Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Part 4 - Not yet giving up!

Happy Friyeay! Enjoy!!

***

Ponsel Agam sudah berdering lebih dari lima kali saat dia mengangkat benda itu.

"Agam, lama banget sih ngangkat telpon aja?" sungut Tari di seberang sana.

"Apaan sih? Masih jam 4 pagi gilaa."

"Heh, gue nggak tidur semalaman buat bikin rencana yang akan mengeluarkan kita dari lubang neraka. Lo malah enak-enakan tidur. Dasar nyebelin."

"Gue baru balik jam satu malam, Tariii. Si Hawkeye tiba-tiba balik ke kantor abis makan malam bareng keluarganya. Gila kan? Ya Tuhan berikan Admaja hidayah-Mu, Amin."

"Dengerin gue baik-baik. Gue butuh bantuan lo atau ini semua ga akan berhasil."

"Tariiii, gue masih ngantuk. Jam tujuh gue udah harus nyiapin meeting. Tega banget sih lo."

"Oke, selamat menikmati neraka dunia, Agam. Semoga Sherly tetep mau diajak nikah."

Agam menggeram kesal dan marah karena tahu apa yang Tari bilang benar. "Oke, oke. Gue cuci muka dulu sebentar. Ngumpulin nyawa."

"Satu... dua..."

"Cewek gilaaa, gue diitungin," sungut Agam segera beranjak dari tempat tidur dengan Tari yang terus menghitung.

"...lima Agaaam...cepetaan."

Setelah terburu-buru mencuci muka, dia duduk di sofa dan mulai mendengarkan rencana Tari.

***

Kebutuhan kafein Daya berbanding lurus dengan kebutuhannya untuk bekerja, alias banyak. Jadi dia selalu mampir kedai kopi sebelum bekerja, siang hari sehabis makan siang dan malam hari jika perlu. Sepertinya dia lebih sering minum kopi daripada makan dengan benar. Sekalipun begitu Daya tidak tergerak untuk memiliki mesin kopi di rumahnya. Segala sesuatu harus praktis. Membeli adalah langkah yang teramat praktis apalagi di jaman penuh teknologi seperti saat ini. Memasak dan membuat kopi itu buang-buang waktu. Prinsipnya, jika suatu urusan bisa didelegasikan, kenapa harus mengerjakan sendiri.

Uniknya, Daya tidak memiliki satu kedai kopi langganan. Semua hal harus fleksibel karena mobilitas Daya yang tinggi. Jadi dia bisa mampir ke kedai kopi manapun yang ditunjuk Tari untuk membeli kopi setiap pagi. Ya, kebutuhan Daya untuk kopi lebih kepada kandungan kafeinnya daripada rasa. Pagi ini Tari memilihkan kedai kopi yang sama seperti dua hari yang lalu.

"Mba, saya ke toilet dulu ya. Kopi Mba udah saya orderin tapi masih menunggu," ujar Tari diikuti dengan mata Daya yang mendelik kesal.

Wajah memelas Tari yang membuat Daya akhirnya turun dari mobil untuk mengambil pesanan, sementara Tari sudah berjalan terburu-buru menuju toilet. Suasana kedai kopi tidak terlalu ramai dan dia langsung menuju tempat pengambilan pesanan.

Hhh...proposal e-car emailnya sudah dikirim belum sama Reza. Deadline siang ini kan? Reza sudah selesai revisi harusnya. Semalam gue udah cek dan...hrghhh...gue harus cek lagi.

Daya asik dengan ponsel sambil berdiri menunggu sementara Admaja tiba dan masuk dari pintu utama. Nama Daya disebut lalu dia mengambil pesanannya sambil berjalan dan membaca proposal e-car dari Reza. Tidak menoleh sekalipun padahal dia dan Admaja saling berpapasan.

Dari area toilet, Tari mengawasi sambil menghubungi Agam marah-marah. "Agam, cepetan cegat bos gue depan pintu. Tabrak badannya kek, apa kek. Agam!"

"Gue nggak berani. Lady Gaga mukanya jutek banget."

"Agaaaam..." geram Tari kesal. "Daya nggak akan noleh kalau lagi cek email begitu."

Dari jauh Agam menutup ponsel lalu dengan gugup ingin menyenggol bahu Daya tidak sengaja, tapi malahan Agam sendiri yang jatuh tergelincir di tangga sementara Daya lewat begitu saja. Satu tangan Tari menepuk jidatnya sambil bersumpah serapah kesal. Cepat-cepat Tari berjalan ke luar dan karena terburu-buru, kali ini dia yang tidak sengaja menyenggol Admaja hingga kopi Admaja tumpah ke lantai.

Wajah Admaja mendongak menatap Tari kesal. "Kamu...yang kemarin itu kan?"

Saliva Tari loloskan. "Maaf, Pak. Saya nggak sengaja, beneran." Ini kesempatan Tari. "Saya belikan lagi ya kopinya?"

"Terus saya antri lagi gitu? Saya nggak punya waktu," Maja hanya mendengkus kesal lalu beranjak terburu-buru ke luar kedai dengan Tari yang mengekori.

"Saya beneran minta maaf, Pak. Saya buru-buru karena ditunggu Mba Daya di mobil."

"Saya nggak peduli kamu ditunggu siapa. Kamu jatuhin kopi saya," Maja terus berjalan menuju mobil tidak menoleh. Agam menyusul di belakang sambil mengernyit cemas menatap Tari.

"Saya bisa belikan lagi kopinya."

Admaja bungkam dan masuk ke dalam mobil diikuti dengan Agam. Tari hanya berdiri setengah putus asa menatap mobil Admaja yang sudah berlalu. Kemudian Tari berlari kecil menuju mobil Daya yang sudah menunggu.

"Kok lama?" mata Daya masih menatap ponsel, memeriksa email.

"Tadi saya nggak sengaja ketemu sama Ad..."

"Sebentar...saya harus telpon Reza." Satu jari Daya acungkan untuk menahan kalimat Tari sementara Daya sudah menghubungi Reza dan mulai bicara tanpa henti perihal proposal tender e-car milik Trans Indo.

Dalam hati Tari bersumpah serapah kesal karena gagalnya rencana pagi ini. Apalagi Tari? Pikir lagi bagaimana caranya.

***

Admaja menatap angka-angka laporan perusahaannya. Meeting direksi baru saja selesai dan dia mendapatkan informasi bahwa pesaing mereka Trans Indo akan segera meluncurkan e-car dan e-bus untuk salah satu lini bisnis transportasi mereka. Secara skala, Trans Indo memang tidak bisa dibandingkan langsung dengan Digjaya. Tapi justru itu, bagaimana bisa dia kecolongan tentang kendaraan elektrik pada lini bisnisnya sendiri. Mereka memang punya beberapa unit bus dengan bahan bakar gas. Tapi saat ini, electric vehicle sedang booming. Digjaya harus tetap menjadi yang terdepan. Membiarkan Trans Indo meluncurkan electric vehicle mereka lebih dulu sementara Digjaya setelahnya akan membuat seolah Digjaya mencontek ide itu.

Telpon di meja dia angkat. "Agam, panggil Yusri ke sini."

"Ini sudah jam makan siang, Pak..."

"Sekarang, Agam!"

"Baik, Pak."

Sepuluh menit Admaja menunggu dengan gusar. Yusri masuk saat dia sudah berdiri.

"Ya, Pak?"

"Kasih tahu saya soal e-car atau e-bus Trans Indo."

Yusri diam sejenak seperti membaca gelagatnya. "Trans Indo mendapatkan investor baru. Saya belum tahu siapa, tapi rencananya e-vehicle mereka akan release satu atau dua bulan ke depan."

"Kenapa kita tidak punya inisiasi yang lebih menarik, Yus? Sebaiknya kamu punya jawaban yang bagus."

"Pertama, empat puluh persen profitability perusahaan kita adalah dari lini penerbangan dan pesiar. Ya, bus-bus travel memang sedang meningkat, tapi kontribusi terhadap bisnis tidak bisa menutupi persiapan yang harus dilakukan ketika kita menggunakan e-bus. Kedua, infrastruktur belum matang di negara ini, Pak. Biaya untuk memastikan infrastruktur lengkap akan lebih mahal dari net margin yang bisa dihasilkan oleh e-bus."

"Kenapa Trans Indo punya nyali sementara kita tidak?"

"Saya menduga investor Trans Indo kali ini menggelontorkan dana cukup besar. Hingga mereka berani maju. Tapi, kembali ke soal kontribusi. Apakah bijaksana jika..."

"Berapa lama kamu bekerja pada saya, Yus?"

Kepala Yusri menunduk. "Tiga tahun, Pak."

"Saya menjalankan perusahaan ini sejak saya berusia dua puluh satu. Kamu mau mengajarkan saya soal kontribusi, net margin, atau sekalian P&L total perusahaan saya?"

"Tidak, Pak."

Nafas Admaja hirup panjang. "Cari tahu tentang e-vehicle milik Trans Indo. Siapa investor mereka, kapan tender mulai dan selesai, launching date, strategi pemasaran, atau perusahaan advertising mana yang menangani promosi mereka."

"Untuk sementara saya hanya tahu satu jawaban dari pertanyaan Bapak tadi. Soal siapa yang menangani promosi mereka."

"Siapa?"

"Digicom. Saat ini Digicom ada di peringkat nomor satu dalam dunia advertising. Bapak tahu tagline terbaru produk susu coklat yang sekarang sedang ramai di Tik Tok?"

Kepala Admaja mengangguk. Bagaimana tidak, adiknya tertawa perihal tagline itu dan sering menyanyikan lagunya. Belum lagi pop-up store mereka dirikan dimana-mana dan di waktu-waktu yang pas. Konsumen seolah di brainwash dengan strategi marketing mereka.

"Digicom yang merencanakan semua dan mengeksekusi dengan sempurna. Margin naik tiga kali lipat dan perusahaan susu itu sudah tanda tangan kontrak eksklusif dengan mereka."

"Apa Trans Indo juga sudah tanda tangan kontrak dengan Digicom?"

"Masih tahap tender. Tapi seperti hanya tender formalitas saja."

"Siapa pesaing Digicom?"

"Wincorp. Sayangnya baru minggu lalu salah satu petinggi di sana terlibat issue pelecehan di kantor mereka. Jadi saya nggak menyarankan Wincorp. Berita akan terlalu ramai nanti."

Dahi Maja mengernyit. Skandal pelecehan bukan masalah ringan. Perusahaan dengan skala lebih besar butuh waktu berbulan-bulan untuk menetralisir berita, juga dana yang banyak. Jadi Wincorp jelas bukan pilihan tepat untuk Digjaya.

"Selain Digicom dan Wincorp, siapa lagi?"

"Tidak ada yang sepintar dua perusahaan itu. Sisanya hanya perusahaan kecil dengan ide biasa-biasa saja."

"Kapan tender re-branding kita secara resmi dimulai?"

"Masih dua bulan lagi. Kami sedang siapkan seluruh data dan..."

"Persingkat waktu dan undang Digicom," tangan Maja bersedekap. "... dan juga Wincorp."

"Tapi, Pak..."

Maja menatap mata Yusri tajam. Timnya selalu berusaha membantah padahal mereka tidak pernah punya argumen yang bagus. "Ada masalah?"

Yusri diam sejenak. "...tidak ada."

Dan mereka mudah sekali menyerah. Hanya dengan satu tatapan tajam tidak ada yang berani menantangnya hingga dia terkadang kesal. Padahal dia selalu suka perdebatan yang pintar. "Ada pertanyaan lain?"

Yusri sedikit gugup sebelum melanjutkan. "Kalau boleh tahu, apa alasan Bapak mengundang Wincorp? Padahal mereka sedang ada skandal."

Bagusnya Yusri bertanya, namun pertanyaan Yusri tidak berkualitas. Yusri tidak bisa mengkorelasikan keputusannya? Hhhh, dia kesal untuk tahu tidak ada yang cukup baik yang bisa menggantikannya saat dia cuti kerja. Karena itu dia jarang ambil cuti.

"Saya nggak mau Digicom besar kepala. Saat ini Digicom tahu bahwa pesaing utama mereka sedang ada masalah. Jadi mereka berpikir mereka bisa menang mudah," dia memberi jeda. "Siapa pemilik Digicom?"

"Kantor Digicom letaknya di gedung ini, Pak. Nama pemiliknya Mba Dayana, Dayana Dayandaru," jawab Yusri.

Dayana? Nama itu familiar sekali. Dahinya mengernyit kemudian matanya beralih pada gelas kopi di meja. Ah, wanita dari kedai kopi itu. Ini menarik.

"Apa sekretaris Dayana perempuan?"

Yusri menjawab dengan anggukkan.

"Cari tahu tentang Digicom, dan Dayana," perintah Maja. "Mulai tender rebranding lebih awal. Saya penasaran dengan kemampuan mereka."

"Baik, Pak."

***

Langkah Daya melambat ketika ingin masuk ke dalam gedung kantor setelah meeting di luar sore itu. Kepalanya menatap ke atas sambil memicingkan mata. Memandang tulisan nama gedung tempat kantornya berada. Graha Hadijaya. Kantor Admaja berada di atas kantornya sendiri dalam gedung yang sama. Tapi selama ini dia abai karena kesibukannya. Kesempatan yang ada di depan mata tidak boleh dia abaikan lagi. Digjaya Corp harus menandatangani kontrak eksklusif dengan Digicom apapun yang terjadi.

Ponselnya berbunyi, Tari. "Ya?"

"Meeting lima belas menit lagi, Mba," ujar Tari.

"Oke, saya sudah di lobby," dia melangkah masuk sambil menutup ponsel.

Pandangannya menangkap sosok wanita anggun yang sudah cukup usia dengan gaun hitam sopan sedang berjalan ke arahnya diiringi dengan satu orang laki-laki di belakang wanita itu. Dia merasa seperti pernah melihat wanita ini. Ponsel yang berbunyi lagi mengalihkan pikirannya. Dia mengangkat sambungan dari Reza saat berjalan dekat dengan si wanita. Lalu tubuh wanita itu limbung ke arahnya. Refleks dua tangan menangkap tubuh wanita tadi.

'BRUK!' tas tangan wanita itu jatuh ke lantai.

Sementara dia masih sibuk menahan tubuh si wanita. "Tante nggak apa-apa?" refleks lain adalah bertanya.

Laki-laki di belakang wanita ini sudah dengan sigap ikut membantu menahan tubuh si wanita agar tidak jatuh ke lantai.

"Maaf, saya nggak apa-apa," sahut si wanita sambil menatap sepatu tingginya. Hak sepatu wanita itu patah, kemudian wajah si wanita memerah seperti malu karena ditatap oleh beberapa orang.

Sambungan ponsel Daya matikan kemudian memandang ukuran sepatu si wanita yang ternyata mirip dengan miliknya sendiri. Lalu dengan cepat dia melepas sepatunya lalu mengganti sepatu si wanita dengan miliknya yang tidak rusak.

"Maaf saya lancang, tapi ini untuk menghindari semua tatapan itu pada Tante," dia berbisik menjelaskan agar si wanita tidak tersinggung.

Mereka sudah kembali berdiri berhadapan. Si wanita dengan sepatu miliknya, dan dia yang bertelanjang kaki. Si wanita tersenyum lebar.

"Nama saya Ferina. Siapa namamu?"

Dia juga tersenyum hangat. "Nama saya Daya. Dayana. Saya bekerja di sini."

Ferina melirik ke sekeliling mereka. Orang-orang yang tadi menatap sudah mulai bertingkah normal lagi. "Terimakasih, kamu baik sekali."

"Kebetulan yang baik. Saya harap kaki Tante tidak terkilir."

Kepala Ferina menggeleng, senyum belum pergi dari wajahnya. "Dengan sepatu apa kamu bekerja nanti?"

"Jangan khawatir, Tante. Saya punya beberapa cadangan di bawah meja kantor."

Ferina menatapnya kemudian berujar, "Hanya wanita cerdas yang selalu..."

"...memiliki cadangan rencana," dia melanjutkan kalimat Ferina. Kemudian mereka berdua tertawa kecil.

"Kamu akan baik-baik saja dengan semua mata yang nanti menatapmu di lift ke atas? Kakimu telanjang."

"Saya akan lebih malu jika saya tidak menolong Tante."

"Saya akan mengembalikan sepatumu nanti. Sekalipun ini nyaman sekali," gurau Ferina. "Basri, catat nomor telpon Daya," Ferina memanggil laki-laki yang berada di belakangnya.

Daya berinisiatif memberikan kartu namanya saja pada Basri.

"Terimakasih, Daya. Saya tidak akan lupakan ini," ujar Ferina sambil menatapnya dalam.

Tiba-tiba Ferina memeluk Daya hangat. Memang hanya sesaat tapi sudah sangat lama Daya tidak mendapatkan pelukan sehangat itu dari siapapun. Hal itu membuat detak jantungnya tiba-tiba melambat, setelah dia terpaku kaku. Kemudian senyumnya terkembang lebar.

Satu perbuatan baik yang tulus akan berbuah banyak kebaikan lain. Juga akan mengubah hari menjadi lebih menyenangkan. Jadi teruslah berbuat baik, kalimat mendiang ibunya dulu berputar di kepala.

Tanpa Daya sadar sudah ada titik air di salah satu sudut matanya ketika Ferina melepaskan pelukan singkat mereka. Kejadian ini seperti oase di tengah hidupnya yang berputar cepat, dan sepi. Titik air itu dia tahan dan coba sembunyikan, sekalipun Ferina sudah melihatnya.

"Oh, Sayang. Kenapa kamu malah menangis?" dua tangan Ferina menyentuh lengannya.

"Saya baik-baik saja, Tante. Maaf jika ini aneh," dengan cepat dia menghapus titik air itu sambil tersenyum lebar.

"Saya akan datang ke kantormu untuk mengembalikan sepatu dan kita bisa makan siang."

"Jangan repot-repot, Tante."

"Apa itu repot? Anak saya bekerja di sini. Jadi anggap saja sekalian saya mengunjunginya." Kali ini gantian ponsel Ferina yang berbunyi. "Oh, sayang sekali saya tidak bisa lama. Terimakasih sekali lagi, Daya. Saya pamit dulu."

Dia tersenyum lalu mengangguk sopan. Setelah Ferina dan Basri berlalu, dia melangkah dengan kaki telanjang dan senyum lebar. Semoga ini pertanda baik.

***

Pukul dua belas tiga puluh malam. Tari sudah berada di atas tempat tidur dalam apartemennya. Berbaring sambil menatap langit-langit kamar. Gambaran beberapa rencana untuk meneruskan jebakannya pada Daya dan Admaja menari-nari di atas sana.

Gimana kalau gue dan Agam pura-pura sakit jadi Daya dan Admaja turun sendiri untuk beli kopi dan makanan. Siapa tahu mereka ketemu. Tapi yang ada mereka nyuruh orang lain buat beli. Kan mereka bos. Hrrghhh, yang lain Tari. Atau...kedai kopi babak ketiga? Aaah, basi. Kemarin udah dua babak gagal juga gara-gara si Agam lemot. Atau...dia pura-pura membayar orang untuk menjambret tas Daya saat di depan lobby kantor. Maja dan Daya mereka akan buat datang bersamaan. Tapi kaaan ada satpam, Tariiii. Mana mau Tuan Muda Admaja Hadijaya yang terhormat ngejar-ngejar tukang jambret. Kebanyakan nonton sinetron lo. Jadi apa lagiiii dooong. Kenapa mampet sih otak gue?

Kepala dia tutupi dengan bantal lalu dia pukul-pukul bantal itu. Menggeram kesal karena pikirannya buntu dan Agam selalu absen dari proses pembuatan rencana. Padahal hasilnya akan mereka sama-sama nikmati nanti. Agam rese! Maunya enak doang. Tenang Tari, tarik nafas. Pikir baik-baik apa lagi. Nafas dia hirup dalam sambil mengangkat bantal dari kepalanya.

Apa kebutuhan dasar dua orang gila kerja ini? Ya bekerja lah, Tariiii. Jangan ketularan lemot kayak Agam dong. Fokus, fokus. Untuk bekerja dan pergi ke kantor, apa yang mereka butuhkan. Kendaraan. Aaaa...kendaraan. Senyum Tari mengembang lebar karena tiba-tiba mendapat ide brillian.

***

Gue nyengir sendiri ngeliat kegigihan Tari. Pantang nyerah sebelum jodoh pokoknya ! Alias die-die must do...ahahaha

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro

Tags: #romance