkannya bahwa ini semua hanya bisnis semata. Sudah pasti tender yang dia incar akan berada di tangannya, dan yang terpenting adalah seluruh koneksi. Setelah dia resmi menjadi istri dari Admaja Hadijaya, namanya akan makin dikenal dan pintu-pintu kesempatan bisa terbuka lebar.
Keluarga Hadijaya adalah keluarga old money dan salah satu dari tujuh keluarga konglomerat di negaranya. Pernikahan mereka akan membuka akses untuk dirinya. Tapi bagaimanapun dia wanita. Nurani yang sebelumnya jarang sekali bersuara kali ini berteriak lantang. Bahwa ini salah, pernikahan adalah sesuatu yang suci dan tidak boleh dipermainkan. Apapun alasannya. Admaja tidak memaksa, hanya menawarkan saja. Dia bisa menolak dan melupakan ini semua.
Hhhh...Daya. What the hell are you thinking.
Rokok dia hirup dalam dan hembuskan perlahan. Matanya menatap langit malam dari atas balkon apartemennya. Asap rokok membakar dada, membuat dia sadar bahwa ini semua nyata. Semua permintaan Admaja, dan kesempatan itu. Juga betapa saat ini dia berada di dua persimpangan. Antara nurani, atau terus mewujudkan impiannya. Ponsel di dekat meja berkedip perlahan. Dia membuka pesan dari Admaja.
Admaja: Kamu sibuk?
Daya: Ya, sedang berpikir tentang tawaranmu tadi.
Admaja mengetik cukup lama, ragu-ragu.
Admaja: Apa bisa saya telpon kamu sekarang?
Dia mengangkat ponsel untuk menghubungi Maja. Dalam dua deringan Maja mengangkat di seberang sana. "Yes?"
"Ini gila, kan?" nada Maja sama resahnya.
"Ya, ini gila."
Hening membungkam mereka.
"Tapi masuk akal," dia meneruskan sambil mematikan rokoknya. "Kamu butuh hubungan sementara, saya butuh kesempatan."
"Ya, kamu benar."
"Tapi ini masih gila," dia terkekeh miris.
"Lagi-lagi kamu benar," desah Maja di sana.
"Berapa lama?" Daya menyalakan rokok lagi untuk meredam suara hati nurani.
"Jadi kamu setuju?"
Asap rokok dia hembuskan. "Kita memiliki satu persamaan, Maja. Kita berdua tidak punya waktu, bahkan untuk sekedar basa-basi."
"Baik. Let's get married then. Saya akan siapkan pengacara besok..."
"Hey, Maja. Slow down. Siapa yang ingin kamu yakinkan?"
Admaja diam sejenak. "Keluarga saya," kemudian Maja menghela nafas di sana. "Ya, harus ada awal sebelum melangkah ke pernikahan. Siapkan pengacaramu dan saya akan siapkan pengacara saya. Dalam dua hari saya akan mulai mengirimkan bunga ke kantormu, dan makan malam pertama bersama. Dalam tujuh hari saya akan mengajakmu ke rumah saya, perkenalan keluarga."
"Baik. Sekretaris saya akan mengurus perihal pemberitaan ke media untuk membangun cerita," lanjutnya.
"Tidak boleh ada yang tahu, Daya."
"Sekretarismu boleh, jadi sekretarisku juga boleh."
"Apa dia bisa dipercaya?"
"Pertanyaan yang sama untuk kamu sendiri. Apa Agam bisa dipercaya?" kekeh Daya.
"Okey, okey."
"Admaja..." tangan Daya sedekapkan. Tubuhnya berdiri menatap langit di batas kota. "Saya akan minta banyak kesempatan, karena saya wanita dan menjadi pihak yang paling dirugikan ketika hal buruk terjadi nanti."
"Dayana, saya akan berikan permintaanmu dalam batas wajar dengan satu syarat..." Maja memberi jeda. "...jangan pernah main hati dengan saya. Deal?"
Daya terkekeh. "Kamu sangat percaya diri tapi kamu selalu lupa, bahwa saya tidak punya waktu untuk urusan romansa. Jadi jangan kecewa nanti," kalimat dia tahan sejenak. "Okey, deal."
***
Apakah langsung lompat ke pernikahan? Beloom, beloom. Masih ada drama-nya. Stay tune terus karena bakalan tambah seru dan lebih fokus ke Maja dan Daya.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro