Part 5 - Voila!
Agam menatap ponselnya tidak percaya. Tari mengirim pesan dan memintanya untuk membuat mobil Admaja mogok. Permintaan panjang kali lebar itu diiringi dengan ancaman pembunuhan jika Agam tidak melakukan apa yang Tari minta serta keluhan panjang karena kontribusinya sendiri yang sedikit sekali dalam menyusun jebakan untuk Maja dan Daya. Bukannya dia tidak mau membantu, jadwal Maja sedang gila-gilanya karena tender rebranding yang tiba-tiba dimajukan. Semalam dia baru tiba pukul satu pagi dan langsung tergeletak tidak berdaya di kasurnya. Tidak cukup sampai di situ jam enam pagi Maja sudah menghubunginya lagi. Hrrrghhh...rasanya mau gilaaaa.
Pikir sekarang caranya, Gam. Atau lo akan terus berada di neraka. Dia sudah tiba di apartemen Maja dan biasanya hanya akan memberi tahu Maja lewat pesan singkat dan menunggu di lobby. Tapi pagi ini dia melangkah mantap menuju basement sambil menghubungi supir pribadi Maja. Tari si wanita gila itu benar. Dia harus mulai serius berpartisipasi untuk menjebak Maja dan Daya.
***
Jalanan pagi ini lebih padat dari sebelumnya. Karena biasanya hanya butuh paling lama empat puluh menit untuk tiba di kantor, tapi pagi ini Daya sudah duduk lebih dari tiga puluh menit hanya untuk menempuh seperempat jarak ke kantor.
"Pak Sakih, di depan ada apa ya? Kok macet banget?" tanyanya.
"Kayaknya ada mobil yang mogok atau kecelakaan, Mba. Ini tiga jalur jadi cuma dua," jawab Pak Sakih.
Nafas dia hirup dalam. Bukan salah Pak Saki jalanan macet begini. Jadi apa yang bisa dia lakukan untuk meredam rasa tidak sabar? Bekerja. Ya, itu obat ampuh dan mujarab untuk segala kondisi. Jadi dia mulai mengeluarkan laptop dan mengambil alas datar agar dia bisa memangku laptop dengan nyaman. Ponsel dia letakkan di samping sambil menghubungi Tari.
"Pagi, Tari. Sudah di kantor?"
"Pagi, Mba. Saya sudah di kantor. Meeting jam delapan pagi dengan desainer hijab kemarin yang mau mulai promo."
"Minta Reza yang handle itu. Saya masih di jalan, begitu sampai saya nyusul meetingnya. Gimana soal Trans Indo. Kapan meeting dengan mereka?"
"Minggu depan. Tapi ini tender formalitas, Mba. Pak Stevan bilang hanya sebagai persyaratan saja. Dua minggu mendatang Trans Indo minta langsung tanda tangan kontrak."
Tangannya mengetik cepat memberikan catatan penting pada salah satu presentasi dari tim, sambil terus bicara. "Easy win, good news. Ini semua karena reputasi Digicom yang bagus, Tari. Kita adalah kumpulan profesional dan ahli. Minta Izy segera siapkan kontrak Trans Indo. Hmmm...ada kabar soal..."
"Sebentar, Mba. Ada telpon masuk."
"Siapa?"
Tari diam sejenak di sana. "Agam, Mba. Sekretarisnya Maja."
"Angkat dulu sana," sambungan cepat-cepat dia sudahi.
Tanpa sadar Daya tersenyum lebar. Tari benar-benar berbakat karena ternyata sekretaris andalannya itu sudah dekat dengan Agam si sekretaris Maja. Ponselnya berbunyi lagi. Tari. "Ada kabar apa?"
"Pertama, tender rebranding dimajukan dan saya sedang usahakan dapat slot pertama seperti biasa."
"Yes, good. Cari tahu tanggal pastinya dan bilang sama Dion dan Reza untuk siap-siap."
"Kedua dan menurut saya ini kesempatan."
"I love opportunity. Bring it."
"Mba, mobil Maja lagi mogok pas di jalur Mba sekarang. Tadi Agam bilang begitu karena backsound Agam berisik banget, jadi saya nanya. Ada baiknya kalau Mba bisa..."
"Yes, I will," potong Daya langsung mengerti. "I need to close the phone then. The opportunity is in front of me. Atur ulang jadwal saya karena mungkin, saya akan terlambat lebih lama."
Daya tidak tahu jika Tari sedang melompat gembira di seberang sana.
***
Butuh paling tidak sepuluh menit untuk Maja menenangkan diri karena situasi pagi ini. Pertama, dia terlambat berangkat ke kantor karena supir pribadinya sakit mendadak. Akhirnya dia meminta Agam untuk menyetir. Kedua, mobilnya mogok di jalan. Ketiga, jadwal meeting penting dengan salah satu investor harus dia mundurkan. Siaaal.
Kaca jendela mobil dia turunkan. "Taxinya sudah datang?" tanya Maja tidak sabar pada Agam yang berwajah pucat dan berkeringat. Sekretarisnya itu berusaha memperbaiki mobil ini dan pasti tidak bisa. Agam bukan montir.
"Macet banget jadi belum sampai, Pak."
"Ya karena kita yang bikin macet, Agam," geramnya menahan emosi. Beberapa orang masih mengklakson mereka. Situasi ini membuat dia benar-benar tidak nyaman. Ya, siapa yang suka dengan tatapan sinis semua orang.
Kaca mobil dia tutup lagi. Dia mulai berkeringat karena ketiadaan pendingin udara. Hhhh...dia mau membayar berapa saja agar bisa keluar dari situasi ini. Satu tangannya memijit kepala. Berjalan kaki juga bukan pilihan karena ini Jakarta. Tidak ada ruang bagi pejalan kaki yang layak. Belum lagi brutalnya pengendara motor, asap knalpot dan terik matahari pagi. Ya Tuhan. Tenang, Maja. Everything is under control. Mungkin bekerja bisa membantu mengalihkan pikiran. Tapi bagaimana dia bisa bekerja dengan kondisi pengap dan kendaraan yang lalu lalang begini.
Ketukan pada kaca jendela membuat dia terkejut. Wajah Agam seperti lega. "Taxi sudah datang?" tebaknya.
"Belum sampai, Pak. Tapi mobil Mba Daya kebetulan lewat," jawab Agam. Ada sosok laki-laki paruh baya yang dia tebak adalah supir Daya di belakang Agam.
"Saya diminta Mba Daya untuk menawarkan, apa Bapak mau..."
Tanpa basa-basi dia meraih tas kerja dan membuka pintu. "Terimakasih, Pak. Saya mau bareng." Kepalanya menoleh pada Agam. "Kamu di sini dulu urus ini semua. Saya duluan."
Agam hanya mengangguk mengerti saat dia melangkah menuju mobil Daya yang sudah terparkir di belakang mobilnya. Supir Daya sopan sekali karena sudah membukakan pintu. Dia berterimakasih lagi lalu masuk ke kursi belakang. Wangi wanita itu menguar. Sebagai permulaan, wangi Daya eksklusif, tidak berlebihan dan bukan perfume murahan. Ini bagus.
"Selamat pagi, Admaja," sapa Daya sopan.
"Pagi, Daya," Sebelumnya dia tidak memperhatikan dengan benar. Karena ternyata Daya adalah sosok yang menarik.
Rahang Daya membingkai tegas, mata wanita itu menatap tajam, rambut panjang Daya rapih tersanggul dengan beberapa bagian mencuat keluar, pemilihan pakaian yang pas, tidak ada perhiasan berlebihan dan sikap duduk Daya sempurna.
"Mobil kamu masalah?" tanya Daya dan itu mengembalikan pikirannya.
"Ya. Maaf," kepala dia gelengkan kemudian dia menatap ke depan. Mobil Daya mulai melaju. "Terimakasih karena sudah mau berhenti dan membantu."
"Oh, itu karena Pak Sakih ingat dengan wajah sekretaris kamu. Saya tidak sadar karena sedang bekerja di jalan. Macet sekali pagi ini," jawab Daya. Ada laptop yang sudah dikembalikan ke tas terbuka Daya di dekat wanita itu duduk.
"Apapun itu, saya terimakasih," ujarnya lagi. "Kita searah. Saya bekerja di gedung yang sama denganmu."
Kepala Daya mengangguk. "Saya tahu. Tapi terimakasih informasinya," Daya menghirup kopi.
"Kamu...mencari tahu?"
Wanita ini menatapnya sambil sedikit memiringkan tubuh. Seluruh aura percaya diri keluar begitu saja. Sedikit mengintimidasi untuk orang lain mungkin, bukan untuknya.
"Saya harus tahu. Sebentar lagi Digjaya akan mulai tender rebranding salah satu kapal pesiar kamu. Bukan begitu?"
"Ya, benar. Kamu tertarik?"
"Saya? Tertarik?" Daya tersenyum kecil. "Saya akan memenangkan tender itu."
Kali ini dia yang tersenyum. "Benarkah? Kenapa begitu?"
"Karena Digicom adalah yang terbaik. Profit pada lini bisnis kapal pesiarmu turun dua tahun terakhir. Digjaya berdiri gagah karena lini bisnis Maskapai dan perkembangan di bisnis mother vessel. Saya dengar kamu bekerja sama dengan Sanggara Buana, milik Audra Daud jadi mereka menggunakan mother vessel kalian," jelas Daya sambil menyesap kopi lagi.
"You did your homework. Nice," timpalnya.
"I always did."
"Jadi, apa rencana Digicom untuk rebranding pesiar kami?" pancingnya.
Daya tersenyum. "Saya bisa meminta sekretaris saya menyiapkan kontrak cepat dan kamu bisa tanda tangani di lobby saat kita tiba sepuluh menit lagi. Setelah itu, lini bisnis pesiarmu akan naik paling tidak 15% dalam waktu delapan bulan ke depan. Bagaimana?"
Pintar. Daya tidak terpancing. "Lima belas persen? Saya tidak mau berharap setinggi itu."
"Karena sebelumnya kamu tidak punya saya," ujar Daya lagi.
"Kamu terlalu percaya diri."
"Kamu tidak tahu kemampuan kami." Daya diam sejenak masih menatapnya tajam, "Tapi tenang, kami akan tunjukkan saat tender dimulai. Berikan kami slot pertama."
Mata Daya berkilat antusias. Tanpa Maja sengaja dia menelisik arti tatapan Daya. Bukan ambisi yang dia rasakan, tapi lebih kepada passion terhadap pada yang Daya kerjakan. Maja bisa merasakan besar kecintaan Daya pada Digicom dan apa yang Daya lakukan.
"Bagaimana, Maja?"
Mereka sudah tiba di lobby kantor. "Baik, slot pertama untuk Digicom. Terimakasih karena sudah menolong saya pagi ini. Saya pamit dulu."
Daya tersenyum sopan lalu mengangguk padanya. Pintu mobil dibuka dan dia melangkah keluar diiringi dengan Daya yang berjalan mensejajarinya. Dia bisa melihat sosok mereka berdua yang berjalan beriringan pada salah satu pantulan kaca besar di dalam lobby. Daya berjalan dengan percaya diri. Tidak mendahuluinya karena Daya paham itu tidak sopan. Bagaimanapun dia adalah pemilik gedung ini dan Daya tahu itu. Tapi tidak mau berjalan di belakangnya, seolah Daya ingin menunjukkan bahwa Daya memiliki pride and capability yang tidak kalah dengannya.
Wanita ini sangat menarik.
***
Satu minggu sekali Maja akan makan malam bersama keluarganya dan malam inilah jadwalnya. Di hari Sabtu atau Minggu, dia akan mengajak adiknya – Adeline untuk pergi keluar. Sisa weekend akan dia habiskan dengan beristirahat, atau kembali bekerja. Menyusun jadwal untuk minggu berikutnya agar dia bisa mengingat semua. Sementara setiap hari, dia pasti akan memeriksa kondisi Adel yang masih melakukan fisioterapi setelah bangun dari koma panjang.
Jika ada seseorang yang paling dia sayang di seluruh dunia, orang itu bernama Adeline. Besar dan lahir di keluarga kaya raya membuat segalanya dingin dan hambar. Masalah yang selalu sama ketika kekayaan berbanding terbalik dengan waktu. Harta bukan masalah karena keluarga Hadijaya adalah salah satu keluarga old money. Sayangnya, persis seperti keluarga kaya lain, harta membuat mereka jauh. Sibuk menimbun lagi dan lagi karena mereka tidak tahu apa yang harus mereka lakukan selain bekerja. Atau mungkin karena mereka takut jika harta itu hilang. Padahal efek dari hilangnya waktu dengan keluarga terasa lebih mematikan untuknya. Kebiasaan untuk disiplin, bekerja keras, dan selalu sibuk diturunkan bergenerasi. Dia mencontoh Papa, Papa mencontoh Kakek, dan Kakek mencontoh Buyutnya.
Tapi sejak Adeline lahir, gadis itu seolah seperti matahari yang bersinar terang. Adeline mengubah seluruh kebiasaan buruk Papa dan membuat Mama bersenandung setiap hari. Secara fisik Adeline manis sekali, tubuhnya mungil persis seperti Mama. Tapi ketika bicara, suara Adeline seperti genta. Apalagi ketika adiknya itu tertawa. Hangat sikap Adeline, serta tatapan mata bulat dan hitam itu bisa menyihir siapapun tanpa terkecuali. Usia mereka terpaut delapan tahun. Dia menyayangi adiknya dan sanggup memberikan apa saja. Jadi ketika tragedy itu terjadi dan Adeline divonis koma, keluarga mereka tercerai berai lagi. Papa sibuk di luar negeri, jarang sekali kembali. Mama menetap di sini untuk menjaga Adeline, tapi seluruh jiwa Mama seperti diambil pergi. Sementara dia kembali sendiri, seperti saat Adeline belum lahir. Sepi. Kemudian dia mulai menenggelamkan diri lagi pada apa yang dia paham benar. Pekerjaannya.
Lalu pada suatu ketika dia dihubungi Mahendra Daud – manusia jenius dari keluarga paling kaya di negeri ini. Konflik internal keluarga Daud menyeret bisnis keluarganya dalam bahaya. Dia datang berkumpul untuk melindungi usaha keluarga. Namun Mahendra Daud membantu dia lebih daripada itu. Mahendra memberikan serum khusus untuk diberikan pada adiknya. Awalnya dia ragu serum itu akan berhasil. Tapi dia ingin mencoba apapun untuk membangunkan Adeline. Kemudian Adeline bangun setelah dua minggu pemberian rutin serum itu. Selamanya, dia berhutang pada Mahendra Daud.
Pintu mobil dibuka kemudian dia melangkah turun dan berjalan ke teras rumahnya. Senyumnya mengembang lebar karena tahu Adeline pasti akan menunggu hingga dia tiba.
"Halo, Sayang," matanya menatap Adeline yang masih menggunakan tongkat.
Adeline akan tersenyum lebih lebar lalu membuka tangan sama lebarnya. Membiarkan tongkat berjalannya jatuh karena adiknya tahu dia akan selalu menangkap tubuh Adeline yang limbung. Kemudian Adeline akan tertawa karena dia marah-marah khawatir. Malam ini pun begitu. "Jangan begini, Del. Nanti kamu jatuh gimana?"
"Kan ada kamu, Kak. Aku udah terima bunga kamboja dari kamu."
Tubuh Adeline dia gendong sambil melangkah masuk ke dalam. "Kamboja?"
Kekehan Adeline menandakan adiknya itu bercanda. "Ada Papa di dalam. Jangan berantem dan nggak boleh ngomong kerjaan."
"Nggak janji," dia terus melangkah masuk sambil menggendong si manja Adeline. "Terapi kamu lancar?"
"Kenapa? Bosen gendong aku?"
"Iya, pingin aku jatuhin aja," kemudian dia menurunkan tubuh Adeline tiba-tiba hingga Adeline terpekik karena terkejut.
"Mamaaa, Kak Admaaa niiiih," tubuhnya sudah dipukuli kesal sementara dia tertawa.
"Hey, hey. Hayu turun. Kamu juga manja minta gendong terus sama kakakmu," ujar Mama sambil menarik kursi makan untuk duduk.
"Ya apa gunanya Kak Adma selain buat beliin aku bunga dan gendong aku?"
Dia menurunkan tubuh Adeline di kursi lalu mengacak-acak rambut panjang adiknya itu.
"Hiiih, jangan pegang-pegang," protes Adeline. Kemudian adiknya itu menatap ke arah pintu kamar utama. "Paaaaa...makan sekaraaaang. Adel lapeeer. Paaaa Paaa."
"Papa masih meeting di dalam, Sayang. Kita makan duluan," sahut Mama. "Dan jangan teriak-teriak begitu. Emangnya kamu Tarzan."
"Ma, rumah ini terlalu sepi. Mama nggak merasa gitu?" Adeline menoleh ke pintu. Mengeluarkan seluruh daya upaya untuk memanggil lagi. "Paaaapaaaaa, makan duluuuuu. Atau Adel jalan ke situ dan..."
Sosok ayahnya – Janadi Hadijaya sudah keluar dari kamar sambil menatap Adeline marah. "Adeline, tidak boleh berteriak. Kamu sudah dewasa."
"Papa, tidak boleh selalu bekerja. Papa sudah tua."
Kemudian dia dan mama tertawa. Papa pun ikut tersenyum. Adeline selalu punya cara untuk selamat dari jenis hukuman apapun atau kekesalan orang-orang atas tingkah Adeline sendiri. Mereka mulai makan sambil berbincang. Saat seperti ini adalah saat-saat yang diam-diam dia tunggu. Sekalipun biasanya dia akan berdebat dengan Papa, atau mendengarkan celotehan konyol adiknya, atau melihat Mama mengomel karena sampai saat ini dia belum serius dengan wanita manapun. Sekalipun topik wanita bukan kegemarannya, dia tetap menunggu saat makan malam keluarga. Karena dia merasa normal, dia merasa bukan seorang Admaja Hadijaya. Hanya seorang anak, dan kakak dalam satu keluarga saja.
Malam ini bukan pengecualian. Karena Adeline sudah bercerita tentang pasien-pasien lucu ketika dia fisioterapi di Rumah Sakit MG. Kemudian dilanjutkan dengan gossip para dokter yang disambut Mama dengan wajah tertarik. Dasar wanita. Setelah sedikit reda, Papa mulai bicara.
"Apa benar tender rebranding pesiar kita dipercepat?" tanya Papa.
"Pa, aku nggak mau Kakak terus bekerja seperti orang gila. Aku minta satu malam saja, satu malam Kakak dan Papa tidak bicara soal pekerjaan," nada ceria Adeline berubah datar.
"Terus mau ngomongin apa sama Kakakmu?" timpal Papa.
"Skor bola kemarin, atau Indonesia Open sebentar lagi mulai, aku mau nonton," sambar Adeline.
"Ya, tender aku majukan. Ingin menjajal salah satu perusahaan advertising yang handle Trans Indo untuk promo baru mereka," dia menjawab.
Suara sendok dan garpu yang beradu membuat mereka menoleh. Mata Adeline menatap mereka berdua tajam. "Kalian ngomong lagi soal kerjaan, aku menginap di MG dan nggak pulang."
"Vira Biantara sudah kembali ke Indo. Mama sudah buatkan janji makan siang dua hari lagi," kali ini Mama.
"Aku nggak suka topik ini," elaknya.
"Atau, Djani Djatmiko? Kamu tahu bulan lalu Djani jadi salah satu pembicara di Oxford?" Mama pantang menyerah.
"Ma, ayolah..." dia menatap Mama protes. Matanya melirik Adeline yang jadi lebih diam, seperti berpikir. Biasanya jika topik ini datang, adiknya itu akan meledek habis-habisan. "Del, nggak mau bantuin aku?"
Kemudian Adeline berdehem sejenak. "Kak, kali ini aku setuju sama Mama. Apa nggak ada perempuan yang dekat sama kamu sekarang?"
Dia tersedak karena tidak menyangka reaksi Adeline. "Nggak ada, dan jangan coba-coba berkomplot sama Mama."
"Aku nggak suka kamu kerja terus. Kamu nggak bosan?" Adeline melanjutkan.
"Aku baik-baik aja," tegasnya mulai merasa tidak nyaman. Mama dan Papa seolah membiarkan Adeline menyuarakan apa yang selalu ada di kepala mereka.
"Kamu masih belum bisa lupa Mba Denta ya?" Adeline lagi.
"Kamu adikku dan nggak pantas menanyakan hal pribadi seperti itu. Hati-hati, Del," nadanya mulai tinggi.
"Satu makan siang aja. Mama akan sediakan pintu-pintu. Kamu buka dulu pintunya, lihat dulu, Kak. Kalau kamu nggak suka, ya nggak usah lanjut. Tapi apa salahnya ketemu kan?" nada Adeline berubah lembut, membujuk dengan tatapan mata seperti kucing yang tidak berdaya. "Hanya ketemu."
"Adeline, please..." dia menekankan setiap kata.
Papa berhenti makan dan menatapnya dalam. Jenis tatapan yang dia tidak suka. "Papa dan Mama sudah putuskan. Selama kamu mau mencoba untuk kenal dengan wanita-wanita yang kami pilihkan, silahkan terus bekerja."
"Maksudnya?"
"Hanya bertemu dan makan, bicara dengan mereka. Tapi kalau kamu menolak, Papa akan tunjuk Yusri untuk memimpin di sini," nada tegas Papa berarti Papa tidak mau dibantah lagi. Papa sudah berdiri menghampiri Adeline dan mencium puncak kepala putrinya itu.
"What?"
"Tidak ada alasan lagi, Maja. Kami sudah cukup sabar menunggu selama ini," pungkas Papa kemudian Papa pamit pada mereka untuk beristirahat.
Karena kesal dia menyudahi makan dan berdiri untuk pergi dari sana. "Selamat malam. Lain kali bilang-bilang kalau mau buat jebakan dengan alasan makan malam seperti ini."
"Kak..." Adeline memanggil dan dia abaikan.
Suara seseorang terjatuh ke lantai serta kepanikan Mama membuat dia berbalik lalu melihat Adeline yang berada di lantai. Adiknya itu berusaha berdiri untuk menyusulnya. Dia melangkah lebar-lebar ke arah Adeline.
"Diam di situ!" nada Adeline yang tinggi membuat mereka terkejut. "Jangan ada yang bantu aku berdiri. Aku bisa sendiri!"
"Ya Tuhan, Sayang..." Mama nya menatap Adeline panik tapi tidak bisa berbuat apa-apa.
Dia sendiri sudah berlutut namun berhenti melihat raut wajah adiknya yang berubah tajam. Kemauan Adeline kuat, dan sejak tragedy naas itu terjadi emosi Adeline mudah sekali berubah. Ketika seperti ini, mereka diharuskan diam dan mendengarkan, sesuai dengan anjuran dokter.
"Kalau aku bisa bangun sendiri, kamu harus bisa lupain Denta. Do we have a deal?" mata Adeline menatapnya tajam.
"Aku sudah nggak ingat dia, Del. Sudah nggak lagi. Tapi jangan begini, okey? Aku bantu ya," bujuknya sambil mengulurkan tangan.
Nafas Adeline hirup dalam. Kemudian uluran tangannya disambut dengan genggaman tangan adiknya itu. Dia menggendong Adeline. "Kamu istirahat, okey? Jangan marah-marah begini?"
Dua tangan Adeline mengalung di lehernya. Dia sudah melangkah ke kamar Adeline untuk membaringkan adiknya itu di tempat tidur, menyusun bantal hingga Adeline bisa bersandar nyaman, lalu menuangkan segelas air untuk Adeline minum dan menenangkan diri.
"Kamu nggak suka bunga dari aku hari ini sepertinya? Mood kamu jelek banget. Apa lagi PMS?" ledeknya untuk mencairkan suasana. Adeline sudah terlihat sedikit tenang.
Satu tangan Adeline menyetuh dahinya yang berkerut tanpa sengaja. "Kamu...adalah mahluk hidup yang paling aku sayang di seluruh dunia. Tahu nggak?"
"Udah naik kelas dari yang paling nyebelin?" dia tersenyum lagi.
"Nggak semua cewek kayak Denta, Kak. Masih banyak yang baik dan dia ada di luar sana nungguin kamu."
Dia menghela nafas karena Adeline serius kali ini. "Aku baik-baik aja, Del."
Kali ini Adeline terkekeh kecil. "Bad liar." Ada jeda sejenak. "Minta ke aku apa aja, asal kamu mau mulai lagi. Please."
"Kamu hanya merasa bersalah sudah ngenalin mereka jadi Denta pergi dari aku. Karena itu kamu ngotot begini. Padahal itu bukan salah kamu, Sayang. Perasaan Denta nggak sebesar itu dan...ya sudah," ujarnya perlahan. "Itu bukan salah kamu, Del."
"Ya sudah? Apa benar Denta hanya sebatas 'ya sudah'? Kalau memang hanya segitu, ini sudah berapa tahun, Kak?"
"Bekerja dengan angka jauh lebih mudah dan praktis. Aku nggak mau buang waktu lagi. Digjaya makin besar, aku makin sibuk, aku berhasil."
Dua tangan Adeline menggenggam tangannya. "Apa benar indikator sukses kamu termasuk hidup sendiri selama-lamanya?" kekeh Adeline. "Aku emang nggak mati kemarin, tapi aku bisa mati melihat kamu kesepian begini."
"Adeline..." dia memeluk adiknya hangat. "Aku baik-baik aja. Jangan khawatir."
"Aku nggak baik-baik aja, Kak. Kamu boleh bilang ini perasaan bersalah, atau apapun. Tapi selama kamu sendiri, aku nggak akan baik-baik aja. I'm not okey because you are lonely." Adeline balas memeluknya.
Udara dia hembus perlahan. Pelukan dia sudahi kemudian dia menatap mata adiknya. "Kalau aku mau mulai makan siang dengan siapapun dia, apa kamu bisa sudahi rasa bersalah kamu?"
"Anything, asal kamu mau mulai lagi," ada sinaran bahagia di dalam mata Adeline. Senyum tulus dan lembut Adeline mengembang. "Please..."
Dia diam sejenak. "Aku selalu kalah sama kamu."
"Karena kamu sayang aku?" senyum Adeline makin lebar.
"Karena kamu menyebalkan, adik kecil," Mereka terkekeh bersama.
Satu jam kemudian mereka berdua masih berbincang sambil tertawa dan menonton drama kesukaan Adeline di dalam kamar adiknya. Dia pulang saat Adeline sudah tertidur lelap.
Malamnya di dalam kendaraan yang melaju, pikirannya terbang ke masa itu. Saat dia dikhianati dulu. Apa dia masih sakit hati? Tidak, sungguh tidak. Bahkan dia tidak merasakan apa-apa lagi, pada siapapun. Apa hatinya mati? Entah, apa hati bisa mati? Dia bahkan tidak punya waktu untuk mencari tahu. Apa dia tidak bisa jatuh cinta lagi? Pertanyaan lain yang dia tidak punya jawabannya. Karena dia tidak pernah bertanya, tidak mau tahu. Buang-buang waktu.
Nafas Maja hirup teratur. Sudah siapkah dia dengan segala drama dengan wanita? Oh, dia tidak akan siap dan tidak mau bersiap-siap. Dia harus memikirkan cara bagaimana agar dia bisa memenuhi harapan keluarganya dan membuat semua sederhana, seperti bisnis.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro