Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Part 37 - Because I miss you

"Apa kamu mau melakukan apa saja untuk Dayana?" tanya dokter Linda sore itu saat sang dokter baru saja tiba.

Sudah pasti Maja menganggukkan kepala. Dia akan melakukan apa saja, memberikan segalanya yang dia punya untuk istri dan anak mereka. "Bilang saja apa, Dok. Saya akan penuhi."

"Untuk memulai lagi denganmu, yang paling pertama dan utama, Daya harus bisa memaafkan kalian."

Pikirannya kembali saat Niko menepuk pundaknya. Mereka sedang berada di ruang meeting besar ADS, dengan dokter Linda, Hanif Daud, Janice dan M-sahabat istrinya. Hanif baru saja memaparkan seluruh rencana untuk menyelamatkan Daya. Fisik dan psikologis.

"Maja," panggil Niko.

"Ya?"

"Kamu sudah mengerti apa yang harus kamu lakukan?" tanya Niko.

Kepalanya menunduk dalam, berusaha meredam amukan perasaan di dada. Seluruh mata di ruangan menatapnya, seolah paham bahwa dia adalah kunci untuk rencana menyelamatkan Daya. Apa yang mereka minta sungguh sangat berlebihan. Bahkan mungkin akan menguji ambang batas kewarasannya. Semua orang di ruangan juga tahu, bahwa dia berpotensi besar mengacaukan segalanya, jika dia tidak bisa mengendalikan dirinya dengan baik.

"Apa ada pilihan lain?" dia mendongak menatap dokter Linda.

"Selalu ada pilihan lain. Tapi ini yang terbaik. Bukankah kamu selalu menginginkan yang terbaik untuk Daya?" tanya dokter Linda perlahan.

"Bagaimana jika ini tidak berhasil?" bisiknya nyeri. Bayangan tentang itu sudah bisa meruntuhkan dunianya.

"Kita semua sudah sepakat bahwa keselamatan Daya adalah hal yang utama, Maja," kali ini Hanif Daud. "Dengan cara ini, keselamatan Daya akan terjamin 100%. Kemungkinan gagal untuk hal lain memang bisa terjadi, dan itu adalah pilihanmu. Apakah kamu mau menukar segalanya dengan keselamatan Dayana? Bahkan keinginan pribadimu?"

Saliva dia loloskan. Terjebak pada kenyataan pahit yang harus dia jalani. Mungkin ini hukuman atas apa yang dilakukan ayah dulu pada Daya. Mungkin dia memang tidak ditakdirkan untuk bahagia. Daya dulu pernah bilang saat mereka makan malam, rakyat jelata-lah yang pantas bahagia karena mereka tidak punya apa-apa. Jika dia bisa, saat ini dia akan memilih untuk tidak menjadi Hadijaya. Nafas dia hirup seiring dengan air matanya yang jatuh satu.

"Lakukan apa yang perlu dilakukan, Nik. Pastikan Daya selamat," dia berdiri lalu berpamitan sopan.

Langkahnya gontai karena dia melepaskan sebagian jiwanya pergi. Dadanya terasa sesak tapi dia tidak boleh berhenti, karena jika dia berhenti dia akan berlari menuju Daya tidak peduli atas apa yang akan terjadi. Dia laki-laki, dia akan sanggup berdiri. Sekalipun dengan berdiri itu hatinya mati. Basri sudah menunggu di lobby. Pintu kendaraan dibuka lalu dia masuk.

"Kemana, Tuan?"

"Pindahkan semua barang saya ke apartemen saya, Basri. Kita ke sana."

Ada banyak tanya pada raut wajah Basri. Namun laki-laki itu cukup paham untuk menahan semua kata lalu melajukan kendaraan saja dalam diam. Wajahnya menoleh ke kursi di sebelahnya. Ada Daya di sana. Rambut hitam panjang Daya dicepol sederhana dan ujungnya sedikit mencuat keluar, dengan pakaian kerja formal yang pas ditubuh ramping Daya, wangi yang tidak berlebihan seperti pulasan make-upnya. Setiap pagi Daya sibuk dengan tablet untuk mengatur jadwal, menghubungi Tari, atau Reza, atau Dion. Kemudian dia akan meraih tangan Daya dan menggenggamnya erat. Dia ingin Daya selalu ingat bahwa dia ada, dia nyata, dia mencintai wanita itu dalam seluruh diamnya. Kemudian Daya akan menatapnya sambil tersenyum kecil lalu menghentikan apapun yang sedang wanita itu lakukan. Menikmati perjalanan menuju kantor bersamanya sambil bergenggaman tangan. Saat ini, satu tangannya sudah terulur namun tidak ada sambut hangat terasa. Hatinya kosong, hampa.

***

Digicom tanpa Dayana adalah bagai sayur tanpa garam. Tetap berjalan, tetap bergerak, namun ada lubang besar menganga yang setiap saat siap menyedot siapa saja. Tampuk kepemimpinan digenggam oleh Reza dan Melly, sebagai anggota direksi yang paling berpengalaman. Sistem autopilot yang dirancang Daya sejak setahun lalu sebelum pernikahan Daya terbukti berhasil. Perusahaan tetap berjalan sekalipun laju dan rasanya berbeda.

Berita yang Tari sampaikan secara resmi di kantor adalah Dayana harus beristirahat total karena kondisi kesehatannya. Namun Tari tidak bisa menghindari seluruh rumor dan gossip yang sudah menguar ke seluruh lantai di gedung ini. Karena ketiadaan Dayana, istri dari Admaja Hadijaya. Beberapa rumor menyatakan bahwa Adamja selingkuh lagi dengan wanita lain hingga Dayana hilang kesabaran dan menghilang. Ditimpali dengan desas-desus bahwa Maja sedang dalam proses menuntut ayahnya sendiri atas kasus hukum terkait dengan keluarga. Tari dan Agam berada di tengah-tengah segalanya.

"Gosip bulan lalu katanya Pak Maja selingkuh, gossip baru rebutan harta keluarga," wajah Tari sedih sambil mengaduk es the manisnya tidak bernafsu. Mereka sedang makan siang bersama di salah satu kedai makan dekat kantor mereka.

"Selingkuh? Pingin aku robek mulutnya yang ngegosipin itu."

"Gimana kondisi Pak Maja? Ini udah tiga bulan lho Mba Daya ilang, Gam," bisik Tari.

Agam hanya bisa mendesah nafas seperti membayangkan sesuatu yang buruk sekali sebelum menjawab pertanyaan Tari. "Pak Maja...hebat. Aku kehabisan kata-kata. Dia bangun dan berdiri setiap hari, kerja, melakukan segalanya seperti biasa, sambil mengurus Mama Fe, periksa Adeline, tapi nggak bicara sama sekali dengan ayahnya." Kepala Agam menoleh pada Tari. "Pak Maja pulang jam 12 malam setiap hari. Dua hari lalu, aku cek kenapa si Fina belum pulang karena lampu masih nyala. Si Fina duduk di mejanya lagi nangis diam-diam. Pas aku dekati pintu ruangan, aku kayak denger ada suara Pak Maja nangis di dalam. Fina nggak sampai hati ninggalin Pak Maja sendiri di kantor."

Tanpa sadar air mata Tari juga jatuh satu. "Ini semua aneh, Gam. Harusnya nggak gini endingnya. Kita kan mau mereka bahagia, Gam."

"Kenapa kamu jadi ikutan nangis? Aku jadi bingung nih," Agam menggenggam tangan Tari dari bangku seberang.

"Ya aku sedih. Pak Maja cinta banget sama Mba Daya, dan sekarang mereka pisah? Ini aneh kan? Kamu nggak bisa cari tahu sebenarnya ada apa? Mba Daya nggak telpon aku dan nggak tanya Digicom aja udah super aneh, Gam. Aneh," air mata Tari hapus. "Masalahnya apa sih? Masa nggak bisa dibenerin?"

"Kalau aku tahu sesuatu aku pasti bilang ke kamu, Tari."

Mereka diam sejenak.

"Kantor kamu gimana kondisinya?" tanya Agam. Mereka memang sudah selesai makan. Jadi mereka berbincang sambil menghabiskan segelas minuman dingin.

"Dion resign, dia bilang dia nyerah nggak ada Mba Daya."

"Good news," bahu Agam gendikkan.

Tari memukul bahu Agam kesal. "Iss...dasar nyebelin. Malah dibilang good news. Pesaing kabur yah? Jadi seneng?"

"Hah, laki-laki sejati itu adalah yang tetap berdiri sekalipun kapal sedang karam. Sekalipun dia tahu bahwa dia bisa mati di sana, tapi dia nggak akan ninggalin timnya. Pak Maja itu laki-laki sejati yang berdiri tegak sekalipun mau mati rasanya. Dion mah nggak masuk dalam hitungan. Jelas-jelas Digicom lagi butuh banyak bantuan, kenapa dia malah pergi?"

"Giliran ngatain Dion aja, lancar."

"Kenapa kamu belain dia?"

"Ih, nggak ada yang ngebelain. Kamu nggak fokus deh. Kita lagi cari solusi buat Pak Maja sama Mba Daya. Malah cemburu sama Dion," cebik Tari.

Nafas Agam hela. Dia menyeruput es jeruk kemudian bertanya lagi. "Tapi Digicom jalan kan? Pak Maja banyak bantu juga."

"Iya, Digicom jalan dan Pak Maja ngurus dua-duanya. Digjaya dan Digicom dibalik layar. Karena Pak Maja tahu, perusahaan itu benar-benar berarti buat Mba Daya," saliva Tari loloskan. "Dua hari dalam seminggu, Pak Maja duduk di ruangan Mba Daya jam 9 malam sampai jam 12." Bayangan betapa sepi dan sedih pada ekspresi Maja yang hanya duduk diam di ruangan Daya mampir ke dalam ingatan Tari.

"Iya, aku pernah liat." Agam diam sejenak. "Sekarang apa yang bisa kita lakuin? Masalah mereka aja kita nggak tahu."

"Otak aku macet karena jauh dari Mba Daya. Padahal kalau ada Mba Daya segala masalah kayak ada solusinya. I wish she call me, Gam."

Dahi Agam mengernyit. "Calling you...mmm. Why don't you call her?"

"Udah, Gam. Tiap pagi. Tapi hp nya mati."

"Texting?" alis Agam terangkat satu.

"Minggu-minggu pertama aku texting. Nanyain kabar dan keberadaan Mba Daya. Tapi sekarang udah nggak lagi. Ya ngapain juga orang hp-nya mati. Jangan-jangan udah ganti nomor."

"Aku punya ide. Ini worth to try sekalipun tingkat keberhasilan masih kecil. Sini aku bisikin," Agam memintanya agar bergeser lebih dekat.

"Benerin bisikin ya? Jangan dicium, banyak orang," bisik Tari galak.

Agam terkekeh kecil. "Mau ah nyolong dikit abis bisik-bisikan."

"Agaaam...serius dong," Tari mencubit pinggang Agam kesal.

***

Setelah Admaja melakukan apa yang dia harus lakukan, dia tidak sanggup lagi kembali ke rumahnya dan Daya. Rumah mereka. Karena di setiap sudut ruangan hanya mengingatkannya pada Daya saja. Akhirnya dia memutuskan untuk kembali ke apartemen. Sekalipun, apartemen itu juga memiliki kenangan yang sama. Ya, tidak sedetik pun ingatannya bisa pergi dari Dayana.

Hamparan sajadah dia tatap setelah selesai berdoa. Ini karma, karena selama ini dia tidak bersyukur dengan apa yang dia miliki. Karena selama ini dia abai pada kewajibannya. Karena selama ini dia hanyut pada kesibukan dunia. Hingga akhirnya Tuhan menghukumnya dan mengambil dua hal yang paling berharga. Istri dan anaknya.

"Tidak ada yang tidak mungkin, Maja. Kita punya agama. Yakinlah dengan apa yang kamu minta. Berdoalah sepenuh hati," ujar Hanif padanya di kantor ADS.

"Saya pendosa, Nif. Saya berdosa."

"Hey, bahkan pembunuh dan preman seperti Aryo Kusuma selalu bisa kembali. Kamu juga bisa. Tidak ada satu pun manusia yang bisa membantu menenangkan hatimu saat ini. Tidak ada. Hanya satu yang bisa. Tuhan yang Maha Esa."

Saat itu dia hanya diam tertegun. Tidak yakin bahwa dia mampu karena dia malu. Sungguh malu. Berapa tahun? Berapa lama? Dan dia kembali hanya pada saat dia terpuruk begini? Apa bahkan Tuhan peduli padanya? Jika iya, dia lebih berdosa lagi karena sudah abai. Lebih malu karena dia sudah berpaling dulu. Tapi, pada akhirnya lutut ini jatuh juga. Tidak berdaya karena dia seperti hampir gila. Kali pertama dia menangis seperti bayi, meratapi dosanya sendiri. Malu, terlalu malu hingga seperti ditelanjangi. Tapi setelah kedua, ketiga dan selanjutnya. Perlahan dia menemukan suatu pijakan, sandaran, selipan ketenangan di antara seluruh kecamuk di dalam diri.

Kakinya mulai tegak, fokusnya sedikit demi sedikit kembali. Hingga dia bisa menjalankan Digjaya dan Digicom bersamaan. Ya, dia harus menjaga perusahaan milik Daya hingga wanita yang dia cinta itu kembali. Sekalipun mungkin itu hanya jika. Kemungkinan Daya memaafkan keluarganya tidak ada. Nol, nihil, mustahil. Tapi entah kenapa Tuhan seperti selalu menyelipkan satu harapan itu. Bahwa buah kesabarannya akan berbalas nanti. Jadi saat ini dia selalu berdoa, dalam solat, bahkan dalam saat-saat singkat diantara jam kerja. Agar Daya dan anak mereka baik-baik saja di luar sana. Bahwa Daya bahagia sekalipun tanpa dirinya.

***

Rumah milik Ferina Hadijaya berada di pinggir kota. Tidak terlalu besar tapi memiliki taman yang luas di belakang. Sejak keluar dari rumah sakit, mamanya memang memutuskan untuk pisah rumah dengan papa. Menyendiri di rumah pribadinya, beristirahat dengan Ibu Sarni yang terus menemani. Dia selalu datang setiap Sabtu pagi, memeriksa kondisi mama yang sungguh terguncang dengan hilangnya Daya.

"Mama sudah sarapan?" mereka duduk di kursi teras belakang, menatap kebun luas. Udara masih terasa sejuk.

Satu tangan mama terulur dan menggenggam erat tangannya. "Mama tunggu kamu. Adeline menginap semalam, kita bisa sarapan bersama nanti."

Suara kicau burung dan desau angin menciptakan suasana yang tenang. Namun dadanya sudah kehilangan irama dan masih terasa hampa.

"Papa-mu tidak mau melepaskan Mama begitu saja," maksud mama adalah proses perceraian kedua orangtuanya. "Eyang datang besok dari Belanda. Untuk bicara dengan Mama." Maksud mama atas Eyang adalah ayah dari ayahnya.

"Berita masih dikendalikan Basri." Dia diam sejenak, memilih kata. "Setelah aku pikir lagi, Daya tidak akan mau menjadi penyebab hancurnya pernikahan kalian. Jika Daya ada...." nafas dia hirup dalam. "...maka Daya yang akan berusaha agar Mama membatalkan perceraian itu."

Ada satu tetes air mata meluncur di pipi mama. "Janadi harus membayar apa yang dia lakukan dulu," nada suara mama bergetar. Mata mama memandang lurus ke depan.

Bayangan papanya berlutut memohon maaf pada mama datang lagi. Hati mama sudah membeku saat Daya hilang, apalagi sejak tahu Daya sedang mengandung. Jadi apapun yang papanya lakukan, mama tetap pada pendiriannya untuk berpisah. Kemudian dia paham, satu-satunya jalan untuk mengubah keputusan mama adalah keberadaan Daya. Sementara dia juga mengerti bahwa Daya tidak akan memaafkan keluarganya atau kembali pada mereka. Ini seperti lingkaran harapan semu tanpa akhir.

"Kamu sudah memeriksa Daya di sana?" tanya mama.

Kepalanya mengangguk namun bibirnya membeku. Kabar yang dia terima hanya berupa laporan resmi saja. Tidak ada foto Daya. Padahal dia sangat merindukan wanita itu. "Kecil kemungkinan, Daya kembali pada kita, Ma," bisiknya sambil menahan sesak di dada.

Air mata mama meluncur lagi. "Lakukan apa saja untuk melindungi mereka, Maja. Apa saja."

Entah kenapa dia merasa langkah pertama dari segalanya adalah untuk menyelesaikan konflik keluarga Hadijaya terlebih dahulu. Meredam emosi mama, membuat papa bangkit lagi sekalipun dia tahu ini semua karena papa sendiri, juga saling memaafkan. Ya, dokter Linda berkata langkah pertama adalah berdamai dengan diri sendiri, setelah itu fase memaafkan bisa terjadi. Itu pun yang sedang dokter Linda lakukan pada Daya saat ini. Mencoba mencari sedikit celah dari segala fakta dan ironi. Agar Daya bisa memaafkan mereka. Karena itu, dia merasa bahwa dia sendiri harus mulai untuk memaafkan kesalahan orangtuanya untuk kemudian melangkah lagi. Mungkin saja, mungkin saja, kelak pintu hati Daya terbuka lagi untuknya, untuk mereka semua.

"Selamat pagi, Ma, Kak Maja." Adeline tersenyum sambil membawakan teh hangat di nampan. "Aku tahu kalian lagi ngomongin apa. Tapi aku nggak mau bahas lebih lanjut pagi ini," cangkir-cangkir teh Adeline sajikan di meja. "Ma, Papa sakit udah tiga hari. Setelah ini Mama harus tengok Papa. Kalian masih suami istri kan?" dengan tegas Adeline menatap mamanya.

"Dia punya banyak pelayan yang bisa mengurus dirinya," ujar mama.

"Ma...Papa juga sayang Kak Daya. Tanpa Mama ceraikan, Papa udah stress sendiri. Tiap malam Papa mimpi Kak Daya dan keluarganya," protes Adeline.

"Adel..." kepalanya menggeleng mengingatkan.

"Ntar dulu aku belum selesai," sahut Adeline galak. "Nggak ada yang nggak sayang Kak Daya. Aku juga sayang sama Kak Daya. Faktanya, Papa sudah pergi ke kantor polisi untuk menyerahkan diri. Tapi segala bukti-bukti tidak mengarah ke Papa. Iya Papa bohong, itu salah. Aku paham. Tapi kita semua bikin salah kan? Papa kemarin bahkan kerjasama bareng polisi untuk tangkap si penjahat judi itu. Belum berhasil memang, tapi Papa melakukan sesuatu dan berusaha menebus dosanya, Ma."

"Sudah, Del."

"Bercerai dengan Papa belum tentu mengembalikan Kak Daya. Dan aku yakin kalau Kak Daya ada sekarang, dia nggak akan setuju dengan keputusan Mama."

Mama diam menatap Adeline dengan wajah datar dan keras. Sekalipun pandangan mata mama mulai mencair perlahan. Untungnya Adeline mengerti, hingga akhirnya adiknya itu bungkam dan mengalihkan pandangan.

"Tidak ada keluarga yang sempurna, Ma. Adel paham itu sekarang sekalipun sakit rasanya," kemudian Adeline menatap mereka berdua. "Tapi kita tetap keluarga, dan keluarga...harusnya tetap bersama-sama sekalipun badai menghantam. Kita berharap Kak Daya bisa maafin kita, tapi kita sendiri tercerai-berai begini. Nggak masuk akal."

Kalimat Adeline seolah menyuarakan apa yang sejak tadi dia pikirkan. Dia tidak menyangka adiknya itu memiliki kedewasaan emosi seperti ini. Kemudian dia berdiri untuk berpamitan sopan. "Aku yang ke rumah Papa. Kamu di sini jagain Mama, Del." Dia memberi jeda. "Aku pamit, Ma."

Apapun itu, mereka harus bisa berdamai dengan diri mereka masing-masing dulu. Hingga emosi di dalam diri mereda, hingga kata maaf bisa tersampaikan dengan tulus, hingga hati perlahan terbuka untuk menerima maaf itu. Dan mungkin...hanya mungkin saja...Daya kembali pada mereka.

***

Villa di luar kota.

Suasana kamar temaram, dengan suara TV yang tidak diperhatikan. Dia berbaring miring menatap layar yang bergerak-gerak menayangkan film action yang sudah berulang kali mereka putar, tapi tidak kunjung usai ditonton. Karena ketika film dimulai, perbincangan malam mereka dimulai. Tentang rumah, tentang pekerjaan, tentang mama Fe dan Adeline, juga tentang mereka berdua. Yang terakhir dia paling suka.

Saat ini, dia sendiri di kamar besar yang kosong. Film itu terus berputar, aksi laga seru dari salah satu aktor ternama. Tapi entah kenapa air matanya meluncur tidak mau berhenti. Ada banyak hampa, sepi yang menggerogoti jiwa. Membuat air mata seperti hujan yang tumpah ruah membanjiri bantal tempat dia bersandar. Lalu entah bagaimana, sepasang tangan kuat mulai melingkari pinggangnya perlahan.

"Ya, kamu nonton film atau film nonton kamu?" suara dalam Maja persis berada di belakang tengkuknya.

"Maja?" dia ingin menoleh tapi tidak kuasa.

Laki-laki itu mengeratkan pelukannya dari belakang seolah menjawab pertanyaannya. "Maja?" seperti orang bodoh dia hanya bisa mengulang kata. Karena buncahan segala emosi seperti melesak naik ke tenggorokan.

"Iya, aku di sini." Maja menenggelamkan kepala pada ceruk di pundaknya. "Aku bahagia, Ya. Belum pernah aku sebahagia ini." Satu tangan Maja mengelus perutnya perlahan. Seperti mengisyaratkan rasa sayang yang tulus.

Bibir dia gigit hingga terasa sakit, karena getar pada tubuh akan tangisnya mulai tidak bisa dia kendalikan.

"Aku ingin...membahagiakan kalian, Ya. Saat ini, hanya itu yang aku mau," bisik Maja.

Refleks tubuhnya adalah meringkuk sambil mendekap dua tangan Maja yang melingkari perut. Tapi tangan itu menghilang perlahan, menguap pergi, meninggalkan dia yang seperti tercabik dari dalam. Dia membalik tubuh mencari Maja kemudian menjerit karena laki-laki yang dia cari menghilang, tidak ada. Menyisakan hangat pelukan di tubuh dan perutnya, juga wangi Maja yang menguar di segala penjuru ruangan. Karena desakan rasa, dia menjerit sekuat tenaga. "Majaa..."

"Daya...Dayana. Bangun, sadar, Daya," suara tenang dokter Linda ada di sana.

Dia duduk tegak lalu membuka mata. Dokter Linda yang duduk di pinggir tempat tidur. Juga M yang berdiri di dekat pintu. Ini bukan kamar mereka, Maja menghilang...tidak ada. Keluarga Hadijaya adalah penyebab kecelakaan kedua orangtuanya. Itu fakta. Matanya basah, dia menangis dalam tidurnya. Dada terasa sesak, tapi kali ini bukan karena kemarahan atas kecelakaan itu. Sudah lebih dari dua minggu dia terus memimpikan Maja. Satu tangan memegang perut dan dadanya. Berusaha mencari dan merasakan sisa dekap Maja tadi. Kemudian tangisnya pecah lagi lebih hebat daripada sebelumnya. Karena kali ini dia tahu, dia menangis karena rindu. Kosong jiwa yang hanya bisa diisi oleh Admaja.

Sementara jauh di luar villa.

Seorang laki-laki dari dalam mobil yang terparkir di luar perimeter area menghubungi seseorang.

"Kamu sudah temukan lokasi wanitanya?"

"Sudah, di luar kota."

"Bagus, hati-hati. Mereka menyewa ADS. Kalian tahu betapa hebatnya mereka. Saya akan lipat gandakan bayaran jika kamu berhasil nanti."

"Baik."

"Pantau dan cari kesempatan. Janadi harus membayar karena sudah berani mengusik usaha saya. Pura-pura berjudi dan mengirimkan banyak bukti ke polisi? Hah, manusia sialan!!" ujar suara di seberang.

"Apa perintah selanjutnya?"

"Habiskan seluruh wanita mereka diam-diam. Istrinya, anaknya, dan menantunya. Segera. Saya ingin Janadi tahu jika dia mengusik orang yang salah."

"Bagaimana dengan Janadi sendiri?"

Orang di seberang tertawa. "Para laki-laki Hadijaya akan mati, saat semua wanitanya mati. Biar mereka membunuh diri mereka sendiri."

"Mengerti."

Sambungan disudahi. Laki-laki itu menengok pada koper-koper berisi senjata yang berada di belakang mobilnya. Dia akan panggil satu orang lagi untuk membantu. Bayaran mereka akan besar sekali. Itu yang membuat senyumnya mengembang lebar.

***

Yak, siap-siap lagi.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro

Tags: #romance