Part 39 - Is it over yet?
Admaja memilih untuk mengendarai mobilnya sendiri untuk pergi ke makam orangtua Daya pagi ini. Entah apa yang merasuki pikirannya, tapi dia benar-benar ingin sekali melihat Daya. Mungkin perpaduan rindu yang sudah menumpuk tinggi, juga rasa cemas yang sejak semalam dia rasakan dan tidak mau pergi. Bahkan semalam dia menghubungi Niko berulang kali untuk memeriksa apakah Daya baik-baik saja. Jawaban Niko yang mengatakan bahwa kondisi Daya baik-baik saja bahkan sudah hampir bisa dibilang normal, membuat dia tersenyum kecil. Tapi ketika pagi ini dia bangun, rasa cemas tetap mendera.
Hampir dua jam kemudian dia tiba di pemakaman itu. Masih pagi dan Pak Wito si penjaga makam sedang memotong rumput serta menyirami tanaman. Buket bunga Lily sudah ada di genggaman. Dia menyapa Pak Wito sopan.
"Pagi, Pak."
"Wah pagi-pagi sudah sampai, Den."
Kepalanya mengangguk kecil. "Makam orangtua Daya ada di sebelah mana, Pak?" Ya, ini kali pertama untuknya. Sekalipun dia sudah menghubungi Pak Wito sejak berbulan lalu.
Pak Wito mengantarkannya ke hadapan dua makam yang bersisian. "Ini, Den. Saya tinggal dulu ya. Mau periksa istri saya. Semalam nggak enak badan."
"Iya, Pak."
"Den, Neng Daya pasti ke sini. Karena ini hari peringatan kematian kedua orangtuanya. Aden bisa nunggu di tempat saya, di sana." Pak Wito menunjuk pada rumah sangat sederhana di pinggiran makam yang terletak di sebelah Utara. Jauh, tapi masih terlihat.
"Mungkin tahun ini enggak, Pak. Kondisi kesehatan Daya sedang menurun."
Kepala Pak Wito hanya mengangguk prihatin, kemudian Pak Wito pamit lagi dan meninggalkannya sendirian. Dia berjongkok dan membersihkan nisan dari satu-dua daun kering yang tertiup angin tadi. Suasana pemakaman ini khidmat, hening, syahdu. Dengan pepohonan rindang dan hutan buatan yang mengelilingi. Nama kedua orang tua Daya tertulis di sana. Buket bunga dia letakkan pada kedua nisan. Dia ingin Daya tahu bahwa dia mencintai kedua orangtua Daya seperti Daya mencintai keluarganya. Dia juga ingin Daya tahu bahwa dia rindu. Benar-benar rindu. Setengah hatinya berharap Daya datang dan melihat ini semua, jadi Daya tahu. Tapi dia juga mengerti bahwa mungkin saja dokter Linda tidak mengijinkan.
Matanya terpejam saat dia mengucap doa dalam hati dengan jelas dan penuh permohonan maaf atas apa yang terjadi dulu. Mau tidak mau ingatan atas dokumen-dokumen kepolisian insiden keluarganya dulu kembali mengisi kepala. Mereka sedang berlibur di salah satu villa. Ayah menerima telpon dari seseorang di ruang tengah dengan suara panik dan penuh kemarahan. Dia mengintip dari dalam kamar, sendiri, tidak mengerti. Setelah ponsel ditutup ayah sibuk menghubungi Basri dan meminta dia berkemas cepat-cepat.
Hari sudah hampir senja saat dia menunggu di teras villa. Keluarga Daya menginap dua villa dari tempatnya sendiri. Dia menatap ke arah teras dan menemukan Daya berdiri di sana dengan ayah Daya sedang memperhatikan mereka. Ayah Daya yang melihat gelagat panik ayahnya datang menghampiri dan meninggalkan Daya di teras.
"Jan, ada apa?"
"Aku harus cepat-cepat pergi, Dan. Jangan dekati villa ini karena seseorang akan datang dan mencariku. Jangan katakan apa-apa. Jika kebetulan mereka bertanya padamu, katakan saja kamu tidak kenal dan tidak tahu aku. Maja, masuk mobil."
Karena mulai dicengkram rasa rakut dia masuk ke dalam mobil. Hanya bisa menatap kedua laki-laki dewasa itu bicara tanpa bisa mendengar dengan jelas. Sepertinya ayah Daya benar-benar khawatir dan ingin membantu. Setelah itu yang dia tahu ayah masuk ke dalam mobil dan mengendarai mobil dengan laju cepat, cepat sekali. Dia bahkan berkali-kali menoleh ke belakang ketakutan untuk memeriksa apa mereka diikuti. Beberapa kali ayah dihubungi oleh ayah Daya dan akhirnya ayah meminta ayah Daya untuk menghubungi polisi. Setelah hampir dua jam berkendara menuju rumah mereka di Jakarta, Basri menghubungi.
"Ya, Basri."
Dia tidak mendengar apa yang Basri katakan, tapi ayah langsung menepikan mobil dan keluar dari kendaraan. Ekspresi ayah tidak percaya, tapi kemudian menjadi sedih sekali, seperti berduka. Ayah bahkan berjongkok dan menangis dalam sambil terus mendengarkan Basri bicara melalui ponsel. Saat itu, dia tidak mengerti, tidak tahu bahwa kendaraan orangtua Daya bersama Daya di dalamnya celaka karena berusaha membantu mereka.
Hembusan angin membawa dia kembali. Matanya sudah menatap dua nisan di sana. Ayah membawa sesal dan rasa bersalahnya hingga saat ini. Hingga ayah terus mencari tahu tentang Daya dan berusaha selalu membantu wanita istimewa itu. Mulai dari panti asuhan yang layak, psikiater handal, sekolah di Singapore, dan juga seluruh pinjaman modal saat Daya ingin memulai usaha. Ayah adalah seseorang yang diam-diam menjamin nama Daya menggunakan koneksi keluarga Hadijaya. Selama ini hanya ayah dan Basri yang tahu. Rahasia itu ditutupi dengan cermat. Hingga akhirnya mama melihat janji temu ayah dengan ibu panti Daya yang sudah berlangsung lama. Janji temu yang ayah lakukan sebagai donator tetap panti asuhan itu.
Untuk seorang wanita dengan harga diri tinggi, dia mengerti Daya murka pada mereka. Dia sungguh mengerti. Daya adalah tipe wanita mandiri dan selalu ingin berdiri dengan kakinya sendiri. Jadi ketika Daya tahu bahwa Daya menerima bantuan diam-diam selama ini, Daya merasa usaha yang dia bangun adalah bukan miliknya sendiri. Ada ikut campur tangan Hadijaya di sana. Padahal, Daya-lah yang mampu bertahan dari ironi atas kecelakaan keluarganya karena mental Daya yang tangguh. Otak Daya juga cerdas hingga beasiswa di luar negeri terasa mudah saja. Kecerdikan Daya mendirikan Digicom juga terbukti. Digicom sudah menjadi perusahaan nomor satu di negaranya dalam bidang periklanan, bidang yang sulit ditaklukan karena tingkat persaingan yang tinggi. Ayah memang membantu. Namun, jika bukan karena kerja keras Daya, semua hal itu tidak akan tercapai.
Nafas dia hirup dalam. Apapun itu, keluarganya melakukan kesalahan.
"Om dan Tante, maafkan kami. Tapi saya yakin, Ayah saya tidak bermaksud membuat kalian celaka. Sekalipun begitu, maafkan kami," saliva dia loloskan sejenak. Merasa bodoh karena bicara pada nisan yang bisu. "Saya mencintai anak kalian, Dayana Dayandaru. Sekalipun dia belum bisa memaafkan saya. Atau mungkin tidak akan pernah. Tapi saya akan tetap mencintai Daya, menunggu dia kembali. Terimakasih...karena sudah membawa belahan jiwa saya ke dunia ini. Semoga kalian tenang di sana."
Dia mengucapkan doa penutup, kemudian berdiri dan melangkah meninggalkan area pemakaman. Berjanji untuk rutin datang ke sini. Mobil sudah dia lajukan. Berkendara untuk kembali ke Jakarta sambil sibuk dengan pikirannya sendiri.
Villa tempat Daya tinggal dekat dari sini, Maja. Rasa rindu membuat dia sering bicara sendiri. Memaparkan apa yang dia mau. Pada pertigaan itu belok kiri. Kamu tahu persis dimana Daya berada. Apa kamu tidak ingin melihat Daya, memastikan bahwa Daya baik-baik saja? Mobilnya berhenti karena lampu merah. Persimpangan itu dia tatap lama. Belok kanan menuju Jakarta, belok kiri adalah melihat Daya. Mungkin bisa mengobati sedikit rasa rindunya. Karena lamunannya, dia tidak sadar bahwa dia berpapasan dengan kendaraan milik M yang sedang menuju pemakaman.
***
"Sejak kapan kamu bisa setir mobil?" tanya Mama heran. Mereka berdua berada di dalam mobil dengan Adeline yang berkendara.
"Ma, kita punya mobil banyak dan perusahaan segede gitu di bidang transportasi. Aku bisa nyetir dari SMA diajarin sama Kakak. Ya, nggak sejago Kak Maja sama Ayah sih, tapi aku bisa. Bisa ngebut juga. Mama, mau aku ngebut?"
"Pelan-pelan aja. Jantung Mama bisa copot nanti," jawab mama. "Selama ini kenapa pakai supir?"
"Karena kalian over-protektif. Memperlakukan aku kayak barang pecah belah."
"Tapi Mama tetap nggak suka kamu paksa begini, Del," ujar mama kesal.
"Ini jadwal Mama periksa ke MG dan Mama harus keluar dari rumah kesedihan yang Mama buat sendiri."
Mama diam dan menoleh ke luar jendela.
"Mama nggak mau aku ajak ke makam orangtua Kak Daya? Hari ini hari peringatan kematiannya. Kakak aja ke sana," lanjut Adeline.
"Mama nggak bisa bertemu Daya sebelum urusan Mama dengan Papa selesai," tegas Mama.
"Justru Mama harus ketemu Kak Daya sebelum sidang. Karena Mama pasti diomelin sama Kak Daya udah cerai-in Papa. Biar Mama sadar, perceraian itu bukan solusi."
"Kamu pintar bicara sekarang. Tapi Mama tetap pada keputusan Mama."
"Papa juga tetap pada keputusan Papa. Nanti kalau aku dipanggil jadi saksi persidangan, aku mau bilang kalau kalian masih saling cinta banget. Aku kasih rekaman Mama nginggo manggil-manggil Papa kalau malam. Biar batal cerainya," dengkusnya.
"Kamu pikir Mama main-main dengan keputusan Mama. Kamu sudah besar dan sudah mengerti dengan segalanya. Keputusan Mama bukan keputusan mudah."
"Adel nggak berpikir Mama main-main. Mama hanya keras kepala nggak mau memaafkan Papa. Aku setuju Papa buat salah. Tapi Papa benar-benar berusaha berubah, Ma. Kalau Papa tidak berusaha berubah, Papa nggak akan datang ke kantor polisi untuk menyerahkan diri setelah kecelakaan Kak Daya. Atau Papa juga nggak akan mau kerjasama dengan polisi untuk tangkap penjahat itu sekarang. Itu kenyataannya, Ma. Papa berusaha menebus dosa-dosanya."
"...dan membahayakan kamu."
"Iya, itu benar. Tapi aku nggak apa-apa kan, Ma. Bukti-bukti kuat sudah Papa berikan ke kepolisian dan sekarang sedang menunggu proses lebih lanjut," nafas dia tarik panjang. Mama memang benar-benar keras kepala melebihi kakaknya terkadang. Eyang bahkan sudah datang dan coba bicara tapi gagal.
Kali ini mama yang mendengkus kesal. "Mama nggak mau perpanjang pembicaraan ini. Tekanan darah Mama bisa naik."
Mereka berada di persimpangan lampu merah dekat dengan kampusnya. Mobil sedang berhenti menunggu lampu berubah warna. Dia menatap belokan jalan di depan, kemudian teringat bahwa Manggala belum menghubunginya lagi.
"Bagaimana kabarnya Rafan?" tanya mama tiba-tiba. Keluarganya memang sudah tahu hubungan jarak jauhnya dengan Rafan.
"Masih di Indo. Sibuk dengan pekerjaan magangnya."
"Kamu serius dengan Rafan?"
"Topik hari ini adalah Mama dan Papa. Bukan aku dan Rafan."
"Mama serius bertanya Adeline. Apa kamu sungguh-sungguh dengan Rafan?"
Dia memilih untuk tidak menjawab. Hubungannya belum lama, ditambah lagi mereka lebih banyak berjauhan sebelumnya. Ya, sekarang Rafan memang sudah berada di sini untuk mulai magang di salah satu kantor pengacara ternama. Tapi masih banyak hal yang harus dia pikirkan.
"Kamu serius sekali ngurusin urusan Mama dan Papa. Begitu ditanya tentang urusan kamu, malah diam."
Lampu lalu lintas berubah hijau, dia mulai melajukan kendaraannya lagi. Tidak sadar bahwa mereka diikuti di belakang. "Aku masih punya banyak rencana, Ma. Aku akan pikirkan soal hubungan pribadiku nanti."
Tepat saat dia berhenti bicara, ponselnya berbunyi. Karena sudah tersambung dengan panel di mobil, dengan mudah dia memijit tombol dan bicara.
"Ya, Pa?"
"Dimana kamu? Apa Mama bersamamu, Del?" nada suara papa seperti terburu-buru.
"Lagi jalan ke MG. Anterin Mama periksa hari ini. Ada apa, Pa?" dahinya mengernyit seperti merasakan sesuatu yang salah.
"Share lokasi kamu sekarang ke Papa. Cari kantor polisi terdekat dan berhenti di sana. Atau segera tiba di MG dan cari dokter Antania Tielman atau dokter Reyn. Mereka bisa memberikan perlindungan untuk kalian. Mana yang lebih dekat?"
"Ada apa, Pa?" takut mulai merambati dada. Kendaraan dia lambatkan sambil meraih ponsel dan membagi lokasinya pada Papa melalui aplikasi.
"Papa sudah dapat lokasi kalian. Posisi Papa sudah dekat. Tolong turuti..."
"Ini Benny lagi kan? Iya kan, Jan?" teriak Mama marah.
"Aku akan bicara denganmu nanti, Fe. Sekarang turuti aku dulu!" hardik papa dan itu membuat mamanya bungkam. "Adel, posisi Papa dekat okey. Dengarkan Papa dan jangan panik. Langsung menuju MG, Adeline. Kantor polisi terlalu jauh dari posisi kita."
"Papa dimana?"
"Di belakang kalian, Sayang. Jangan panik okey? Apapun yang terjadi, kalian harus tiba di MG."
"Iya..." sambungan telpon belum diputus tapi dua SUV hitam sudah mendekati mobilnya. "Pa...ada dua mobil yang dekati aku."
"Pakai seatbelt kalian. Jangan putus sambungannya. Jangan hentikan mobil apapun yang terjadi. Papa ada di sini, Del. "Coba menghindar dari dua mobil yang mengikutimu."
Dua tangan mencengkram kemudi erat sekali. Wajah mama di sebelahnya sudah pucat pasi, mungkin seperti dirinya sendiri. Fokus dia kembalikan pada jalanan di depan yang lumayan lengang. Tapi kondisi itu dimanfaatkan oleh si pengejar agar bisa memojokkan mobilnya. Kemampuannya berkendara sudah lama tidak dia gunakan, jadi dia hanya bisa berusaha menghindar.
"Del, hati-hati," teriak Mama karena dua mobil itu mulai mendesak mereka.
Kaca jendela dari kendaraan sebelah diturunkan dan sudah ada dua laki-laki dengan wajah menyeramkan meminta mereka minggir.
"Belok kiri di depan, Del. Jauhi jalanan utama, banyak orang. Papa tahan satu di sini."
"Iya, iya," balasnya sambil mengemudi dan berusaha mengumpulkan keberaniannya.
Kemudi dia banting ke kiri hingga roda mobilnya berdecit. Pada kaca spion tengah dia melihat mobil papa di belakang sana berhasil menghalangi satu SUV serta membuat SUV itu menabrak trotoar hingga terguling. Tapi masih ada SUV lain yang mengejarnya.
Tenang Adeline. Tenang. Ingat apa yang kakak ajarkan. Matanya melihat hand-rem mobil yang tidak ada. Oh sh**. Mobil canggih menyusahkan. Ya, Admaja mengajarkannya bermanuver tapi menggunakan kendaraan manual. Bukan otomatis begini.
"Del, mereka sudah pergi," suara mama menyadarkannya kembali.
Kaca spion dia tengok dan benar saja, hanya ada mobil papa di belakang. Saat dia pikir semua sudah selesai, sambungan yang belum dimatikan berbunyi lagi.
"Berhenti di kanan sekarang!!" teriak Papa.
Refleks kaki dan tangannya adalah menuruti apa yang papa katakan. Kemudi dia arahkan ke kanan dan rem dia injak dalam. Kepalanya menoleh ke samping kiri dan melihat sedan papanya melaju kencang melewati dia. Awalnya dia tidak paham, kemudian teriakan mama dari dalam mobil membuatnya mengerti. Di depan mereka ada belokan jalan pada sebelah kiri, SUV hitam kedua yang belum terhenti melaju dari arah sana. Kemungkinan besar mereka memotong dan memutar jalan tadi. Mobil papa terus melaju dan berhenti tepat di depan SUV itu.
"Mundur, Del. Cepat mundur dan terus ke MG," perintah papa.
"Jaaan, cepat pergi dari sana!" teriak mama.
'BRUAK!' tanpa ampun SUV yang berkecepatan tinggi itu menghantam sisi kiri mobil papa.
Dia membeku melihat semua.
"Adeline, cepat pergi!! Selamatkan diri kalian. Jaga Mama, Del!"
"Jan!!" Mama masih berteriak panik melihat semuanya.
Saat dua orang laki-laki bertubuh besar keluar membawa senjata tajam, refleks tubuhnya adalah memundurkan mobil cepat lalu berhenti. Matanya sudah basah karena air mata. Dia tidak akan meninggalkan papanya di sini. Satu laki-laki sudah berdiri sambil menyeringai dan mengacungkan pisau panjang yang tajam. Sementara satu yang lain menghampiri pintu mobil papa.
"Adel nggak akan tinggalin Papa, Ma. Pegangan."
Mamanya mengangguk cepat sambil menangis lalu berpegangan kuat. Entah keberanian darimana, entah dorongan apa, tapi dia tidak mau menuruti ketakutan dalam dirinya yang sudah mencengkram sedari tadi. Jalanan ini sepi, tidak akan ada yang melihat atau menolong mereka. Ini akan membekas pasti, tapi hanya ini yang bisa dia lakukan untuk melindungi keluarganya. Jadi dia sudah menekan gas dalam-dalam untuk menabrak laki-laki sadis itu. Decitan mobil terdengar saat dia melaju kencang menuju si penjahat.
'BRUK!' tubuh laki-laki terpental dan menghantam aspal tidak sadarkan diri.
Kendaraan dia mundurkan lagi. Tangannya yang bergetar berusaha dia kendalikan. Sebelum dia bisa menolong papa, satu laki-laki lain tadi sudah menyeret papa keluar dari dalam mobil lalu menodongkan pisau di leher papa.
"Del..." suara Mama bergetar ketakutan melihat itu semua.
Si laki-laki meminta dia keluar sambil menjadikan papanya sandera. Pelipis papa mengeluarkan darah mungkin karena benturan mobil tadi. Papanya menggelengkan kepala memberi mereka tanda agar tidak menuruti laki-laki ini. Ujung belati itu berpindah dan ditancapkan perlahan pada bahu papa. Mama menangis lagi melihat itu semua. Kepala papa tetap menggeleng sambil mengernyit menahan sakit.
Air matanya tidak mau pergi dan itu membuat pandangannya kabur. Pikir, Del. Apa yang bisa kamu lakukan. Laki-laki jahat tadi kembali memintanya keluar. Nafas dia hirup dalam untuk menenangkan diri dari getar tubuhnya sendiri. Pintu mobil dia buka dan tangan mama menahannya.
"Demi Tuhan, jangan keluar, Del."
"Semua akan baik-baik saja, Ma," dia tidak percaya atas kalimat yang dia ucapkan barusan. Tapi apa pilihannya. Papa bisa mati jika dia tidak keluar. "Hubungi polisi."
Dengan cepat dia membuka pintu dan keluar dari mobil. Saat itu tubuh papanya sudah dipukul hingga pingsan lalu didorong ke samping. Penjahat tadi berlari ke arahnya sambil menyeringai. Dua tangannya terkepal kuat. Dia tidak mau berlari, dia benci. Tapi dia juga tidak tahu dengan apa dia harus hadapi. Kemudian entah bagaimana tubuh laki-laki itu ambruk dengan mata membelalak terkejut. Tersungkur tidak jauh dari tempatnya berdiri dengan darah dari leher yang tertancap pisau dari samping. Tangan si laki-laki masih berusaha menggapainya dan itu membuatnya terkejut hingga mundur ke belakang. Dia menoleh untuk mencari siapa pelakunya, siapa yang menolongnya.
"Balik badan, lo nggak akan suka ini."
Suara itu...ah, otaknya yang lamban karena semua kejutan membuat dia mendadak lupa dengan sosok menyebalkan ini. Manggala. Ya, ya. Manggala si menyebalkan datang. Si penjahat masih berusaha merangkak dan menggapai kakinya. Dia menjerit lalu mundur lagi. Manggala menarik penjahat itu lalu berjongkok membelakanginya. Refleks dia menutup wajah dengan kedua tangan saat suara aneh seperti gorokan leher terdengar. Kepalanya menoleh melihat mama yang pingsan di dalam kendaraan.
"Hei..."
Suara besar Manggala membuat dia menjerit kaget.
"Udah selesai. Niko sebentar lagi sampai."
Tangan dia turunkan perlahan lalu dia melihat mayat laki-laki tadi dengan darah berceceran. Isi perutnya naik ke atas dan dia langsung memuntahkan semua ke aspal. Manggala hanya berdiri di sana dalam diam menunggu dia selesai. Mulut dia seka cepat kemudian dia berdiri tegak menatap mata hitam yang dingin itu. Ekspresi Manggala datar, sama sekali tidak terbaca.
"Tunggu di dalam mobil. Niko emang suka lama. Gue jalan."
Masih ada darah pada tangan Gala dan itu membuatnya mual lagi. Tubuh Manggala berbalik dan berjalan menuju motor yang entah sejak kapan ada di sana. Kemudian Manggala pergi. Dia berjalan cepat mendekati ayahnya yang masih pingsan. Saat itu dua motor hitam datang. Laki-laki berseragam ADS turun untuk menolong mereka. Sekalipun sesungguhnya, penolongnya lagi-lagi adalah laki-laki menyebalkan itu. Tidak lama suara sirine ambulance dan mobil polisi juga terdengar. Apa semua sudah selesai?
***
M berlari sambil menghindari tembakan jarak jauh dari tempatnya. Hhhh...dia benci diburu begini. Harusnya Daya aman di dalam mobil anti peluru. Tembakan pertama musuh-musuhnya mengenakan senapan biasa. Tapi tembakan kedua menggunakan senapan berperedam. Musuh-musuh? Ya, karena dari asal tembakan dia yakin lebih dari dua orang yang membidiknya. Saat ini dia berada di balik sebuah pohon besar dan tinggi, terlindungi. Buat pengalihan, M. Suara Janice seperti menggema di dalam kepalanya.
Suasana di sini terlalu tenang. Sial. Daun-daun di bawah kakinya menimbulkan gesekan. Buah-buah pinus kering bertebaran dan itu bisa dia gunakan. Musuhnya kehilangan jejaknya, jadi dia bisa menggunakan waktu untuk mengganti senjata miliknya dengan moncong berperedam. Cepat-cepat dia melakukan hal itu. Saat sudah selesai, dia bisa mendengar suara seseorang melompat di ranting pohon tidak jauh dari tempatnya. Punggung sudah dia tempelkan di batang pohon. Matanya dia pejamkan untuk mendengarkan dengan seksama. Lalu suara seperti desauan angin saat tubuh seseorang melompat terdengar lagi. Dia membuka mata dan mengamati diam-diam. Jarak antara ranting pohon tidak bisa dibilang dekat. Ya, seseorang bisa melompat. Tapi tidak semua ranting kokoh. Lalu suara senapan berdesing lagi, disusul dengan tubuh yang jatuh dari pohon dan teriakan seorang laki-laki.
Penasaran dia memantau ke sekeliling lagi. Beberapa meter darinya ada tubuh seseorang jatuh dari atas pohon dengan posisi yang aneh. Suara itu lagi. Jelas-jelas mayat di depannya adalah si penjahat dengan senjata, lalu siapa yang ada di atas pohon sana. Suara desingan yang menggores telinganya membuat dia bersembunyi lagi. Sial, orang kedua tahu posisinya. Belum sempat dia mencari tahu, sudah ada satu orang lain yang muncul dari arah samping. Tinju laki-laki itu dia hindari cepat hingga mendarat di batang pohon. Tidak sempat membidik, dia menghindar kemudian menghantam dengan jab kanan pada kepala musuh. Laki-laki bertubuh besar selalu menyusahkan.
Pertarungan seru sudah dimulai. Tubuhnya mulai terekspos dari lindungan pohon. Kemudian suara di atas pohon terdengar lagi. Dia masih sibuk dengan musuhnya yang terus melancarkan serangan. Dua tembakan hampir saja mengenai bahunya. Fokus, M. Terus bergerak jangan biarkan musuh lain membidikmu. Selesaikan cepat. Karena marah dia mulai membalas seluruh serangan dan tiga telak mengenai perut lawan. Dengan cepat dia melakukan gerakan berputar dengan batang pohon sebagai tumpu, melompat dan mendarat persis di bahu musuh. Lalu tanpa ampun dia memutar kepala musuh hingga jatuh menghantam tanah dan mati. Persis ketika itu, tubuh kedua juga jatuh dari atas pohon yang lebih jauh dari posisinya.
Refleks kepalanya mendongak ke atas mencari asal suara misterius itu. Namun yang dia bisa dengar hanya desau angin serta gemerisik daun. Tunggu, tunggu. Sayup-sayup suara kidung jawa kuno terdengar. Lirih sekali, hampir tidak berbunyi. Seluruh bulu roma nya berdiri. Ada seseorang di atas pohon yang membantunya dan mengawasinya sekarang. Kidung itu masih terus terdengar. Salah satu tangan penembak kedua bergerak perlahan. Refleksnya adalah mencabut senjata dan menodongkannya. Belum sempat dia menarik pelatuk, suara melesat terdengar cepat. Ada sebuah ranting pohon runcing tertancap pada leher musuh tadi. Tubuh musuh tidak bergerak lagi.
"Pergi," suara serak itu seperti dekat dengan telinganya.
Seluruh sensor tanda bahaya menggerakkan kakinya untuk berlari menuju tempat Daya. Meninggalkan sosok misterius yang tidak bisa dia lihat tadi. Dia tidak akan melupakan ini, namun dia harus fokus untuk memastikan Daya selamat.
***
Takut seolah merasuki seluruh sel dalam tubuhnya. Bukan karena dihadang orang -orang jahat bertubuh besar tadi. Tapi ketakutan besar karena dia melihat dengan mata kepalanya sendiri bagaimana Maja dipukuli. Dia berhasil masuk ke dalam mobil saat mobil Maja datang dan sejenak mengalihkan perhatian para penjahat itu. Jangan ditanya kenapa Maja bisa tiba-tiba ada, dia tidak tahu, otaknya buntu. Tapi yang jelas Maja kalah jumlah. Ada dua laki dengan wajah bengis dan jago berkelahi yang langsung menghantam Maja. Tubuhnya kaku melihat itu semua. Air matanya sudah menetes sedari tadi. Maja berusaha melawan dan berhasil merubuhkan satu. Namun satu lainnya mengeluarkan belati tajam.
Jika sebelumnya dia ragu atas segala rencana, jika sebelumnya dia tidak tahu harus bagaimana. Kali ini, seluruh rasa takut akan kehilangan membuat tubuhnya bergerak sendiri. Nuraninya mengerti, hatinya paham, jadi dua tangan sudah mencari benda apapun dari dalam dashboard mobil untuk dia gunakan menolong Maja. Hanya ada ponsel yang M katakan. Cari lagi Daya. Dia melihat tonjolan besi yang ternyata adalah kunci roda dari bawah tempat duduknya. Benda itu dia genggam dan tarik. Kemudian dia melakukan apa yang M larang, keluar dari mobil ini.
Admaja sudah terdesak di tanah berusaha melawan balik. Wajah Maja sudah penuh darah. Ketakutan akan kehilangan menghasilkan kenekatan, kenekatan membuat tubuhnya panas karena emosi. Jadi dia berlari dan menghantamkan kunci roda dari besi itu kuat-kuat pada kepala si penjahat, berkali-kali.
"Jangan...ganggu...Maja!!" teriaknya marah.
Laki-laki bertubuh besar itu berbalik lalu mendorong tubuhnya. Dia mundur ke belakang tiga langkah. Seluruh tubuhnya sudah bergetar hebat, tangannya menggenggam erat kunci roda tadi yang sudah meneteskan darah. Dia...murka melihat seseorang yang dia cinta disakiti di depan matanya. Jadi seringai gelap laki-laki di hadapannya tidak membuatnya gentar sama sekali. Darah yang menetes dari kepala si penjahat juga tidak membuatnya takut lagi.
"Daya, pergi dari sini!" teriak Maja sudah bangkit dan mengalungkan tangan pada leher penjahat yang segera meronta.
Oh, tidak. Sumpah dia tidak akan beranjak dari sini. Tubuh penjahat itu berusaha memberontak dari Maja. Kesempatan. Kunci roda dia ayunkan lagi ke tubuh si penjahat. Maja mendorong penjahat itu menjauh dan mengambil kunci roda dari tangannya untuk menghantam telak wajah laki-laki besar itu. Kemudian akhirnya musuh mereka ambruk ke tanah. Tidak sadarkan diri.
Nafasnya masih tersengal berantakan, menatap tubuh yang berada di tanah itu. Pikirannya terus berputar seperti berusaha mencerna apa yang barusan saja terjadi. Lalu ketika dia menoleh menatap Maja yang menghadap tubuhnya, dia sudah jatuh ke tanah. Lemas dan cemas melihat wajah Maja yang penuh dengan luka. Maja menatapnya nanar kemudian memeluk tubuhnya yang bergetar hebat.
"Maafin aku, maaf, maaf," suara Maja serak karena tangis.
Sementara dia sendiri menangis keras sekali. Perpaduan terkejut atas semua yang barusan terjadi, rasa rindu yang membuncah, juga perih hati melihat kondisi Maja membuat dia tidak bisa mengendalikan tangisnya sendiri.
"Keluargaku yang salah. Semua ini karena aku, Ya. Maafin aku. Kamu aman sekarang, aku di sini, aku di sini."
Dia tenggelam pada hangat yang dia suka, pada kuat tangan Maja yang memeluknya erat. Dua tangannya menggenggam lengan Maja, tidak ingin melepaskannya lagi. Waktu terasa berhenti, hingga teriakan M dari belakang mengejutkan mereka.
"Maja, awaaas."
Suara sabetan pisau dari belakang tubuh Maja terdengar. Diiringi dengan tembakan senjata berperedam. Satu tangannya basah. Matanya melihat melalui bahu Maja, tangannya basah...oleh darah dari tubuh Maja.
***
Naah kaaan kaan.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro