Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Part 36 - To protect a best friend

Suasana airport tidak terlalu ramai sore itu. Kali ini penerbangannya istimewa, bukan business class yang dia dapatkan, tapi jet pribadi yang mewah lengkap dengan dua pramugari yang siap melayani. Perjalanan panjang setelah seminar psikologi dari salah satu negara di Eropa terasa menyenangkan. Sekalipun, dia tahu semua hal yang diberikan padanya saat ini tidak cuma-cuma. Salah satu keluarga konglomerat penguasa transportasi di negaranya membutuhkan informasi yang penting sekali. Perihal salah satu pasiennya dulu. Dayana, gadis dengan energi yang luar biasa.

Setelah tiba dia dijemput oleh beberapa orang laki-laki. Dikawal, lebih tepatnya. Sedan mewah nan nyaman sudah menunggu, dengan satu mobil di belakang mengikuti. Seolah nyawanya bisa terancam kapan saja. Ini membuat dia mengerti, betapa berartinya Dayana untuk keluarga Hadijaya. Sepanjang perjalanan tadi dia sudah diberikan file berisi tentang rangkuman apa yang sedang terjadi. Secara garis besar dia mengerti betapa gentingnya saat ini. Ya, seseorang dengan trauma berat kemudian dihantam lagi dengan fakta atas tragedy penyebab traumanya dulu bisa membahayakan diri sendiri.

Mereka berkendara satu setengah jam lamanya. Tiba di gedung yang tampak megah dengan tulisan A.D.S Headquarter. Apa ini kantor milik keluarga Hadijaya? Pengawal-pengawal tadi mengantarnya ke salah satu ruangan yang nyaman sekali. Ruangan dengan jendela besar, juga cahaya yang masuk serta pemandangan langsung ke lapangan tengah gedung besar ini yang berselimutkan rumput hijau. Sofa-sofa besar dan kecil, berikut dengan bantal-bantalnya ditata cantik sekali. Juga tanaman hias di tiga sudut ruangan. Bahkan harum dari ruangan ini menenangkan.

Senyumnya mengembang, karena tiba-tiba dia mengerti siapapun yang menyiapkan segalanya seperti ini adalah bukan orang sembarangan. Orang ini tahu bagaimana teknik-teknik psikologi, karena suasana ruangan ini persis seperti ruangan prakteknya sendiri. Dia berdiri menatap pemandangan hijau di luar sana, sambil menghirup aroma therapy kemudian tersenyum lebar. Dalam hati berujar, Dayana berada di tempat yang benar dengan orang-orang yang tepat.

Pintu diketuk kemudian seorang laki-laki bertubuh tinggi dan berwajah segar serta ramah tersenyum ke arahnya. "Selamat sore, Dok," sapa laki-laki itu sambil menjabat tangannya. "Saya Hanif Daud. Hanif saja."

Jabatan laki-laki ini terasa hangat. Tidak terlalu erat, namun tetap menunjukkan kesungguhan hati. Ekspresi wajah Hanif tulus, dengan mata coklat yang memukau. Andai saja salah satu anak perempuannya belum menikah, mungkin Hanif Daud bisa menjadi calon yang tepat.

"Halo, saya dokter Linda." Mereka duduk di sofa berhadapan.

"Saya harap tim ADS tidak mengganggu anda."

"Saya baik-baik saja. Hanya tidak pernah merasa sepenting ini." Dia diam sejenak, memperhatikan seluruh gesture dan ekspresi Hanif. "Saya sudah membaca file yang kalian berikan. Apa boleh saya mulai bertanya?"

"Mungkin saya sebaiknya menjelaskan seluruh kondisi kami pada dokter terlebih dulu, setelah itu dokter bisa bertanya. Apa boleh begitu?"

Dia tersenyum kemudian mengangguk sebagai jawaban. Informasi demi informasi dipaparkan oleh Hanif. Berurutan dan jelas, singkat dan penuh dengan fakta penting. Sebagian besar informasi dia sudah baca dalam file tadi, dan dia baru tahu kali ini. Karena saat dia menangani Dayana muda, yang dia tahu gadis itu mengalami trauma berat atas kecelakaan orangtuanya. Tapi dia tidak tahu apa atau siapa penyebab kecelakaan itu. Mengherankannya, seluruh fasilitas ini adalah milik keluarga Daud, bukan Hadijaya. Keluarga Daud yang turut bantu mencari Dayana dengan seluruh teknologi yang mereka miliki. Bukan dia tidak tahu siapa Daud, hanya dia tidak menyangka bahwa kekayaan dan kekuasaan keluarga ini demikian besarnya. Hal lain yang membuat dia terkejut, tentang kenyataan bahwa Dayana menghilang sudah lebih dari satu bulan. Dia ingat sekali berita peluncuran kapal pesiar di tabloid yang dia baca, wajah Dayana tersenyum di sana. Bahagia.

Hanif Daud terus memaparkan fakta beserta foto-foto dan bukti-bukti. Juga tentang kondisi Daya yang sedang hamil. Dahinya mengernyit dalam mencermati segalanya. Pasien dengan trauma berat akan cenderung menyakiti diri sendiri dan tidak ragu mengambil jalan pintas. Apalagi keluarga Daya sudah tidak ada, Daya seorang diri. Hanya sedikit sekali alasan Daya untuk bertahan dan menghadapi segala ironi yang dipaparkan oleh Hanif Daud.

Lalu dia bertanya beberapa hal untuk memeriksa dan memastikan. Akhirnya mereka berbincang. Hanif Daud terdengar sangat familiar dengan ilmu psikologi. Jadi diskusi kasus Daya berjalan begitu saja. Dia belum membeberkan informasi terdalam Daya, Hanif pun tidak memaksa. Tetapi Hanif memancingnya untuk terus bicara dan berusaha menemukan solusi atas langkah selanjutnya. Padahal Dayana masih belum ditemukan. Laki-laki ini secara emosi cerdas sekali. Karena Hanif memberi kesan bahwa Hanif percaya, jika dirinya akan memberikan informasi tentang Daya untuk menemukan gadis itu, tanpa memaksa atau bertanya secara langsung. Baru kali ini dia terpukau dengan seseorang yang tidak seprofesi dengannya. Hanif Daud, bukan sembarang orang. Tidak bisa dia sepelekan.

Setelah mendapatkan seluruh informasi, matanya menatap ke luar jendela, menimbang. "Dimana suami Dayana?"

"Kondisi Admaja secara emosional sedang tidak baik. Dia ada di luar, menunggu, berusaha bersabar. Jika Admaja yang memaparkan segalanya, anda bisa teralihkan dari Daya, ke Admaja. Karena keduanya membutuhkan bantuan anda. Sementara untuk menyembuhkan Maja, kita membutuhkan Daya. Jadi fokus utama adalah untuk menemukan Daya."

Nafas dia hirup dalam. Lagi-lagi Hanif Daud benar. "Saya tidak membagi informasi pribadi pasien saya."

"Saya mengerti. Kalau begitu kita bisa bicara apa yang kita harus lakukan setelah Daya ditemu...."

"Tapi tidak ada larangan untuk menginformasikan siapa nama sahabat Daya. Ibu Mulyani pasti tahu, tapi berhubung kondisi beliau saat ini, maka saya akan memberikan informasi itu."

Hanif tersenyum tidak menyembunyikan tatapan lega. "Terimakasih, dok."

Kemudian dia menyebutkan nama lengkap sahabat Daya di panti. "Saya harap dugaanmu benar dan Daya berada di sana. Karena jika salah dan kalian terlambat, Daya bisa membahayakan dirinya dan juga anak dalam kandungannya."

"Kami mengerti, Dok. Kami sangat menghargai bantuan dokter. Pertanyaan terakhir, tolong berikan kami saran bagaimana menangani Daya."

Dia tersenyum kemudian menganggukkan kepala. "Panggil Admaja masuk."

"Lagi-lagi, terimakasih dok," Hanif membalas senyumnya kemudian berdiri dan membukakan pintu. Membiarkan sesosok laki-laki yang dia duga adalah Admaja Hadijaya.

Ekspresi Admaja mengatakan segalanya. Bagaimana laki-laki ini tersiksa, putus asa, juga besar perasaan Admaja pada Daya. Lalu dia melakukan apa yang dia ahli untuk lakukan, membantu sesama.

***

Manggala mencermati layar komputer pada ruangan sempit di salah satu gedung ruko. Kemarin dia mendapatkan informasi dari salah satu kenalan Bam yang bekerja di sini menjadi waiter. Setelah foto Dayana dia sebar, ini adalah informasi berguna pertama.

"Stop, ulang," wajahnya mendekat ke layar. "Nggak bisa lebih jelas dari ini?" tanyanya pada pak satpam di sana.

"Lah ini udah bagus nggak rusak, Gan. Mungkin niat baik, jadi ditolong sama Tuhan," jawab si satpam.

Dalam video rekaman CCTV, ada seorang wanita yang datang dengan taksi lalu duduk di salah satu kursi teras kedai. Gesture tubuh wanita ini tidak nyaman, dua tangannya seolah selalu ingin memeluk diri sendiri. Rambut panjang, namun wajah tidak jelas terlihat. Salah satu pelayan tidak sengaja lewat saat mengantarkan pesanan pelanggan. Pelayan itu berhenti sejenak untuk bertanya pada wanita yang dia duga adalah Dayana. Tidak ada jawaban. "Lanjutin."

Rekaman CCTV berputar lagi, ada seorang wanita lain berambut pendek yang datang dan menjemput. Wanita berambut pendek itu mengenakan kemeja laki-laki berukuran besar, celana jins, dan menutupi wajahnya dengan topi. Satu yang mencolok terang, warna rambut wanita ini biru. Kemudian dia tersenyum tipis karena tahu siapa yang menjemput Daya. Hhhh....mahluk-mahluk kaya menyusahkan. Setelah mengucapkan terimakasih, dia keluar dari ruko sambil menyulut satu batang rokok. Satu rekaman CCTV dan masalah langsung beres. Masih ada delapan pertemuan dengan gadis kaya itu, jadi sebaiknya apa yang harus dia lakukan. Memberi tahu, atau menahan informasi.

Kepalanya menoleh merasa diperhatikan. Ada seseorang yang mencurigakan. Insting membuat dia meremas rokok lalu berjalan cepat menuju orang dengan hoodie yang sudah berlari. Kedai kopi tadi berada di salah satu bangunan ruko besar di pinggir jalan. Orang tadi memilih menghindari jalan raya, jadi ini undangan untuknya agar saling berhadapan di tempat yang lebih sepi. Apa orang itu adalah suruhan Benny? Jika ya, dia tidak segan untuk menghabisi.

Orang berjaket hoodie hitam sudah berhasil dia hentikan. Tangannya membalik tubuh orang tadi kasar. Hoodie tersingkap dan yang dia lihat adalah seorang wanita berambut pendek sekali, dengan mata memancarkan amarah dan wajah kotor. Orangnya Gumelar?

"Lo siapa?" dengan cepat dia memojokkan wanita itu di salah satu tembok. Mereka berada di gang ruko lebar namun sepi.

Si wanita tersenyum tipis lalu melakukan gerakan memuntir cepat hingga cengkramannya terlepas. Oh, dia masih lebih cepat karena jaket hoodie hitam si wanita sudah dia tarik hingga tanggal. Otomatis kaus putih polos wanita itu juga tertarik lebar. Saat itu terjadi, sekilas dia melihat tato ular melingkar di bahu belakang si wanita. Hhhh...wanita jadi-jadian ternyata. Itu istilahnya untuk anggota Mamba. Darimana dia tahu, pengetahuannya tentang keluarga Prayogo, Daud, tujuh tetua, ADS, hingga Mamba di atas rata-rata. Dia memang tidak terlibat langsung dengan mereka kecuali dengan Prayogo, tapi pengetahuan dasar tetap diperlukan. Ya, hanya orang bodoh yang mau berada di bawah naungan keluarga yang tidak dia tahu. Si wanita menatapnya miring sambil mengenakan kembali jaket hoodienya.

"Bilang sama J, jangan ikutin gue lagi," desisnya.

Si wanita tersenyum sadis. "Apa yang membuat kamu berpikir, kamu lebih hebat dari kami? Karena kamu anak jalanan? Kepala preman?" ludah di buang ke samping. "J hanya tinggal mengangguk, kami akan bereskan semua di bawah. Terutama kamu, Sayang."

Rokok dia keluarkan dan sulut lagi. "Membereskan kami mungkin gampang. Silahkan. Tapi menjaga apa yang kami jaga saat ini, apa bedebah kaya seperti kalian mau?" kekehnya sambil membuang asap rokok. "Lo pikir lo sudah kotor dengan topeng lo itu? Manusia kotor, dibentuk dari masa lalu yang kotor. Selamanya...kalian...tidak...akan...punya hal itu."

Tubuhnya berbalik kemudian berjalan pergi. Tidak ingin meladeni wanita ini. Tanpa dia tahu, si wanita tadi melemparkan sebilah belati melengkung yang berputar tepat ke tengah punggungnya. Bam muncul tiba-tiba dan mendorong tubuhnya hingga belati itu meleset, berputar balik seperti boomerang kembali pada si wanita yang sudah terkekeh riang.

Bam dia tahan karena ingin maju menghantam marah si wanita. "Ingat, kita nggak pukul perempuan."

"Dia bukan cewek. Dia orang gila," desis Bam.

"Dia orangnya, J," bisiknya.

"Apalagi begitu," Bam melepaskan diri tampak sudah lebih tenang.

Suara derum motor sudah ada di belakang mereka. Kelompoknya datang. Wanita tadi tersenyum tambah lebar. Mamba yang satu ini setengah gila. Lalu mobil sedan mewah dan dua motor hitam juga datang. Pintu dibuka dan Gumelar si pimpinan Selatan datang.

"Sayang, kamu nggak apa-apa?" Gumelar menghampiri si wanita yang langsung Gumelar rangkul.

Si wanita terkekeh. "Gue bisa sendiri, ngapain lo ke sini?"

"Nggak sekarang. Sabar, Sayang," bisik Gumelar.

"Pamer pacar lagi. Ba***e lo. Pulang sana, dasar manusia sakit jiwa!" teriak Bam.

"Hey, hey. Lo punya Amelia, Pras punya Gista, gue punya Alisha. Dan lo..." tunjuk Gumelar padanya. "Lo membusuk di neraka, sendirian," tawa Gumelar membahana.

Dia hanya menghela nafas sambil menyalakan rokok lagi. Menatap Gumelar dan kelompoknya pergi. Musuh bebuyutannya itu ada benarnya. Dia sendiri, selalu sendiri, dan tidak ada yang salah dari itu. Pundak Bam dia tepuk kemudian mereka berjalan menuju kelompok mereka.

"Lo ngapain ke sini?" tanyanya pada Bam.

"Bang Yud telpon. Anak Barat bikin ulah." Bam diam sejenak. "Tumben lo perhatian sama cewek segitunya," maksud Bam adalah pencarian yang dia lakukan untuk si gadis kaya.

"Lo masalah?" hisapan terakhir rokoknya dia hirup dalam sambil menaiki motor hitam. Puntung rokok dia jentikkan hingga terlempar ke pinggir jalan. Motor sudah berderum menyala. Dia tidak pernah menjelaskan urusan pribadinya kepada siapapun. Tidak sekarang, tidak selamanya.

"Enggak, nanya aja."

Visor helm dia tutup, kemudian dia menggendikkan kepala memberi tanda pada kawanannya. Hari sudah hampir gelap, tugas lain memanggil. Informasi untuk si gadis kaya dia akan berikan saat mereka bertemu nanti dan entah kenapa, dia mulai menunggu pertemuan itu.

***

Villa peristirahatan milik M.

Pesan dari Janice dia terima dini hari. Misi baru dengan level paling tinggi sehubungan dengan penjagaan orang pemerintahan karena kasus korupsi yang ramai baru-baru ini terjadi. Perlindungan saksi dibutuhkan. Commander akan turun tangan namun mereka semua membutuhkan keahliannya untuk duduk di belakang layar. Sepertinya The Professor sedang sibuk. Tugas seperti ini adalah jenis tugas yang tidak bisa ditolak. Janice pasti didesak untuk menurunkan yang terbaik.

J: You are selected as a part of mission level 5. Joining Commanders to protect VVIP. Gather in ADS headquarter 9:00. Please confirm.

Otaknya berpikir cepat karena dia tidak bisa meninggalkan Daya yang kondisinya masih tidak stabil sendiri saja. Bagaimana ini.

M: confirm to be online at mentioned time.

J: Physical present needed, NO EXCUSE. You're in, or you're out?

Maksud Janice di sini jika dia tidak datang berarti otomatis dia keluar dari Mamba. Misi level 5 adalah pada kategori tugas negara, jadi tidak ada alasan bagi agent kecuali jika dia sedang terluka parah. Menolak misi level 5 adalah akhir dari karir seorang Mamba. Hhhhh...

Pintu kamar Daya dia buka perlahan. Kemudian dia berjalan mendekati Daya yang tertidur di sofa masih dengan selang infus di tangannya. Wajah Daya masih pucat, namun semalam Daya sudah mulai makan sekalipun sedikit sekali. Bagusnya Daya tidak punya tenaga untuk pergi kemana-mana. Dengan cepat dia memeriksa suhu tubuh Daya. Normal. Matanya menatap ke sekeliling ruangan. CCTV sudah terpasang dan akan dia aktifkan. Kunci-kunci pada rumah ini juga bisa dia kendalikan dari jauh. Seharusnya aman.

Dalam lima belas menit dia bersiap-siap. Mengenakan segala atribut dan memeriksa ulang kondisi rumah. Kemudian dia pergi meninggalkan Daya. Dalam hati berjanji bahwa dia akan menyelesaikan tugas apapun itu secepatnya. Tunggu gue, Ya. Tunggu gue.

***

Hanif Daud menatap Niko Pratama yang duduk di hadapannya. Mereka berada di markas besar ADS tepatnya di ruangan Niko yang kedap suara.

"Kasus keluarga yang kompleks," ujar Hanif sambil menatap runtutan rencana di layar.

"Looks familiar?" ledek Niko mengacu pada keluarga Daud sendiri.

"Yah, kita semua punya cobaan kita sendiri-sendiri, Nik. Hey, lagian lo juga sudah jadi bagian keluarga."

"Gladly I am," sambung Niko. "Kita harus bantu Maja, Nif. Lo liat tampangnya. Gue yakin kalau lo ditinggal Faya juga kayak begitu."

"Kayak lo enggak aja," kekeh Hanif. Kemudian ekspresi Hanif berubah prihatin. "Maja nggak akan setuju, Nik. Lo udah ngomong."

"Dia nggak punya pilihan, Nif. Nggak punya."

"Gimana kalau dia ngamuk?"

"We do what we need to do, Nif. Not what we want to do. Apa yang kita pingin, udah nggak relevan. Ada dua nyawa yang harus diselamatkan. Jadi gue yakin, sekalipun berdarah-darah, Maja akan melakukan apa yang harus dia lakukan. Lagian sebagiannya ini rencana lo, Nif."

Nafas Hanif hela dalam. "Nurani gue berisik banget kalau begini. Jadi gue cuma butuh diingatkan."

"Nona Janice Kaliani Katindig sudah tiba," Angel si A.I pintar melaporkan. "Selamat datang, Nona Janice."

Sosok Janice masuk ke dalam ruangan. "Nik, Nif," kepala Janice mengangguk memberi salam singkat. "Laporan dari Sasha masuk soal temuan Manggala di salah satu coffee shop. Semua cocok." Janice memberi jeda. "Segalanya sudah siap dan target sudah datang. Gentlemen, let's start."

Hanif dan Niko berdiri kemudian meninggalkan ruangan. Saat di koridor Hanif melihat senjata dari balik jaket kulit yang dikenakan Janice. "Senjata itu untuk apa, J?" tanya Hanif.

"Jangan sepelekan Mamba."

"Mereka tim kamu," bisik Hanif. "Kita mau bicara baik-baik."

"Yang paling penting saat ini adalah menemukan Dayana, Nif. My team is my problem." Mereka berdiri di depan pintu. "Commander sudah di dalam, juga El, K dan M."

"Hey, hey. Tidak ada kekerasan, okey?" Hanif mengingatkan Niko dan Janice lagi.

"We'll see," pintu Janice buka kemudian mereka masuk.

"Selamat siang, Commanders."

"Sir yes, Sir," salam Niko dijawab serempak oleh para commander yang sudah berdiri.

"Hello, Ladies," Janice berekspresi datar.

"The sky is bright, J," jawab para Mamba juga sambil berdiri.

"Have a seat," Hanif kali ini.

Semua duduk kemudian lampu ruangan redup. Mata Janice terus mengawasi M yang terlihat mencurigakan. Layar mulai menyala dan semua menatap layar.

"Misi kali ini adalah untuk menyelamatkan dua nyawa," Hanif membuka.

Kemudian layar mulai menampilkan video coffee shop yang Janice dapatkan. Saat itu terjadi, ekspresi M berubah, tangan M mengepal kuat.

Hanif melanjutkan. "Wanita ini sedang mengandung, M. Kami paham bahwa dia sahabat..."

'BRUAK!' M menggebrak meja marah. "It's none of your business!!" raung M sudah berdiri tegak menatap ke seluruh ruangan.

Hanif, Niko dan Janice berdiri. Commanders juga berdiri memisahkan diri dengan posisi siaga. Dua Mamba lain duduk diam saja, tidak bisa berkata apa-apa.

"M, easy okey? Tenang dulu. Kita bisa bicara baik-baik," Hanif melangkah maju.

"You set me up, J? Dia sahabat gue dan keluarga Hadijaya menghancurkannya!!" teriak M. "I don't believe you, J."

"Kalau saya bicara jujur, bertanya jujur, kamu akan berlari dari saya," nada Janice tegas sambil menatap M datar. "Dan kamu paling tahu, setelah Mahendra Daud, kamu adalah yang kedua terbaik. Menutupi seluruh jejak akan mudah sekali."

"M, kita bicara dulu okey?" Hanif melangkah lagi memutari meja besar perlahan.

Janice menatap El memberi tanda untuk menahan M. El sudah berdiri seolah ingin membela M.

"Talk? Apa mengundang saya masuk ke sini, menjebak saya begini adalah bagian dari bicara? Kalian tidak boleh seenaknya begini! Dia sahabat saya. Kalian tidak tahu apa yang sudah dia alami!"

M cermat dan pintar, di atas rata-rata. Jadi M tidak tertipu dengan gerakan El di belakangnya. Malahan tubuh El ditarik cepat dan dilumpuhkan sementara senjata El yang tersembunyi di belakang tubuh direbut oleh M. Otomatis seluruh Commander mengeluarkan senjata dan menodongkannya pada M. Suara-suara senjata yang dikokang memenuhi ruangan.

"Turunkan senjata kalian!" teriak Hanif marah. Commander menurunkan senjata perlahan sementara Hanif masih terus maju. "M..."

"Stop, Hanif. Saya bisa melukai kamu untuk melindungi sahabat saya," ada tetes air mata meluncur di wajah M. Ekspresi M kacau dan terluka.

"Tidak perlu begini, M. Kamu hanya ingin melindungi Daya, kami mengerti. Tapi memisahkan Daya dari suaminya adalah salah, M. Kamu sendiri lihat hancurnya Admaja. Mahendra bilang kamu memperhatikan semua. Daya juga membutuhkan bantuan profesional untuk mengatasi apa yang dia alami saat ini, M."

"Kalau kalian tahu, berarti kalian juga tahu betapa hancurnya Daya saat ini. Kalian membohongi Daya. Hadijaya membohongi Daya!!" M masih terus mengacungkan senjata. Kali ini tubuh M bergetar perlahan karena tangis yang ditahan.

"Beri kesempatan agar itu semua bisa diperbaiki, M. Jika Daya tidak mau memaafkan, maka saya sendiri yang akan mengusir Maja pergi dari sisi Daya."

"Daya hancur berantakan. Kamu tahu bagaimana rasanya melihat sahabatmu satu-satunya hancur?"

"Sekalipun sulit dipercaya, tapi saya mengerti, M. Saya melihat hancurnya adik saya sendiri."

Nafas Janice hela satu kali. "Enough talking, M. Semakin lama Daya kamu tinggal sendiri semakin bahaya!" dengan cepat sekali Janice mengeluarkan senjata dari belakang tubuhnya kemudian membidik M tepat pada bahu.

'Blep-blep.' Peluru bius bersarang saat refleks tangan M menarik pelatuk senjata. 'Duar!' peluru pada senjata M berhasil El arahkan ke atap. Dengan sigap El dan K menangkap tubuh M yang tidak sadarkan diri.

"J, saya bilang tidak ada kekerasan!" protes Hanif keras sambil melihat Janice.

"Commanders, dismiss," ujar Niko. Para Commanders sudah keluar tanpa bicara.

Tubuh M sudah dibaringkan di kursi panjang. Hanif memeriksa kondisi M serta peluru yang Janice gunakan tadi dan mencabut peluru itu. "Lima belas menit harusnya?" ujar Hanif sambil menoleh pada Janice kesal. "Singkirkan semua senjata kalian. Admaja dan dokter Linda akan datang."

El dan K menyerahkan senjata mereka pada Niko. Tangan Niko mengulur pada Janice yang langsung menggelengkan kepala. "Saya tetap membutuhkan ini jika M masih keras kepala, Nik."

"God, J. Please," bisik Hanif kesal. "Ambilkan M minum hangat El, sekarang."

Dengan wajah kesal Janice menyerahkan senjatanya pada Niko. "Mamba tidak akan menangis karena peluru, Nif. Ayolah."

Hanif memberikan tatapan kesal pada Janice. "Setelah ini, gue yang bicara sama M. Kalian semua diam aja. Keluar ruangan kalau perlu," ujar Hanif lagi.

Niko sudah duduk. Sementara Janice memerintahkan Mamba untuk mulai bersiap-siap di lapangan. Permasalahan keluarga Hadijaya harus diselesaikan dengan cepat, sebelum kondisi di bawah semakin memanas. Potensi keluarga ini terseret pada apa yang akan terjadi juga tinggi karena Benny tidak akan melepaskan Janadi Hadijaya begitu saja. Jadi pikiran Janice terus berputar untuk menyusun rencana.

***

Hfffhhh...duh duh duh.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro

Tags: #romance