Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Part 46 - Sempurna

Ini last part mereka ya. Enjoy!!

***

"Saya terima, nikah dan kawinnya Utari Dwi Putri binti..." Agam mengucapkan kalimat ijab kabul dengan lancar dan cermat.

Helaan nafas lega dan ucapan syukur terucap oleh para undangan. Admaja duduk sebagai saksi nikah juga tersenyum lebar. Acara berlanjut dengan lancar, hingga saatnya para tamu undangan mengucapkan selamat secara bergiliran. Agam dan Tari mengenakan pakaian adat jawa terlihat sangat serasi dan bahagia bersanding di pelaminan. Maja menghampirinya yang masih duduk untuk membawanya naik ke atas pelaminan dan memberikan selamat.

"Pelan-pelan jalannya. Kalau bukan nikahannya Tari dan Agam, aku nggak biarin kamu keluar," bisik Maja sambil mengaitkan lengan dan berbisik padanya.

"Ini penting, Maja. Lihat mereka berbunga-bunga begini kan jarang."

"Iya, biasanya berantem terus depan kita ya?" Maja tertawa.

"Persis kayak siapa ya?" kekehnya juga.

Maja tambah tertawa. "Like their boss. Persis kayak bos mereka. Kamu tahu kan kalau ternyata Agam lah yang ngerusakin mesin kopi di apartemenku, jadi aku ketemu kamu di kedai kopi dulu."

Mereka berjalan perlahan ke arah pelaminan. "Hah, serius? Maksudnya apa dan kamu tahu darimana?"

"Mereka itu berusaha buat kita ketemu dan jodohin kita dari awal. Minggu lalu waktu bachelor party-nya Agam, anak-anak kantor ngerjain Agam dan undang aku jadi bintang tamu. Mereka main truth or dare atau apalah itu, dan akhirnya keluarlah cerita konyol Agam dan Tari tentang bagaimana mereka ketemu, sampai jodohin kita segala."

Dia tidak bisa menahan tawa membayangkan konyolnya hal itu. "Mak comblang yang akhirnya jadian juga ya." Maja menuntunnya perlahan saat menaiki tangga pelaminan.

"Selamat ya, Tari dan Agam. Kalian cocok dan serasi," dia memeluk Agam dan Tari bergantian.

"Makasih, Mba Daya dan Pak Maja. Hati-hati Mba jalannya," sambut Tari sambil tersenyum bahagia.

"Selain mesin kopi, apalagi yang kamu rusakin, Gam?" tanyanya usil.

Wajah Tari terkejut kemudian menoleh pada Agam. "Kamu bilang-bilang? Ya ampun, Gam. Bikin malu tahu nggak?" bisik Tari kesal.

"Sayang, kemarin kepepet gara-gara anak-anak. Lagian juga Pak Maja udah jadi kan sama Mba Daya."

Maja dan dia tertawa sambil menggelengkan kepala. Mereka bersalaman dengan kedua orangtua mempelai kemudian sekaligus pamit pulang karena kondisi kehamilan Daya yang makin besar. Setelah sesi foto, mereka beranjak dari sana. Maja menggenggam tangannya sambil menghubungi supir keluarga untuk menjemput mereka di lobby.

"Jangan-jangan, mobil kamu dirusakin sama Agam waktu itu jadi kamu terbengkalai di pinggir jalan?" tebaknya saat Maja sudah menutup ponsel.

"Iya, kok tahu?" Maja tertawa lagi. "Emang bener-bener si Agam."

"Untung aku baik hati mau nolongin."

"Dulu kayaknya kamu lebih tertarik sama proyek Digjaya daripada sama aku," cebik Maja lucu.

"Iya, emang bener," dia menggoda Maja. "Buat aku Digicom itu nomor satu, nggak ada gantinya."

"Sekarang? Aku kan yang nomor satu?"

"Enggak lah, siapa bilang."

"Yang nomor satu siapa emangnya? Jangan bilang Digicom ya," ancam Maja kesal.

"Yang nomor satu yang ada di dalam perut aku. Mohon maaf ya, Bapak Maja. Ngalah sama anaknya."

"Yah, Ya. Belum lahir aja udah bikin aku cemburu. Awas ya, kamu anak kecil..."

Tiba-tiba sesuatu di dalam perutnya seperti ingin keluar. Perpaduan mulas dan sakit sekaligus. Refleks tangannya mencengkram Maja kuat. Wajahnya pucat. Untung saja mobil sudah tiba.

"Ya, kamu kenapa?"

"Maja, perutku...sakit."

Supir membukakan pintu belakang kemudian Maja menuntunnya perlahan. "Nafas, Yaya. Nafas teratur, pelan-pelan."

Ya, ya. Saking perhatiannya Maja rela mengikuti kelas persiapan persalinan bersama dengannya di rumah sakit MG. Audra dan Niko meledeknya namun Maja cuek saja. Jadi air wajah Maja panik namun suara suaminya itu tenang sekali.

"Aku di sini, kita ke MG okey," Maja memastikan dia duduk nyaman kemudian menutup pintu kendaraan dan langsung masuk di kursi sebelahnya."MG, Pak. Segera."

"Majaaa...ini tambah sakit," nafas dia atur satu-satu berusaha mengingat apa yang dia pelajari dulu.

"Mangkanya aku bilang cesar aja kamu nggak mau."

"Majaa...kamu nggak ngebantu," dia berusaha keras menahan kumpulan rasa mulas dan sakit yang bersahutan.

"Iya, iya, Sayang. Iya iya. Maaf. Nafas lagi, Ya. Tarik nafas dalam, semua akan baik-baik saja," Maja membiarkan tangannya dicengkram keras sekali hingga kuku Daya menusuk di kulitnya. Satu tangan lain Maja gunakan untuk menghubungi dokter Reyn di MG.

"Dok, Daya dok."

"Okey, saya siapkan di sini. Tenangkan dia Maja. Kirim lokasimu ke saya."

"Ya."

Kemudian Maja menghubungi Basri.

"Majaaa....hrrghhhh..."

"Tahan dulu, Sayang. Tahan dulu. Nafas teratur lagi. Mada, sabar ya. Sabar, jangan keluar dulu. Mama belum sampai rumah sakit ini." Maja beralih ke ponselnya lagi. "Basri, hubungi Mama dan semua. Daya ke rumah sakit sekarang."

"Baik, Tuan."

Kendaraan berhenti karena lampu merah. Sementara dia terus berusaha sekuat tenaga untuk tidak mendorong karena belum sampai MG. "Majaaa...kenapa berhenti?"

"Lampu merah, Sayang. Ya Tuhan," Maja mulai panik.

"Ini anak kamu nggak sabaran...hrrrghhh...kayak Bapaknyaaa...Majaaa..." nafas terus di atur.

"Iya, iya, emang aku yang nggak sabaran. Pak, pasang hazard aja dan klakson-klakson minta jalan. Cepetan Pak."

"Telpon M sekarang. Ambil ponselku," dia tersengal. Tenang, Daya. Tenang."

"Apa hubungannya, Ya?"

"Cepetaaaan...hrrghhhhh..." dia mulai merasakan kakinya basah. Apa ketubannya sudah pecah? "Ketubanku pecah, Maja."

"Iya, iya, iya." Maja langsung menghubungi M. "M, Daya mau melahirkan kita stuck di jalan," Maja memasang loudspeaker agar dia juga bisa bicara.

"Eeeemmm...tolongin gue, cepetaaan..." ujarnya sambil berusaha menahan apa yang bisa ditahan.

"Sebentar gue track ponsel lo..." jawab M dari seberang.

"Kamu punya lokasi istri saya?" tanya Maja heran.

"Maja, apa perlu itu gue jawab? Seat back, urusin Daya atau lo urusan sama gue. Lampu merah itu gampang," detik ketiga M berkata-kata lampu di depan mereka langsung berubah hijau.

Maja hanya bisa menatap heran karena M tidak main-main dengan membuat seluruh rambu-rambu seolah memberikan mereka jalan.

"Gue jalan ke sana. Mau liat keponakan. Bye, calon Pejantan Tangguhnya Tante. See you, Ya."

Kendaraan terus melaju di tengah seluruh dera rasa pada tubuhnya. Dia bahkan kehabisan kata-kata untuk bicara karena fokus untuk menahan diri agar bayi mereka tidak keluar di perjalanan. Maja menggenggam tangannya erat, tidak pernah melepaskan, seperti dulu, selalu. Beberapa saat kemudian mereka tiba. Seluruh tim dokter sudah menunggu. Mereka masuk ke ruang yang sudah disiapkan.

"Sekarang dorong, Daya. Dorong," dokter kandungan itu menyemangatinya.

Dia mendorong sekuat tenaga.

"Lagi, lagi."

"Hrrrhhhhhhh..."

"Majaaa...aku nggak sanggup. Tenagaku habis..." ujarnya sambil terengah putus asa.

"Sayang, kamu Dayana. Dayana selalu bisa menaklukan apa saja," bisik Maja padanya. "Dorong lagi, Ya. Sebentar lagi kita ketemu Mada."

Dengan segala daya upaya dia mendorong lagi.

"Sedikit lagi, Bu. Saya sudah lihat kepalanya. Satu dorongan lagi." Dokter itu menoleh pada Maja. "Ayo, Pak. Semangatin istrinya."

"Tenagaku habis, Maja," sungguh dia merasa tidak sanggup lagi.

"No, no, no. Daya, satu kali lagi. Satu kali lagi."

"Aku...capek," keringat dan air mata sudah bercampur menjadi satu.

"Pak..." dokter tadi menatap Maja cemas.

Maja diam sejenak. "Aku nggak akan biarin kamu kerja lagi, Ya. Setelah ini kamu di rumah, duduk manis dan urus..."

"What?" dia menatap Maja tidak percaya.

"I'm serious, Honey. Aku akan hubungi Steven di US sana untuk batalkan semua kontrak Digicom..."

"Majaaaaa...." Emosinya sudah sampai kepala mendengar kalimat Maja.

"You push or I will cancel..."

"Hrrrghhh...Majaaaa...dasar nyebeliiin..." emosi yang baru saja naik sekolah mengumpulkan sisa-sisa tenaganya untuk mendorong terakhir kalinya.

Lalu tangisan bayi itu pecah menggema di ruangan. Senyum, tangis dan tawa bercampur baur. Juga bisikan kalimat Maja padanya.

"I love you, Yaya. Mama-nya Mada." Maja mencium keningnya kemudian dokter meminta Maja untuk mengikuti suster.

***

Segala sesuatu yang pertama memang istimewa. Sekalipun Daya tetap terkejut dengan segalanya. Bukan hanya seluruh keluarga Hadijaya, tapi juga Kakek Maja dari luar negeri datang, Ibu panti-Mulyani juga hadir karena kesehatannya sudah membaik, belum lagi dokter Linda, penduduk Digicom dan Digjaya yang bergiliran berkunjung. Hari keempat mereka dikunjungi oleh Audra, Niko Pratama, Mareno Daud dan dokter Antania. Mereka bertemu di ruang rawat Daya sore itu.

"Anak lo rambutnya banyak, lucu," kata Mareno sambil menatap Mada kecil yang digendong oleh Antania.

"Ganteng kan? Kayak Bapaknya?" canda Maja.

"Hey, hey. Sorry ya. Julukan Don Juan itu punya gue," sahut Mareno.

"Aku bingung kenapa Reno bangga punya julukan itu?" sindir Audra dan itu membuat semua tertawa. "Eh, serius lho. Ati-ati, Ren. Rheya makin lama makin gede. Kayak Ayyara tuh."

"Nah, nah soal itu," Mareno berdiri lalu menatap Maja serius. "Jadi gini, Maja. Gue akan kasih lo proposal bagus soal pendidikan usia dini."

Dahi Maja mengernyit tidak mengerti. "Aud? Nik?"

"Mareno itu gila sama anaknya, Maja. Jadi Audra dapat info soal Yayasan Cipta Kasih yang kemarin bermasalah soal hilangnya dana besar di sana. Terus dia bikin ide gila karena mau awasin anaknya," jawab Niko.

"Oh, yang kasus dana besar itu dibawa lari sama salah satu staffnya ya?" tanya Daya penasaran.

"Yes, istri lo lebih update daripada lo," ledek Mareno. "Polisi minta Niko bantu cari orang itu. Tapi gue bilang nggak usah."

"Kenapa?" tanyanya lagi.

"Karena Mareno mau beli itu Yayasan, jadi dia punya kendali atas Sekolah Tunas Bangsa tempat anak kita semua sekolah nanti. Sekolah kita semua dulu juga," kepala Audra menggeleng namun sambil tersenyum penuh arti.

Sekolah Tunas Bangsa. Biaya per tahun di sekolah itu sekitar 400 sampai 500 juta. Sekolah yang tidak mungkin dia sambangi. Sekalipun dia tidak terkejut ketika tahu Admaja bersekolah di sana, gumam Daya dalam hati. Heran sendiri karena sekalipun semua orang-orang yang berada di ruangan ini bisa jadi adalah orang-orang terkaya di negaranya, tapi sikap mereka kasual saja. Gaya Audra dan Mareno Daud memang terlihat memukau, namun entah kenapa dia merasa dihargai dan diterima.

"Lho, maksud gue baik. Bayangin itu sekolah nanti jadi jauh lebih bagus lagi. Seragam gue ganti biar keren, laboratorium teknologinya gue minta Mahendra upgrade. Hah, Hanif Daud bisa jadi kepala sekolah di sana. Abang gue yang itu sabarnya kebangetan. Pasti hebat ngurusin anak-anak ABG."

"Marenooo...Hanif udah bilang nggak setuju," sahut Tania.

"I'll change his mind. Tenang aja, Beiby," timpal Mareno sambil tersenyum konyol..

"Tunggu, jadi ini semua karena lo khawatir sama Rheya?" tanya Maja heran.

"Anak lo cowok. Lo nggak akan ngerti, Maja," kepala Mareno menoleh pada Niko. "Nik, lo paham kan? Ayyara makin susah kan diawasin nya?

"Karena itu aku yang sudah urus masalah Yayasan, Ren," Audra tersenyum menang. "Beres. Namaku akan ada di komite besar sekolah minggu depan."

"What? Sissy, kenapa nggak bilang?" keluh Mareno kesal. "Tuh, liat tu Tan. Audra lebih control freak dari aku," Mareno berujar lagi sambil menatap Tania.

"Hey, ide lo basi. Audra tahu dari Arsyad. Dua alfa bersatu langsung untuk urus semuanya," kekeh Niko. "Gue diem aja lah. Mau menang gimana sama Audra dan Arsyad."

"What?" Mareno makin terkejut lagi.

Wajah terkejut Mareno membuat mereka tertawa. "Arsyad itu diam dan langsung action. Nggak kayak lo yang banyak ngomong," sambung Niko lagi.

"Gue telpon Abang abis ini. Itu ide gue dari awal. Apalagi Alexa udah ada tanda-tanda hamil. Jadi Mahendra makin was-was juga," Mareno kali ini.

"Apa hubungannya sama Mahendra?" tanya Maja.

"Lo tahu istrinya Mahendra itu mahluk tercantik di belahan dunia Eropa dan Amerika kan, Maja?" Mareno menoleh pada Tania. "Tenang, Beiby. Kamu yang paling cantik di belahan dunia aku..."

Daya terkikik geli melihat wajah Tania memerah malu.

"...jadi kalau misalkan Alexandra beneran hamil dan anak mereka cewek, selesai sih udah. Adek gue yang itu bisa seratus kali lebih parah dari Arsyad. Lo tahu kan stroller Armand-anaknya Hanif yang anti peluru dan ledakan? Itu ciptaan Mahendra," lanjut Mareno.

Maja tertawa mendengar itu semua. "Serius? Gue mau beli satu, nanti Mahendra gue telpon."

Audra dan Niko terkekeh juga sementara Tania masih asyik dengan bayi Mada.

"Jadi gue yakin Mahendra mau gelontorin dana juga. Beli pulau aja bisa, masa danain sekolah anak nggak bisa," pungkas Mareno.

"Gue ikutan," sambung Maja sambil tersenyum lebar.

"Maja, serius?" bisiknya sambil menggenggam lengan Maja yang memang sedari tadi duduk di pinggir tempat tidur pasien dekat dengannya.

"Investasi pendidikan buat anak kita penting, Ya. Tunas Bangsa sekolah yang bagus. Kenapa enggak? Lagian kalau bukan aku, Papa pasti sudah langsung samber kesempatan ini," Maja berbisik kembali padanya.

"Nah, kan. Ide gue bagus," senyum Mareno.

"Telat dasar. Dibilangin itu Yayasan udah diurus sama Audra dan Arsyad," ledek Niko. Ponsel Niko berbunyi dan Niko pamit keluar ruangan untuk menerima sambungan.

Mereka meneruskan obrolan masih dengan topik yang sama. Tania mendekatinya untuk menyerahkan bayi Mada yang mulai resah. Dia menggendong Mada perlahan sambil menatap sayang pada mahluk mungil itu.

"Kayaknya haus ini," senyum Tania. "Matanya sedikit abu-abu. Struktur wajahnya kayak Maja, tapi rambut lebatnya kayak kamu, Ya. Ganteng dan gemesin."

Senyumnya makin lebar. "Kayaknya kamu kepingin banget anak laki-laki, dok?" tanyanya sopan pada Tania.

"Ya daripada cewek lagi. Liat model bapaknya begitu."

Mereka terkekeh bersama. Niko masuk kembali dan memberi tanda pada Audra untuk berpamitan. Akhirnya semua tamu juga memutuskan pulang. Admaja mengantarkan mereka hingga ke koridor sementara dia mulai menyusui Mada. Geliat Mada yang lucu, serta tangan mungil yang menyentuh dadanya sungguh tidak pernah gagal membuat dia merasa sempurna. Maja sudah duduk kembali di sebelahnya memperhatikan bayi mereka.

"Teman-teman kamu seru ya," ujarnya. "Apa mereka selalu santai begitu?"

"Aku jarang kumpul. Biasanya ketemu Audra dan Niko aja. Tapi pembawaan Daud memang selalu begitu. Santai, bersahaja kecuali Mareno Daud. Beda lagi kalau El Rafi Darusman gabung. Pasti topiknya berubah jadi investasi dan bisnis. Sedangkan Abimana lagi sibuk sama masalah keluarganya. Jadi lebih jarang kumpul lagi."

"El Rafi Darusman, aku kenalan waktu kita golf dulu."

"Keluarga Darusman punya banyak properti. Abimana Tanadi di perbankan, masih saudaranya Rafan. Daud nggak usah ditanya. Keluarga Daud bidang usahanya seperti gurita, terus berkembang. Lanjut ada Wiratmaja dan Tanudibya yang bisnisnya juga nggak main-main."

"...juga Hadijaya di bidang transportasi. Wow," dia tersenyum dan menatap Maja sesaat kemudian kembali pada Mada yang masih menyusu. "Itu semua circle kamu. Good, jadi aku punya banyak pintu kesempatan nanti."

"Aaah...I hate when you say like that," keluh Maja.

Dia tertawa kecil karena Maja sudah mencium puncak kepalanya. "Maja, aku tetap mau Mada punya mengerti dan belajar hidup sederhana. Bukan hanya tahu semua sudah ada."

"Semuanya memang sudah ada. Nggak ada salahnya kan? Apa aku besar jadi laki-laki yang manja?"

"Iya. Sikat gigi minta disikatin, masak minta dimasakin, semua barang ada lablenya, makan pilih-pilih lagi. Nanti aku nggak mau Mada begitu."

"Kok gitu?" protes Maja. "Tolong bedain aku manja sama istri dengan nggak bisa apa-apa."

"Aku nggak bilang kamu nggak bisa apa-apa. Kamu hebat. Tapi aku mau pendidikan Mada berimbang," satu tangannya mengusap lembut dahi Mada. "Mada harus jadi jauh lebih baik daripada Mama dan Papa sekarang."

"Dan jangan galak-galak kayak Mama, Mada. Bisa pusing Papa nanti," Maja mengambil perlahan anak mereka dari pelukannya. Karena Mada memang sudah selesai menyusu.

Dia selalu terkesima melihat bagaimana Maja menggendong Mada. Ekspresi Maja akan berubah menjadi lebih tenang dengan senyum kecil yang selalu mengembang. Admaja terlihat benar-benar bangga dan bahagia. Setelah itu Maja pasti menoleh padanya dan menatapnya penuh rasa. Saat itu terjadi, sekali lagi dia merasa...sempurna.

***

Di kediaman Maja dan Daya satu bulan setelahnya.

"Maja, aku lupa terus mau nanya."

"Hmm?"

"Waktu kamu bilang aku nggak boleh kerja lagi itu nggak serius kan? Kamu cuma bikin aku kesal biar aku punya tenaga dan bisa dorong Mada keluar. Bener kan?"

Maja malahan asyik dengan laptopnya. "Siapa bilang nggak serius?"

"Majaaa...Aku nggak mau kamu larang-larang begitu ya. Enak aja. Pelanggaran HAM namanya..."

"Tuh kan, mulai kan."

"Ya kamu nggak make sense begini deh."

"Ya, beneran kamu nggak capek?"

"Enggak lah."

"Kamu kok bisa bergadang malamnya buat Mada dan marah-marah sama aku di besok paginya. Emang masih ada tenaga buat kerja?"

"Maja," mata Daya mendelik kesal. "Aku udah bilang kalau..."

"Okey, okey. Tapi sekretaris kamu aku yang pilihin."

"Tuh kan."

"Kompromi dong, Ya."

"Digicom dan karyawan di dalamnya adalah urusan aku. Kamu nggak bisa..."

"Ya, serius deh jangan marah-marah. Aku beneran pingin. Kamu udah selesai belum?"

Tiba-tiba bantal kecil milik Mada yang tertinggal di kamar mereka mampir ke tubuh Maja. "Ah, aku tahu. Kamu juga pingin kan?" senyum konyol Maja terkembang sambil berdiri dan mulai mengejar Daya yang menatapnya tidak percaya.

"Maja, awas kamu deket-dekat aku."

"Ini udah 40 hari," Maja yang tidak peduli terus mendekati Daya yang mulai berjalan menjauh.

"Kamu salah hitung."

"Hey, matematika-ku di atas rata-rata. Apalagi hari penting kayak begini."

"Maja setop nggak?"

"Atau apa?"

Mau tidak mau Daya tertawa melihat kelakuan Maja. Mereka terus berdebat sambil berputar mengelilingi rumah karena Maja yang mengejar Daya dan Daya yang terus menghindar. Bu Sarni menutup pintu kamar Mada yang baru saja tertidur. Kemudian tersenyum bahagia melihat tingkah Admaja dan Dayana.

***

"Happy birthday," senyum Agam dari seberang meja.

Malam ini mereka makan malam untuk merayakan ulang tahun yang dia selalu lupa. Ya ini ulang tahunnya yang pertama dengan Agam. Tahun lalu mereka masih sibuk berjibaku dengan seluruh tumpukan pekerjaan dan masalah yang seolah tidak berhenti datang. Tahun ini seluruh beban pekerjaannya mulai stabil, diiringi dengan status yang baru sebagai istri dari laki-laki di hadapannya ini.

Matanya menatap piring besar dengan satu buah tart kecil di bagian pinggir, lalu tulisan 'Happy Birthday, Dear Wifey' di sebelah kanan piring yang ditulis dengan coklat cair. Juga satu lilin sederhana. Dia memejamkan mata sejenak kemudian meniup lilin itu perlahan. Senyumnya mengembang sambil menatap Agam. "Thank you."

Tanpa dia duga Agam mengeluarkan kotak beludru berukuran sedang. Dia terkekeh melihat isi di dalamnya. Sebuah kalung dengan liontin inisial nama mereka yang diukir indah hingga tersamar. Hampir saja dia tidak bisa membaca inisial itu jika tidak mengamati detailnya.

"Kamu nggak makan berapa hari buat beliin aku ini?" ledeknya.

"Dengan gaji dan tunjangan sekarang...mmm. Dua bulan nggak nraktir anak-anak kantor lah kira-kira. Aku tetep makan bekel kamu lho," jawab Agam konyol.

"Pak Direktur yang masih bawa bekel dan iya-iya aja ya cuma kamu," dia tertawa saat Agam berdiri dan memakaikan kalung itu padanya.

Setelah selesai Agam menunduk untuk mencium pipinya dari belakang. "T.A, Tarinya Agam."

"Norak dasar," kekehnya lagi.

"Tapi seriusan, aku nggak butuh perhiasan begini, Gam. Kita ganti kulkas yang gede aja gimana?" canda Tari lagi.

"Ngapaian kulkas gede-gede orang rumah isinya kita berdua doang."

"Hemat listrik, jadi kalau kepanasan kamu tinggal aku masukin ke dalam kulkas aja. Watt nya lebih kecil daripada AC."

Agam tertawa. Mereka melanjutkan hidangan penutup mereka. "Jahat banget sama suaminya."

"Loh, kan mau hemat biar tiap tahun bisa jalan-jalan. Kamu yang bilang," dia menyuap tart ulang tahunnya kemudian menyodorkan sendok pada Agam. "Tartnya enak, cobain deh."

Dia meledek Agam dengan menggerakkan sendok saat Agam ingin menyuap tart itu.

"Tariii...niat nggak ngasihnya?" satu tangan Agam sudah menggenggam tangan Tari lalu menyuap tart itu.

Sendok Tari sudah letakkan di piring kemudian dia menopang kepalanya sambil menatap Agam. Banyak hal yang sudah terjadi, dan sekalipun dia tidak pernah menduga semua berakhir begini, tapi dia benar-benar bersyukur bahwa Agam lah yang akhirnya menjadi pasangan abadi. Agam punya banyak kebiasaan aneh, jangan salah. Butuh waktu untuk menyesuaikan diri juga. Tapi, semua terasa benar. Dia selalu bisa bersandar setiap kali lelah mendera, atau saat hari-hari berat, Agam selalu ada untuk menghiburnya.

"Harusnya kita terimakasih sama Mba Daya dan Pak Maja," ujarnya.

"Kenapa?"

"Karena kalau nggak gara-gara nyomblangin mereka, atau jam kerja kita yang gila dulu, mungkin aja nggak begini."

Agam tertawa kecil kemudian meneguk minumannya. "Jadi matchmaker mereka adalah hal tergila dan ternekat yang pernah aku lakuin. Maksudnya...sabotase mesin kopi sampai mobil dan supir Pak Maja. Apalagi kamu dan semua rencana absurd kamu di kedai kopi. Itu pertama kalinya aku pura-pura begitu."

"Kamu kelamaan sih jadi cowok. Dua bos kita itu mahluk ajaib dari planet lain. Mereka nggak normal dan harus dicomblangin dengan cara nggak normal juga."

Lagi-lagi Agam tertawa. "Atau dijebak sekalian. Setuju sih."

"Tapi kamu masuknya smooth banget sampai Pak Maja nggak sadar kalau kita lagi dorong Mba Daya ke dia. You got 100 points for that."

"Ya, ya. Kita tim yang kompak dari dulu."

"Tapi giliran soal aku kamunya nggak kompak, lama, nyebelin."

"Hey, yang penting hasil akhir kan."

Mereka diam dan saling menatap. Dia menikmati bagaimana Agam memandangnya. Karena seolah tidak ada orang lain lagi di sekeliling mereka. Biasanya Agam akan berhenti menatap lalu bercanda, atau meledeknya dengan sikap salah tingkah sendiri. Berusaha mengalihkan dari suasana romantis karena tidak mau diledek gombal olehnya.

Tapi malam ini, senyum Agam mengembang lalu berkata, "Kamu cantik."

Dia terkekeh geli dan diam sejenak. "Kamu...punyanya aku."

Agam mengangguk sambil terkekeh juga. Lalu dia melihat ada seorang wanita dengan tubuh tinggi dan laki-laki yang jauh lebih berusia, baru saja tiba di restoran itu. Ini terjadi karena posisi duduknya memang berhadapan dengan pintu masuk restoran. Dahinya mengernyit. Sherly?

"Siapa?" Agam menoleh ke arah tatapannya. Dahi Agam mengernyit mengerti. "Kalau kamu nggak nyaman, kita pulang yuk. Lagian udah selesai kan?"

"Nope, aku penasaran. Itu pacarnya Sherly? Kok udah usia banget ya?"

"Nggak paham. Aku udah lama nggak dengar kabarnya," bahu Agam menggendik.

Sebenarnya dia tidak ingin memperhatikan, tapi rasa penasaran sudah meraja. Jadi diam-diam dia melihat dari kejauhan. Sherly tersenyum basa-basi, sementara sang laki-laki terus berusaha menyentuh tangan Sherly. Tipe laki-laki kaya namun kurang sopan.

"Tari, sudah. Nanti kamu ngambek lagi," ujar Agam padanya.

Nafas dia hirup dalam. "Gengsi memang mahal harganya," tatapannya kembali ke Agam.

"Sudah ya, aku toilet sebentar terus kita pulang, okey? Malam ini harus sempurna dan aku nggak mau mood kamu rusak karena apapun alasannya."

Dia tersenyum. "Aku ikut, mau pipis juga. Habis ini kita kemana?"

Mereka sudah berdiri dan berjalan beriringan ke arah toilet restoran saat Agam mendekatkan kepala padanya. "Tempat kesukaan aku."

Dahinya mengernyit tidak mengerti.

"Ranjang," bisik Agam lagi sambil menggenggam tangannya erat.

Wajah yang memerah dia tutupi dengan tawa kecil karena beberapa tamu memperhatikan mereka. "Dasar nyebelin," dia balas berbisik.

Mereka berpisah di koridor dekat toilet yang letaknya tersembunyi dari area meja-meja restoran. Ketika sudah selesai dia menatap wajahnya yang masih merona bahagia di area wastafel. Lalu dia memandangi kalung cantik yang melingkar di lehernya. Itu semua membuat dia tersenyum lebar lagi. Karena merasa sudah terlalu lama, dia beranjak keluar toilet.

Suasana di sekitar memang tidak ramai. Sebagian besar pengunjung masih asyik menikmati hidangan mereka di meja. Jadi sayup-sayup dia bisa mendengar dengan jelas suara Agam dan seorang wanita sedang berbicara. Agam terdengar kesal namun menahan diri. Wanitanya? Sherly. Siapa lagi.

"Aku nggak bisa lupain kamu, Gam. Apa kita bisa mulai lagi?"

"Mulai gimana? Ya Tuhan. Kita udah lama selesai, Sher. Kamu gila ya."

Cepat-cepat dia melangkah ke meja Sherly tempat pasangan Sherly menunggu. Oh, wanita ini perlu dia beri Pelajaran. "Selamat malam, Pak."

Laki-laki itu menoleh dan tersenyum padanya. "Halo, malam. Ada apa?"

Oh, laki-laki ini sama menjijikkannya. "Tolong ikut saya sebentar. Ini urusan wanita yang bersama anda tadi."

Dahi laki-laki itu mengernyit namun berdiri juga. Mungkin penasaran. Kemudian mereka melangkah beriringan menuju tempat Agam dan Sherly tadi. Saat mereka tiba, Sherly sedang berusaha menarik lengan Agam yang ingin pergi menghindar. Mata Sherly bahkan sudah berkaca-kaca seperti memohon pada Agam.

"Sherly?" laki-laki itu terkejut.

Agam mengibaskan lengannya hingga genggaman Sherly terlepas kemudian berdiri di sebelahnya. "Ini suami saya, Pak. Dan Sherly adalah mantan kurang ajar dan tidak sopan yang terus mengganggu. Tolong urus pacar anda yang benar."

"Gam..." pandangan Sherly memelas meminta pertolongan pada Agam.

Sementara wajah laki-laki paruh baya itu seperti tersinggung.

"Sayang, ayok. Nggak ada gunanya lama-lama di sini," Agam menggenggam tangannya dan menariknya pergi.

Langkah dia tahan kemudian dia berbalik pada Sherly. "Liat di sudut itu..." tangannya menunjuk pada salah satu sudut koridor yang terpasang CCTV. "...rekaman CCTV itu saya akan minta dan simpan. Kamu ganggu suami saya lagi, saya kirim rekaman CCTV ini ke seluruh agency model dan iklan, bahkan stasiun TV. Paham?" ujarnya berang. "Stay away from my husband, Bitch!" nada dia tekan.

Agam sudah menariknya menjauh karena khawatir akan ada keributan. Agam benar, karena tangannya sudah gatal ingin menampar. Setelah menyelesaikan pembayaran, mereka pergi dari sana. Di dalam kendaraan Agam mengamit satu tangannya.

"Jangan marah-marah. Kamu masih ulang tahun lho," nada suara Agam tenang.

"Hrrrghhh...aku udah sms Reza dan Melly buat minta rekaman CCTV restoran. Mereka kenal sama pemilik resto itu."

"Iya, iya."

"Mana ponsel kamu?"

Agam menoleh menatapnya tidak percaya, namun tetap mengambil ponsel dan menyerahkannya. "Periksa semuanya. Nggak ada yang aku tutupin."

"Awas aja kalau ada."

"Jangan mulai, Tari. Menuduh sesuatu yang tidak aku lakukan itu bikin sakit hati lho."

"Dikejar-kejar mantan pacar membabi buta begitu juga bikin aku sakit hati lho," dengkusnya kesal. Dia masih marah sekalipun dia tahu ini bukan salah Agam. Ponsel Agam hanya dia genggam karena jika dia benar-benar memeriksa dengan kondisi ini, Agam pasti tambah tersinggung dan mereka bertengkar. Apalagi jika ternyata dugaannya salah.

"Kenapa ponselku dianggurin?" tanya Agam masih berkendara.

Satu tangan dia topang pada handle pintu mobil kemudian dia menatap keluar jendela. Nafas dia atur satu-satu untuk meredakan emosi. Sepanjang sisa perjalanan mereka diam saja.

Saat tiba di rumah, dia berjalan lebih dulu membuka pintu dan masuk. Langkah kakinya terhenti karena melihat tulisan besar 'Selamat ulang tahun, Wifey!' juga balon-balon berwarna pastel menghiasi ruangan. Ada tiga buket bunga yang menghiasi buffet di pinggir area, coklat belgia di atas meja, juga rumah yang sudah rapih dan bersih. Dia memang tidak mengetahui ini semua karena Agam langsung menjemputnya di kantor tadi.

Mulutnya bungkam karena rasa bersalahnya sendiri. Mereka memang tidak sampai bertengkar hebat, tapi tetap saja praduganya tidak bisa pergi. Pintu tertutup di belakang tubuhnya. Dia bisa merasakan Agam berjalan mendekat. Tapi dia tetap terkejut saat Agam memeluknya dari belakang perlahan.

"Jangan marah lagi, Wifey," bisik Agam.

Matanya terpejam sejenak. Kemudian dia melepaskan Agam perlahan. "Aku masih emosi, jadi gerah," dia membalik tubuhnya lalu mulai membuka kancing blusnya satu demi satu sambil menatap Agam. "Kamu...nggak gerah?"

Agam menggeleng sambil terkekeh dan balas menatapnya. "AC aku cabut besok biar kamu gerah terus."

"Gantinya aku dibeliin kulkas ya?" blus dia jatuhkan ke lantai kemudian dia mulai melangkah.

"Kamu mau kemana?" 

"Ke tempat favorit kamu. Mau ikut?" pintu kamar mereka dia buka.

Kemudian dia tersenyum saat mendengar Agam menyusul di belakangnya.

***

Akhirnya selesai juga romance-not too romance story gue. Uniknya cerita ini adalah naik turun hubungan Maja dan Daya yang tiap part bisa beda-beda banget moodnya. Daan keberadaan mak comblang kesayangan bersama, Agam dan Tari. Memang dari awal di set tokohnya ada empat. Sekalipun akhir-akhir ada yang nyempil Gala-Adel...hehehe.

Anyway, semoga kalian selalu enjoy cerita-cerita gue yaaa. Terimakasih atas segala support dan dukungannya, Readers kesayangaaan!!

Nextnya apa? Coba di comment.

Luv, ndi.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro

Tags: #romance