Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Part 41 - Eventually

Mata Daya sulit terpejam malam itu. Sementara Admaja sudah terlelap karena pengaruh obat-obatan yang masih diberikan pada Maja melalui selang infusnya. Mereka berada pada satu kamar rawat dengan dua tempat tidur pasien berdampingan. Maja keras kepala sekali karena mengancam dokter Reyn untuk tidur di sofa kamar rawatnya jika kamar mereka tidak disatukan. Dasar kekanakkan.

Karena masih tidak bisa tidur dia duduk di pinggir tempat tidur pasien. Memperhatikan wajah Maja yang lebam-lebam biru. Lengan Maja terulur dekat dengan tempatnya karena sebelumnya Maja terus bersikukuh menggenggam tangannya sekalipun mereka bersebelahan. Hingga akhirnya Maja lebih dulu tidur dan genggaman tangan mereka terlepas. Cincin pernikahan mereka juga masih melingkari jari Maja. Sementara miliknya dia tidak bisa mengingat kemana.

Dia mencintai laki-laki ini lebih besar dari seluruh amarahnya sendiri. Kesadaran itu datang saat melihat Maja berada dalam bahaya. Bukan bahaya biasa, bahaya yang bisa mengancam nyawa. Maja seolah tidak peduli dengan apapun. Termasuk dengan semua pukulan yang Maja tidak bisa hindari. Setelah pertemuannya dengan mama Fe tadi, dadanya mulai terasa lapang. Apa ini rasanya berdamai dengan masa lalu?

Tas miliknya tergeletak di meja sebelah tempat tidur pasien. Perlahan dia mengambil ponsel yang M berikan padanya. Baterainya masih ada. Satu demi satu pesan yang dia telusuri. Ada ribuan pesan yang belum terbaca. Ya, sudah berbulan-bulan dia menghilang dari pandangan orang-orang terdekatnya.

Admaja: Aku baru saja tahu tentang segalanya. Sungguh, jika aku bisa aku akan lakukan apa saja agar kecelakaan itu tidak terjadi. Maafkan aku, Daya.

Admaja: Tolong hubungi aku, Ya. Please. I'm begging you.

Admaja: Saya akan menemukanmu, Daya. Dimanapun kamu berada.

Pesan Maja datang setiap hari. Bahkan di saat-saat awal, Maja mengirimkannya pesan hampir dua jam satu kali. Satu demi satu pesan itu dia baca. Butuh beberapa waktu hingga pesan terakhir kemarin.

Admaja: Mungkin ini tidak pantas. Tapi aku masih menunggu, Ya. Besok aku akan pergi ke makam kedua orangtuamu dan berharap kita bisa bertemu. Jika bukan untuk kembali padaku, aku sudah cukup puas dengan hanya melihatmu dari jauh.

Air matanya jatuh satu. Nafas dia hirup dalam kemudian dia beralih ke pesan dari Tari yang sama banyaknya.

Tari: Mba Daya gimana kabarnya? Kami semua di sini benar-benar khawatir.

Tari: Mba, kalau saya bikin salah bilang aja. Tapi jangan nggak ngabarin begini ke saya, Mba.

Tari: Saya kangen Mba dan benar-benar khawatir. Cengeng karena setiap saya lihat ruangan Mba pasti saya nangis.

Tari: Mba Dayaa..balik dooong, Mbaa. Saya nggak masalah nggak dinaikin gaji.

Senyumnya mengembang tapi air matanya terus jatuh membaca perhatian Tari pada pesan-pesannya.

Tari: <mengirim foto Admaja yang sedang duduk di kursi dalam ruangannya dan memandangi jendela> Pak Maja setiap hari Rabu pasti ke sini. Itu hari pertama Mba dan Pak Maja nge-date kan? <emoticon menangis>

Pesan dari Tari terus berlanjut. Dari mulai menanyakan kabar, bilang kangen, melaporkan kondisi Digicom dan semua yang terjadi di sana, juga foto-foto Maja. Bagaimana Maja selalu datang ke ruangannya, atau tatapan Maja yang kosong setelah selesai meeting, atau makanan-makanan Maja yang jarang disentuh oleh Maja sendiri. Selain itu pesan dari kolega-kolega kerja yang dia lewati. Pesan dari Agam yang isinya hampir sama, dan pesan dari Fina – sekretaris Maja yang baru. Karena tertarik, dia membaca pesan itu.

Fina: Maaf, Bu. Saya mungkin belum terlalu kenal Ibu. Tapi saya sekarang adalah sekretaris Pak Maja. Mba Tari bilang saya boleh kirim pesan ke Ibu dan laporkan bagaimana kondisi Pak Maja yang makin hari makin bikin saya sedih.

Fina berkata bahwa Maja selalu pulang larut malam, bahkan dini hari terkadang. Maja berhenti bicara pada ayahnya, Maja juga kembali tinggal di apartemen pribadi Maja. Terkadang Fina seperti mendengar suara Maja merintih jika malam dari dalam ruangan. Tapi Fina tidak berani mengganggu dan malahan menangis menunggu di luar ruangan. Agam juga sudah kembali dari Surabaya dan berusaha menemani Maja. Tapi Maja seperti raga tanpa jiwa. Begitu kata Fina.

Setelah selesai dari pesan Fina, dia menelusur lagi lalu matanya tertumbuk pada pesan dari mama Fe dan ayah Jan. Pesan dari ayah Jan dia baca.

Papa Jan: Saya bukan seseorang yang pandai mengungkapkan perasaan saya. Tapi saya ingin kamu tahu bahwa saya benar-benar menyesal atas segalanya. Saya menyayangi dan menghargai kamu bukan hanya karena rasa bersalah saya. Tapi juga karena kamu adalah salah satu wanita hebat yang bisa berdiri sendiri. Semoga kelak kita bisa bertemu, sehingga saya bisa memohon maaf padamu atas segala hal yang saya tidak ceritakan sedari dulu. Selamanya, kamu akan selalu menjadi bagian dari keluarga Hadijaya.

Nafas dia hirup panjang dan dalam. Kemudian dia hembuskan. M benar, bahwa banyak orang yang menyayangi dia selama ini. Karena tulus hati itu bisa dia rasakan dari tiap pesan mereka. Ayah Jan masih belum bangun. Tapi dia sudah tahu apa yang akan dia katakan jika beliau sadar nanti.

Pintu kamar diketuk lalu dibuka perlahan. "Permisi, kontrol malam," suara suster menghentikan lamunannya.

Ponsel dia letakkan kembali sambil menghapus air mata. "Malam, Sus."

"Saya harus periksa tensi, obat dan infus," jelas sang suster. "Ibu harus tidur. Istirahat yang cukup sangat baik untuk Ibu dan bayi Ibu. Apa Ibu kesulitan tidur?"

Kepalanya mengangguk sambil kembali kepada posisi tidur. Suster itu dengan hati-hati memeriksa Maja terlebih dahulu. "Bagaimana kondisi suami saya, Sus?"

"Stabil. Padahal luka-lukanya cukup mengkhawatirkan," jawab sang suster.

"Separah apa?" suster itu sudah beralih untuk memeriksanya.

"Sepuluh jahitan karena sabetan benda tajam. Bagusnya pisau itu tidak tertancap di anggota tubuh Pak Maja."

"Bagaimana dengan kondisi Ayah Janadi? Dimana beliau?"

"Ruang ICU. Beliau belum bangun setelah operasi kemarin."

"Apa yang terjadi dengan Ayah Jan?"

"Beliau tidak seberuntung anaknya. Pisau itu menancap dalam di bahu Bapak Jan dan beliau kehilangan banyak darah. Tindakan cepat memang sudah dilakukan, tapi beliau belum sadar." Suster bicara sambil memeriksa kondisinya. "Sudah larut malam, sebaiknya anda tidur."

"Apa Ayah Jan akan baik-baik saja?" dahinya mengernyit khawatir.

"Dokter Reyn akan menjelaskan besok. Kontrol malam sudah selesai. Silahkan beristirahat, Nyonya. Saya pamit dulu," suster itu pergi setelah pamit sopan.

Daya kembali membaringkan tubuhnya pada tempat tidur pasien. Tubuh dia miringkan sedikit agar bisa menatap Maja yang masih tidur dengan tenang. Tempat ini bukan tempat favoritnya. Tapi entah kenapa dia merasa lebih damai setelah berbulan-bulan seperti tertekan. Tanpa sadar tangannya terulur hingga ke pinggir tempat tidur Maja, ingin meraih atau menyentuh tangan Maja. Sedikit demi sedikit kantuk mulai datang. Matanya perlahan terpejam sambil terus menatap laki-laki yang dia cinta. Semoga ini bukan khayalannya, semoga ketika terbangun nanti, Maja benar-benar terus ada di sisinya.

***

Suasana pemakaman mendung kelabu. Dia menggenggam dua buket bunga yang memang sudah dia siapkan sedari pagi. Tidak ada siapa-siapa, hanya dia dan dua nisan dihadapannya. Gemuruh seperti datang menemani, namun dia terus berdiri dan menanti Dayana tiba. Padahal dia tahu itu sia-sia. Kemudian suara tembakan keras dia dengar dari arah parkir mobil. Entah kenapa kakinya berlari dan berlari lagi hingga dadanya berdetak tidak beraturan. Langkah itu berhenti karena pemandangan dihadapannya. Tubuh Daya tergeletak di sana.

"Daya!!" dia terbangun dan refleksnya adalah menoleh ke kanan dan kiri.

Kepanikan tiba-tiba melanda karena dia melihat tempat tidur Daya yang kosong. Tubuhnya masih terasa benar-benar sakit, tapi dia berusaha berdiri saat tiba-tiba adiknya masuk dari arah pintu.

"Dimana Daya?" tanyanya tanpa basa-basi.

"Kak Daya lagi periksa. Kakak mau kemana?" tanya Adeline heran.

Bisa jadi adiknya berbohong karena tidak ingin dia panik. Tiang infus sudah dia geser dan langkah dia mantapkan. "Dimana periksanya?"

"Ya Tuhan, kumat lagi deh. Kak Daya beneran lagi periksa bareng suster dan Mama. Sekalian lihat Papa dan nengok dokter Linda," jelas Adeline. "Kamu bangun kesiangan sih."

"Dimana, Del? Jawab aja susah amat."

"Ih sakit-sakit galak lagi. Aku aduin ke Kak Daya lho."

"Del, aku nggak bercanda." Matanya menatap Adeline. "Ck, percuma. Aku tanya sama suster di luar."

Adeline dengan sigap memijit tombol suster hingga belum sampai pintu, suster jaga sudah ada di sana menghalanginya.

"Selamat pagi. Apa Tuan sudah sarapan?" tanya suster sopan.

"Pagi, Sus. Saya ingin mencari istri saya."

Sang suster tersenyum lagi. "Istri anda sebentar lagi kembali ke sini. Dia kesulitan tidur dan bangun pagi-pagi sekali. Harusnya pemeriksaan sudah selesai."

"Bagaimana kondisi Daya? Dia sedang hamil."

"Anda harus duduk dulu, Tuan. Mari saya bantu," sang suster menggenggam lengannya. Seperti paham jika kepalanya mulai berputar.

Sisa-sisa pengaruh obat sungguh menyebalkan. Mau tidak mau dia mengikuti suster dan duduk kembali di pinggir tempat tidur. "Kondisi saya baik. Saya harus melihat istri saya."

Kepala suster menggangguk. "Ya, sebentar lagi anda akan melihatnya. Kondisi istri anda baik. Memang masih- belum terlalu berenergi dan butuh banyak nutrisi. Tapi emosinya sudah sangat stabil. Dokter Reyn akan berkunjung siang ini untuk bicara lebih banyak."

"Del, tolong carikan ponselku," ujarnya tidak peduli. Sungguh mimpi tadi benar-benar terasa nyata. Bahaya yang mereka hadapi juga nyata.

"Ya ampun, Kaak. Kak Daya nggak kemana-mana."

Belum sempat dia protes, pintu diketuk kemudian terbuka. Niko Pratama bersama Arsyad Daud masuk. "Selamat pagi, Maja."

Sang suster pamit undur diri. Dia membalas salam Niko sopan kemudian meminta adiknya untuk mencari Daya dan memastikan istrinya baik-baik saja. Adeline hanya menurut dan keluar ruangan. Arsyad Daud berdiri menatap ke sekeliling seperti memeriksa. Tatapan mata anak tertua dari keluarga Daud itu selalu siaga. Niko sendiri duduk di kursi dekat dengan tempat tidurnya.

"Kita butuh bicara pribadi denganmu," ujar Niko.

Suara pintu kamar yang dikunci oleh Arsyad membuat dia mengerti bahwa pembicaraan mereka akan menjadi serius sekali. "Ya, saya mendengarkan."

"Bagaimana kondisimu?" tanya Niko lagi.

Dia terkekeh kecil sambil menatap Niko. "Basa-basimu buruk sekali, Nik."

Niko tersenyum juga. "Sorry-sorry. Berada bersama Arsyad bikin gue selalu tegang. Syad, lo bisa tenang sedikit kan?" kepala Niko menoleh pada Arsyad yang mimiknya selalu serius.

Arsyad diam saja tidak menanggapi.

"Apa Benny sudah tertangkap?" tanyanya penasaran.

"Sayangnya belum," jawab Niko. "Tapi Benny sudah menjadi urusan kami semua."

"Siapa kami yang kamu maksud?"

"Saya, Arsyad, dan orang-orang yang terkait. Benny bukan orang sembarangan, Maja. Kita di sini untuk memeriksa dari saksi lain atas apa yang terjadi kemarin. Saya akan kasih beberapa pertanyaan. Semoga kamu bisa mengingat kembali sekalipun mungkin itu tidak nyaman."

"Nggak perlu basa-basi, Nik. Apapun asal Benny tertangkap dan tidak mengganggu keluarga Hadijaya lagi. Terutama Daya."

Kepala Niko mengangguk. "Waktu kamu tiba dan berkelahi dengan orang-orang itu, apa kamu mungkin tidak sengaja melihat ada tanda di leher mereka?"

Dia mencoba mengingat seluruh perkelahian itu lagi. "Ada tato di lengan salah satunya. Tapi di leher..." pikirannya berputar. "Nggak ada. Saya yakin."

"Masih ingat bentuk tatonya?" sambung Niko.

"Tato abstrak. Seperti gambar api, kepala harimau..." dia diam sejenak. "Tanda infinity kecil."

Wajah Niko menatap Arsyad yang sudah mengernyitkan dahi.

"Apa tanda infinity ada di kedua orang itu?"

Kepalanya menggeleng. "Hanya satu, yang menusuk saya dari belakang."

Ponsel Niko keluarkan lalu menunjukkan gambar sebuah belati panjang yang mata pisaunya memiliki bercak darah. "Tandanya seperti ini?"

Gambar dia cermati. Ada tanda infinity terukir pada ujung belati yang gagangnya terbuat dari kayu. "Ya, benar. Ini tanda yang sama." Ayah juga ditusuk belati. Apa ini ada hubungannya? Dia mengalihkan pandangan dari gambar itu. "Belati yang menusuk Papa. Apa kalian sudah periksa?"

Niko menggeser layar dan menunjukkan gambar belati kedua. Sama persis bentuk, ukuran dan ukirannya. Namun bercak darah di sana lebih banyak, menutupi mata pisaunya.

"Apa hubungannya dengan Benny?" tanyanya tambah penasaran.

Ponsel sudah Niko simpan lagi. "Kami sedang selidiki."

Sebagai pebisnis ulung dia paham benar mimic wajah seseorang yang sedang menyembunyikan sesuatu. Sebelum dia sempat bertanya kembali, Niko lanjut bicara.

"Selain tato, apa ada hal lain yang aneh?" tanya Niko.

"Maksudnya?"

"Mungkin kamu mendengar sesuatu yang membuat suasana lebih...aneh?" Niko seperti kesulitan menjelaskan maksudnya.

Dia diam lagi mencoba mencerna apa maksud dibalik pertanyaan Niko. Petunjuk apapun yang bisa membantu pasti akan dia berikan. Jadi dia berusaha menjabarkan seluruh suasana saat kejadian itu berlangsung. "Suasana terlalu sepi. Hampir seperti tidak ada suara kendaraan padahal letak pemakaman tidak terlalu jauh dari jalanan utama. Mendung, tapi belum terlalu sore. Angin terlalu dingin menurut saya. Daya berteriak meminta tolong, tapi tidak ada yang mendengar. Seperti...saya dan Daya berada di area yang terisolasi. Padahal kami di luar." Dia berusaha mengingat lagi. "Itu saja harusnya."

Nafas Niko hirup panjang sementara Arsyad Daud mendengarkan dengan cermat dan tenang. "Kamu mendengar suara seseorang bergumam, atau berbisik, atau bersenandung lirih?"

Kepalanya menggeleng perlahan. "Tidak ada. Mungkin karena saya sibuk melawan. Apa kaitannya semua pertanyaan janggal kamu dengan Benny, Nik?"

"Kami sedang selidiki, Maja."

"Tapi apa yang kalian curigai?"

Niko menatap Arsyad lagi yang menggelengkan kepala perlahan. "Maaf, Maja. Kami tidak bisa..."

"Benny mencelakai keluarga saya. Harusnya itu saja sudah menjadi alasan yang cukup kuat agar kalian bisa berbagi informasi pada saya. Agar saya bisa melindungi keluarga saya," ujarnya tegas.

"Informasi yang tidak lengkap akan berujung pada asumsi yang salah. Juga pada ketakutan dan kecemasan yang tidak perlu. Kamu harus tenang untuk menemani Dayana, istrimu yang sedang trauma dan hamil. Percaya pada saya bahwa satu pekerjaan itu tidak akan mudah. Istri saya memiliki trauma dalam juga. Jadi maaf, Maja. Saya tidak mengijinkan Niko membagi informasi apapun yang belum lengkap," Arsyad angkat bicara setelah sekian lama hanya diam saja.

Saat seperti ini aura Arsyad seperti memancar keluar begitu saja. "Kamu bisa mengatasi Sabiya dan menyelesaikan konflik keluargamu. Kenapa menurutmu saya tidak bisa?" ada ego-nya yang terusik karena ucapan Arsyad.

"Menurutmu, apa alasan saya pergi menjauh dari negara ini bersama Sabiya? Untuk saya? Bukan. Saya dilatih seumur hidup saya untuk menghadapi bahaya, tapi tidak pengalaman dalam menghadapi wanita yang trauma. Adik saya, Hanif Daud yang memiliki keahlian itu. Jadi saya menjauhkan Sabiya dari tempat bahaya agar saya bisa fokus menjaga dan menemani dia." Arsyad memberi jeda sambil menatapnya tegas. "Apa kamu bisa meninggalkan negara ini untuk sementara bersama Daya, Maja? Ayahmu masih tidak stabil. Adeline belum cukup pengalaman untuk mengambil alih Digjaya. Jadi biarkan kami yang menangani bahaya itu untukmu. Kamu cukup fokus pada kesehatan Dayana. Apa saya jelas, Maja?"

Nafas dia hela. Kalimat Arsyad banyak benarnya.

"Nafsu dan emosi untuk membalas bisa menghilangkan logika serta fokusmu. Kami pasti akan memberi tahumu jika ada sesuatu yang akan membahayakan keluargamu, Maja. Tapi untuk sementara ini Benny akan kami buru. Jadi dia tidak bisa mengancammu lagi."

Tatapan mata Arsyad tegas dan tidak tergoyahkan. Anak tertua dari keluarga Daud itu memang selalu menjadi si ahli strategi dan pembuat rencana ulung. Reputasinya sangat baik hingga ADS-badan usaha yang Arsyad dirikan bersama Niko menjadi nomor satu di negaranya. "Baik. Saya akan sangat senang jika bisa membantu kalian apa saja. Tolong selalu informasikan pada saya perkembangannya."

"Sementara ini kami sedang mengumpulkan keterangan sebanyak-banyaknya, Maja." Kali ini Niko bersuara lebih lunak. "Tolong beritahu kami kapan kondisi Daya sudah stabil dan bisa kami ajak bicara. Untuk sementara ini itu dulu."

Dia mengangguk. "Satu lagi, Nik. Bagaimana kondisi orang-orang jahat itu?"

Lagi-lagi Niko diam sejenak seperti memilah informasi. Kepala Niko menggeleng perlahan. "Kamu tidak akan melihat mereka lagi."

"Mereka...mati?"

"Ya."

"Semuanya? Termasuk yang menyerang Papa?"

"Ya dan beberapa orang lainnya. Bisa dibilang ada seseorang yang mengamuk murka dan mengejar mereka semua. Hanya itu saja yang bisa saya sampaikan, Maja."

Saliva dia loloskan. Baru pertama kali dia menghadapi bahaya sedekat ini. Perkelahian dengan darah dan korban nyawa yang nyata. Itu semua membuat dia bergidik sendiri. "Okey. Terimakasih, Nik, Syad. Kalian semua termasuk M. Kemana M? Bagaimana kondisinya?"

"Kondisi M baik. Dia akan menengok Daya mungkin besok. Atasannya membuat dia sibuk sekali karena kasus ini." Tubuh Niko berdiri untuk berpamitan. "Terimakasih, Maja. Audra akan ke sini sore nanti."

Arsyad sudah berjalan ke arah pintu sampai akhirnya dia bersuara lagi. "Syad, sampaikan salamku pada Sabiya. Semoga istrimu selalu sehat."

Arsyad diam sejenak. "Jaga Dayana baik-baik. Kamu adalah satu-satunya orang yang bisa menyembuhkannya."

Kepalanya mengangguk setuju. "Terimakasih sekali lagi."

Niko dan Arsyad berlalu dari ruang rawat. Tubuhnya sudah kembali dia sandarkan sambil berpikir lagi. Banyak pertanyaan Niko yang aneh bahkan untuk jenis penyelidikan kasus. Suara orang bergumam, atau berbisik? Tanda infinity? Belati kembar dengan tanda yang sama? Apa artinya itu semua?

***

Luka-luka yang diderita oleh dokter Linda tidak terlalu serius. Karena dokter Linda sudah dipukul hingga pingsan oleh para penjahat. Tapi tetap saja Daya menggenggam tangan dokter Linda erat sementara wanita itu tersenyum pada Daya.

"Saya nggak apa-apa, Daya."

"Maafin saya, dok. Karena masalah keluarga saya dokter jadi begini," ujar Daya khawatir.

"Keluarga kamu, saya suka mendengarnya..." senyum dokter Linda mengembang. "Ya, Hadijaya adalah keluarga yang tulus menyayangimu, Daya. Akhirnya kamu mengerti." Dokter Linda tersenyum kecil lagi. "Dokter di sini terlalu melebih-lebihkan kondisi saya. Sore nanti saya akan minta dipulangkan."

Kepala Daya mengangguk. "Istirahat, dok. Terimakasih atas segalanya."

"Hey, jangan besar kepala. Mimpi-mimpimu masih buruk kan? Saya tetap akan melakukan kunjungan rutin."

Daya tersenyum. "Dengan senang hati."

"Ingat-ingat seluruh sesi kita kemarin. Jaga kondisimu dan bayimu."

"Terimakasih sekali lagi, dok."

"Saya hanya melakukan tugas saya, Daya. Tapi suamimu, keluarganya, sahabatmu si M itu, juga timnya Niko Pratama, mereka mempertaruhkan segalanya demi keselamatanmu."

Kepalanya mengangguk lagi. Kemudian dia memeluk dokter Linda hangat sebelum berpamitan dan keluar dari ruangan. Di luar suster sudah menunggu dengan kursi roda. Sebenarnya dia ingin berjalan sendiri namun tidak diperbolehkan oleh dokter Reyn. Sambil diantar kembali menuju kamarnya, dia menatap situasi rumah sakit mewah ini sambil melamun. Mama Fe pasti sudah berada di ruang ICU melihat ayah. Adeline sudah datang sedari pagi dan mungkin sedang menunggu di kamar rawat. Apa Maja sudah bangun? Saat dia dijemput untuk kontrol dokter dari kamar rawat mereka, Maja masih tidur. Dia tidak sampai hati mengganggu Maja.

Tidak terasa dia sudah berada di depan pintu. Kemudian dia meminta dengan sopan pada suster untuk menghentikan kursi roda agar dia bisa berjalan sendiri. Pintu itu dia buka dan sudah ada Admaja serta dokter jaga yang sedang berdebat entah perihal apa.

"Hhh...Ya. Aku khawatir," mata Maja langsung menatapnya yang baru saja masuk ruangan.

"Sepertinya hanya ini yang bisa menghentikan protes anda. Luka anda belum kering jadi sebaiknya anda tidak banyak bergerak," dokter jaga itu pamit meninggalkan mereka dengan wajah sedikit kesal.

"Lain kali kalau mau keluar aku dibangunin dong, Ya," Maja langsung protes.

"Itu dokter tadi kamu ajak berantem soal apa?" dia mengambil segelas air minum lalu duduk di sofa.

"Kamu dengerin aku nggak?"

"Denger. Kalimat kamu bukan pertanyaan kan? Itu pernyataan. Mangkanya aku nanya balik ke kamu. Kalau kamu marah dan protes ini-itu terus, kamu diusir lho dari rumah sakit ini," dia meneguk gelas minumannya kemudian duduk bersandar menatap Maja yang berdiri dengan baju pasien, wajah masih lebam-lebam, dan tiang infus di sebelahnya. "Sini duduk, daripada marah-marah."

"Kenapa aku nggak dibangunin?" Maja masih berdiri dan memberinya tatapan tidak percaya.

"Duduk itu bisa mengurangi rasa cemas berlebih dan emosi pagi."

"Jawab dulu baru aku duduk."

Dia menatap Maja lagi kemudian melihat ke bawah menelusuri pakaiannya sendiri. Baju pasien yang sama, tiang infus yang sama, juga wajah polos tanpa make up. Setelah kemarin sikap Maja manis sekali, sekarang mereka mulai kembali normal lagi. Normal apa? Teman debatnya sudah kembali. Entah kenapa itu semua membuat dia tertawa lebar. Sadar bahwa mereka benar-benar konyol.

"Malah ketawa lagi," Maja akhirnya duduk di sebelahnya setelah repot membenahi tiang infus mereka. Hal itu membuat dia tertawa tambah lebar. "Aku serius, Ya." Dan Maja tambah kesal.

Maja merangkulnya mendekat menggunakan satu tangan yang tidak terluka. Setelah itu dahi Maja senderkan pada samping kepalanya. "Bilang-bilang kalau mau keluar kamar. Aku bisa anterin dan nggak panik karena bangun nggak ada kamu."

Dia mengusap titik air mata karena tertawa tadi. "Takut aku kabur lagi?"

"Banget," Maja mencium pipinya sesaat.

Kemudian dia balas bersandar nyaman pada bahu Maja. "Lihat deh di kaca," tangannya menunjuk pada kaca panjang disamping mereka. "Lihat semua luka di wajah kamu. Kamu pikir aku istri macam apa minta dianterin sementara suamiku kondisinya begitu."

"Kenapa? Aku nggak ganteng lagi maksud kamu?"

"Emang pernah ganteng? Aku nggak pernah bilang gitu kan?"

Maja tertawa kecil kemudian membalasnya dengan mencium lehernya kecil-kecil.

"Majaa, kamu nggak boleh banyak gerak. Jahitan kamu itu lho," dia tertawa kecil karena geli.

"Ini aku nggak gerakin bahuku yang sakit," lalu Maja berhenti.

Tiba-tiba Maja menatapnya dalam dari samping, masih dengan senyum lebar. "I miss you like crazy," bisik Maja di telinganya.

"Norak. Kayak anak SMA," kekehnya. Padahal dadanya sudah berlompatan. Dia juga norak.

"I love you so much."

"Masih norak."

"Tapi kuping kamu merah. Kamu blushing, jadi kamu juga norak," balas Maja.

"Maja...apaan sih. Jadi nggak jelas begini omongannya. Coba laporan sama aku kondisi Digicom gimana?"

"No work. Nggak ada ngomongin kerjaan. Kita baru ketemu satu hari, Ya. Dan aku masih klien kamu ya. Kenapa jadi aku yang laporan ke kamu?"

"Terus mau ngomongin apaan?"

Posisi duduk Maja sudah kembali normal sekalipun masih merangkulnya. "Aku udah minta Fina buat atur persiapan kita babymoon. Begitu Papa bangun, kita berangkat."

"What? Kondisi Papa masih nggak menentu. Aku nggak mau pergi."

"We will go, eventually."

"Nope."

"You will say yes also, eventually."

"Nggak akan."

"Akan. Percaya sama aku," sahut Maja percaya diri.

"Kamu itu nggak bisa cuti nyebelinnya ya?"

"Yang bilang aku nyebelin itu cuma kamu, Ya."

"Nanti yang bilang kamu nyebelin juga banyak, eventually," balas Daya.

Maja terkekeh lagi lalu mencium pipi Daya saat pintu terbuka. Ada Adeline di sana dengan ekspresi tidak menentu.

"Del, kenapa?" refleks Maja adalah berdiri.

"Papa bangun, Kak," senyum Adeline mengembang lebar.

"Alhamdulillah."

"Tapi masih belum bisa ditengok kecuali Mama. Kita tunggu kabar ya," lanjut Adeline lagi.

Tubuh Daya juga sudah berdiri. Satu tangan Maja menggenggam tangannya erat. Dia menoleh melihat laki-laki yang dia cinta berdiri di sebelahnya. Ini keluarganya sekarang. Setelah pahit kenyataan yang mereka harus hadapi dan mungkin banyak lagi kejutan di kemudian hari. Tapi yang terpenting adalah mereka bersama, dan saat ini mereka adalah segalanya untuk Daya.

"Bener kan aku bilang, Papa bangun dan kita jadi pergi," bisik Maja usil padanya.

Karena kesal dia mencubit tangan Maja.

"Sakit, Yaa."

"Jangan mulai mesra-mesra an ya. Aku tinggal nih," protes Adeline.

"Hus hus, gangguin aja anak kecil," dengkus Maja.

"Hiss nyebelin."

***

Menjelang part-part terakhir ya. Enjoy.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro

Tags: #romance