Part 44 - Welcome back!!
Enjoy while it last.
***
Rumah mereka terasa masih sama. Besar, namun teduh dan nyaman. Maja sudah meminta Basri dan Bu Sarni untuk mengatur segalanya saat mereka tiba. Termasuk membersihkan seluruh bagian rumah, kolam renang, dan kamar-kamar mereka. Termasuk ruang kerja Daya di lantai atas. Setelah itu dia meminta agar hanya ada Bu Sarni di rumah serta dua orang ADS yang menjaga mereka.
"Ngelamunin apa?" tanya Daya saat mereka baru saja masuk dari pintu depan.
Kepalanya menoleh kemudian tersenyum pada Daya yang perutnya sudah mulai terlihat membesar. "Dulu wajah kamu nggak enak banget waktu pertama kali sampai di sini."
"Sama. Kamu juga."
"Eh, sekarang hamil," kekehnya bahagia.
"Nggak usah dibahas," cebik Daya kesal. "Kalau nggak mau tanggung jawab bilang."
"Nah, kan. Kalimat pertama udah angkat senjata tuh," dia menyusul Daya yang sudah berjalan menuju kamar mereka.
Daya menatap berkeliling. Masih sama, seperti dulu. Dia juga merasakan itu. Tempat tidur hangat di tengah ruangan, harum linen dari sprei putih gading yang bersih, juga pemandangan taman kecil di belakang kamar mereka yang menyambung ke area bagian samping kolam renang. Perlahan dia memeluk Daya dari belakang lalu mencium leher Daya dengan wangi yang dia suka.
"Welcome back, Yaya. Welcome home," bisiknya.
"Kamu tinggal di apartemen kemarin dulu?" tanya Daya sambil bersandar pada dadanya.
"Iya, ini baru pulang lagi. Bareng kamu."
"Kenapa?"
"Mana bisa aku tinggal di rumah ini sendiri. Mau mati rasanya."
"Berlebihan dasar," kekeh Daya.
"Aku nggak berlebihan," pelukan makin dia eratkan. "Aku cinta kamu sebanyak itu."
"Maja, nggak seneng deh kalau kamu manis begini. Berantem aja deh kita," Daya tertawa kecil.
"Tenang, kita punya selamanya. Buat berdebat sambil bikin anak yang banyak," tubuh Daya dia balik hingga mereka berhadapan. "Iya nggak?"
Daya terkekeh lagi, tapi kepala wanita itu mengangguk. Kepala dia tundukkan hingga bibirnya tiba pada bibir Daya. Oh, betapa dia rindu dengan wanita ini. Hanya wanita ini saja. Mereka saling merasakan yang tidak selalu bisa mereka ucapkan. Seluruh emosi seperti bercampur dengan hasrat yang tertahan. Dia berhati-hati sekali, karena tidak mau menyakiti Daya yang sedang hamil. Tapi juga tidak bisa menahan diri setelah hampir seminggu di rumah sakit dan hanya bisa melihat Daya dengan tubuh yang seperti mekar sempurna karena kehamilannya. Daya terlilhat makin bersinar saat hamil. Atau mungkin dia saja yang sudah terlalu rindu. Entahlah, masa bodoh.
"Maja..."
"Hmm?"
"Bahu kamu nggak apa-apa?"
"Enggak apa-apa," dia berhenti sejenak. "Kamu nggak apa-apa?"
"Apa-apa kalau kamu berhenti," pipi Daya bersemu malu.
Dia tersenyum lebar kemudian melanjutkan apa yang dia mulai tadi. Menenggelamkan diri pada seluruh rasa untuk Daya, untuk istrinya.
***
Dahi Ferina mengernyit mendengar apa kata pengurus rumah tangga di rumah. Adeline belum pulang dan ini sudah tiga hari. Cepat-cepat dia memutuskan sambungan lalu menghubungi anaknya itu. Sambungan pertama dan kedua tidak diangkat. Dadanya sudah berdentum cemas. Pada sambungan ketiga Adeline mengangkat.
"Ya, Ma?" suara Adeline lemas. Apa Adeline sakit?
"Sayang, kamu dimana?"
"Apartemen," nafas Adeline seperti putus-putus.
"Kamu nggak apa-apa kan? Suara kamu lemas begitu?"
"Adel ngantuk, Ma. Baru bangun."
Jam dia lirik, sudah pukul 1 siang.
"Orang Niko bareng kamu kan?"
"Iya, ada di...luar."
"Del, kamu beneran nggak apa-apa?"
"Bye, Ma."
Sambungan disudahi. Ada yang tidak beres. Dia mengangkat telpon lagi untuk menghubungi Niko.
"Halo."
"Nik, Adeline..."
"Adeline aman bersama anak buah saya. Tolong tenang, Nyonya," jawab Niko seperti paham benar atas apa pertanyaannya. "Sementara ini dia memilih tinggal di apartemennya. Begitu katanya. Tapi orang saya terus menjaga dia."
Dia diam sejenak. "Apa Adeline sakit?"
"Kalaupun iya kami akan langsung datangkan dokter MG. Saya bertanggung jawab atas Adeline. Anda sebaiknya tenang dan fokus pada pemulihan suami anda."
"Jaga dia, Nik. Jaga Adeline."
"Pasti."
***
Tari menatap hiasan di dinding kantor untuk menyambut kedatangan Daya kembali ke kantor Digicom. Sudah sejak jam enam pagi dia tiba lalu sibuk bersama Fina dan pastinya Agam yang sekarang mengikuti dia terus kemana-mana. Karena tidak mau Sherly mengganggu lagi. Dasar aneh.
"Tar, ini berlebihan nggak? Emang Mba Daya suka surprise?" tanya Reza dan Melly yang baru tiba.
"Udah nggak bantuin, baru dateng langsung complain," cebik Tari.
"Gue udah bilang sam Tari dari semalem, ini berlebihan. Mana dia dengerin gue," sahut Agam turun dari kursi setelah memasang hiasan balon terakhir.
"Hey cowok-cowok. Kalian itu emang pada nggak ngerti cewek sih. Dulu emang Mba Daya dingin kayak Elsa Frozen, sekarang udah mencair, meleleh sama Pak Maja. Gimanapun juga cewek itu cuma butuh disentuh hatinya. Bukan pake duit, pake hati ya, hati," balasnya galak.
"Gue mah pake duit juga meleleh, Tar. Apalagi seganteng dan sekaya Pak Maja. Hadeeh, panas dingin duluan deh," Melly kali ini. "Fin, kamu nggak grogi apa punya bos ganteng begitu?" tanya Melly pada Fina yang sedang membereskan sisa-sisa dekorasi.
"Awalnya sih grogi, Mba. Tapi Pak Maja itu baik, sopan, dan nggak centil. Aku pake rok kependekan disuruh pulang ganti rok. Apalagi waktu Mba Daya nggak ada. Aku baru tahu ya, ada cowok yang bisa cinta setengah mati sama cewek kayak begitu. Padahal Bu Angel, Mba Hani yang punya TV apa gitu, terus Mba Anjani anaknya siapa ya...aku lupa, beberapa kali coba telpon Pak Maja tapi ditolak semua. Auto-reject. Tidak ada pembicaraan di luar proyek Digicom atau urusan Digjaya."
"Hah, serius? Kok lo nggak bilang, Fin?" Tari penasaran.
Fina makin semangat karena mendapat perhatian dari semua orang. "Pernah ya, Bu Angel datang ke kantor. Pak Maja minta aku panggil security langsung. Belum sampe masuk ruangannya Pak Maja."
"Terus-terus?" Melly sudah duduk mendengarkan serius.
"Mba Hani malah pura-pura ngomongin proyek kantor. Berhasil meeting sama Pak Maja tapi aku disuruh ikut untuk ambil notulen, juga Pak Yusri. Awalnya aku ngerasa nggak ada yang aneh, atau mungkin karena aku nggak ngerti isi meetingnya apa. Tapi sepanjang meeting Mba Hani memang ngeliatin Pak Maja terus sementara Pak Maja ekspresinya kayak nahan kesal..."
"Terus?"
"Kayak tukang parkir lo, Mel. Terus-terus mulu," ledek Reza.
"Ssst...terusin Fin, penting nih."
"Terus tiba-tiba Pak Maja marah, karena ngerasa meeting itu nggak ada isinya. Pak Maja bilang kalau Mba Hani udah buang-buang waktu dia. Pak Yusri dan saya langsung keluar, tapi Mba Hani malah nekat stay di dalam ruangan. Untung saya tahan pintunya biar terbuka. Mba Hani nggak tahu malu, dia beneran bilang kalau suka sama Pak Maja dan mau mulai sesuatu. Padahal dia tahu pintunya terbuka."
"Pak Maja nya gimana?" tanya Melly tidak sabar.
"Pak Maja teriak dan minta saya panggil security. Mukanya Pak Maja udah merah banget karena Mba Hani bilang hal nggak benar soal Mba Daya. Akhirnya Pak Yusri dan Pak Agam yang baru datang langsung minta Mba Hani keluar. Setelah itu semua kontrak jaringan Digjaya yang berhubungan dengan stasiun TV nya Mba Hani diputus. Sepihak tanpa ganti rugi. Pak Maja malah ngancem mau nuntut Mba Hani karena mencemarkan nama baik istrinya."
Tari menoleh pada Agam. "Kamu tahu?"
"Pak Agam tahu semuanya pasti. Kan mantan sekertaris Pak Maja," jawab Fina polos.
"Kok nggak pernah cerita ke aku?" tuntut Tari.
"Dulu aku memang sekertaris, tapi aku laki-laki tulen. Jadi nggak bergosip begini. Udah kerja-kerja-kerja," dalih Agam.
"Agam, lo tahu lebih banyak kan? Karena nggak mungkin cowok seganteng dan sekaya Pak Maja nggak ada yang ngejar-ngejar. Cerita dong, Gam. Siapa lagi?" Melly memaksa.
"Kenapa sih pada usil banget. Yang penting kan sekarang Pak Maja udah sama Mba Daya. Selesai, titik. Apa bedanya kalian tahu atau enggak? Orang juga udah lewat," jawab Agam logis.
"Setuju sama Agam," timpal Reza.
"Dasar cowok-cowok nggak asik," kepala Melly menoleh ke Fina lagi. "Lain kali makan siang bareng kita aja, Fin. Kamu ada gossip apa lagi?"
"Mmm...Mas Dion..." ujar Fina.
Kali ini gerakan Tari berhenti. Sedikitnya dia penasaran apa kabar dengan laki-laki mantan partner proyeknya itu di luar sana.
"Dion kenapa?" Melly melirik ke arahnya.
"Tari, nggak usah ikutan," ancam Agam.
"Aku nggak ngapa-ngapain. Lagi beresin ini kok," Tari mengambil dus bekas yang kosong dan membersihkan sisa dekorasi yang berserakan di lantai. Sekalipun telinga Tari buka lebar-lebar.
"Mas Dion nggak cocok sama bos di kantor barunya. Katanya lebih parah dari Mba Daya. Jadi suka semena-mena. Misal, Mas Dion ngerjain proyek sukses dan diaku sama bosnya kalau proyek itu si bos yang megang. Nggak fair lah. Jadi Mas Dion khawatir karirnya stuck di sana," jelas Fina.
"Bagus, itu azab tuh," sahut Agam sambil menyerahkan dus berisi sisa dekorasi pada office boy yang membantu mereka.
"Dendam amat sama Dion," kekeh Reza. "Tenang, cewek lo nggak mempan sama Dion."
"Ada kemungkinan Mas Dion mau hubungi Mba Daya lagi biar bisa balik ke sini," sambung Fina.
"Nggak ada," Agam menyahut cepat. "Gue ngomong sama Mba Daya langsung biar nggak usah nerima balik orang yang kualitasnya cuma bisa kabur waktu perusahaan lagi susah."
"Easy, Maan. Easy..." Reza tersenyum melihat Agam yang emosi.
"Gam, nggak apa-apa kali. Biar seru nanti di sini. Nanti judul tajuk beritanya gini nih, 'Perebutan hati seorang eksekutif muda wanita diantara Direktur baru Digjaya dan Senior Manager Digicom.' Keren kan?" Melly sudah tertawa meledek Agam. "Kita butuh gorengan baru karena Pak Maja dan Mba Daya udah akur. Iya nggak, Za?"
"Gue nggak ikutan sumpah. Agam naik jabatan soalnya, ngeri gue nanti kalau ada proyek yang harus report ke dia," elak Reza tapi sambil tertawa.
"Kenapa muka kamu gitu?" Agam menoleh padanya.
"Loh kenapa? Aku diem aja dari tadi," jawabnya kesal karena tiba-tiba disalahkan.
"Kamu setuju Dion balik ke sini?" tanya Agam mulai menyebalkan.
"No comment," dia melenggang pergi tidak mau terpancing pada situasi. Dasar cowok-cowok nyebelin.
"Tari..."
Ponselnya berbunyi. "Ya, Mba?" suara Daya di seberang sana.
"Tari, meeting pagi. Pastikan semua sudah kumpul saat saya tiba," ujar Daya.
"Siap, Mbaa. Beres itu. Anak-anak udah nggak sabar ketemu Mba Daya. Mba sampai jam berapa?"
"Sepuluh menit lagi."
"Hah, sepuluh menit. Oke, oke, oke."
Sambungan disudahi. "Guys, sepuluh menit, Guys. Cepetan matiin lampu dan siap-siap kasih surprise. Wardiii...kue-kue di ruangan meeting udah siap kan?"
"Udah, Mba. Beres. Yang buat tim di luar juga tinggal dikeluarin," jawab Wardi si office boy andalan.
"Reza, Melly, file data dan presentasi jangan lupa. Ntar di meeting dibantai kita kalau nggak siap," desis Tari.
"Beres, Mba Yuuu," sahut Reza juga mulai bersembunyi. "Mel, geser dong. Sempit nih."
"Lo cari tempat lain dong, Za. Lo gede tahu," keluh Melly. "Ngumpet sama Fina sana."
"Ntar Fina jatuh cinta sama gue, rese," canda Reza sambil melirik Fina yang sudah berjongkok di dekat kursi Tari. Fina yang dilirik malah sibuk dengan ponsel sedang mengetikkan sesuatu.
"Hih, GR."
Sisa karyawan juga bersiap-siap, bahkan resepsionis di depan kantor juga bersembunyi di ruangan kecil dekat pantry. Lampu-lampu dimatikan. Dia dan Agam mengambil posisi bersembunyi dibalik lemari arsip besar dekat dengan pintu yang pasti Daya lewati.
"Kita belum selesai ngomong ya," bisik Agam.
"Kamu balik aja deh ke kantor kamu sekarang. Daripada marah-marah di sini," balasnya kesal.
"Enak aja. Aku udah bilang sama Pak Maja soal ini jadi Pak Maja ikutan ke sini nanti," mereka mulai menyembunyikan diri di balik lemari arsip besar dekat dengan pintu yang akan Daya lewati.
"Pak Maja bocorin nggak nanti? Ngapain sih bilang-bilang?" protesnya.
"Hey, yang ngurusin Digicom selama ini siapa? Pak Maja sama aku," enak aja mau surprise party nggak ngajak-ngajak.
"Woy, jangan pacaran gila. Kita bisa denger," Reza setengah berteriak.
"Ngiri aja lo. Cari pacar mangkanya," balas Agam.
"Apaan sih kalian. Diem nggak. Aku mau wa security bawah biar kasih tahu kalau Mba Daya udah sampe," tangan Tari sudah mengetik cepat di ponselnya.
Kemudian mereka menunggu kedatangan lady boss yang mereka rindu. Ya, sekalipun galak dan otoriter, Dayana adalah mentor terbaik dan selalu mendukung mereka selama ini. Senyum Tari mengembang gembira, karena akhirnya jantung Digicom akan berdetak lagi. Hhh...dia tidak sabar.
"Jangan senyum-senyum kalau nggak mau aku cium di sini," bisik Agam usil.
Matanya mendelik dan mengancam laki-laki usil di sebelahnya ini. Usil, tapi suka kan, Tar. Kenapa otaknya jadi konslet sih? Agaaam...hrrghhh.
***
"Cerah banget hari ini? Karena aku bolehin masuk kantor?" Maja menoleh menatapnya.
"Kalau nggak boleh aku kabur dan nekat masuk juga. Kan kamu udah tahu," kekehnya. Sepanjang jalan Maja menggenggam tangannya seperti dulu.
Mereka sedang berkendara menuju kantor. Butuh waktu satu minggu setelah mereka kembali dari rumah sakit untuk membujuk Maja. Karena berdiam di rumah benar-benar bukan dia. Dia merindukan Digicom hingga terus memimpikan ruangannya. Maja menggeleng tidak percaya karena bahkan Maja menemukan dia mengigau meeting dengan Tari tiga hari lalu. Separah itu.
"Aku nggak mau kamu capek, makan tepat waktu, minum vitaminnya, minum susu..."
"Maja..."
"Pulang maksimal jam lima sore aku jemput di kantor kamu. Titik," ujar Maja tegas. "Ada yang kamu langgar..."
"Majaaaa..." keluhnya.
"Aku serius kurung kamu di rumah atau di MG. Pilih mana?"
"Kurung di kantor aja gimana? Pendingan kerjaanku banyak banget, Majaa."
Maja menatapnya mulai kesal. "Semua makanan Fina dan Tari yang akan atur, aku sudah hubungi Reza dan Melly semalam agar mereka tetap pegang hal-hal besar juga urus semua meeting di luar kantor. Aku nggak bisa kasih Agam karena dia sibuk nerusin proyek yang ketunda kemarin."
"Ya, aku nggak minta Agam di Digicom juga."
"Aku nggak mau dibantah, Ya. Serius. Kamu bekerja dan ikuti aturan aku, atau kamu di rumah."
"You're not my boss. Enak aja."
"Aku suami kamu dan itu membuat aku lebih berhak melakukan ini semua untuk kamu."
"Hrrghhh...Majaa. Aku nggak mau berantem di hari pertama kita kerja," tangannya dia tarik dari genggaman Maja. Tapi kemudian Maja malah menggeser duduknya dan mengambil tangan itu lagi. "Jangan pegang-pegang."
Pembatas antara bagian depan dan belakang mobil Maja naikkan. Lalu Maja mengambil tangannya lagi tidak peduli dengan protesnya tadi.
"Jauh-jauh deh. Aku kesal nih," dia menggeser duduk lebih dekat ke jendela. Kepala dia tolehkan ke luar.
"Bagus, makin kesel makin anak kita mirip kayak aku. Katanya begitu," ujar Maja santai.
Dia menoleh dan menatap Maja tidak percaya. "Hrrghhhh, kamu salah makan apa sih?"
Maja sudah menggenggam tangannya lagi. Bahu mereka bersentuhan karena Maja bersikukuh menempel padanya dan dia sudah kehabisan area untuk menghindar. Tapi diam-diam dia merindukan hal ini. Sarapan bersama, membetulkan dasi dan jas Maja, juga berkendara pagi sambil bertengkar karena pasti yang dia inginkan hanya bekerja saja. Sementara Maja selalu ingin mereka pulang cepat dan menghabiskan waktu di rumah bersama. Bukannya dia tidak suka, tapi kali ini antrian pekerjaannya membumbung tinggi.
Semua kenangan yang dia suka seperti berulang kembali, dia menoleh ke jendela lagi dan berusaha menutupi senyumannya. Dia tahu Maja memperhatikan. Tapi Maja diam saja dan malah mencium tangannya lembut.
"Kalau kamu nggak mual nanti malam, aku mau ajak kamu makan malam di luar," bujuk Maja.
"Maksudnya kalau aku nurutin kamu kan? Karena kamu paling tahu aku nggak mual di kehamilan ini," mata dia putar.
Maja tersenyum lalu mengangguk. "Iya, tapi kalau ngomong begitu kan kamu nggak suka. Kesannya aku mendominasi dan kamu benci dipaksa-paksa."
"Lah tadi, kamu kurang maksa apa?" mau tidak mau senyum kecilnya terkembang juga melihat Maja salah tingkah sendiri.
"Itu beda. Itu aku menjalankan kewajiban sebagai suami. Dinner nanti malam adalah aku yang ngajakin kamu nge-date. Kita dulu kurang pacaran. Kamu ngerasa gitu nggak?"
Mau tidak mau dia tertawa. Ada apa sih dengan Maja? "Ya kita emang nggak pacaran. Kamu menawarkan perjanjian bisnis saling menguntungkan sehingga aku tidak bisa menolak. Pernikahan atas dasar keuntungan bersama dan di atas perjanjian. Marriage with benefit."
"Oh, God. Bisa nggak kamu nggak usah sebut-sebut itu. Bikin aku emosi," dengkus Maja kesal.
"Tapi kenyataannya emang begitu kan?" senyumnya usil sudah menatap Maja. "Daya, kamu siapkan pengacara kamu dan buat klausamu," dia meniru suara dan kalimat Maja dulu sambil berekspresi konyol.
"Yaya, cukup...."
"Ingat, jangan main hati dengan saya, menjaga nama baik keluarga, serta bersedia berpisah baik-baik ketika masa kontrak habis," ledeknya lagi. "Kamu kan yang bilang begitu?"
"Oh, I hate you karena ngingetin aku soal itu." Maja berusaha membalasnya. "Tapi kamu yang jatuh cinta duluan kan?"
"Hah, siapa bilang? Enak aja. Kamu yang nempel terus. Aku udah bilang kita udahan, kamu malah ngotot nggak mau."
"No, no, no. You can leave me easy, Ya. Karena skandal sialan itu. Tapi kamu stay. You help me because you love me."
"Aku stay karena keluarga kamu yang innocent dan akan jadi korban kecerobohan kamu sendiri. Not because of you, of course. Jangan GR, Bapak Admaja," balas Daya.
Dia pikir Maja akan membalas lagi. Tapi bahu Maja hanya menggendik. "That's why I fall for you. Tepat saat kamu stay. Waktu kamu belain aku di depan Mama dan Papa...atau mungkin sebelum itu. Bisa jadi pas bahu kamu sakit. Karena aku cemburu gila sama Rendy. I still do jealous now, for your information."
"Mulaai...jangan manis-manis deh. Kita debat aja."
"Nggak mau. Ngapain debat di sini, kamu nggak bisa aku apa-apain kalau aku kalah."
Entah bagaimana wajahnya langsung merah. Mengingat Maja yang ketika kalah debat dia pasti langsung ditarik ke atas kasur. Saat itu terjadi kondisi pasti berbalik, dia menyerah. Siaal...nyebelin.
"Tuh, kan. Kamu lebih manis kalau tersipu daripada galak sama aku," bisik Maja malah menggodanya.
"Jangan deket-deket. Sempit nih." Cepat-cepat dia menghubungi Tari agar bersiap-siap. Meeting pagi harus berjalan.
Maja tertawa menyebalkan. Sepuluh menit kemudian kendaraan sudah berhenti dan mereka sudah tiba. Basri membukakan pintu untuknya sementara Maja berputar lewat pintu lain.
"Hati-hati, Nyonya. Saya akan menjemput jam lima sore nanti," senyum Basri.
"Terimakasih, Basri." Dia sudah berdiri menatap lobby kantor Graha Hadijaya.
Senyumnya merekah lebar serta dadanya berdetak tidak sabar. Tanpa sadar Maja memperhatikannya dari samping.
"Entah kenapa kamu hamil tambah cantik begini. Pusing aku," Maja menggandeng tangannya kemudian melangkah masuk. "Besok pakai flat shoes ya, Ya."
"Nanti dipikirin," langkahnya bersemangat.
"Pelan-pelan jalannya, Sayang. Kantor kamu nggak akan kemana-mana," Maja berusaha menahan laju langkahnya agar lebih lambat.
"Ssst, jangan sayang-sayang di kantor dong, Maja. Nanti kalau ada yang denger gimana?" bisik Daya.
"Pagi, Tuan...Nyonya," kepala security sudah tersenyum membukakan gate. "Apa kabar kalian?"
"Pagi, Pak Nanang. Kami baik. Pak Nanang tahu kan ini siapa?" tanya Maja sambil tersenyum dan melirik ke arahnya.
"Tentu, Tuan. Nyonya Dayana istri anda yang pagi ini terlihat segar sekali. Kenapa bertanya begitu?"
"Karena saya disuruh bisik-bisik sama dia. Takut ketahuan orang-orang kalau saya suaminya," kelakar Maja sambil meliriknya lagi.
"Maja, apaan sih?" dia mencubit lengan Maja saat Pak Nanang tertawa. "Sehat-sehat ya, Pak Nanang." Daya menarik lengan Maja menuju lift.
"Terimakasih, Nyonya. Senang sekali anda sudah kembali."
"Yaya, pelan-pelan. Lift VIP ada di situ, Sayang," Maja masih terkekeh geli.
"Kamu tuh kenapa sih. Kesel aku."
Beberapa karyawan melihat mereka dan tersenyum sembunyi-sembunyi sambil mengucapkan salam pada mereka. Daya fokus melangkah cepat masuk ke dalam lift. Di dalam Daya menghela nafas lega.
"Majaa...jangan konyol dong. Kamu itu Admaja Hadijaya."
"Aku senang hari ini, dan apa ya...lagi pingin aja," tangan besar Maja menggenggamnya erat. "Aku antar ya."
"Maja, please. Pleaseee...nggak usah nganter."
"Itu pernyataan, bukan pertanyaan," lift berdenting dan benar saja. Maja sudah melangkah lebih dulu hingga mau tidak mau dia menyusul juga.
Dahinya mengernyit aneh karena resepsionis di depan tidak ada. Kemudian lampu kantor yang gelap.
"Loh kok? Pada belum datang?" dia melangkah masuk berjalan di depan Maja. Terus berjalan di koridor dengan sedikit cahaya dari jendela luar.
Lalu langkahnya berhenti saat semua isi ruangan berteriak. "Surprisee!!! Welcome back home, Mba Dayaaa!!!"
Lampu-lampu dinyalakan serta seisi penduduk kantor keluar dari persembunyiannya. Melly dan Reza bahkan mengluarkan pop-up confetti. Daya berdiri terpaku tidak bisa mengucapkan apapun selama beberapa saat. Dadanya dibanjiri dengan kehangatan bertubi-tubi atas senyum bahagia dan tatapan rindu anak buahnya selama ini. Kemudian dia berusaha mengendalikan diri dan memasang wajah datar seperti biasa.
"Tari, saya nggak suka kejutan," matanya menatap Tari yang ekspresinya berubah. Kemudian senyum dia tarik lebar. "Tapi saya suka sekali dengan yang ini."
"Hhhhaaahhh...Mba Dayaa, bikin kita jantungan," riuh suara timnya yang tertawa lega membuat dia tertawa juga.
"Ini idenya siapa?" tanyanya masih tersenyum. Maja berdiri di sebelahnya dengan senyum yang sama.
"Ya, kita semua dong, Mbaa..." sahut mereka serempak.
"Sekalipun Mba Daya galak, tapi mereka termasuk saya kangen, Mba," ujar Fina polos dan ditatap tim yang lain terkejut karena kejujurannya.
Dia tertawa lagi. Ya, dia bahagia dan tidak mau menutupi. "Kalian sehat kan?"
"Sehat, Mba. Mba Daya juga glowing lho hari ini," sahut Melly.
"Melly kumat, Mba. Minta naik gaji," ledek Reza.
Matanya mencari Tari lagi. Biasanya mantan sekretarisnya itu banyak bicara, tapi kemana dia? Ah, ternyata Tari sudah berada di dalam ruang kerjanya. "Terimakasih buat segalanya selama saya nggak ada. Maja cerita semua sama saya dan bagus-bagus semua. What can I do without you, Team?"
"Nah, mangkanya kita dinaikin gaji ya, Mba," ledek Melly lagi.
"Saya pertimbangkan, kasih saya waktu cerna laporan P&L terbaru, okey."
"Assiiikk...beneran, Za."
"Silahkan makanannya dibawa ke ruang meeting. Kita tetap meeting pagi ya, lima belas menit lagi," dia tersenyum kemudian melangkah ke arah ruangannya.
"Ya, aku ke kantor ya," Maja berbisik dari belakang saat mereka tiba di depan ruangan. "Kayaknya Tari mau ngomong sesuatu sama kamu di dalam. Aku nggak mau ganggu."
Kepalanya mengangguk, kemudian dia merapihkan jas dan dasi Maja lagi. Menatap Maja dengan seluruh rasa yang dia punya.
"They love you, just like I do," bisik Maja kemudian mencium puncak kepalanya singkat.
"I love you too," bisiknya pada Maja.
Senyum Maja terkembang lebar. "See you, Sayang."
Dia menatap Maja yang berlalu bersama Agam. Kemudian dia melangkah masuk ke dalam kantor. Sikap Tari aneh sekali. "Tari?"
Tubuh Tari balik dan dia tahu kenapa Tari bersembunyi di ruangannya. Mata Tari sudah basah dengan air mata. "Maaf, Mba. Saya beneran seneng Mba balik. Maaf ya, saya nangis."
Refleksnya adalah melangkah dan memeluk tubuh Tari. Anak didiknya, seseorang yang selalu tulus peduli padanya. Sekalipun sikapnya tegas dan keras. "Makasih ya, Tari. Saya sudah baik-baik saja sekarang. Saya sudah balik."
Tangis Tari pecah lagi. Terbata-bata, Tari berujar bahwa dia benar-benar khawatir saat Daya menghilang. Tari mencari dengan segala macam cara. Tari juga yang berusaha keras menjaga kewarasan Admaja sambil bekerja keras bersama Reza dan Melly agar Digicom tidak mati. Dia tahu itu bahkan tanpa Tari perlu ceritakan.
"Sudah, sudah. Biasanya saya hanya biarkan diri saya menangis sepuluh menit atas apapun yang sedang terjadi pada diri saya. Setelah itu saya berhenti. Kamu juga harus praktekan hal yang sama, Tari. Karena tanpa menangis, saya tahu benar bahwa kamu cemas dan khawatir. Bahwa kamu sungguh peduli. Saya sangat beruntung memiliki kalian semua, keluarga saya di sini."
Kepala Tari mengangguk sambil mengambil tisu dari meja untuk menghapus air matanya.
"Kamu ke kamar mandi dulu sana. Wajah kamu berantakan," kekeh Daya. "Setelah itu saya tunggu di ruang meeting, okey?"
"Terimakasih ya, Mba."
"Saya yang terimakasih, Tari," senyumnya mengembang.
Tari pamit keluar dari ruangan menuju kamar mandi. Satu air mata yang dia tahan sedari tadi jatuh, kemudian cepat-cepat dia hapus. Seluruh ruangan dia sapu dengan mata. Tari merawat benar ruangannya, karena segalanya masih persis sama seperti ketika dia tinggalkan dulu. Bersih, teratur, rapih. Tas dia letakkan di kursi, kemudian dia berdiri menatap jendela besar yang tembus pandang ke arah dalam kantornya. Melihat timnya mulai sibuk bekerja. Senyum terkembang lebar. Untuk tahu bahwa dia sudah kembali, dia sudah benar-benar pulang dan menjejakkan kaki lagi.
Okey, Daya. Jangan sentimentil lama-lama. Work, work, work. Let's start.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro