Part 35 - It's Killing me slowly
Masih harus menyiapkan tisu.
***
Ketika Daya dia jemput di salah satu coffee shop, wajah Daya pucat, bibir Daya bergetar hebat dan tatapan matanya kosong. Sungguh beruntung dia tidak terlambat karena Daya bisa saja diperalat oleh siapapun orang yang melihat. Mereka tiba di tempat peristirahatannya saat hari sudah sore. Daya diam, terlalu diam. Diam yang membuat dia bergidik juga. Karena dia bisa melihat guncangan jiwa hebat yang sedang Daya perangi sendiri. Ya, temannya ini berusaha berdiri dan sadar. Seluruh anggota Mamba dibekali dengan sedikit ilmu psikologi. Untuk persuasi, untuk mempengaruhi seseorang atau memanipulasi. Tapi bukan untuk menangani orang dengan guncangan jiwa hebat seperti ini.
"Duduk dulu, Ya." Satu kalimat dan itu membuat Daya berteriak sambil menjerit lalu berlari ke arah balkon. Persis seperti dulu di panti. Dia menahan tubuh Daya karena Daya ingin melompat dari balkon. Seluruh pintu dia kunci lalu Daya dia paksa untuk masuk ke dalam salah satu kamar. Ya, dia harus menarik tubuh Daya dengan seluruh tenaga yang dia punya karena Daya terus meronta.
"Dasar pembohong, mereka pembohong. Pembohong!!" jerit Daya.
Biarkan emosi Daya keluar, tapi jaga agar dia tidak menyakiti dirinya sendiri. Kata-kata Ibu Mulyani terngiang lagi. Jadi dia melepaskan tubuh Daya yang langsung Daya pukuli sendiri. Dia membiarkan Daya menghancurkan isi dalam kamar, membanting seluruh perabot, mematahkan setiap kaki kursi, meluapkan emosi yang sedari tadi Daya pendam. Dia berdiri menyaksikan dan menjaga Daya agar wanita ini tidak menyakiti dirinya sendiri. Air matanya jatuh satu-satu. Entah kenapa rasa sakit Daya bisa dia rasakan juga, menusuk dalam.
Dia sudah tahu tentang kenyataan kecelakaan keluarga Daya yang berhubungan dengan kejahatan Benny serta kaitannya dengan Janadi Hadijaya. Dia tahu karena dia membaca seluruh file itu. Bahkan dia membobol data kepolisian dan mencari rekam kasus kecelakaan Daya. Janadi Hadijaya datang dan mengaku segalanya pada polisi, itu pun dia baca catatannya. Tapi saat itu orangtua Daya sudah meninggal dunia. Pengakuan Janadi tidak bisa mengubah kenyataan pahit yang terlanjur terjadi. Kemudian Janadi yang merasa bersalah mulai membantu Daya, hingga pada hal-hal terkecil. Janadi seolah ingin memastikan Daya hidup bahagia.
Pikirannya kembali saat Daya ingin membuka jendela. Dia melangkah cepat untuk menangkap tubuh Daya. Mereka bergulat di lantai karena amukan Daya. Beruntung kemampuan fisik anggota Mamba termasuk dia di atas rata-rata. Jadi tubuh Daya sudah dia kunci di bawahnya. Mata hitam Daya menyorot penuh emosi. Bagus, bagus, setidaknya api itu belum padam. Jangan sampai padam. Karena jika padam jiwa Daya mati.
"Segalanya ini milik mereka. Termasuk apa yang gue makan, termasuk Digicom, termasuk Admaja," rintih Daya perih. "Gue mau buang semua. Semuanya."
Air matanya yang jatuh berbaur dengan air mata di wajah Daya. "Lo mau balas? Gue balaskan. Apa yang pertama ingin lo hancurkan?" dia harus menjaga agar api di mata Daya tidak padam. Dia harus menyelamatkan Daya dari ambang kegilaan. Dendam dan amarah adalah salah satu cara. "Bilang sama gue, siapa yang pertama harus gue hancurkan, Daya? Gue akan hancurkan."
Tangis dan rintihan Daya makin menjadi. Mata itu memancarkan ketidakberdayaan. Ya, dia tahu Daya mencintai Admaja Hadijaya. Mungkin lebih hebat dari semua cinta yang Daya pernah miliki. Dia juga tahu bagaimana Daya dekat dengan Ferina dan Adeline Hadijaya. Daya mencintai mereka semua. Jadi dia mengerti bahwa saat ini yang Daya mau adalah mati. Mati karena emosi dan dendam, juga cinta yang sangat dalam. Semua ini bisa membunuh Daya perlahan, pelan-pelan. Dia harus menemukan cara agar sahabatnya hidup lagi. Apapun caranya.
***
Akhirnya Admaja berhasil menemukan satu foto lama dari salah satu album foto di ruangan Ibu Mulyani. Ibu panti ini benar-benar seorang yang apik dan rapih, karena pada setiap foto ada nama siapa saja yang ada di dalam foto. Wajah Daya belia datar dan tidak tersenyum, seperti tidak suka difoto. Galak. Rambut Daya yang panjang dikuncir satu tinggi. Lalu mata Daya tidak menatap kamera. Daya diapit empat anak perempuan lain. Deretan tulisan nama di bawah foto adalah Fitri, Sukma, Daya, Riri, Gina. Foto itu dia amati sambil menahan hatinya yang berderak remuk redam. Dia merindukan Daya hingga tanpa sadar air matanya menetes satu. Cepat-cepat air mata itu dia hapus lalu dia berdiri dan pamit untuk pergi ke ADS, menyerahkan foto ini pada Niko. Setelah satu jam berkendara, dia tiba di ADS dan segera pergi ke ruangan Niko Pratama yang sudah menunggunya.
Niko menatapnya sejenak kemudian menghirup nafas dalam. "Saya sudah coba periksa dimana dokter Linda. Sayangnya, beliau sedang pergi ke luar negeri untuk seminar. Mahendra sedang melacak dimana dokter itu berada dan mencoba menghubungi beliau. Tapi membocorkan data pasien, biasanya seorang psikiater atau dokter tidak akan mau melakukannya."
"Saya akan ke sana."
"Maksudnya?"
"Saya akan menemui dokter Linda di negara manapun beliau sedang berada. Saya sendiri yang akan bicara pada beliau." Ya, jika perlu dia akan memohon dan mengiba pada dokter itu untuk mendapatkan petunjuk perihal Daya.
"Ya, silahkan. Asal kamu makan dan bercukur, Maja. Setelah kamu melakukan dua hal itu, saya akan berikan informasi dimana dokter Linda."
"Bagaimana jika Audra yang sedang hamil menghilang, Nik?" tanyanya datar. "Apa kamu bisa makan? Bukankah bernafas saja sulit?"
Niko terdiam lalu menghirup nafas dalam. "Okey, saya akan berikan segera."
Foto tadi dia sodorkan di atas meja. "Saya mendapatkan ini. Apa bisa Mahendra memeriksa seluruh wajah di sana dan status mereka saat ini? Siapa tahu salah satunya adalah sahabat Daya."
Setelah beberapa saat mencermati, Niko berujar pada A.I buatan Mahendra khusus untuk ADS, "Angel, hubungi Mahendra."
"Menghubungi Tuan Mahendra Daud."
Tidak berapa lama, layar berkedip lalu sosok Mahendra muncul di layar. Anak terakhir dari keluarga Daud itu sedang berada di dalam sebuah laboratorium teknologi. Mengenakan kaus abu-abu santai sambil menatap layar serius sekali.
"Hai, Hen," sapa Niko.
"Ya, Nik," mata Mahendra menatap Maja. "I'm really sorry to hear what happened, Maja. Kami akan membantu."
"Saya sangat menghargai itu, Hen."
"Foto sudah di scan dan terkirim, Hen. Tolong dilihat dulu. Apa kita bisa menemukan petunjuk dari sana?" sahut Niko.
Mahendra mengetikkan sesuatu pada komputernya lalu mencermati foto yang terpampang di layar. Dahi Mahendra mengernyit tanda sedang serius sekali. "Foto ini kualitasnya tidak baik, dan wajah yang ada di dalam foto adalah wajah lama. Beberapa dari mereka belum berusia 17 tahun jadi belum punya KTP. Nama yang ada juga tidak lengkap. Hmmm..." Mahendra diam sejenak. "Lexy, tolong hubungi Hanif Daud pada sambungan ini."
"Menghubungi Hanif Daud," sahut Lexy A.I ciptaan Mahendra khusus untuk laki-laki itu sendiri.
"Kenapa Hanif?" tanya Niko.
"Yang kita cari adalah satu sahabat Daya. Ada empat anak perempuan di sini. Hanif akan tahu dari gesture tubuh mereka perkiraan siapa sosok itu jika ada di foto ini. Jadi gue bisa fokus ke sana."
"Yes?" Hanif muncul pada sambungan. "Hi, Maja. Apa yang bisa saya bantu?" tanya Hanif tanpa basa-basi. Sepertinya Arsyad sudah menyebarkan berita hingga seluruh empat saudara Daud tahu.
"Nif, tolong periksa foto ini. Kita mencari sahabat perempuan Daya satu-satunya. Apa dia ada di foto ini?" sambar Mahendra.
Diam menyeruak karena Hanif sedang mencermati. Tangan Maja sedikit berkeringat dan perutnya mual. Mungkin karena dia belum makan sejak semalam. Suara hembusan nafas Hanif membuat fokusnya kembali.
"Tidak ada," jawab Hanif. "Tidak ada teman dekat Daya di sini. Lihat, Daya berdiri berjarak dari satu teman ke teman lain. Ekspresi Daya juga seperti bilang dia sedang tidak senang. Entah karena tidak suka di foto, atau memang sedang bad mood. Dua teman di sebelah kiri tersenyum dan berangkulan, sebelah kanan condong dan saling mendekat. Sikap tubuh Daya tidak nyaman, seperti tidak berada di antara sahabat-sahabatnya. Jadi tidak ada. Maafkan saya, Maja."
Jantung Maja berdenyit nyeri diiringi kepalanya yang seperti berputar. "It's okey, Nif," dahi dia pijit perlahan.
"You are not okey, Maja. Seluruh ekspresi kamu salah dan kamu sedang menahan sakit. Antar Maja ke klinik ADS, Nik. Tidak ditunda."
"Hey, I'm okey," bantahnya.
Ekspresi Hanif serius sekali menatapnya dari layar. Tidak mau dibantah. Sementara Mahendra terus mengetikkan sesuatu di seberang sana.
"Gue punya info dimana dokter Linda berada," sahut Mahendra.
Refleks tubuh Maja berdiri karena berita itu, namun dua tangannya langsung menopang di meja karena tubuhnya yang limbung. Tangan Niko langsung menahan lengannya agar tidak jatuh. Tangan Niko terasa dingin. Kepala dia gelengkan untuk mengusir rasa berputar. "Saya nggak apa-apa."
"Kamu demam tinggi, Maja. Angel, hubungi dokter di klinik bawah dan bawakan...."
Suara Niko terdengar jauh, semua terasa gelap dan tubuhnya benar-benar berat. Kemudian dia tidak sadarkan diri.
***
"Dimana, M?" tanya Janice pimpinan Mamba-lembaga pasukan elite wanita saat sedang video conference bersama timnya.
M adalah salah satu tim teknologi terbaik dan tercerdas yang Janice punya. Anak buahnya yang satu itu selalu bekerja, tidak kenal waktu bahkan harus dipaksa untuk cuti terkadang. Dia ingat dia memberikan cuti pada M satu minggu lalu, tapi kenapa sudah dua minggu M masih belum muncul juga. Elena di layar segera menghubungi M.
"I'm here, I'm here," wajah M muncul di layar.
"Dimana kamu?"
"Sorry, Bos. Gue harus ambil semua cuti tahun ini sepertinya. Ada keperluan mendadak. Tapi gue tetap datang meeting pagi."
"Ada yang perlu saya tahu?" alis Janice angkat satu sambil mencoba membaca ekspresi anak buahnya.
"Nope, I don't share my personal thing."
Ekspresi M tidak bisa dia baca. Ah, terkadang dia merasa dia melatih timnya terlalu baik. Hingga sulit sekali bahkan untuk membaca mereka. Apalagi Sasha yang pagi ini terihat dingin dan datar. Ya, Sasha sedang dia tugaskan di tempat para preman. Memantau apa yang sedang terjadi di bawah. Wajah Sasha kusam karena riasan wajah, rambut Sasha pendek dan tidak terawat, intinya penyamaran sempurna. Seluruh tim memiliki ekspresi yang hampir serupa, datar, tidak terbaca. Sama seperti miliknya sendiri.
"M dan Sha, saya butuh bantuan kalian. Commanders sedang sibuk dengan tugas negara, namun ada satu kasus penting yang tidak bisa diabaikan. Arsyad sendiri yang meminta tolong pada saya," tangannya mengetik cepat pada keyboard yang kemudian memunculkan gambar wanita di layar. "Namanya Dayana Dayandaru, istri dari Admaja Hadijaya yang sedang mengandung. Dia menghilang dan saya nggak percaya bahwa ada orang sipil yang bisa menghilang begitu saja. Pasti ada jejak yang tertinggal entah apa. Cari jejak itu, telusuri dan temukan wanita ini."
"Kenapa?" tanya M.
Matanya menatap M heran. "Mamba tidak pernah bertanya. Ada apa, M?"
"Saya hanya menanyakan pertanyaan biasa. Wanita ini terlilhat sangat normal, apa dia melakukan kejahatan? Atau menipu Hadijaya?"
Pandangannya masih melekat pada M di layar. Biasanya M tidak pernah bertanya, langsung menjalankan perintah begitu saja. "Dia tidak melakukan kesalahan apapun. Hanya ada salah paham di dalam keluarga mereka. Dayana memiliki trauma berat, dan bisa menyakiti dirinya sendiri juga anak di dalam kandungannya karena Daya belum sadar bahwa dia sedang hamil. Suami Daya hanya ingin menyelamatkan mereka berdua. Anymore question, M?" tegasnya.
"Nope."
"Good," kepalanya menoleh lagi menatap seluruh timnya. "Menemukan wanita ini adalah penting, untuk menyelamatkan dua nyawa."
"Manggala sedang mencari dia juga," ujar Sasha tiba-tiba.
Kali ini wajah Sasha dia tatap. "Jelaskan."
"Adeline Hadijaya putus asa dan meminta tolong pada Manggala. Mereka kenal karena Manggala menolong Adeline saat insiden percobaan penculikan."
"Apa sudah ada informasi berharga?"
"Sampai saat ini belum."
Nafas dia hirup dalam. "Tetap kabari saya. Okey, kita lanjut dengan laporan hari ini."
Meeting pagi berjalan seperti biasa. Tanpa Janice tahu, sepanjang meeting M juga sibuk untuk menutupi seluruh jejaknya dan Daya.
***
Tubuh tinggi, tatapan dingin serta wajah yang lumayan tampan dengan penampilan cuek milik Manggala dengan sukses membuat sebagian isi kedai kopi menoleh saat Gala masuk dari pintu. Ini pertemuan mereka yang kedua dan kali ini tempatnya adalah salah satu kedai kopi di daerah Jakarta. Namanya, kedai kopi langit.
"Bang, yang biasa?" ujar salah satu karyawan yang nampaknya sudah akrab dengan Manggala.
Gala mengangguk kemudian duduk di hadapannya. Buku-buku tangan Manggala terluka, juga sudut bibir laki-laki itu. Mau tidak mau dia bertanya juga apa yang terjadi karena rasa penasaran saja. "Itu kenapa?"
"Sesuka apa kamu dengan kakak ipar kamu? Sampai mau urusan sama saya," Gala mengalihkan topik sambil melepas jaket kulit hitamnya.
"Kak Daya kakak saya. Saya sayang sama dia kayak saya sayang sama Kak Maja," jawabnya. "Kamu udah dapat informasi?"
"Dia nggak balik ke apartemennya, juga nihil di daerah kantornya. Saya cek ke panti asuhan, juga tidak ada. Bahkan saya tahu dimana makam orangtuanya dan Dayana tidak ke sana."
"Wow, baru seminggu kamu udah tahu itu semua?"
"Kakak kamu ngapain dia sampai kabur begitu?" tanya Gala datar. Kopi hitam sudah terhidang di hadapan laki-laki ini.
Nafas dia hela berat. "Ayah saya bikin salah dan akibatnya pernikahan kakak saya berantakan." Dadanya masih terasa sakit mengingat amukan kakak kandungnya pada ayah. Kemudian mama yang masih berada di rumah sakit, dengan ayah yang seperti zombie. Menyalahkan dirinya sendiri sambil terus berusaha bekerja. Kakaknya sendiri bahkan masih di opname karena tidak bisa makan. "Semua berantakan. Semua seperti mati pelan-pelan karena hal ini," saliva dia loloskan. Air mata yang berusaha dia tahan naik ke pelupuk mata. Saat titik air itu meluncur, dia menghapusnya cepat-cepat.
Manggala diam sejenak sambil terus menatapnya. "Ayah kamu urusan dengan orang yang salah. Benny bukan orang sembarangan," kopi Gala teguk perlahan.
"Aku tahu, tapi ayah sudah nggak gitu lagi. Kenapa penebusan dosa terasa berat begini," tanpa sadar air matanya meluncur lagi.
"Nggak usah nangis. Dasar cengeng," dengkus Gala.
"Saya juga nggak mau nangis, tapi saya bingung harus apa. Melihat keluarga saya hancur begini tapi nggak bisa apa-apa. Kamu tahu nggak gimana rasanya?" semprotnya.
Ekspresi Gala berubah lebih datar. "Kamu nggak perlu bandingin kesulitan kamu dengan saya. Kalau kamu jadi saya, mungkin kamu sudah mati gantung diri sejak lama."
"Saya nggak bandingin, cuma..."
"Minta simpati saya? Saya cari kakak kamu kemana-mana, itu cara saya bersimpati. Bukan ngeladenin cewek kaya, manja dan cengeng lagi nangis."
Kalimat Gala membuat dia tambah sedih, terluka. Ya, mungkin ini tidak ada apa-apanya dengan masalah lain di luar sana. Tapi keluarga adalah segalanya untuknya. Saat ini hanya dia yang bisa berdiri tegak berpura-pura semua baik-baik saja. Sibuk memeriksa kondisi semua orang sementara hatinya hancur juga. Setiap malam dia menangis hingga tertidur. Memikirkan bagaimana jika Kak Daya benar-benar tidak bisa ditemukan. Akan matikah Kak Maja? Jika begitu, mama dan ayah bisa gila. Karena semua itu dia tidak bisa membendung tangisnya. Ya, dia menangis karena takut hal buruk tadi terjadi.
Letak meja mereka disudut hingga jauh dari pengunjung lain. Dia berusaha menghentikan tangisnya ini tapi sulit sekali. Tidak ada yang mengerti perasaannya, dia sendiri.
"Bisa diem nggak?" bisik Gala terlihat bingung.
Dua tangan sudah menutupi mulutnya namun dia masih terisak, mengeluarkan seluruh kesedihan yang dia tahan berminggu-minggu. Manggala mengambil sesuatu dari dalam tas selempang yang laki-laki itu bawa. Topi hitam Gala pakaikan di kepalanya, lalu jaket Gala tadi sudah digunakan untuk menutupi kepala dan bahunya. Refleks dia menelungkupkan kepala di meja. Dengan topi dan jaket Gala yang menguarkan harum laki-laki itu. Tangisnya terus berlangsung entah berapa lama. Manggala meneguk kopi. Menunggu dalam diam sampai dia berhenti.
***
MG Hospital.
Audra Daud berjalan di selasar rumah sakit sambil bicara pada sepupunya yang narsis dan menyebalkan. Siapa lagi kalau bukan Mareno Daud.
"Kamu harus bantu Maja, Ren. Ngomong sama dia."
"Iya, Sissy. Apa sih yang enggak buat istrinya Niko Pratama. Tapi kamu hutang satu sama aku."
"Emang mau dituker sama apa? Shelby? Itu urusan kamu sama Mahendra. Enak aja," dengkus Audra.
"Hey, ID Tech butuh dana buat rancangan kendaraan terbaru punya Mahendra. Nantinya, shelby udah jadi mobil biasa aja. Ya ngapain punya mobil cepat tapi macet dan nggak environment friendly."
"Sejak kapan kalian jualan mobil?"
"Aduh, Sissy. ID Tech jualan teknologi. Mahendra lagi buat prototype mobil terbang dan pakai listrik. Keren kan adek jelek gue itu. Begitu jadi, kita jual teknologi itu ke perusahaan lokal di sini. Biar bisa bersaing dengan perusahaan asing. Setuju?"
"Berapa banyak?"
"Now you hear me," tubuh Mareno berbalik mengahadapnya sambil berjalan mundur. "Kamu itu terlalu sibuk, Sis. Aku telpon terus tapi kamu nggak pernah angkat. Sekarang baru dengerin aku."
"Berapa?" mereka sudah hampir tiba di kamar rawat Admaja. Langkah dia hentikan hingga mereka berdiri berhadapan.
"Proposal meluncur segera setelah Maja bangun dan berdiri. Kamu transfer satu hari setelahnya."
"Kepedean," kekehnya.
Mareno membetulkan letak jas sebelum membuka pintu. "Watch and learn, Sis."
Kondisi Admaja Hadijaya tidak baik-baik saja. Laki-laki yang Audra kenal sejak dulu itu seperti digerogoti oleh cemas dan duka. Tatapan Maja kosong, menerawang. Laki-laki itu kesulitan tidur karena selalu diganggu kenangannya dengan Daya. Wajah yang berjanggut, dan tubuh yang lebih kurus hingga Maja terlihat lebih tinggi dari sebelumnya.
"Sore, Maja," nafas Mareno hirup dalam. Ekspresi konyol Mareno hilang seketika. Berubah menjadi datar dan prihatin melihat Maja.
"Hai, Ren, Aud," wajah Maja yang sebelumnya menatap jendela berpindah pada mereka. "Apa kalian punya informasi baru?" Maja berusaha duduk dari tempat tidurnya.
Mareno duduk di kursi dekat tempat tidur Maja, sementara dia mengambil tempat di sofa. "Saya punya hal yang saya akan bagi. Sebelum semua informasi terakhir dari Niko," mulai Mareno setelah melirik sekilas pada baki makan yang hanya habis seperempatnya saja.
"Kamu mau bilang kamu tahu rasanya?" timpal Maja.
"Saya bukan hanya tahu, saya hidup dengan apa yang kamu rasa setiap harinya," Mareno memberi jeda. "Antania Tielman, adalah wanita yang sangat pintar dan sangat keras kepala. Bukan perpaduan yang baik untuk kesehatan saya. Dia selalu membantah, membuat saya kesal, menyihir saya hingga saya menuruti segala kemauannya, termasuk menikah. Bayangkan, saya dan pernikahan adalah musuh bebuyutan. Singkatnya, Tania berhasil menjungkir-balikkan dunia saya," Mareno menatap Maja dalam. "Kenal kan dengan semua rasa itu? Persis seperti punya kamu?" tubuh Mareno berdiri lalu berpindah ke pinggir tempat tidur Maja. "Itu semua tidak bisa membuat saya berhenti mencintai wanita gila itu, persis seperti kamu mencintai Daya saat ini."
"Karena kesalahpahaman, Tania mencoba membunuh dirinya sendiri di hadapan saya. Tania terjun dari tebing tanpa berpikir apapun. Karena Tania tahu cara menyakiti diri saya adalah dengan menyakiti dirinya sendiri. Ekstremnya, jika dia ingin membunuh saya. Dia hanya tinggal membunuh dirinya saja. Saya pasti akan mati seperti kamu sekarang. Mati pelan-pelan," lanjut Mareno. "Lalu apa yang saya lakukan? Apa saya ikut mati? Saya menolak mati, ketika tahu ada secercah harapan bahwa dia masih hidup di luar sana. Dia boleh pintar dan keras kepala, tapi saya akan jauh lebih pintar dan keras hati melebihi dirinya. Saya kejar dan cari dia dimanapun dia berada, entah berapa lama, saya cari. Seperti kamu saat ini."
Nafas Mareno hirup dalam. "Tapi, kamu melupakan satu hal, Maja. Kamu butuh tubuh dan fisikmu untuk melakukan itu semua. Get your ass up, Dayana masih hidup. Ada di luar sana, menunggu seseorang yang lebih keras kepala dari dirinya untuk menyelamatkan dia. Semua wanita butuh diselamatkan, bahkan wanita ter-alfa sekalipun. Bulls**t jika ada yang bilang sebaliknya."
"Daya...tidak akan memaafkan saya, Ren," ujar Maja putus asa.
"Hah, kalau begitu pikiranmu. Lepaskan Daya. Lupakan wanita itu. Cari yang lain yang pasti akan antri untuk laki-laki seperti kamu."
"Saya tidak bisa!"
"Kalau begitu bangun, Maja!! Lakukan apa saja untuk meruntuhkan hatinya lagi. Kalau belum apa-apa kamu sudah putus asa, mungkin kamu nggak lebih baik dari Rendy," dengkus Mareno.
Tangan Maja mencengkram kerah kemeja Mareno. "Jangan buat saya memukul dan mengusirmu dari sini, Ren," mata Maja menatap Mareno dalam. Sarat dengan kemarahan.
"That's what I'm talking. Kamu punya Rendy, saya punya Sena. Laki-laki brengsek yang terus menunggu wanita kita. Setiap hari saya cemas memikirkan bagaimana jika Tania terluka, lalu lari bersama laki-laki itu. Setiap kali pikiran itu datang, lagi-lagi saya berusaha agar Tania jatuh cinta lagi pada saya. Setiap hari, selama-lamanya. Jadi saya bukan hanya mengerti perasaanmu, Maja. Saya hidup dengan cemas dan khawatir itu," Mareno melepaskan cengkraman tangan Maja kemudian berdiri membenarkan letak jas dan kemeja nya. "Saya Mareno Daud, bukan sembarang laki-laki yang akan kalah dengan laki-laki lain, atau dengan situasi yang sulit. Kamu bisa menjadi lebih baik dari saya, Maja. Hanya jika kamu mau."
Mareno berjalan ke telpon di kamar untuk memesan makanan baru yang lain, juga setelan jas lengkap dengan sepatu. Tidak lupa hair stylist langganan laki-laki itu. "Makan, berpakaian dengan baik, dan rapihkan wajahmu. Saya tidak pernah membiarkan Tania melihat saya dalam kondisi tidak prima. Bagaimana Daya bisa kamu yakinkan, jika penampilanmu seperti itu? Ingat, wanita butuh laki-laki kuat."
"Dasar brengsek," kekeh Maja sambil menggelengkan kepala. "Dua hari, beri saya waktu dua hari. Saya akan jauh lebih baik darimu, Mareno Daud," Maja sudah duduk tegak dan berusaha bangkit berdiri.
Tanpa sadar Audra sudah berdiri dan tersenyum melihat itu semua. Sepupunya yang narsis dan konyol itu ternyata bisa berguna juga di saat seperti ini. Ah, dia salah perhitungan.
***
Pintu kamar Daya, dia ketuk dua kali, sebelum akhirnya dia membuka kunci lalu masuk. Ya, M terpaksa mengurung Daya dalam kamar yang sudah dia amankan dari segala benda yang bisa digunakan Daya untuk menyakiti dirinya sendiri. Baki makanan dia letakkan di meja, sementara Daya sedang duduk di sofa panjang bersandar pada bantal besar dengan kaki Daya tekuk di depan. Satu tangan Daya mengenakan infus yang dia pasang karena tidak mau Daya dehidrasi.
"Ya, ada bubur ayam nih. Enak deh. Gue suapin ya," bujuknya. Semenjak dia tahu bahwa Daya hamil, dia lebih sering membujuk Daya makan.
Daya diam saja tidak menyahut, selalu begitu. Tapi paling tidak Daya sudah lebih tenang daripada dua hari lalu. Ya, dua hari lalu Daya terus berteriak marah, memaki, membanting barang-barang lalu menangis sedih hingga tertidur kelelahan. Sendok bubur dia isi lalu dia suapi Daya yang masih diam saja.
"Ya, makan satu suap aja. Abis itu kita baca buku, gimana?" bujuknya.
"Mi, kenapa rasanya sakit begini?" wajah Daya yang pucat pasi menoleh padanya. Air mata sudah jatuh perlahan di pipi Daya.
Nafas dia hirup dalam, merasakan sesak yang sama. "Ya, dari remaja kita hidup sendiri. Terbiasa sendiri. Gue paham, kemarin dulu lo punya kehidupan yang berbeda, punya keluarga. Tapi kalau dulu kita bisa sendiri aja, sekarang juga bisa, Ya."
"Gue mau, tapi laki-laki itu terus muncul di kepala gue, Mi. Nggak bisa pergi," Daya menoleh ke jendela lagi, masih dengan air mata yang sama. "Terkadang, gue bahkan bisa merasakan bagaimana dia peluk gue, Mi. Itu membuat gue...marah sama diri gue sendiri."
Perlahan dia mulai mencoba menjelaskan sudut pandangnya. "Ya, Maja nggak tahu soal ayahnya atau soal tragedi itu. Dia benar-benar nggak tahu."
Daya terkekeh nyeri. "Tapi dia adalah anak dari seseorang yang menyebabkan orangtua gue celaka. Itu ironi, Mi. Ironi."
Mangkuk bubur dia letakkan di meja samping sofa kemudian dia mendekati tubuh Daya yang rapuh. Sahabatnya itu bersandar padanya dengan dia yang langsung merangkul Daya. Mereka berdua menatap pepohonan hijau di luar sana. Merasakan hening yang menyeruak diantara kekalutan perasaan mereka. Dia belum berani berkata apa-apa perihal kehamilan Daya yang pasti Daya sendiri belum tahu. Dia tidak mau Daya mengamuk dan melukai diri sendiri lagi.
"Tinggalin Admaja, Ya. Demi kebaikan kalian berdua."
"Andai...bisa semudah itu."
Dia bisa merasakan getar tubuh Daya karena tangis lirihnya, berbaur dengan seribu patahan hati Daya yang menikam jantungnya juga. Karena dia tahu Daya mencintai Admaja begitu dalam, sama dalamnya dengan Admaja sendiri. Dia tahu karena melihat sendiri bagaimana Admaja hancur karena kepergian Daya, atau seluruh usaha Maja untuk menemukan Daya dan memperbaiki segalanya. Dia adalah saksi mata atas besarnya perasaan pasangan ini, dan perpisahan, hanya akan membunuh mereka perlahan-lahan.
***
Yah, mari kita tunggu episode berikutnya.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro