Part 34 - Searching
"Pagi," Agam sudah berada di apartemen Tari untuk menjemput wanitanya itu bekerja.
"Masuk dulu ya," pintu Tari buka dan dia melangkah masuk.
"Kamu kenapa?" tanyanya karena wajah Tari tidak baik-baik saja. Kemudian ingatannya kembali pada pesan Admaja semalam. "Mba Daya," nafas dia hela.
Tari sudah duduk di kursi meja makan sambil menatap ke luar jendela apartemen. Ekspresi Tari sedih sekali, pikirannya seperti menerawang. Dia yang melihat itu semua segera membuatkan Tari teh hangat di dapur kecil Tari. Setelah itu salah satu kursi dia geser hingga mereka duduk berhadapan.
"I hate to say this, tapi kita harus ke kantor. Itu adalah hal terkecil yang bisa kita lakukan sekarang," dua tangan Tari dia genggam.
"Mba Daya nggak punya siapa-siapa, Gam," air mata sudah menggenang di pelupuk mata Tari. "Mereka berantem hebat sampai Mba Daya minggat tanpa pesan ke aku. Itu aneh, Gam. Kalau ada yang Mba Daya cinta di dunia ini melebihi apapun, hal itu adalah Digicom. Seburuk apapun kondisi Mba Daya, untuk Digicom Mba Daya pasti datang. Cuma maut yang bisa misahin Mba Daya dari Digicom," ujar Tari perlahan. "Tapi sekarang....Mba Daya nggak hubungin aku sama sekali. Ponselnya mati total. Masalahnya pasti berat banget, Gam. Pak Maja semalam beneran kedengeran seperti putus asa. Aku..."
"Hey, hey, Tari. The last thing we want to do is panic dan sekarang kamu panik," dua tangannya menangkup wajah Tari lalu menghapus air mata wanitanya itu.
"Kata Pak Maja, Mba Daya lagi hamil, Gam. Lagi hamil bayangin. Perempuan seperti Mba Daya nggak akan pergi begitu aja kalau nggak berat banget masalahnya. Dan pergi kemana coba. Mba Daya punya trauma, inget kan dulu Pak Maja panik banget dan nanya-nanya ke kita. Gimana kalau..."
"Tarik nafas, Tari. Tarik nafas," dia meraih tubuh Tari dan memeluknya perlahan.
"I'm sorry, tapi ini Mba Daya. Seseorang yang dekat dengan aku. Dia udah kayak...kakak aku yang galak setengah mati tapi perhatian," Tari menangis di pelukannya.
Punggung Tari dia usap perlahan. "Pak Maja akan menemukan Mba Daya. Dimanapun Mba Daya sembunyi. Aku yakin banget soal itu."
"Kenapa begitu?"
Pelukan dia longgarkan kemudian dia menatap Tari. "Because I will do the same for you."
Mata Tari berputar namun Tari tersenyum kecil. "Bukan saat yang tepat untuk gombal kan, Agamnya Sherly?" ledek Tari.
"Aku nggak gombal. Emang kenyataannya begitu, Tari-nya Agam," cangkir teh dia berikan ke tangan Tari. "Minum, aku nggak kasih gula. Kalau mau manis liat aku aja."
Tari berekspresi kesal mendengar gurauannya. Wanita itu menghapus air mata lalu menyesap teh tadi.
"Aku nggak suka kamu bawa-bawa Sherly terus ya," protesnya.
"Hey, jangan GR. Aku nggak cemburu, cuma suka ngeledekin kamu. Karena dulu dikit-dikit Sherly, apa-apa Sherly, segalanya buat Sherly..." cangkir teh Tari letakkan di meja makan kecil.
"Tariii..."
"Sherly, aku cinta padamu setengah mati."
"Tariii..."
"Apa? Aku bener kan? Sherly minta skin care, Sherly minta..."
Kursi Tari dia tarik mendekat kemudian dengan cepat dia membungkam bibir Tari dengan bibirnya sendiri. Tari menggeliat ingin melepaskan diri namun dia lebih bersikukuh lagi karena tangannya sudah turun ke leher Tari, mengaja agar wanita ini tidak pergi kemana-mana. Setelah Tari memejamkan mata, dia menyudahi ciuman mereka.
"Masih mau ngeledek?" tantangnya.
Kepala Tari menggeleng kecil. Bibir Tari kemerahan karena perbuatannya tadi. "Aku ngerasa nggak enak kita happy begini sementara Mba Daya ilang deh, Agam. Nggak peka banget sih," Tari menjauh darinya kemudian mengambil tas dari satu-satunya kamar di apartemen itu.
"Loh, kamu yang mulai cemburu nggak jelas sama mantanku yang sama nggak jelasnya."
"Aku nggak cemburu," mereka melangkah ke arah pintu.
"Kamu cemburu, ngaku aja. Aku juga cemburu sama Dion."
"Aku nggak cemburu, Agam. Kamu nggak secakep itu buat aku cemburuin," pintu apartemen Tari buka.
Lagi-lagi dia meraih pinggang ramping Tari lalu memojokkan wanita ini di dinding, sementara pintu apartemen sudah tertutup lagi. Mata Tari membulat karena terkejut.
"Aku bakal bilang ke semua orang di Digicom kalau kita punya hubungan special sekarang," dia tersenyum kecil. Wajah mereka dekat dan sejajar.
"Hubungan special apa?"
"Serius kamu mau ngeledek terus? Aku bisa tarik kamu ke rumah orangtua kamu sekarang buat ngelamar. Mau begitu?"
"Agam, kamu bisa kepikiran ngelamar saat Mba Daya ilang begini?"
"Ya kamu ngeledek terus kayak anak kecil," dia mendengkus kesal lalu melepaskan tubuh Tari.
Pintu apartemen dia buka. Mereka berjalan di koridor menuju lift. Tari berada di belakang berusaha mensejajari langkahnya.
"Kamu kalau ngambek jelek, Gam."
Dua tangan dia masukkan ke celana setelah memijit tombol lift. Mulutnya masih bungkam karena kesal dengan sikap Tari tadi. Tari bilang Sherly? Hhh, itu hanya mengingatkan kebodohannya di masa lampau yang dia ingin buang pergi. Tanpa dia duga Tari mengaitkan tangan pada salah satu lengannya. Dia hanya melirik masih kesal.
"Nanti siang aku ditraktir apa?" tanya Tari.
"Aku ada meeting. Kamu makan sendiri aja."
Tari terkekeh kecil. "Masih ngambek ya, Agam-nya Tari?" bisik Tari sambil sedikit berjinjit di telinganya.
Tangan yang sebelumnya ada di kantung celana dia keluarkan untuk menggenggam tangan Tari yang tadi melilit di lengan. Dia murahan, memang. Tapi lebih baik murahan dengan seseorang yang menghargai dan mencintai dia, daripada dengan seseorang yang tidak mencintainya kembali. Tari kembali terkekeh kecil karena tahu dia sudah memaafkan.
"Jadi aku diajak makan kemana nanti siang?"
"Gado-gado sepiring berdua di kantin," balasnya sambil melirik usil pada Tari.
"Isss, masih pelit aja."
"Loh, itu bukan pelit tapi romantis. Aku nggak mau makan sendiri-sendiri lagi sekarang."
"Agam, aku nggak mau ah. Norak banget sih," pintu lift terbuka.
"Dulu kamu nggak pernah protes?" mereka naik ke lift yang kebetulan kosong.
"Dulu ya dulu. Aku nggak mau sepiring berdua lagi sekarang. Nggak kenyang."
Mereka terus berdebat seru hingga mereka menaiki sedan Agam dan tiba di kantor. Apapun itu, dia selalu menikmati keberadaannya dengan Tari. Semua terasa benar dan nyaman.
***
Markas Besar ADS, beberapa hari berselang.
Niko Pratama duduk berhadapan di layar, sedang menghubungi Arsyad Daud yang berada di rumah.
"Ibu Mulyani belum sadar?" tanya Arsyad.
"Belum. Tapi proses pemindahan ke MG sedang dilakukan. Mungkin dua-tiga hari lagi sudah selesai. Pegawai panti tidak ada yang tahu data-data lama mantan penghuni panti. Data berupa buku catatan besar itu dipegang hanya oleh Bu Mulyani. Saat ini Maja berada di sana untuk mencari data itu," Niko memberi jeda. "Maja seperti orang gila, Syad. Dia tidak bercukur, mungkin tidak makan."
"Ini sudah hari kelima, Nik," Arsyad menghirup nafas panjang. "Tanpa data-data Mahendra tidak bisa bekerja," dahi Arsyad mengernyit tanda sedang berpikir keras. "Apa lagi yang bisa kita lakukan."
"Otak gue buntu. Yang gue tahu, kita harus tunggu Bu Mulyani sadar dan kita sudah meminta dokter Reyn untuk menangani langsung."
"Pasti ada yang bisa kita lakukan, Nik. Pasti ada yang tertinggal."
Ponselnya berdering, nama istrinya berkedip di layar. "Sebentar, Syad." Dia mengangkat sambungan itu sambil mengaktifkan tombol mute. "Yes?"
"Nik, jangan lupa besok ada pertemuan siswa di sekolah Yara. Kamu bisa datang?" tanya Audra. "Mereka mengundang psikolog anak."
"Hmm, aku masih membantu Maja, Aud. Apa bisa kamu yang hadir dulu?"
"Sayang sebenarnya, karena psikolog anak ini yang terbaik. Ya sudah, aku yang..."
"Kamu bilang siapa tadi?"
"Psikolog anak?" tanya Audra heran.
Pikirannya langsung menjetikkan ide baru. "Thanks, Od. I love you. Sampai ketemu di rumah," sambungan dia sudahi. Tombol unmute dia nyalakan lagi.
"Dokter Linda mungkin tahu sesuatu, Syad. Dokter itu dulu yang menangani Daya," serunya pada Arsyad.
"Good. Berikan nama lengkap dan kirim ke Mahendra. Dia yang akan bantu cari. Kabari lagi gue setelah itu, okey?"
"Okey."
Sambungan dia sudahi kemudian dia dengan cepat mengetikkan pesan untuk Mahendra Daud. Adik dari Arsyad Daud yang jenius. Mahendra pasti bisa menemukan dimana dokter Linda praktek saat ini.
***
Siang menjelang sore Adeline sudah berada di sebuah kedai bakso sederhana yang terletak di Utara Jakarta. Supir keluarga menunggunya di depan. Ini semua dia lakukan karena jurnalnya yang tertinggal di kediaman Manggala. Anehnya, laki-laki itu yang menghubunginya lebih dulu.
Dua hari lalu.
0813123xxx: Lo ngomong sama Niko Pratama soal gue?
Adeline: Ini siapa?
Setelah lewat pukul sebelas malam pesannya baru dibalas.
0813123xxx: Gue udah bilang jangan ngomong soal gue.
Adeline: Gala?
0813123xxx: <mengetik>
Entah kenapa status mengetik muncul lumayan lama.
Adeline: Iya, aku ngomong soal kamu. Karena mau bilang ke Niko Pratama kalau kamu orang yang nolongin aku. Emang salah?
0813123xxx: Salah.
Adeline: Tapi aku nggak bilang kamu penjahat.
0813123xxx: Siapa bilang gue bukan penjahat?
Adeline: Aku, tadi. Coba baca lagi yang bener chat barusan. Bisa di scroll ke atas. Perlu aku kirim ulang?
0813123xxx: Bawel.
Adeline: Loh kok galak begitu. Nama kamu Gala, bukan Gala-k.
Lama tidak ada jawaban.
Adeline: Gala? Manggala? Kamu nggak dimarahin kan sama Niko Pratama?
Masih tidak ada jawaban.
Adeline: Hiss nyebelin pake ngilang segala. Mudah-mudahan kamu diomelin sama Niko atau dihukum sekalian.
0813123xxx: <foto buku jurnal harian dengan nama Adeline di bagian depan> Masih jaman nulis jurnal begini?
Adeline: Loh, kok bisa?
Dia mulai panik. Kenapa jurnalnya bisa ada di Manggala? Tas yang biasa dia gunakan sudah dia keluarkan untuk mencari jurnal yang sudah pasti tidak ada. Beberapa hari ini dia sibuk dengan Mama di rumah sakit dan hilangnya Kak Daya. Hingga dia tidak sadar jurnalnya menghilang.
Adeline: Gala, balikin. Itu punya aku.
0813123xxx: Siapa bilang? Pemiliknya adalah yang menemukan.
Adeline: Manggala, balikin nggak?
0813123xxx: Kalau enggak gimana?
Adeline: Aku telpon Niko Pratama dan minta dia jewer kuping kamu. Balikin nggak?
Tidak ada sahutan. Akhirnya dia memutuskan untuk menghubungi Manggala yang berujung tidak diangkat oleh laki-laki menyebalkan itu. Dia tidur dengan wajah kesal kemudian saat pagi tiba, pesan dari Manggala lengkap dengan alamat sebuah kedai bakso serta waktu mereka akan bertemu sudah tiba di ponselnya.
Lalu di sinilah dia, menunggu dengan sebotol teh dingin menatap jam pada ponselnya. Suasana kedai tidak terlalu ramai, mungkin karena jam pulang kerja belum tiba. Kedai ini sederhana tapi bersih. Manggala secara spesifik menyebutkan nama si pemilik kedai dan entah bagaimana pemilik kedai itu menempatkan dia pada meja ujung pojok kiri yang terhalang rak. Gala telat. Nyebelin. Kertas menu yang di laminating sudah alih fungsi menjadi kipas tangan. Panas, gerah. Lima menit lagi Manggala tidak datang, sudah pasti dia akan menghubungi Niko Pratama.
Tepat pada menit keempat sebuah motor hitam berderum dan parkir di depan kedai. Si pemilik kedai menyambut Gala dengan ramah. Gala turun dan menganggukkan kepala sopan pada si pemilik kedai yang memang sudah berusia, kemudian mereka berbincang entah apa. Manggala mengenakan jaket hitam dan celana jins abu-abu, juga tas selempang. Tubuh tinggi Manggala membuat beberapa orang menoleh saat Gala berjalan menuju ke mejanya.
"Kamu telat," ujarnya tanpa basa-basi.
Manggala hanya menatap tanpa ekspresi kemudian duduk di hadapannya. Tidak lama dua mangkuk bakso tanpa mie atau bihun sudah disediakan.
"Aku ke sini bukan buat makan bakso sama kamu. Mana bukunya?" tangannya terulur.
"Dimana bumi dipijak, disitu langit dijunjung. Kamu ada di teritori saya, jadi kamu ikuti aturan saya," Manggala mulai makan tidak menghiraukannya. "Makan."
Bulu kuduknya meremang, baru sadar dengan kebodohannya sendiri. Manggala benar, dia tidak memiliki pelindung di sini. Supir keluarga sudah usia, tidak mungkin bisa apa-apa.
"Ada bodyguard di sedan hitam depan sana," dia berbohong.
"Saya bilang...makan," Manggala menatapnya tegas.
Dengan ragu-ragu dia menatap seporsi bakso yang terlihat menggoda. Tapi seumur hidup makanannya selalu dijaga. Menu khusus sesuai dengan jumlah kalori yang dia butuhkan, juga bahan makanan bersih dan sehat. Bakso ini gimana?
"Nggak pernah makan bakso?"
"Enak aja, pernah," diam diam sejenak. "...tapi di restoran," lanjutnya. Akhirnya dia menyeruput kuah bakso yang ternyata terasa sangat nikmat. Sungguh. Matanya membelalak tertarik dengan hidangan di hadapannya ini.
Beberapa menit kemudian dia asyik dengan semangkuk bakso hingga lupa bicara apapun pada Manggala. Juga tidak tahu bahwa Manggala sudah selesai makan dan memperhatikan dirinya. Saat mangkuk bakso itu sudah tandas, dia baru sadar bahwa sedari tadi mata Manggala terus menatapnya. Karena salah tingkah dia mengambil tisu dan mengelap mulut. Keringat mulai muncul di hidung dan dahinya. Gerah karena memang kedai ini tidak ada AC. Kotak tissue Gala geser yang langsung dia ambil untuk mengelap keringat di wajahnya. Pasti saat ini dia terlihat aneh. Aaaahhh...ini menyebalkan. Sebelum sempat berujar apa-apa ponselnya berbunyi.
"Ya, Pa?" bisiknya sambil mendengarkan suara papa di seberang sana. "Iya, aku telpon Kak Maja habis ini. Belum ada kabar soalnya. Nanti aku telpon lagi yah. Aku ada urusan sebentar." Dia mendengarkan sejenak balasan dari papa kemudian menyudahi sambungan.
Pandangannya kembali beralih ke Gala yang sedang memperhatikan. Lalu desakan rasa khawatir atas hilangnya Kak Daya serta bagaimana kondisi kakak laki-lakinya sendiri saat ini membuat otomatis kalimat meluncur begitu saja.
"Kamu bisa bantuin saya cari orang hilang nggak?"
Gala diam sejenak, seperti berpikir. Karena gengsi kemudian dia berujar lagi. "Nggak usah, saya salah ngomong. Lupain aja. Jurnal saya mana?"
"Siapa yang hilang?"
Kali ini dia diam sejenak. Apa Manggala bisa dipercaya? Tapi apa pilihannya? Kakaknya bisa benar-benar gila dan mama akan terus berbaring di rumah sakit jika dia tidak membantu juga.
"Kakak ipar aku. Namanya Kak Daya."
Lagi-lagi Gala diam seolah menimbang sesuatu dengan ekspresi yang datar saja. "Sepuluh kali pertemuan, untuk satu informasi."
"Maksudnya?"
"Setiap 1 informasi yang saya berikan, saya akan bilang ke kamu kapan dan dimana kita bisa bertemu, sepuluh kali."
"Satu untuk sepuluh? Nggak adil dong."
"Emang ada yang adil selama ini?"
Dia diam mencermati kalimat Gala. Mata laki-laki ini tidak segelap sebelumnya, tapi tetap menyiratkan banyak amarah yang ditahan, dendam atas entah apa. Lalu dengan bodohnya dia menganggukan kepala dua kali.
"Okey." Okey, Del? Serius? Kamu urusan sama preman, Del. Wake up. Tapi preman harusnya punya banyak orang-orang di jalanan kan. Lebih banyak dari polisi. Harusnya begitu kan? Jadi siapa tahu ini membuahkan hasil, sekalipun hanya satu informasi saja. Segala yang sedang terjadi pada keluarganya seolah membuat dia sanggup mengorbankan apa saja, termasuk berurusan dengan preman.
"Terus, jurnal saya mana?" tangannya terulur.
"Urusan kita belum selesai, jadi nanti kalau sudah selesai."
"Loh, kok gitu?"
"Kamu yang minta saya cari orang. Jadi pakai aturan saya atau tidak sama sekali. Pilih mana?"
"Kamu tuh kenapa sih galak banget? Intonasi nada kalau ngomong selalu begitu? Aku bukan preman ya. Aku wanita baik-baik, jadi yang sopan kalau ngomong."
"Saya nggak peduli. Ini saya."
"Tapi kamu bisa kan menyesuaikan dengan siapa kamu ngomong."
"Udah selesai?"
"Belom. Dasar nyebelin," nafas dia hirup dalam untuk menenangkan diri. Kemudian dia berujar lagi. "Itu jurnal penting, ada schedule sehari-hari saya. Anyway, satu informasi kan imbalannya sepuluh pertemuan, bukan jurnal. Jadi boleh nggak saya minta?"
"Enggak. Sudah selesai, text saya soal kakak ipar kamu termasuk fotonya. Saya akan cari tahu," tubuh Manggala sudah berdiri.
Refleksnya adalah menahan lengan Gala juga sambil berdiri. Itu membuat Gala terkejut dan langsung menarik lengan. Kemudian dia tersinggung juga. "Jangan GR, saya cuma mau negosiasi ulang soal jurnal."
Gala mendengkus sambil memberikan tatapan meremehkan.
"Kamu yang minta ketemu lagi kan?" dia mulai membela diri karena makin tersinggung.
"Kamu yang minta bantuan saya. Lupa?"
Nafas dia hembuskan kesal. Karena tidak mau Gala yang meninggalkannya, dia yang beranjak ke meja kasir untuk membayar. Ya, egonya terusik karena laki-laki ini. Tapi herannya, pemilik kedai tidak mau dibayar. Dia tetap memaksa tapi gagal juga.
"Neng, saya hutang nyawa dengan Aden Gala. Jadi sampai kapanpun saya nggak mau dibayar," ujar si pemilik kedai.
Dia melangkah ke luar kedai dengan wajah kesal. Manggala sudah duduk di atas motornya ingin mengenakan helm hitam. Sosok itu dia hampiri.
"Kenapa kamu nggak minta bayaran uang untuk informasi itu?" tanyanya.
"Saya nggak butuh sepeser pun uang kamu," dengkus Gala. Helm full face hitam sudah dikenakan, sekalipun visornya masih terbuka.
"Saya nggak mau ketemu di tempat aneh-aneh."
Motor Gala nyalakan kemudian dengan sengaja diderumkan kencang. Lalu tanpa dia duga, motor-motor muncul dari gang-gang di dekat kedai bakso. Jumlahnya lebih dari lima belas. Dia mundur dua langkah karena terkejut. Motor-motor itu serupa dan bukan motor murahan, lengkap dengan helm full face hitam polos atau biru dongker.
"Kami preman, bukan orang baik-baik, tapi juga bukan tukang ambil kesempatan. Jangan GR," balas Gala. Visor helm sudah ditutup.
Manggala menderumkan motornya lagi kemudian melaju membelah semua motor yang seolah menunggu laki-laki itu. Melesat di depan dengan satu motor abu-abu yang berada di sisi Gala. Gerombolan itu menghilang di tikungan jalan. Sementara dia berdiri di sana kebingungan, mempertanyakan alasannya sendiri kenapa dia mau berurusan dengan preman. Salah, kepala preman.
***
Admaja menatap dirinya pada cermin di dalam kamar mandi utama. Lalu ada Daya duduk pada wastafel di hadapannya. Daya tersenyum sambil tertawa dan menyikat giginya. Ya, dia manja hanya pada Daya saja. Bahkan kegiatan sikat gigi yang awalnya tidak terencana, namun karena dia suka lalu itu menjadi kebiasaannya dengan Daya. Sebelum tidur, Daya pasti akan memeriksa apa dia sudah sikat gigi. Jawabannya selalu belum. Bukannya dia tidak bisa, tapi dia tidak mau, enggan. Dia ingin Daya duduk di hadapannya dan Daya yang menyikati giginya sambil meledek seru. Terkadang mereka akan bertengkar karena hal-hal di kantor, atau hal sepele lain. Setelah itu, dia akan mencium leher Daya kecil-kecil hingga istrinya itu kegelian. Kemudian turun dan berlari menghindar keluar dari kamar mandi.
Malam mereka akan habiskan dengan berpelukan di tempat tidur sambil menonton TV yang tidak pernah lama. Entah karena keinginannya yang selalu hidup jika berdekatan dengan Daya, atau berakhir dengan berdebat lagi. Ya, Daya adalah teman debat sempurna. Pengetahuan wanita ini seperti tanpa batas, luas. Otak Daya seperti selalu bekerja untuk memproduksi ide-ide atau kalimat-kalimat yang tidak dia duga. Sebagian besar dalam perdebatan mereka dia kalah, sekalipun sudah berusaha. Namun dia selalu berdalih bahwa dia mengalah dan Daya akan tertawa meledeknya lagi.
Saat ini, seluruh bayangan itu tercetak jelas dalam kepala. Bahkan dia bisa melihat mereka berdua berada di seluruh area kamar mereka. Bercanda, tertawa, berdebat seru, membaca buku, bekerja, juga berangkulan hangat dan berciuman mesra. Daya berada dimana-mana, di seluruh sudut kepala dan hatinya. Udara dia hirup banyak-banyak, karena tanpa sadar dia sudah berdiri di dekat tempat tidur besar mereka dengan satu tangan menggenggam baju tidur satin milik Daya yang sebelumnya ada di lemari. Seluruh barang Daya masih ada di tempatnya, tidak bergerak, tidak digunakan oleh pemiliknya. Mati, seperti perasaannya sendiri.
Baju tidur satin itu dia hirup dalam, mencari wangi istrinya. Salah, dia membutuhkan wangi itu untuk bertahan setiap hari dari hancurnya perasaan sendiri. Mungkin ini adalah fase awal dalam kegilaan. Karena wajahnya penuh dengan janggut yang tidak dia cukur, karena lingkaran hitam pada matanya jelas terlihat, karena berat tubuhnya menyusut sekalipun dia berusaha makan. Dia berusaha, tapi bagaimana bisa jika setiap duduk di meja makan yang dia lihat selalu wajah Daya, atau bayangan bahwa istrinya itu sedang hamil terus menetap di kepala. Bagaimana kondisi Daya? Apakah Daya sudah tahu perihal kehamilannya? Apa Daya sudah makan? Dengan apa Daya hidup saat Daya tidak menggunakan uang Daya sepeser pun? Ya, informasi Niko rekening Daya tidak bergerak, kartu kredit tidak digunakan sama sekali. Daya benar-benar hilang di telan bumi.
"Tuan, sudah saatnya makan," sentuhan lembut tangan Bu Sarni yang membimbingnya menuju meja kerja bisa dia rasakan.
Wanita paruh baya itu dengan sabar menyiapkan makanan di meja kerja. Paham benar bahwa dia tidak bisa makan di meja makan besar. Sendok Bu Sarni selipkan di genggaman tangannya.
"Tuan harus makan, untuk mencari Nyonya dan anak kalian. Sekalipun terasa sakit sekali, tetaplah makan. Tuan harus hidup karena hanya Tuan yang bisa menemukan Nyonya. Nyonya menunggu Tuan untuk datang, menjelaskan segalanya, menjemput dia. Dan yang paling penting, Tuan datang untuk bilang bahwa Tuan hanya mencintai Nyonya saja. Tuan tidak bisa hidup tanpa dia. Jadi, sekarang Tuan harus makan."
Kalimat itu Bu Sarni ucapkan setiap kali membujuknya untuk makan. Kalimat yang selalu berhasil membawanya kembali dan menggerakkan tangan untuk menyuap nasi. Dia harus hidup, untuk hidup dia harus makan. Agar dia bisa menjemput Daya pulang, dan mereka bisa bersama kembali.
***
Hhhh...nangis dong nulis partnya Maja dan Daya.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro