Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Part 43 - What if

Ini part panjang banget karena keterusan. Enjoy!

***

Sudah hari kelima dan ayah Jan bisa dikunjungi. Kondisi dia dan Maja juga sudah membaik. Admaja masih harus menjalani rawat jalan, sama seperti dirinya sekalipun pada kasusnya bukan karena luka-luka. Lebih kepada kehamilannya. Mereka berdua sedang mengemasi barang-barang dan bersiap pergi menuju kamar ayah saat pintu ruangan mereka diketuk. Matanya menatap Maja mengira bahwa suaminya yang sedang menunggu seseorang. Kepala Maja menggeleng perlahan.

"Masuk," jawab Maja.

Sosok ayah Jan yang duduk dikursi roda lengkap dengan infus dan oksigen muncul bersama suster dan mama yang berada di belakangnya. Keterkejutan membuat dia melangkah mendekati ayah. "Loh, Pa? Daya baru saja mau ke sana."

Satu tangan ayah mengisyaratkan agar dia berhenti dan refleks tubuhnya menuruti. Ayah melepas masker oksigen dan memberikannya pada suster. "Apa kalian bisa meninggalkan saya bersama menantu saya?"

Semua orang mengerti hingga hanya mengangguk dan meninggalkan mereka berdua. Pintu sudah tertutup di belakang ayah. Sisa jarak mereka hanya tiga langkah saja. Sosok ayah yang biasanya berwibawa, kuat, serta tegas sirna. Mata ayah terus menatapnya. Ada banyak rasa bersalah, sedih, juga sesal yang membuncah pada manik mata itu. Hingga sosok ayah menjadi rapuh.

"Daya..."

Saliva dia loloskan karena sungguh dia tidak ingin situasi ini terjadi. Dia mendekat lalu menurunkan tubuhnya hingga bertumpu pada lutut. "Papa, tidak perlu bilang..."

"Tolong, biarkan saya bicara."

Mulutnya bungkam kaku, titik air mata juga mulai datang mengisi sudutnya. Dua tangan ayah menyentuh bahunya lembut.

"Kamu mirip sekali dengan Dany. Mata yang tegas dan tajam, juga cara bicaramu. Rambut hitammu mirip dengan ibumu, juga senyummu. Kamu cantik dan kuat sekali," ayah diam sejenak. "Saya melihatmu terluka dalam, kemudian bangkit dan tumbuh menjadi wanita yang mempesona. Seringkali saya berpikir untuk meminta Maja berkenalan denganmu. Tapi, saya merasa kami tidak pantas untukmu. Jadi saya selalu urungkan niat itu. Sampai akhirnya takdir membawamu ke rumah kami."

Setetes air mata jatuh di pipinya, juga pipi ayah.

"Saya yang bersalah. Karena urusan pribadi saya, keluargamu celaka. Kamu celaka." Suara ayah bergetar. Dia sendiri sudah tidak bisa menahan air mata yang terus jatuh satu-satu. "Tolong maafkan saya, entah kapan, maafkan saya." Ada jeda di sana. "Selamanya kamu akan selalu jadi bagian dari keluarga Hadijaya, anak Papa dan Mama juga."

"Mama...juga bilang begitu," bisiknya. Karena tidak tahan, dia memeluk tubuh ayah dan menangis di sana. "Jangan bilang apa-apa lagi. Semua sudah terjadi, Daya sudah maafkan semua."

"Saya sangat menyesal karena baru memiliki keberanian untuk bicara begini. Maafkan saya."

Kepalanya menggeleng perlahan sambil terus memeluk tubuh ayah. Awalnya, dia jatuh cinta pada keluarga ini, bukan dengan Admaja. Keluarga hangat, terbuka, persis seperti keluarganya dulu. Mama Fe yang selalu perhatian sekali, Adeline yang selalu mendukungnya, juga Papa Janadi yang diam-diam selalu melindunginya bahkan tanpa dia tahu. Lalu ketulusan Admaja dia bisa rasakan juga. Betapa laki-laki menyebalkan itu selalu keras kepala dan tidak mau pergi, terus berada disisinya.

Pelukan dia longgarkan. Air mata dia hapus seperti ayah yang sedang menghapus air mata juga. Kemudian dia tersenyum. "Daya sudah maafkan, Papa jangan minta maaf lagi," nafas dia hirup dalam. "Papa fokus pada kesehatan Papa. Maja mau bolos soalnya," kekehnya.

Ayah tersenyum lebar. "Ya, ya. Kalian boloslah dulu. Selama yang kalian mau. Yusri dan Agam akan tangani semua."

"Daya nggak mau bolos, tapi Maja memaksa," ujarnya.

"Apa kamu bisa dipaksa?"

Mereka tertawa. Pintu diketuk kemudian Admaja dan Mama masuk. Senyum keduanya lebar. Dia sudah berdiri saat suster membawa ayah pergi dari kamar. Mama ingin menyusul ketika Maja bertanya.

"Ma, aku nggak lihat Adeline dua hari ini?"

"Nanti Mama periksa. Tapi harusnya aman. Mama sudah minta Niko menjaga Adeline."

"Oh, oke."

"Kalian pulang ke rumah Mama kan?"

"Rumah aku dan Daya dong, Maa. Masa rumah Mama," jawab Maja.

"Loh, Daya nanti kehamilannya makin besar. Mama dan Bu Sarni yang akan jaga Daya. Kamu jaga dirimu sendiri. Sudah besar kan?"

"Loh, kok gitu?"

"Jangan merajuk. Nanti Mama ketukar antara kamu dan Adeline," Mama pergi dari sana.

Dia terkekeh melihat ekspresi suaminya.

"Kita pulang yuk. Aku minta Basri ke atas," ujar Maja mengabaikan kekehannya.

"Ke rumah Mama kan?" ledeknya.

"Enak aja. Rumah kita dong. Kamu harus mulai dekorasi kamar anak kita nanti."

"Anak kita tidur di kamar kita, Maja. Nggak bisa pisah kamar."

"Serius? Kita bisa jadikan kamar tamu yang letaknya di sebelah kamar kita buat kamar bayi, Ya. Tapi nggak sekamar juga."

"Mana ada. Aku nggak mau ya, pisah kamar sama anak kita nanti. Aku aja baru tidur sendiri setelah sekolah."

"Hah? Aku tidur sendiri dari bayi. Karena aku nggak mau ngintipin Mama Papa aku lagi ngapain."

"Maja, apaan sih ngomongnya."

"Loh, emang bener."

"Aku nggak mau debat ya, Maja soal ini," tegasnya.

"Aku lagi kompromi."

"Mulai lagi kan, kan."

***

Sudah dua hari Tari tinggal di tempat kakaknya yang lebih jauh dari kantor untuk menghindari Agam. Dia belum siap bicara pada laki-laki itu hingga dia meminta ijin pada Reza dan Melly untuk bekerja online. Sebagian dari dirinya percaya Agam tidak melakukan apapun yang Sherly bilang. Karena banyaknya pesan dan sambungan telpon yang dia tidak angkat dari Agam dua hari ini. Tapi tanpa dia bisa hindari, ada banyak 'bagaimana jika' atau 'mungkin saja' yang bercokol di kepala. Terlalu banyak.

Misal, bagaimana jika apa yang Sherly katakan benar. Apa dia sanggup kehilangan Agam? Hubungan mereka sedikit lagi akan memasuki jenjang pernikahan. Apa mungkin Agam hanya merasa nyaman dengannya? Mereka berteman sudah lama. Mungkin saja ucapan Sherly benar, Agam tidak memiliki perasaan istimewa dengannya. Hanya dua sahabat yang saling mengerti dan menghabiskan waktu bersama hingga salah mengerti perasaan masing-masing. Bagaimana jika dia hanya sebuah pelarian saja. Agam hanya takut jika dia tidak ada, maka Agam akan sendiri. Kesepian bisa membuat orang salah duga.

Hhhh...satu tangan memijit kepala. Ponselnya berdenting. Kakaknya, Mirna menghubungi.

Mirna: Aku pulang malam hari ini. Ada acara kantor. Kamu masak sendiri yah.

Tari: Iya, Mba. Aku udah gede lho. Nggak anak SMA lagi. Kamu ati-ati di jalan. Nanti pulang sama siapa?

Mirna: Tenang aja, aku juga udah gede lho <emoticon tertawa>

Suami kakaknya sedang dinas luar kota sudah dua bulan ini. Jadi kakaknya senang sekali saat tahu dia akan menginap beberapa hari. Kakaknya bahkan meminta dia tinggal lebih lama. Sudah pukul enam lebih saat dia mematikan laptop dan bersiap untuk memasak bihun instan untuk makan malamnya sendiri. Ponselnya berdering lagi. Mirna.

"Ya, Mba?"

"Dek, aku lupa bilang. Nanti akan ada orang kantor nganter barang ke rumah dan agak besar ukurannya. Jadi tolong bukain pagar dan terima paketnya ya."

"Di sini aman kan?"

"Pos satpam dua rumah dari rumahku, Deek. Aman kok di sana. Insya Allah nggak apa-apa."

"Biasanya ngasih tips berapa, Mba?"

"Enggak usah ngasih. Nggak apa-apa kok. Udah ya. Daa.."

Sambungan disudahi. Pikirannya sudah kembali pada masalah lagi. Kulkas dia buka untuk menyiapkan bahan-bahan. Sambil terus berpikir apa yang sebaiknya dia lakukan. Bersembunyi dan menghindar tidak bisa menjadi solusi permanen. Apalagi jika Mba Daya tahu, bisa dimaki-maki dia. Masalah itu dihadapi Tari, bukan berlari. Padahal Mba Daya juga menghilang ketika kemarin kan. Lah kenapa dia jadi membandingkan masalahnya yang sepele ini. Ah, Agam bikin otak gue konslet. Menyebalkaaan.

Bel pintu berbunyi tepat saat dia menyiapkan panci. Dia melangkah menuju pintu rumah lalu garasi.

"Paket ya?" tanyanya. Ketika dia mengintip ada seorang kurir membawa box besar dari sela-sela pagar rumah. Pagar dia buka namun wajah kurir tidak terlihat karena mengenakan topi, juga tertutup oleh dus besar itu. Mba Mirna beli kulkas apa gimana.

"Taruh di dalam aja, Mas. Saya nggak kuat angkatnya."

Laki-laki itu terus melangkah dan masuk melalui pintu ruang tamu yang terbuka. Dahinya mengernyit. Kok kurir pakai kemeja biru dan celana bahan? Apa karena kurir kantor? Kepalanya menoleh untuk memeriksa kendaraan kurir di luar. Tidak ada motor atau mobil yang bisa dia lihat. Aneh. Karena ingin semua cepat selesai dia menyusul laki-laki itu masuk ke dalam dengan pintu garasi yang dia buka lebar. Ya, agar jika dia berteriak masih terdengar. Pagar di kompleks perumahan ini rendah. Harusnya aman.

Dia sudah masuk ke ruang tamu dan melihat box besar itu sudah diletakkan di salah satu sudut ruangan. Tubuhnya berbalik untuk mengucapkan terimakasih dan meminta kurir pergi saat dia mendengar pintu ruang tamu yang ditutup dan dikunci. Matanya membelalak terkejut melihat siapa laki-laki yang berpura-pura menjadi kurir tadi.

"Kamu? Hrrghhh...nggak lucu tahu nggak," dengkusnya.

Nafas Agam hirup dalam. "Aku nggak ada niatan ngelucu karena tunanganku kabur tanpa dengerin penjelasan aku," kunci pintu rumah Agam cabut dan kantungkan di celana.

"Siniin nggak kuncinya."

"Kita ngomong dulu."

"Apa yang mau diomongin?"

"Omongan kayak di drakor kesukaan kamu yang ceweknya lebih percaya ke fitnah mantan pacar gila yang tokoh cowoknya aja udah lupa. Kemarin apa judul drakor yang kita tonton bareng itu?"

"Hrrghh...Agam. Kamu WA-an kan sama Sherly? Dan kamu peluk-peluk dia? Apa siy yang ada di otak kamu?" makinya.

"Kamu."

"Gimana?"

"Kamu tanya apa yang ada di otak aku. Aku jawab 'kamu.'"

"Aku nggak bercanda ya, Agam Prasetyoaji," nadanya sudah tinggi. Mereka masih berdiri berhadapan di ruang tamu.

"Aku sama seriusnya ya, Utari," nada Agam sama tegasnya. Ekspresi Agam serius sekali, tidak ada cengiran konyol atau perasaan menyesal karena berbuat salah di sana. Apa mungkin karena Agam memang tidak melakukan hal itu? "Sini, duduk dulu. Aku tunjukin chat aku sama Sherly."

"Nggak mau. Kamu mendingan minggat dari sini."

"Iya, aku minggat bareng kamu nanti." Ponsel Agam keluarkan dari saku celana. Layar ponsel dia buka dan dan serahkan ke Tari. "Baca."

"Nggak mau, kurang kerjaan," dua tangannya bersedekap lalu memalingkan wajah.

"Kenapa? Karena kamu salah sangka, Tari. Sherly chat aku beberapa hari yang lalu nanya kabar dan nanya aku ada dimana."

"Bohong."

"Liat sendiri, jangan emosi dulu," Agam menyodorkan ponselnya.

"Aku bilang nggak mau. Kamu peluk-pelukan sama dia."

"Kamu liat tanggal fotonya nggak? Liat nggak? Itu foto kapan?"

"Mana tahu," dia mulai melangkah masuk ke dalam. Mungkin Agam dia akan lempar panci biar pergi. Lengannya ditarik oleh Agam hingga mereka berhadapan. Bayangan foto laknat itu muncul lagi hingga air matanya meluncur satu. "Pergi, atau aku lempar panci."

Nafas Agam hirup lagi kemudian tanpa dia duga Agam melangkah ke dapur dan mengambil panci yang ingin dia gunakan untuk memasak dari kitchen island dapur bersih kakaknya. "Nih, mau pakai yang lebih besar? Aku nggak akan pergi."

"Jadi itu foto kapan hah?"

"Aku nggak tahu Sherly nunjukin foto yang mana ke kamu. Yang jelas aku sudah hapus semua foto aku dan dia di ponselku. Tapi aku yakin itu foto lama. Aku bisa cari di G-folder lama. Tapi apa perlu begitu? Kamu mau liatin satu-satu foto aku pacaran sama dia dulu untuk nemuin satu foto itu dan lihat tanggalnya? Mau begitu?"

"Kamu bohong lagi," nadanya masih tinggi.

"Astagfirullah. Dosa lho kamu nuduh-nuduh aku bohong tapi nggak ada buktinya. Coba buktiin ke aku kalau kecurigaan kamu benar." Agam masih berdiri di hadapannya. Bersikukuh dengan fakta yang dia bawa. "Mau kamu apa, Tari? Mutusin pertunangan kita hanya karena fitnah dari Sherly?"

Kepala menoleh ke samping tidak mau menatap Agam. Dia mengusap air mata kesalnya yang sedari tadi sudah jatuh saja. "Mungkin kamu salah sangka, Gam," nada sudah mereda.

"Salah sangka gimana?"

"Salah sangka soal nyamannya hubungan kita," dia menatap mata Agam lekat, mencari jawaban di sana.

"Hhfuuuuuh...aku pernah salah sangka sekali dan aku nyesel banget. Aku salah sangka soal kamu dan Dion, dan itu bikin aku nggak mau nanya ke kamu untuk memperjelas semuanya. Aku menyesal karena salah sangka itu, akhirnya aku jauh dari kamu dan nggak kejar kamu, Tari. Mangkanya aku nggak akan salah sangka lagi. Kamu pikir aku anak SMA yang nggak ngerti perasaan aku sendiri?"

"Kita temenan udah lama kan, Gam," nada dia kendalikan karena dia benar-benar mulai menangis. "Jadi mungkin kamu hanya ngerasa nyaman. Bukan..."

"Aku cinta sama kamu, Utari. Ya Tuhan aku harus gimana biar kamu percaya." Dua tangan Agam mengusap wajah dengan ekspresi bingung. Kemudian Agam menatapnya lagi. "Mungkin bahkan...aku udah lama suka sama kamu. Sejak kita sering ketemu dan curhat bareng. Sejak moment-moment sepiring berdua. Aku lebih ngerasa takut kalau kamu nggak ada daripada kalau Sherly nggak ada. Aku panik banget kalau kamu sakit, atau nggak makan, atau dimarahin Mba Daya," nafas Agam tarik lagi kemudian duduk di kursi tinggi. "Maybe I love you even before I know it."

Mata Agam menatap kosong ke depan. "Kamu itu...apa ya. Unik. Bersemangat, berapi-api, penuh energi dan selalu positif. Kamu pintar, banyak akal, galak juga. Mungkin ketularan Mba Daya. Tapi kamu cewek yang punya prinsip dan mandiri. Awalnya aku kagum sama kamu. Lama-lama, aku nggak bisa nggak jatuh cinta sama kamu, Tari."

Kepalanya menunduk saat air matanya jatuh lagi. "Dasar nyebelin. Aku nggak minta kamu gombal," kekehnya kecil.

"Liat aku sini. Hey, Utari. Liat aku apa aku bohongin kamu atau gombal barusan," ujar Agam serius sekali.

Dia menatap mata Agam lagi. Tidak ada sebersit pun kebohongan di sana. Hanya ada kesungguhan hati.

"Kamu yang bikin aku mau jadi lebih baik, Tari. Kamu yang bikin aku lebih berani dan punya sikap. Kamu yang bikin aku semangat untuk kejar karirku. Karena aku mau jadi seseorang yang pantas buat kamu."

"Wow, nice speech," dia tersenyum kecil.

"It is not a speech, and you know it. Promosi aku sekarang, segala jabatan yang aku dapat sekarang, itu karena kamu...untuk kamu, Tari."

Tari diam lagi. Mungkin saja Sherly mendengar itu semua dan ingin kembali karena tahu Agam sudah menjadi Head of division yang berarti masuk ke dalam jajaran petinggi di kantor Digjaya. Satu lapis dibawah Admaja. Kadang dia sendiri lupa perihal itu, karena sikap Agam yang tidak berubah sama sekali. Mobil yang masih sama, apartemen yang masih sama, sekalipun dia tahu bahwa itu semua karena Agam ingin mengumpulkan uang untuk membeli rumah yang akan mereka tempati nanti. Agam mencintainya demikian banyak hingga sungguh-sungguh berusaha mencukupi seluruh kebutuhannya. Titik air mata dia hapus lagi.

"Jadi?" Agam menatapnya dalam lalu mengenggam dua tangannya. Mereka berhadapan dengan Agam yang duduk di kursi tinggi dan Tari yang berdiri. "Kita menua bareng-bareng yuk. Banyak untungnya lho. Aku rela kamu nggak bisa masak, aku bisa diajak susah sekalipun aku nggak akan biarin kamu susah, rela juga kalau kamu lagi kumat perhatian sama Pak Maja daripada sama aku, rela ditinggal lembur atau dinas nanti. Aku low maintenance, very loyal, and crazy about you. Gimana?"

Senyumnya terbit diantara mata yang berkaca-kaca. "Aku jadi laper."

"What?" tatap Agam tidak percaya. "Tadi kamu dengerin aku nggak?"

Kepalanya menggeleng lalu melepaskan genggaman tangan mereka. "Nggak denger. Kamu udah kan nganter barangnya? Makasih ya, Pak Kurir," dia melangkah ke dekat kompor bersiap memasak. "Pintunya di situ," panci dia ambil untuk dia isi air.

"Paketnya belum dibayar, Mba," Agam terkekeh kesal lalu berdiri, berusaha menarik pinggangnya.

"Urus sama kakak saya." Dia menghindar cepat. "Aku belum maafin kamu, Agam. Dan ini rumah kakak aku."

"Mba Mirna udah ngijinin. Menurut kamu dia nggak mau dukung calon ipar budiman kayak aku?"

"Aku belum maafin," langkah mundur dia ambil karena Agam terus mendekat sambil tersenyum usil. "Agam, stop nggak. Aku beneran laper."

"Taruh dulu itu pancinya. Nanti jatuh lho."

"Ya tapi kamu stop dulu," dinding dapur sudah dia rasakan di punggung. Posisinya terpojok. Panci kosong dia genggam erat di dada, untuk membuat jarak antara tubuh mereka. Karena tubuh Agam sudah berada di hadapannya.

Saat seperti ini dadanya berisik sekali. Mungkin jika tidak ada panci di antara mereka, Agam bisa merasakan debaran jantungnya. Kepalanya mendongak dan mata Agam tersenyum hangat. Itu membuat dia makin salah tingkah lagi. Ya ampun, Tari. Apaan sih norak begini? Lalu Agam menggenggam tangannya dan menurunkan panci ke samping tubuh mereka, lalu kepala Agam menunduk untuk mencium bibirnya lembut. Semua tentang laki-laki ini terasa tulus, hangat, dan utuh untuknya. Selalu begitu sejak lama. Matanya hampir terpejam saat Agam melepaskan diri.

"Aku juga laper, kayaknya aku aja yang masak," bisik Agam.

Dia terkekeh bahagia. "Yang enak ya."

"Baik, Nyonya."

Agam menggandeng tangannya menuju counter dapur. Dalam beberapa saat mereka sibuk memasak dan saling bercanda lagi. Seperti biasa.

***

Dua hari lalu dalam perjalanan ke tempat Manggala.

Mobil mereka tiba di tempat parkiran yang sepi. Hanya ada tiga mobil di sana. Dado turun lebih dulu lalu laki-laki kedua juga turun. Mereka membuka bagasi sementara dia hanya bisa menatap bingung. Kacanya diketuk lalu pintu dibuka.

"Kita ganti kendaraan," ujar Dado yang sudah mengenakan pakaian yang berbeda. Tidak ada jas, kemeja dan celana bahan atau kacamata hitam. Hanya ada pakaian kasual kaus, jins serta sepatu kets. Satu anggota lain bahkan mengenakan aksesoris berlebihan.

"Kenapa pakaian kalian begitu?" tanyanya heran namun tetap keluar kendaraan.

Pintu mobil kedua dibuka lalu dia masuk dan duduk di belakang lagi. Mobil kedua adalah sedan yang tidak tergolong baru. Sudah ada penyok di bagian belakangnya. Dado dan rekannya sibuk memeriksa bagian dalam kendaraan. Matanya sekilas melihat ada senjata-senjata yang disembunyikan di dalam dashboard, bawah kursi dan pinggiran pintu.

"Dado, kamu belum jawab saya. Ada apa ini?" desaknya.

Kendaraan sudah melaju. "Ada prosedur yang harus dijalani saat ingin bertemu Manggala. Apa kamu bahkan tahu siapa Manggala?"

"Preman kan? Dia preman. Saya tahu tapi apa perlu begini?"

Dado menghela nafas sebelum melanjutkan. "Sebaiknya kamu bertanya sendiri pada Manggala tentang siapa dia? Apa posisinya saat ini dan berapa banyak daerah atau wilayah yang dia kuasai."

"Manggala nggak akan jawab. Kamu harus kasih tahu saya, Dado."

"Tuan Putri..."

"Jangan meledek saya," desisnya.

"Nona Adeline, Manggala adalah pimpinan tertinggi dunia bawah yang berarti dia menguasai seluruh area Jakarta dan beberapa area lain di sekitarnya. Manggala adalah penerus Bapak Besar, Iwan Prayogo. Anak buah dan musuh Manggala sama jumlahnya, sama-sama banyak."

Saliva dia loloskan, kemudian dia menyenderkan punggung karena tubuhnya sedikit kaku setelah mendengar penjelasan tadi. Dado menatapnya dari spion tengah, seperti tahu raut gusar yang sekarang sudah nampak jelas.

"Apa kita bisa putar balik, Nona?" tanya Dado. "Semua belum terlambat."

Bibir dia gigit. Karena itu Manggala bisa dengan cepat mendapatkan informasi tentang hilangnya Kak Daya. Lalu Manggala bisa selalu ada di saat dia dalam bahaya. Karena dia berada di daerah kekuasaan Manggala. Tapi rasa penasarannya makin membuncah dan adrenalin sudah terlanjur masuk ke dalam dada. Bagaimana ini?

"Apa ada prosedur lain?" nada suaranya nekat.

Dado menatapnya tidak percaya. "Ikuti saya saja nanti. Diam, tidak bertanya dan tundukkan kepala." Tangan Dado terulur untuk memberikannya topi, jaket besar, dan kacamata hitam. "Sembunyikan rambutmu dibalik topi."

Setelah itu dia berusaha duduk tenang sambil menatap jalanan yang mulai memasuki area perkampungan. Bukan jalanan besar. Bagusnya daerah ini tidak terlalu kumuh, sekalipun memang tidak sebaik lingkungan yang dia tahu. Dadanya sedari tadi sudah berdentum tidak beraturan. Adrenalin merasuk dan terus berputar di dalam perutnya hingga dia sedikit mual. Kendaraan terparkir rapih dekat dengan sebuah gang sepi. Ada sebuah warung rokok dengan dua orang sedang tertawa di sana.

Dado meminta dia turun dengan cara mengetuk kaca jendela. Jaket yang sudah terpasang belum dia kancingkan. Ketika sudah berdiri, Dado mengancingkan hingga ke atas jaket itu, kemudian memberikannya topi.

"Masukin rambut kamu ke dalam topi atau jaket. Kenakan ini juga," Dado mengulurkan masker sekali pakai kemudian kacamata hitam.

Melihat betapa serius ekspresi Dado, dia diam dan menuruti perkataannya. Mereka berjalan dengan dia berada di tengah diapit oleh Dado dan rekannya. Saat ingin memasuki gang, dua orang tadi berdiri lalu menghadang mereka.

"Tamu dari Brayuda," Dado mengeluarkan ponsel dan menunjukkan sesuatu entah apa di layar.

"Nggak bisa ketemu. Sibuk," salah satu laki-laki meludah ke samping.

"Oke, gue telpon Bang Yud. Lo ngomong sama dia," ancam Dado. Ponsel Dado tempelkan ke telinga dan sodorkan ke laki-laki tadi. "Nih, set*n lo berani-beraninya bantah Bang Yud."

Saliva dia loloskan dan dadanya makin terasa tidak karuan. Bukan hanya adrenalin, dia mulai dicengkram rasa was-was. Ini bukan rumah yang waktu itu dia sambangi, pasti. Belum sempat ponsel diambil, preman tadi hanya mengangguk lalu membiarkan mereka lewat. Dado menyimpan ponselnya lagi. Langkah diteruskan menyusuri gang-gang sempit dengan penduduk yang terlihat normal-normal saja. Tidak ada keanehan dari siapa yang tinggal di rumah-rumah kecil itu. Anak-anak kecil bermain di luar, juga ibu-ibu dengan daster yang mengobrol. Saat mereka lewat bahkan beberapa mengangguk dan tersenyum.

Mereka tiba di rumah kontrakan kecil yang dihuni oleh seorang laki-laki paruh baya. Sepertinya dia pernah melihat laki-laki ini. Siapa ya? Ah, Bapak penjaga warung saat Gala menolongnya dulu.

"Mau ketemu Aden?" Bapak itu tersenyum.

Dia melepas kacamata dan menurunkan masker karena merasa tidak sopan. "Iya, Pak."

Laki-laki itu hanya tersenyum mengangguk saat Dado sudah berjalan lagi. Rumah kecil itu ternyata memanjang ke belakang. Apik dan resik sekalipun benar-benar sederhana. Dalam hati Adeline apa rumah ukuran ini wajar? Apa satu keluarga bisa tinggal nyaman di rumah sekecil ini? Saat ini memang hanya ada bapak itu saja. Namun bahkan untuk satu orang rumah ini terlalu kecil.

"Hey, jalan. Jangan bengong," bisik Dado. "Pakai masker kamu lagi."

Pintu tadi sudah dibuka dan ada lorong dengan lampu remang-remang di sana. Hanya beberapa meter namun seperti tidak berujung.

"Ini beneran?" bisiknya balik.

"Sudah di sini, mau balik?" Dado berjalan duluan tidak sabar menunggu dia yang diam saja.

Nafas dia hirup dalam ketika mulai melangkah. Posisinya masih berada di tengah antara Dado di depan dan rekan Dado di belakang. Pada ujung lorong ada jalan belok ke kanan atau ke kiri. Mereka ambil kanan dan dia hanya mengikuti. Sungguh tidak mau bertanya ada apa di sebelah kiri.

'BUAK!' tiba-tiba tubuh Dado ditarik seseorang.

Kepalanya menoleh ke belakang rekan Dado juga sedang bergumul dengan satu laki-laki lain yang entah dari kapan ada di belakang mereka. Mereka sibuk berkelahi dengan tangan dan posisinya berada di tengah-tengah, terjepit.

"Jalan terus, Goro selalu gampang emosi," perintah Dado sambil masih menghindari pukulan dari satu laki-laki bertubuh besar dan liat.

"Sial lo!! Gue tahu lo bukan orang Bang Yud," suara laki-laki itu menggema di lorong. "Bilang lo siapa atau gue matiin lo!"

Jantungnya sudah pergi entah kemana. Kakinya hanya kaku, terpaku, berdiri di tempatnya menyaksikan itu semua. Tanpa sengaja topi serta kacamata hitamnya tersenggol dan jatuh karena tubuhnya terdorong dari belakang. Rambut panjangnya tergerai. Dia menutup wajah ketakutan. Lengannya disentuh seseorang kasar lalu maskernya dibuka paksa, hingga wajahnya terlihat. Saat itu, semua orang hanya berdiri tersengal menatapnya.

"Perempuan. An**g!! Ngapain lo bawa perempuan ke sini? G**lok!!" laki-laki bernama Goro terus memaki tapi berhenti memukul. "Mau ngapain ke sini?" tatap Goro padanya.

Wajah laki-laki itu memiliki guratan luka di pipi kanan, menyeramkan. Saliva dia loloskan lalu dia mengumpulkan sisa keberanian. Kepala dia angkat lalu balas menatap Goro. "Mau ketemu Gala, ada urusan."

"Nggak bisa. Dia nggak bisa ditemui. Enggak hari ini. Pulang sana, Perempuan!!" cemoh Goro padanya.

Entah karena apa, bukannya gentar dia makin berani. "Coba bikin saya pulang, kalau bisa," tantangnya nekat.

Tangan Goro sudah terulur ke lengannya ingin menarik tubuhnya pergi saat suara yang dia kenal tiba. "Goro. Gila lo!" Bam muncul dari ujung lorong yang pintunya sudah terbuka. "Mau tangan lo buntung?"

"Tamu nggak diundang harus diusir keluar. Sampah kaya nggak berguna!!" maki Goro lagi.

Dia diam namun dagu dia naikkan lagi.

"Del, ayok. Cepet sebelum Goro meledak kepalanya gara-gara emosi," ujar Bam. "Lo bedua tunggu di luar."

"Bam, dia harus kembali utuh dan tidak disakiti sama sekali. Atau...Bapak Besar turun tangan," Dado memperingatkan.

"Bawel! Lo pikir gue nggak tahu," dengkus Bam.

Dia berjalan cepat-cepat di sebelah Bam. Keluar dari pintu lorong dan tiba di pekarangan belakang rumah besar sekali.

"Lo ngapain sih ke sini, Del? Lo gila ya? Amel aja nggak pernah ke sini. Sakit lo dasar," mereka berhenti dan berdiri di pekarangan luas itu.

"Saya mau ambil jurnal saya."

"Tapi nggak bisa begini, Del. Lo tahu nggak kalau ini bahaya. Di sini adalah pusatnya bahaya, Del."

"Gala mana?"

"Nggak bisa ditemuin. Dia nggak mau ketemu lo."

"Bohong. Saya WA-an sama dia pagi ini."

"Gue ambilin jurnal lo, habis itu pulang. Okey? Jangan ke sini, jangan deketin Gala lagi, jangan balas pesannya, lo jauhin dia. Gue akan pastiin dia nggak hubungi lo lagi."

"Kenapa? Kasih tahu saya alasannya."

Belum sempat Bam membalas sudah ada seorang dokter laki-laki turun dari lantai atas dan berdiri di teras belakang yang menghadap ke pekarangan tempat dia dan Bam masuk tadi.

"Bam..."

"Dok..." Bam langsung menghampiri dokter yang tidak mengenakan jas dokter, hanya kaus, jins dan stetoskop saja. Ada luka memanjang di tangan dokter muda itu.

Mereka bicara dengan nada rendah dan sudah berpidah ke ruang tengah. Adeline mendengar nama Gala di antara pembicaraan kedua laki-laki itu karena refleksnya adalah ikut masuk. Wajah Bam serius sekali. Ruangan dia tatap, dua orang berjaga di pintu depan, satu orang berekspresi tidak menyenangkan. Tenang, Del. Bicara dengan Gala, ambil jurnal dan pulang. Tubuhnya berbalik dan melihat laki-laki bernama Goro yang bertubuh besar tadi sudah masuk bersama dua orang di belakang.

Dia melangkah minggir ke arah tangga. Goro menatapnya benci, tidak suka, entah kenapa. Mereka semua sudah berkumpul dekat dengan dokter muda tadi, mendengarkan sesuatu. Lengan kiri Goro dokter itu periksa dan dia baru sadar bahwa lengan itu membiru. Urat-urat nadi seperti menonjol keluar. Padahal tadi pukulan Goro kuat sekali. Matanya berkeliling lagi. Mereka semua berada di ruang tengah rumah besar dengan tiga lantai. Berdiri di bawah voyer tinggi hingga dia bisa melihat lantai-lantai atas dari railing yang berderet rapih. Rumah bergaya klasik dengan desain interior Italia. Bangunan berusia namun dirawat apik. Ada satu pintu yang terbuka setengah di lantai dua. Tidak jauh dari ujung tangga. Dia menatap para laki-laki yang masih serius mendengarkan dokter.

Kakinya diam-diam melangkah tanpa suara. Menapaki tangga hingga tiba di depan kamar tadi. Apa Manggala ada di dalam sini? Kenapa laki-laki menyebalkan itu belum keluar juga? Hembusan angin dari jendela-jendela besar yang terbuka lebar membuat daun pintu bergerak, hal itu juga membuat instingnya mendorong pintu perlahan. Ruangan itu besar, dengan meja kerja di tengah dan seluruh dinding tertutup dengan rak buku kayu kualitas terbaik. Bagaimana dia tahu. Karena ruangan ini mirip ruang kerja papa di rumah. Bahkan desain ruangan ini jauh lebih antik dan mewah dibanding milik papa. Lagi-lagi dia melangkah masuk. Hidungnya langsung bisa membaui wangi khas seperti kayu, musk, dengan perpaduan rempah-rempah. Wanginya Manggala. Ya, wangi ini sama seperti yang dia hirup saat dulu Gala menutupi kepalanya dengan jaket dan topi di kedai kopi. Suara erangan dari ruangan tidak berpintu di ujung sisi kanan membuatnya terkejut.

"Gala..." bisiknya. Makin penasaran dia melangkah lebih jauh menuju asal suara.

Satu ruangan yang menyambung dengan ruang kerja tadi sudah dia amati. Matanya membelalak terkejut karena tubuh Gala yang membiru di atas tempat tidur. Berbaring telentang dengan satu tangan menggenggam ponsel. Dia melangkah cepat masih tidak percaya. Gala pagi tadi masih membalas pesannya. Tapi kenapa sekarang begini? Tubuh Gala dibebat karena entah apa, dahi Gala berkeringat hebat. Urat-urat nadi kedua tangan Gala persis seperti lengan Goro tadi, membiru. Gala tidak sadarkan diri dan hanya mengerang saja.

"Gala, kamu kenapa?" dia duduk di pinggir kasur untuk memeriksa suhu. Tangan yang mampir dua detik di dahi Gala sudah dia angkat. Suhu tubuh Gala bukan hanya tinggi, tapi seperti terbakar.

"Jauhi dia!!" teriak suara laki-laki di belakangnya.

Tubuhnya ditarik oleh Bam menjauh. Dokter tadi sudah masuk bersama dengan Goro yang seluruh wajahnya merah. Goro membalik tubuh untuk menatap dan menyalahkannya. Belum sempat Goro berteriak padanya, laki-laki bertubuh besar itu sudah ambruk ke lantai.

"Goro! Bam, angkat Goro baringkan di sofa depan," perintah si dokter.

Seisi ruangan seperti tiba-tiba sibuk. Dia berdiri di pinggir dekat jendela saat ingatannya kembali kepada insiden papa dan Benny beberapa waktu lalu. Luka ini sama dengan luka papa saat tiba di rumah sakit. Dua hari setelah insiden itu, tubuh papa membiru, urat-urat menonjol dan terlihat jelas. Matanya menatap kondisi Gala yang sama, juga Goro. Dokter sedang memompa jantung Gala. Pikir Adeline, pikir. Bantu Gala. Tangannya gemetar saat mengangkat ponsel. Dia hanya tahu satu nama.

"Halo...Niko."

"Adeline, kamu sudah selesai?"

Air mata dia tahan namun gagal. Dia memindah sambungan menjadi video call dan menyorot kondisi Gala yang masih dipompa jantungnya. "Tolong Gala. Tolong dia...tolong," bisiknya sambil menangis.

"Diam di situ. Saya ke sana," ujar Niko tergesa. "Bilang Aryan saya bawa penawarnya."

"Lo ngapain? Telpon siapa?" teriak Bam merebut ponselnya.

Manggala muntah hebat mengeluarkan cairan hitam pekat. Kepala dia gelengkan sambil membungkam mulutnya. Bam kembali sibuk dengan Gala.

"Jangan sentuh cairannya. Itu racun," teriak dokter tadi.

Refleks dia mencari sesuatu untuk menutupi cairan hitam di lantai. Handuk. Ada kamar mandi tempat salah satu laki-laki mengambil baskom untuk Goro tadi. Dia masuk dan menyambar handuk lalu menutupi cairan hitam itu. Goro juga batuk-batuk hebat di sofa ruang kerja. Handuk-handuk yang ada di lemari penyimpanan dia ambil lalu dia berikan pada Bam dan satu laki-laki yang ada di sana. "Infeksi kata dokter di dalam. Tutupi mulutnya."

"Tas gue, sarung tangan!" teriak dokter di dalam.

Tas dokter yang tergeletak di meja kerja dia bawa ke dalam. Mencari apa yang dokter minta, lalu memberikannya. Dokter itu menatapnya. Wajah dokter ini familiar, dia pernah melihat sang dokter di rumah sakit MG.

"Adeline, tutup ruangan ini jangan biarkan siapapun masuk. Cari masker dan minta semua orang pakai. Minta handuk-handuk bersih dari luar dan letakkan di depan pintu. Kamu harus bantu saya, paham?" dahi dokter itu berkeringat."

Dia mengangguk cepat-cepat.

"Bam, bantu Adeline. Nggak ada yang masuk ke ruangan ini, Bam."

Bam berlari keluar untuk meminta anak buahnya mencari yang dibutuhkan. Sementara dia berdiri di sebelah tempat tidur. "Kondisi ini, persis seperti Papa saya."

"Sayangnya dokter dokter di MG berahasia setiap ada kasus langka tidak semua kami tahu. S**t!!" maki dokter itu yang masih memiringkan tubuh Gala agar laki-laki itu muntah lagi.

"Nama kamu...Aryan?"

"Ya." Dokter itu memompa dada Gala lagi. "Muntahin lagi, brengsek. Ada cewek di sini!!"

Gala muntah lagi dan dengan sigap dia sudah berlutut untuk menadahi cairan hitam itu dengan baskom.

"Kata Niko dia akan bawa penawarnya."

"Brengsek itu juga nggak bisa bilang dari awal soal reaksi racun ini. Hrrghhhh... pakai masker Adeline. Ada tiga di tas saya. Ambil."

Karena cepat-cepat, cairan hitam di dalam baskom menyentuh ujung jarinya. Dia berlari mencuci tangannya ke dalam kamar mandi lalu memakai masker dari dalam tas dokter Aryan. Juga memberikan masker pada dokter itu. Tubuh Manggala sudah dibaringkan lagi. Laki-laki itu masih tidak sadar. Dia sendiri duduk di kursi pinggir ruangan sambil menoleh ke arah Goro yang tidak sadarkan diri di sofa, dijaga salah satu laki-laki lain.

"Tadi pagi Gala masih balas pesan saya," ujarnya pada dokter Aryan yang juga sudah duduk mengatur nafas sambil menatap Gala.

"Laki-laki itu selalu bodoh kalau soal perempuan. Mau yang kuat, paling berani, paling sakti, bu****t kalau udah soal cewek jadi bego semua. Mangkanya mereka semua alergi sama kamu," kepala Aryan menggendik ke luar.

"Darimana kamu tahu nama saya?" dia berinisatif menuangkan air dari teko tertutup di dekatnya. Lalu menyodorkannya ke Aryan.

"Kamu terkenal," kekeh Aryan. Mengucapkan terimakasih atas air tadi lalu meneguknya. "Saya dokter resmi di MG, biasanya nggak ngurusin bajingan-bajingan ini. Tapi, sudah dua bulan saya ditugaskan ke tim yang baru. Mereka butuh saya dan saya sudah disumpah harus menolong siapapun. Lagian dulu juga saya bajingan."

"Dia nggak bajingan, dia tolong saya," matanya menatap Gala sedih.

"Bajingan yang itu emang beda sendiri. Tapi bukan berarti dia nggak bajingan. Kamu belum tahu aja kalau mahluk itu lagi kumat gila nya," gelas yang sudah kosong Aryan letakkan di meja.

"Saya pernah lihat..." saliva dia loloskan. "...dia bunuh penjahat."

"Bagus, paling enggak dia nggak pura-pura suci depan kamu. Mukanya kayak malaikat pencabut nyawa begitu. Susah diumpetin." Aryan diam lagi. Mereka berdua menatap Manggala yang terbaring masih tidak sadarkan diri. "Tapi dia nggak bagus buat kamu, Adeline. Saya serius, jauhi Manggala. Ini demi kebaikan kamu," mata Aryan menatapnya dalam. "Apapun yang mulai kamu rasa. Abaikan. Lupakan. Entah penasaran, entah kasihan, entah suka. Jangan peduli dengan itu semua. Pikirkan masa depan kamu."

Tenggorokan dia basahi lagi. "Kenapa?"

"Kamu bertanya kembali," kekeh Aryan. "Itu satu tanda bahwa kamu sudah tertarik dengan bajingan itu."

"Saya hanya tanya kenapa. Semua orang bilang hal yang sama. Saya mau tahu jawabannya."

Nafas Aryan hirup dalam. "Kamu tahu istilah Manggala apa di luar sana?"

Kepalanya menggeleng perlahan. "Saya nggak mau dengar."

"Setan malam," ujar Aryan padanya.

Sekelabatan memorinya memutar huruf yang terukir di dalam jaket Gala dulu. Huruf latin emas, kecil di bagian dalam bawah jaket. Diabo da noite. Dia mencari di translator malam harinya. Arti dari kalimat itu adalah iblis malam. "Dia nggak kelihatan...berbahaya kalau sama saya. Maksud saya, pesan-pesannya normal saja."

"Itu bukan sembarang julukan, Del. Jangan tertipu dengan sosoknya. Orang yang sudah dia tandai, tidak ada yang bisa lepas darinya. Dia bergerak sendiri, diam-diam, tanpa jejak sama sekali. Namanya Manggala kalau siang begini. Jika malam dan dendamnya bangun, dia bukan laki-laki yang kamu kenal lagi."

Tanpa dia mau bulu romanya berdiri. Membayangkan apa yang dokter Aryan katakan berusan. Bam yang muncul membuat mereka menghentikan pembicaraan mereka. "Niko sampai. Elo yang telpon Niko?" Bam menatapnya marah. "Dia bakalan ngamuk kalau bangun nanti dan gue akan bilang kalau elo yang panggil Niko ke sini."

"Dan mungkin saja, Adeline juga yang menyelamatkan dia, karena Niko bawa penawarnya," Aryan sudah berdiri menatap galak pada Bam. "Minggir. Lo ngalangin" Kemudian kepala Aryan menoleh pada Adeline. "Jaga dia dulu, Bam nggak becus ngurus orang sakit. Berantem doang bisanya."

"Monyong lo," sambung Bam.

"Nggak ada yang boleh ke luar dari ruangan ini dan gue serius. Kalian ada kemungkinan terinfeksi karena terpapar racun itu, sama kayak gue," dokter Aryan pergi dari ruangan menuju ruang kerja sebelah.

Kali ini ada dia dan Bam yang berdiri menatap sahabatnya.

"Bam, kenapa Gala bisa begini?"

"Gara-gara lo. Semua gara-gara lo," bisik Bam tidak meninggalkan pandangannya pada Gala. Laki-laki itu kemudian duduk di pinggir kasur menghadap dia yang masih duduk di tempat yang sama.

"Gimana ceritanya?" Adeline berusaha bersabar atas sikap Bam.

Mata Bam menatapnya dalam. "Dia kejar dan bunuh semua orang-orang suruhan Benny setelah tahu lo mau dibunuh sebelumnya. Masalahnya dia nggak bilang sama kita semua, dia sendirian ngelakuin itu. Dasar begooo, begooo. Goro yang tahu duluan karena sadar dia ngilang pas tengah malam. Goro ngikutin diam-diam dan kena sabet senjata si ban** itu. Dia kena tusuk. Mereka baru sadar bahwa senjata itu ada racunnya satu hari setelahnya," nada suara Bam tercampur antara gemas, marah dan berduka. Dua tangan Bam usap ke wajah. "Kalau dia mati, kita semua mati. Dia pelindung kita selama ini, Del. Gue nggak peduli dia gimana kalau lagi kumat. Dia sahabat gue dari kecil, dia saudara gue."

"Kita?"

"Ya, kita. Kelompoknya dan sebagian besar warga miskin di kota ini." Bam menatapnya lagi. "Pergi, Del. Lo bisa jadi kelemahannya."

"Saya nggak ada hubungan apa-apa sama dia, Bam."

"Belum, belum ada. Atau sudah ada, tapi lo berdua pada bego aja. Lo perempuan pertama yang...ah udahlah. Pokoknya lo harus pergi. Gue serius, lo harus pergi. Bukan demi diri lo, tapi demi orang-orang yang dia lindungi selama ini. Kita semua di sini dan di luar sana."

Sebelum dia sempat berujar, dokter Aryan sudah kembali membawa satu koper hitam berukuran sedang dan koper biru keperakan dengan logo ID Tech. "Bam, kasih Adeline kaus bersih dan handuk-handuk yang lo cari tadi. Siapin Goro di luar. Setelah Gala, habis itu gue urus Goro."

Bam berdiri, menyerahkan ponsel miliknya yang tadi Bam rebut paksa, kemudian pergi dari sana. Dokter Aryan sudah mulai bekerja saat ponselnya berbunyi.

"Angkat, Del. Itu Niko. Setelah itu bantu saya."

Ponsel dia angkat dan suara Niko sudah di sana. Sebelum bicara Niko bahkan sudah menghembuskan nafas berat. "Kamu harus belajar menuruti seseorang, Young Lady. Karena saat ini kamu tidak bisa kemana-mana sampai Aryan bilang kamu tidak terinfeksi dan paling cepat itu besok pagi."

"Saya nggak tahu bisa jadi begini," bisiknya.

"Saya sudah bilang ke kamu, bertemu Manggala itu berbahaya."

"Tapi dia sudah bantu saya, Nik."

"Saya tidak mau berdebat. Tetap di sana dan ikuti arahan Aryan. Semoga kamu belajar dari kejadian..."

"Nggak ada juga yang mau pulang lihat Gala begini. Apalagi tahu kalau ini gara-gara keluarga saya!! Bye, Nik," potongnya kesal.

Dia berdiri menatap Aryan yang sibuk dengan Manggala. Ponsel dia letakkan di meja, rambut dia kuncir tinggi. Kemudian mulai membantu Aryan menangani Manggala dan Goro di luar. Jika dia harus tinggal di sini sementara, dia akan tinggal di sini. Tidak ada siapapun yang bisa membuat dia keluar dari sini sebelum Manggala sembuh.

***

Nah, udah tahu kan dimana Adeline sekarang. Ini gue keterusan euy nulis Gala-Adeline. Nanti dilanjut di cerita mereka aja ya. Eh, emangnya ada? Siap-siap part-part terakhir yang mungkin aja malah makin tegang. Loh.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro

Tags: #romance