Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Part 33 - There are no secrets anymore

Siapin tisu yah. Banyak banget bawangnya.

***

Semalam, akhirnya Ferina kembali ke kamar utama karena suaminya memohon padanya. Sekalipun dalam hatinya masih ada bersitan perasaan mengganjal mungkin karena dia belum memeriksa apa isi amplop coklat itu. Jadi setelah menghabiskan malam bersama, dia bangun lebih pagi dan mengambil benda itu untuk dia baca di ruang kerja. Janadi sendiri masih terlelap nyaman di peraduan mereka.

Langkahnya perlahan karena masih menimbang. Apakah ada hal lain yang dia tidak tahu? Seburuk apa hal itu? Jubah tidur dia rapatkan karena entah kenapa udara pagi seolah terasa lebih dingin. Atau mungkin dia yang terlalu gugup. Dia berhenti di kamar Adeline, kemudian membuka pintunya perlahan dan masuk ke dalam. Anak perempuan satu-satunya itu sedang pulas tertidur. Masih ada lebam biru di lengan Adeline. Kemarin Adeline menutupi itu dengan gaun panjang. Admaja tidak tahu sama sekali tentang insiden kemarin. Karena Admaja bisa mengamuk hebat pada suaminya. Nafas dia hirup panjang dan tangannya meremas amplop yang dia genggam dengan kuat.

Harusnya, semua hal dia sudah tahu. Karena Janadi tidak mungkin menutupi hal yang lain darinya setelah kasus itu. Lagian, dia sudah memutuskan untuk memaafkan suaminya itu. Jadi seharusnya dia tidak perlu membuka amplop ini lagi. Isinya sama dengan apa yang dia dengar. Pasti begitu. Udara dia hembus perlahan. Satu tangannya mengusap lembut kepala Adeline dengan sayang. Keluarganya sudah baik-baik saja. Kepolisian dan ADS sedang menangani Benny. Semua akan baik-baik saja.

Amplop coklat dia buang ke tempat sampah di dalam kamar Adeline, sambil mengulang kalimat yang sama dalam hati. Semua akan baik-baik saja, sudah tidak ada rahasia lagi.

***

Kecupan lembut pada dahinya membuat dia menggeliat. Matanya yang masih terasa berat dia buka perlahan. Pemandangan pertama adalah Admaja yang duduk di pinggir kasur dekat dengannya, mengenakan pakaian bersepeda.

"Kamu mau kemana?" suaranya serak.

"Udah lama nggak sepedaan. Cuma di sekitar sini aja, nggak lama. Boleh ya?"

"Ya masa nggak boleh. Aku perlu ikut?" dia menguap kecil.

"Nggak pelu. Tidur lagi, istirahat. Kita ke MG jam 11, sekarang masih jam 6." Maja mencium pipinya kemudian beranjak keluar dari kamar mereka.

Setelah pintu kamar tertutup, mata dia pejamkan lagi. Namun, dia sudah tidak mengantuk tiba-tiba. Wangi segar Maja juga hangat tangan besar suaminya tadi membuat dia tersenyum lebar. Akhirnya dia duduk sambil mengumpulkan kesadaran. Kamar mandi adalah tujuan pertama karena dia harus mengosongkan kantung kemihnya. Wajah dia cuci lalu dia keluar ruangan untuk memeriksa menu makanan hari ini. Entah kenapa sejak kemarin dia ingin makan sesuatu yang berkuah dan asam. Sup ikan segar mungkin cocok. Jadi setelah bicara pada bibi, dan berputar mengelilingi kolam renang sambil menimbang apa dia akan berenang saja, lalu dia kembali masuk ke dalam kamar. Berenang bukan ide yang buruk.

Di dalam kamar dia berhenti sejenak, menatap seluruh area yang terasa hangat, karena kumpulan kenangannya dengan Admaja. Ah, dia harus menghubungi Tari untuk mengatur jadwal cuti. Ponsel yang dia letakkan di meja kerja dia hampiri. Acara grand launching semalam sukses besar. Tari dan timnya juga berhak untuk libur sejenak. Low batt. Tinggal 10% saja. Sepertinya dia lupa men-charge ponselnya semalam. Satu menit setelahnya, dia sibuk mencari charger dari dalam laci, lalu menemukan amplop coklat besar yang Tari kirimkan padanya saat charity night keluarga Daud dulu.

Ponselnya dia sudah isi daya sambil masih memegang amplop itu. Kenapa benda ini terasa berat, seperti penuh. Padahal harusnya hanya dua lembar kertas surat perjanjian saja. Karena penasaran, dia membuka amplop dan terkejut karena isinya berhamburan ke lantai. Tapi rasa terkejutnya tadi bukan apa-apa, karena foto-foto berukuran besar yang ada di dekat kakinya membuat dia menganga. Ada beberapa foto dan empat lembar kertas yang berisikan informasi. Pada salah satu foto, terdapat foto kecelakaan orangtuanya.

Jantungnya berdebar cepat sekali. Dia membungkuk perlahan untuk mengambil seluruh dokumen itu dengan tangan yang bergetar. Berusaha keras menenangkan kerja jantung yang memompa tanpa ampun. Kedua kakinya lemas karena satu demi satu trauma mulai datang. Tubuh dia topang dengan lutut yang bergetar. Foto-foto itu dia geser. Ayah mertuanya di meja judi, foto seorang laki-laki licik entah siapa, kecelakaan orangtuanya, panti asuhannya dulu, truk pembawa besi-besi panjang yang berhenti mendadak, juga dari semua foto itu, yang paling mengganggu adalah wajah ayah mertuanya sedang bersama ibu Mulyani-kepala panti asuhan dulu. Lalu ingatannya datang cepat, seperti air bah membanjiri kepala. Kali ini, dia seolah bisa mendengar lagi semua. Matanya terpejam, membiarkan kenangan buruk itu datang.

"Pelan-pelan. Jangan ngebut. Apa kamu kenal dengannya?" ibu bertanya heran pada ayah. Mereka berada di dalam mobil yang melaju kencang.

"Dia temanku. Kami memiliki hobi yang sama, terbang. Aku tidak bisa diam saja."

"Tapi kita tidak punya urusan dengannya. Laki-laki yang bersamanya terlihat sangat berbahaya."

"Sudah jelas laki-laki itu mengancam Jan. Anak Jan masih kecil seperti anak kita. Apa kamu tega?" nada ayah tinggi.

"Pelan-pelan, Dan. Berbahaya. Kamu bahkan tidak tahu temanmu itu terlibat apa. Ya Tuhan," suara mama makin panik. "Dan kita sedang berlibur, Dan."

"Ya, aku tidak tahu. Yang aku tahu penjahat itu menodongkan senjata pada Jan dan anaknya pada salah satu mobil di depan sana. Yang aku tahu aku akan menyesal jika tidak membantu."

"Tapi ini berbahaya dan kita membawa Daya!"

"Aku sudah menghubungi polisi. Tapi aku tetap tidak bisa kehilangan jejak Jan dan anaknya," ayah menoleh pada ibu. "Bagaimana jika itu Daya? Apakah kamu tidak ingin dibantu?"

Rasa panik terasa kuat, dia terisak di bangku belakang melihat orangtuanya bertengkar. "Aku takut," bisiknya.

"Oh, Sayang. Semua akan baik-baik saja. Biarkan Ayahmu membantu temannya. Keluarga yang berada dua vila di sebelah kita semalam. Apa kamu ingat?" satu tangan ibu terulur dan menggenggam tangannya lembut.

Ayah juga menoleh dan tersenyum padanya sesaat. Namun karena 'sesaat' itu juga, ayah tidak melihat bahwa truk pembawa besi berhenti mendadak di depan mobil mereka.

"Awaaasss!!" jeritan ibunya adalah hal terakhir yang dia dengar.

Sayangnya bukan hanya jeritan ibu, bayangan bagaimana kedua orangtuanya celaka terlanjur terekam di kepala. Tatapan dingin, besi yang menancap, juga darah.

Kepala dia gelengkan keras untuk mengembalikan kesadarannya. Air mata sudah membasahi seluruh wajah. Suhu tubuhnya yang anjlok membuat dia gemetaran hebat dan tubuhnya duduk lemas di lantai. Dia ingat, dia bisa ingat. Teman ayah yang dipanggil Jan. Saat itu datang berdua dengan anak laki-lakinya dan menempati vila tidak jauh dari vilanya sendiri.

"Daya, ada teman ayah dan anaknya di luar. Nama anaknya itu Maja. Kamu mau main dengannya?" suara ayah lagi yang sedang membujuk dia agar keluar kamar.

"Haaaaaaa...." dia menjerit sekuat tenaga sambil memukul-mukul kepala. Berusaha menghapus kenangan itu lagi. Karena sebelumnya kenangan itu hilang. Kenapa justru sekarang kenangan itu kembali.

Jadi Maja tahu? Jadi ayah mertuanya tahu? Lalu Janadi Hadijaya merasa bersalah karena itu diam-diam membiayai sekolah dan menyokong hidupnya. Admaja tidak sungguh-sungguh mencintai dia. Mereka semua bersekongkol karena merasa bersalah padanya. Karena keluarga Hadijaya adalah alasan kenapa orangtuanya celaka, lalu mati di hadapannya.

Panti, psikiater handal, sekolah di luar negeri, gedung tempat kantornya berdiri, bahkan saat dia memulai Digicom dulu proses pinjamannya pada Bank mudah sekali. Lalu... cincin pernikahan yang melingkar di jari dia tatap nanar. Tangisnya masih tidak terkendali. Susah payah dia berusaha bangkit dari duduknya. Namun tangis dia gagal hentikan sendiri. Tiba-tiba, dunia terasa jauh. Ini terasa seperti jatuh terperosok dalam lubang hitam tanpa dasar. Cincin pernikahan dia lepas dan letakkan di meja. Ponsel dia raih lalu tertegun sejenak. Tangannya masih bergetar dan rintihnya masih perih. Kemana dia harus pergi karena dia ingin meninggalkan semua yang melekat pada tubuhnya. Karena semua ini adalah pemberian Hadijaya, untuk menutupi kenyataan tentang kecelakaan orangtuanya.

Cepat bergerak, Daya. Tinggalkan ini semua. Pergi dari sana.

***

Sudah lama dia tidak bersepeda. Karena selalu bekerja membabi-buta. Tubuhnya memang lelah karena acara grand launching semalam yang sukses besar. Tapi entah kenapa pagi tadi dia terbangun lalu menatap wajah istrinya yang tidur dengan tenang. Seketika itu juga dia merasa bahwa hidupnya kini lengkap, seimbang. Dia sudah berhenti berlari karena sudah menemukan apa yang dia cari. Masa lalu dia sudah tinggal pergi. Dia mencintai Daya, lebih besar dari apa yang pernah dia rasa sebelumnya dan sungguh, dia tidak mau siapa-siapa lagi. Jadi, seluruh perasaan itu membuat dia lebih bertenaga. Lagian, sepeda yang dia pesan khusus sudah tiba. Akhirnya dia memutuskan untuk kembali melakukan salah satu hobi lamanya.

Area kompleks perumahan ini cukup besar, dengan banyak pohon rindang. Karena sudah lama dia tidak bersepeda, dia sedikit lupa diri. Pukul delapan lebih dia kembali ke rumah. Entah kenapa dadanya mulai dihinggapi rasa cemas. Padahal tadi ketika berangkat dia baik-baik saja.

"Daya..." Ruang tengah dan dapur kosong. Apa Daya masih tidur?

Pintu kamar dia buka. Tidak ada Daya. Lagi-lagi dia merasa ada yang salah. Pintu kamar mandi dia buka, sosok Daya juga tidak di sana. Kemudian ketika dia membalik tubuh. Matanya menatap foto-foto dan kertas-kertas yang berserakan di lantai kamar dan sebelumnya tidak dia lihat. Perlahan dia berjalan mendekati foto-foto itu dengan dada yang mulai berdebar tidak nyaman. Satu demi satu foto-foto dan dokumen-dokumen informasi tentang ayahnya, Benny dan kaitan ayah dengan kecelakaan orangtua Daya terpampang di depan mata. Dia terduduk di lantai sambil menatap semua tidak percaya. Dadanya berdetak nyeri sekali.

Daya. Ya Tuhan. Ketika kesadarannya kembali, dia segera berdiri untuk mencari Daya. "Daya!" kakinya melangkah cepat ke luar kamar dan menemukan Bu Sarni sudah ada di ruang tengah dengan wajah cemas.

"Bu, Daya dimana?" tanyanya cepat.

"Saya sedang di dapur dan dengar jeritan dari kamar. Jadi saya keluar tapi tidak berani masuk ke dalam kamar. Nyonya keluar dengan wajah benar-benar pucat dan hanya membawa tas yang biasa Nyonya bawa. Nyonya bungkam tidak menjawab ketika saya bertanya ada apa. Tapi mata Nyonya basah dan hidungnya merah seperti habis menangis. Setelah itu Pak Sakih datang dan Nyonya pergi dengan Pak Sakih."

Ponsel dia langsung angkat kemudian dia menghubungi Niko Pratama sambil kembali melangkah masuk untuk berganti pakaian. Jantungnya seperti berhenti dan dia mulai merasa sesak.

"Nik..." suara bergetar.

"Pagi, Maja. Ada apa?"

Amplop coklat polos itu dia cermati. "Daya..." dia berusaha mengembalikan fokusnya.

"Tenang dulu. Ceritakan perlahan."

"Daya menerima amplop coklat polos..." nafas dia hembus berkali-kali karena dia pun merasa hancur melihat apa yang dia baca. Satu demi satu foto dan dokumen yang ada di amplop itu dia sebutkan pada Niko Pratama. Karena sekalipun amplop ini tidak memiliki identitas, ini mirip sekali seperti laporan informasi dari ADS. Setelah selesai saliva dia loloskan.

"How come..." nada berat Niko di seberang sana bisa dia dengar.

"Nik, tolong cari Daya. Tolong. Terakhir dia keluar dari rumah dengan Pak Sakih, supir kepercayaannya. Saya mohon, Nik. Temukan Daya untuk saya. Daya sedang tidak fit ditambah dengan..." air matanya jatuh satu. "...kenyataan ini."

"Istrimu sedang hamil, Maja," bisik Niko. "Tania bicara padaku semalam dan bilang bahwa hari ini kalian akan periksa ke MG."

Ponselnya terjatuh dari tangannya yang bergetar hebat. Karena berita yang harusnya memberi kebahagiaan pada keluarganya tapi justru seperti membunuhnya sekarang, karena rasa khawatir dan cemas yang hebat. Wajah dia usap dengan kedua tangan. Ya Tuhan, Daya. Tangan itu basah karena sungguh tekanan hebat yang menghantam dada.

"Maja..." suara Niko pada ponsel yang belum dimatikan seolah mengembalikan dia pada dunia nyata. "Admaja!"

Benda itu dia ambil lagi. "Saya mohon, temukan istri saya. Bagaimanapun caranya, apapun yang harus saya lakukan atau kamu lakukan. Tolong saya, Nik. Tolong," nadanya putus asa. Tidak berdaya.

"Saya ke sana."

"Temui saya di rumah keluarga saya, Nik."

"Maja...hey. Satu-satu. Duduk di sana, tunggu saya. Saya harus memeriksa rumahmu dulu untuk menemukan petunjuk."

"Ya," ujarnya.

Sambungan disudahi. Jika dulu saat dia belum sadar bahwa dia mencintai Daya, dia sudah begitu khawatir akan wanita ini hingga meminta seluruh kru kapal pesiarnya untuk mencari Daya. Maka saat ini, dia akan mencari ke setiap kota, setiap jalan yang ada, dia akan mengerahkan segalanya untuk menemukan Daya. Ponsel dia tatap lagi kemudian dia memijit nomor yang dia hafal di luar kepala, nomor istrinya. Ponsel Daya mati, dia sudah tahu namun tetap terus menghubungi. Air matanya jatuh lagi, bayangan hidup tanpa Dayana, sudah tidak ada di kepala. Dia sudah tidak sanggup lagi.

Maja: Saya mencintai kamu, Daya. Apapun itu kita bisa bicarakan dulu. Kamu bisa terus bersembunyi, tapi saya akan menemukanmu dan membawamu kembali. Apapun resikonya.

Pesan itu dia ketik. Berharap saat ponsel Daya aktif nanti, istrinya akan membaca pesan itu. Lalu dia mengangkat ponsel lagi.

"Pagi, Sayang," suara mama di seberang sana.

"Papa ada di rumah?" tubuhnya sudah berdiri.

"Ya. Masih istirahat."

"Bangunkan Papa. Saya ingin bicara."

***

Sedannya melaju cepat menuju rumah keluarga. Ayah dulu memang penjudi, dia tahu itu. Perusahaan keluarga hampir ambruk karena digerogoti hutang judi ayah. Tapi dia berhasil membuat semua berdiri tegak lagi. Setelah itu, ayah harusnya sudah berhenti. Tapi bagaimana bisa kecelakaan orangtua Daya memiliki hubungan langsung dengan ayahnya begini. Ayah menyembunyikan seluruh kenyataan itu dari dia dan saat ini dia kehilangan Daya.

Kendaraan dia parkir di garasi besar rumah keluarga mereka. Langkahnya panjang-panjang untuk segera masuk, sambil membawa amplop coklat tadi. Niko sendiri sudah tiba di rumahnya ketika dia pergi, dan masih bertanya banyak hal pada Bu Sarni. Di dalam, sudah ada Ayah, Mama, Basri dan Adeline berdiri menunggunya.

"Kakak..." bisik Adeline dengan mata basah. "Kami baru tahu, dari ayah."

Isi amplop dia keluarkan kemudian seluruh isi dokumen dan foto dia lemparkan ke tubuh ayah. "Apa ini, Janadi?" suaranya sudah bergetar hebat menatap ayahnya dengan seluruh emosi yang dia punya. Ekspresi ayahnya pasrah dan dia tidak peduli. "Manusia macam apa kamu!!"

Mama sudah terisak tidak berdaya sambil mengurut dada.

"Saya berusaha bertanggung jawab, atas kesalahan saya. Saya tidak sempurna, saya tahu itu."

"Ketiadaan waktu kamu untuk keluarga, adalah ketidak sempurnaanmu. Sikapmu yang penuh amarah dulu, adalah ketidaksempurnaanmu. Tapi ini!! Ini adalah kesalahan besar!!" Susah payah dia berusaha mengkontrol getar pada tubuhnya. "Berjudi, lalu berhutang, lalu berlari dari Benny, lalu membunuh orangtua Daya??"

"Saya tidak membunuh mereka!! Saya tidak tahu Dani menyusul di belakang. Sungguh saya tidak tahu. Saya tahu berita itu saat saya berhasil menyelamatkan kamu dari Benny. Saya bahkan pergi ke pihak polisi dan menceritakan apa yang terjadi. Bahkan setelah seluruh penyelidikan selesai, polisi menyatakan bahwa itu kecelakaan."

Emosi sudah tidak bisa dia kuasai jadi dia bergerak maju dan menghantam wajah ayahnya dua kali. "Kalau kamu tidak berjudi, Benny tidak akan mengancam saya, atau membuat Adeline koma, atau membunuh orangtua Daya." Dia terus memukul meluapkan emosi. "Ayah macam apa kamu!! Kamu bukan ayah saya!!"

"Tuan, tenang dulu. Tenang dulu." Basri menahan tubuhnya sementara Mama sudah pingsan melihat itu semua dengan Adeline yang memangku Mama di lantai.

Dia tidak peduli, karena dadanya terasa sesak, dunianya seperti hancur karena kenyataan ini. "Apa kamu tahu, Basri? Apa kamu tahu soal ini?" teriaknya sambil menatap Basri. Ayah sudah terjatuh dan berusaha berdiri karena dia pukul tadi.

Basri diam sejenak. "Saya yang menemani Tuan Janadi ke kantor polisi. Saya bersaksi bahwa Tuan Janadi sudah mengaku dan menceritakan apa yang terjadi pada polisi. Saat itu Tuan Maja masih sangat muda dan Nona Adeline berada di rumah dengan Nyonya. Tuan Janadi tidak mengira bahwa Benny akan mengejarnya ke villa dan membahayakan nyawa Tuan."

"Apa kamu tahu bahwa selama ini bahwa ayah saya menutupi segalanya dari Daya? Daya istri saya!!"

Kepala Basri mengangguk dua kali. "Ya, Tuan. Setelah itu Tuan Janadi merasa bersalah jadi terus membiayai dan membantu Nona Daya diam-diam."

"Apa Mama tahu?" bisiknya.

"Tidak. Hanya saya dan Tuan Janadi yang tahu."

Bongkahan rasa kecewa, sakit hati, kalut, marah dan emosi mengaduk perutnya. Air matanya jatuh satu-satu. "Kalian berdua...luar biasa brengseknya."

"Ma, bangun Ma," bisik Adeline sambil menahan isak tangis.

Basri dengan sigap mengangkat tubuh Mama dan menidurkannya di sofa besar ruang keluarga. Adiknya menyodorkan amplop coklat polos yang terlihat serupa. "Kak, Mama curiga dengan Ayah. Jadi Mama minta ADS untuk menyelidiki. Tapi laporan penyelidikan tertukar dengan amplop milik Kak Daya," Adeline berusaha menahan tangisnya. "Apa Kak Daya sudah tahu?" bisik Adeline.

Ingatan tentang Daya yang menghilang membuat dia terkekeh nyeri sambil menangis. "Sudah." Matanya menatap ayah yang sudah berdiri lagi. "Keluarga macam apa ini?"

"Dimana Kak Daya sekarang, Kak?" suara Adeline lirih.

"Pergi bersama anak kami. Dan saya...saya juga akan pergi mencari mereka."

Matanya terus menatap ayah saat menjawab pertanyaan Adeline. Kemudian tubuhnya berbalik dengan Adeline yang terus mengekori. "Kakak, kabari aku ya Kak."

Langkahnya berhenti di teras rumah. "Jaga Mama baik-baik, Del."

Lalu dia kembali masuk ke dalam mobilnya. Melaju cepat menuju markas besar ADS untuk bertemu dengan Arsyad Daud.

***

Hari minggu seperti ini biasanya M habiskan dengan hibernasi. Apalagi Janice-bosnya, memberinya cuti hingga tiga hari ke depan atas kompensasi dari berbulan-bulan bekerja tanpa pernah libur. Bukannya Janice tidak memintanya libur selama ini, tapi dia lebih suka berada di sarangnya atau di markas Mamba yang sekarang sudah berdiri.

Rumah peristirahatannya ada di pinggiran kota dan di dataran tinggi. Ya, dia lebih suka suasana hening dan udara dingin ketimbang daerah pantai. Desain rumah modern minimalis, dengan atap tinggi dan kaca-kaca besar dan lebar yang mengelilingi area hutan buatan di luar sana. Tetangga terdekat jaraknya adalah 500 meter di bawah rumah miliknya. Satu ruangan di lantai atas dia ubah menjadi kamar 'bermainnya'. Lab teknologi yang tidak secanggih milik Mahendra Daud aka. The Professor, tapi cukup canggih untuk dia bekerja atau 'bermain-main'. Kamarnya sendri terletak persis di sebelah ruang kerjanya. Serta satu kamar lain di atas, dan satu di bawah. Tidak banyak, karena dia tidak punya banyak teman.

Sejak pagi tadi dia merasakan ada sesuatu yang mengganjal dada. Seperti firasat ketika bahaya akan terjadi. Mungkin dia berlebihan karena selalu dikelilingi bahaya. Jadi dia berusaha untuk lebih rileks dengan cara menyeduh kopi dan duduk di area ruang tengah sambil menatap jendela besar kaca yang menampakkan pohon-pohon tinggi dari tebing di seberangnya. Mungkin setelah ini dia akan berbelanja. Karena rumah ini jarang dia tempati, maka persediaan makanan tidak banyak. Sehari-hari ada satu orang yang dia percaya untuk membersihkan tempatnya. Sisa hari ketika bekerja, dia akan tinggal di apartemen tengah kota, atau tidur di markas besar.

Tubuh dia rebahkan berusaha mengalihkan pikiran dari rasa cemas yang masih saja ada. Tidak lama kemudian, ponselnya berbunyi. Benda itu dia ambil dari meja dekat sofa. Daya. Senyumnya mengembang.

"Udah kangen sama gue? Kan kemarin baru ketemu," dia meledek Daya.

Suasana di seberang ponsel terlalu hening, hanya gemerisik udara kemudian dia mendengar nafas berat yang ditahan. Refleks tubuhnya tegak berdiri dan langsung berlari ke lantai atas. "Ya, ada apa? Lo nggak apa-apa kan?"

"Jemput...gue, Mi. Jemput..." nada suara Daya bergetar hebat, seperti menangis. Daya bahkan memanggil dia dengan nama aslinya.

Earphone dia pasang kemudian dengan cepat dia berganti pakaian. "Dimana?"

"Gue...nggak bisa...mikir, Mi," rintih Daya. "Tolongin gue."

"Aktifkan lokasi di ponsel lo, cari tempat aman. Coffee shop atau restoran," jaket hoodie sudah dia kenakan lalu dia masuk ke ruang kerja untuk mulai mencari Daya. "Dayana, lo cewek paling kuat yang pernah gue kenal. Daya, wake up!!" teriaknya untuk menyadarkan temannya itu. "Lo sama siapa?"

"Taksi."

"Lo denger gue minta apa tadi?" jarinya terus melacak melalui komputer.

"Lokasi, udah," isak Daya. "Coffee shop...gue nggak tahu gue dimana."

"Mana supir taksinya, gue yang ngomong."

Tidak lama supir taksi menyahut dan dia sudah memberi perintah jelas sekali. Supir taksi juga sudah menyebutkan kode kendaraan dan berjanji menurunkan Daya di coffee shop terdekat. Lokasi Daya sudah dia temukan. Kemudian dia berujar lagi. "Ya, gue ke sana okey. Tarik nafas, duduk dan tunggu gue. Jangan matikan ponsel. Okey?"

Daya diam saja.

"Daya, apa lo dengar gue? Ulangi apa yang gue minta tadi," pintanya.

"Duduk, tunggu, jangan matikan ponsel," ujar Daya terbata-bata.

"Good. Semua akan baik-baik aja, Ya. I'm coming for you."

Sambungan disudahi kemudian dia meluncur pergi. Memacu kendaraannya cepat untuk menjemput satu-satunya sahabat yang dia punya.

***

Markas besar ADS sudah berdiri lagi. Belum sempurna namun sembilan puluh persen sudah beroperasi. Admaja melangkah setengah berlari menuju lantai atas, kantor Arsyad Daud. Niko sendiri sudah mengirim pesan bahwa mereka sudah menunggu. Dia sudah sampai di pintu saat sensor otomatis memindainya.

"Selamat datang, Tuan Admaja."

Pintu terbuka lalu dia melangkah masuk. Sudah ada Arsyad duduk di belakang meja bersama Niko Pratama. "Silahkan duduk."

"Apa kalian bisa melacak Daya?" tanyanya tanpa basa-basi. Karena sungguh yang dia ingin adalah berlari kemanapun Daya berada saat ini.

Niko menggelengkan kepala. "Kami masih mencari tahu lebih banyak karena sedikitnya informasi tentang Dayana."

"Sedikit? Kalian bahkan tahu soal Benny, soal kecelakaan orangtua Daya dan tidak memberitahu pada saya lebih dulu!" emosi sudah menguasainya sedari tadi.

"Maja, tenang dulu," suara besar Arsyad sudah menggema. "Apa kita akan sibuk saling menyalahkan perihal informasi yang Mama-mu minta? Atau kita fokus mencari istrimu yang sedang hamil?"

Rahang dia katupkan. "Ini semua berlebihan, Syad. Benar-benar berlebihan. Apa Daya bahkan tahu dia sedang hamil? Daya memiliki trauma akut dan semua informasi yang dia baca bisa memicu seluruh traumanya. Daya bisa membahayakan dirinya dan..." dia tidak sanggup melanjutkan karena matanya sudah berkaca-kaca.

Air minum Niko sodorkan. "Kami tahu bagaimana rasanya, Maja. Percayalah. Tapi kamu harus tenang dulu. Emosi tidak akan menyelesaikan apapun kali ini."

Nafas dia tarik dalam-dalam kemudian mulai mendengarkan Niko melaporkan dugaan runtutan kejadian dari keterangan Bu Sarni dan CCTV rumah. Niko bahkan memeriksa CCTV MG. Karena dari rumah mereka, Daya minta diantar ke MG Hospital oleh Pak Sakih, tapi Daya hanya turun di lobby kemudian memberhentikan taksi yang kebetulan ada di sana.

"Dari semua keterangan Niko, istrimu ingin bersembunyi. Sudah jelas dia berusaha menghilangkan jejaknya. Bagusnya, ini pertanda Daya masih sadar. Kita tidak tahu berapa lama Daya bisa bertahan untuk sadar, sebelum traumanya menghantam lagi."

"Bagaimana dengan taksi itu?"

"Taksi biru itu berada di luar pagar MG, dan tidak pada jangkauan kamera CCTV," jawab Niko. "Maja, kami harus tahu segalanya tentang Daya yang tidak ada pada catatan kami. Apa kamu ingat sesuatu?"

Bibir dia basahi karena berusaha mengingat diantara semua kekalutan perasaannya. "Orangtua Daya meninggal dunia kecelakaan, itu kalian sudah tahu."

"Minum dulu, Maja. Kamu harus berpikir jernih dan mengingat-ingat. Demi istrimu. Kami juga harus merekam informasi ini darimu. Arsyad akan mengirimkan semua ke Mahendra dan Mahendra akan turun langsung mencari Daya. Apa kamu keberatan pembicaraan ini kami rekam?"

"Lakukan apa saja, Nik." Air dalam gelas dia teguk perlahan. Matanya menatap lurus ke depan, berusaha kembali pada saat-saat mereka bersama dulu. "Daya tinggal di panti asuhan ketika orangtuanya meninggal. Kerabat Daya tinggal di seberang pulau. Hanya Om dan Tante yang hubungannya jauh, asing. Mereka bahkan tidak bersikap hangat pada Daya. Teman kantor tidak punya. Hanya Tari, sekretaris kepercayaannya. Juga timnya di kantor yang tidak tahu apa-apa, bahkan perihal trauma Daya."

"Ada lagi? Teman yang lain mungkin?"

Ingatan Maja terbang pada saat dulu Daya memasakan mie instant untuknya.

"Kamu punya sahabat?"

Daya mengangguk. "Saya dan dia kabur dari panti ke sekian terus barengan di panti yang terakhir."

"Perempuan?"

"Iya. Namanya bagus, tapi dia nggak suka dipanggil pakai namanya begitu. Jadi dia pasti pakai istilah atau julukan untuk dirinya sendiri."

"Ya, Daya punya sahabat perempuan di panti. Tapi Daya nggak bilang siapa namanya."

Arsyad menghirup nafas dalam. "Nik, kunjungi panti dan minta keterangan dari kepala pantinya."

Kali ini dahi Niko mengernyit. "Ibu Mulyani sedang dirawat karena kesehatannya sejak dua hari lalu. Beliau belum sadar."

"Tanyakan pekerja yang lain di sana," ujar Arsyad.

"Saya mau ke sana. Saya ikut, Nik."

Niko Pratama mengangguk dua kali. Mereka berdua berdiri kemudian pamit pergi menuju panti. Jantungnya berdegup seiring langkah yang dia ambil. Terasa sakit, sesak, bercampur dengan cemas yang hebat. Dalam hati dia terus meyakinkan dirinya sendiri, bahwa Daya bisa ditemukan dengan selamat. Atau mungkin dia sendiri bisa benar-benar kehilangan akal sehat.

***

Yak, hembuskan nafas.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro

Tags: #romance