Part 32 - This isn't a dream, right?
Suaminya terus menggenggam tangannya, berujar sungguh-sungguh atas apa yang terjadi. Amplop coklat hasil penyelidikan ADS yang memang Ferina minta, belum dia buka. Dia takut atas kenyataan yang akan dia temui nanti. Hingga setiap malam amplop itu dia tatap saja. Kejadian percobaan penculikan pada Adeline membuat dia meledak juga. Saat tahu Adeline tidak pulang dan tidak bisa dihubungi, dia menggila. Menumpahkan segala kecurigaannya pada Janadi. Suaminya itu sama gusar dan cemas, hingga akhirnya menjelaskan apa yang sesungguhnya terjadi.
Dulu, Janadi Hadijaya muda memiliki hobi buruk yaitu judi. Ketiadaan masalah perihal dana membuat Janadi lupa diri. Tenggelam dalam pusaran setan. Dia sendiri tidak tahu hingga mereka menikah dan Janadi mulai pulang larut sekali. Dia pikir Janadi berselingkuh darinya, tapi akhirnya hobi buruk Janadi dia ketahui juga. Karena orang-orang Benny-si bandar judi mulai datang ke rumahnya. Kemudian Janadi berhenti saat mereka memiliki Admaja dan Adeline. Tapi hal itu tidak berlangsung lama. Karena hobi buruk itu seperti adiksi yang terus kembali. Ditambah lagi dengan Benny yang selalu mendekat, menawarkan, mengiming-imingi. Hingga akhirnya Janadi jatuh di lubang yang sama lagi.
Pada suatu hari, entah apa yang dilakukan oleh suaminya, Benny mulai berani mengancam Janadi. Itu semua membuat dia tidak bisa tidur karena ketakutan. Titik lemah suaminya adalah Adeline. Janadi begitu menyayangi Adeline dan Benny mengetahui hal itu. Lalu suatu ketika ponselnya berdering dan dia menerima kabar bahwa Adeline tidak sadarkan diri dari salah satu kawan dekat Adeline. Anak gadis mereka koma dua tahun lamanya. Dugaan kuatnya semua ini adalah ulah Benny. Setelah itu hubungan mereka renggang dan jauh. Sulit untuk dia memaafkan Janadi dan percaya lagi. Sekalipun suaminya itu sudah berlutut dan berjanji padanya.
Saat ini, seluruh traumanya seperti kembali. Rasa cemas bercampur dengan praduga dan emosi yang dia pendam berminggu lamanya seperti meledak. Membuat dia berteriak memaki menyalahkan Janadi atas hilangnya Adeline semalam. Janadi menjelaskan bahwa saat ini dia diminta pihak kepolisian untuk bekerja sama menangkap Benny dan membongkar seluruh praktik perjudiannya. Suaminya diminta berpura-pura untuk mengumpulkan bukti. Apa dia percaya? Tidak. Sampai akhirnya saat pagi tiba, Niko Pratama dan Toto dari kepolisian datang dan menjelaskan segalanya.
"Aku sudah tidak begitu lagi, Fe. Percaya padaku," ujar Janadi sambil menatapnya. Adeline sudah pulang dan sedang berada di ruang kerja bersama Niko. "Aku tidak bodoh untuk terjebak pada hal yang sama."
"Hah, dua kali, Jan. Dua kali aku percaya padamu bahwa kamu akan berubah. Kamu terus ingkar dan membahayakan anakku."
"Anak kita, Adeline adalah anak kita. Aku sayang padanya sebesar kamu sayang padanya. Aku tidak gila untuk membahayakan hidupnya lagi," nafas Janadi hirup dalam. "Bung Toto sudah menjelaskan. Kamu boleh tidak percaya lagi padaku, tapi apa kamu tidak percaya pihak kepolisian? Niko bahkan memberikan semua bukti-bukti bahwa apa yang aku bilang benar," saliva Janadi loloskan. "Aku tidak akan pernah mengulanginya lagi. Percaya padaku."
Air mata yang sedari tadi jatuh sudah dia usap satu-satu. Sulit sekali mengembalikan rasa percaya yang sudah dihancurkan dulu. Tapi tatapan Janadi sungguh-sungguh.
"Kamu, Admaja dan Adeline adalah duniaku, Fe. Maafkan aku."
Bibirnya masih bergetar, sakit itu masih ada, jelas terasa. Tapi dia juga tidak mau kehilangan keluarganya. Apalagi sekarang Adeline sudah bangun dan sehat kembali. Admaja sudah menikah dengan Daya yang dia sayangi seperti anaknya sendiri. Bahkan mungkin dia bisa berharap untuk menimang cucu seperti Trisa. Jadi sakit di dadanya bercampur dengan ragu. Dia tidak siap kehilangan semua ini, dia masih mencintai Janadi.
Suaminya tahu apa arti tatapan matanya. Ya, dulu mereka sama-sama tergila-gila. Dia tidak perlu banyak berkata-kata karena Jan sudah pasti tahu apa yang sedang berkecamuk dalam pikirannya. Lalu Jan melakukan hal yang selalu dia suka, memeluk dirinya lama-lama. Menenggelamkan kepalanya pada dada Jan dengan harum yang nyaman. Setelah itu Jan berbisik dan mengatakan hal-hal yang dia ingin dengar.
Yang terpenting Adeline kembali dengan selamat, Fe. Suamimu hanya membantu polisi. Dia sudah berubah, Jan sudah berubah.
Pelukan Jan dia balas hangat, matanya menatap amplop coklat itu yang menyembul dari dalam laci. Apakah isinya akan sama dengan apa yang Niko dan Toto bilang padanya tadi? Apakah dia masih perlu membuka amplop itu? Apa masih ada rahasia yang dia tidak tahu?
***
Setelah Niko berada di mobil yang pertama dia lakukan adalah menghubungi Brayuda melalui layar mobilnya.
"Tumben lo telpon siang-siang begini? Ada yang penting?" tanya Yuda dari seberang sana.
"Anaknya Benny dan Ga..."
"Ya, gue udah tahu. Mereka abis main gaplek kan semalem. Sampe anaknya Benny babak belur?" kekeh Brayuda konyol. "Lagian tu bocah begooo banget. Pilih jalan sepi daerahnya Manggala. Mau nyulik cewek pula. Jadi orang jahat nggak ada etikanya."
"Hah, sejak kapan penjahat punya aturan, Yud. Ngaco lo," timpalnya. "Peringatkan Manggala untuk tahan diri soal Benny. Gumelar pasti senang kalau Gala nyerang duluan. Perpaduan Benny, Gumelar dan Rafael Hartono bukan perpaduan yang baik, Yud. Gala belum siap."
"Kata siapa? Kata lo? Itu adalah masalah lo, Nik. Lo selalu nyamain preman sama ADS. Tim lo lagi sibuk ngawal acara negara yang lagi banyak kan. Jadi sebenernya yang nggak siap itu ADS dan elo. Kita anak jalanan, nggak punya aturan, kalau mau nyerang nggak nunggu siap dulu. Lagian kita udah siap dari jaman lo belom married sama bini lo. Kita selalu siap. Biar bedebah-bedebah itu tertib aturan dan administrasi. Entar kalau enggak berita cewek-cewek dikerjain makin banyak, perdagangan manusia bisa marak lagi, judi merambah ke daerah-daerah dan nggak terlokalisasi, narkoba dikonsumsi anak SD. Lo mau? Benny itu serakah, bajingan brengsek yang kerjaannya ngumpet."
"Yud..."
"Arsyad sudah tahu soal ini dan gue yakin dia juga tahu bagaimana cara melindungi keluarganya sendiri. Berhubung dia control freak, dia juga pasti udah siapin perlindungan untuk seluruh keluarga tujuh tetua termasuk bokap gue. Sekalipun gue dan Faya nggak akan ngumpet kayak banci. Hoo, kita justru menunggu-nunggu."
"Dengerin gue dulu, Yud."
Nafas Yuda hirup dalam. "Nik, relaks. Santai sedikit. Sekarang atau nanti tawurannya tetap akan dimulai. Gue yakin Gala nggak bego kayak Benny. Ya, dia emang emosian. Apalagi kata Bam itu orang mati di rumah sakit lagi. Benny pasti bereaksi, dan Gala sedang menunggu. Gue sedang menunggu. Aryo Kusuma ikut memantau, sekalipun tu anak nyebelin banget gayanya. Anyway, yang akan datang, biarlah datang. Atau mungkin, gue putuskan untuk jemput nanti. Ini keputusan kami, Nik. Jangan ikut campur."
"Lo nggak pernah mikir panjang, Yud."
"Siang, Nik. Have a nice lunch Sayang, kalau kata bini gue," sambungan langsung disudahi.
Niko memaki kesal. Brayuda adalah anak pertama dari Iwan Prayogo, Bapak Besar penguasa jalanan. Karena usia, jabatan tidak menyenangkan itu berpindah pada Manggala. Sementara Brayuda selalu memantau dan sesekali mengambil keputusan. Nafas dia hirup dua kali. Mungkin semua akan berlangsung lebih cepat dari perkiraan dia dan Arsyad. Jadi yang dia harus lakukan adalah menyusun rencana bersama Arsyad-sahabatnya yang control freak itu.
***
Di kediaman Maja dan Daya.
"Kamu beneran udah enakan?" dua tangan Maja membingkai wajah Daya. Mereka sedang berada di dalam kamar untuk bersiap-siap menghadiri acara grand launching kapal pesiar Digjaya.
Dia memutar bola mata karena kesal dengan tingkah Maja. "Harus berapa kali aku bilang kalau aku baik-baik aja, Yang Mulia?"
Maja menghirup nafas dalam. "Okey, okey. Mungkin aku berlebihan," tiba-tiba Maja memeluk tubuh Daya perlahan. "Acara ini nggak lebih penting dari kamu, Ya."
"Kurang manis kalimatnya," kekehnya kecil.
"Setelah acara ini kita ke MG ya? Periksa yang benar."
"Kan udah waktu orang MG dateng ke kantor kamu. Sample darah, urine dan segala macem."
"Ya tapi terus kita belum sempat ke dokter untuk konsultasi hasilnya kan?" pelukan Maja longgarkan.
"Iya, iya. Okey."
"Setelah acara potong pita dan sambutan, Basri akan antar kamu pulang," ujar Maja.
"Maja, ya Tuhan. Kamu bilang aku sakit lagi, aku marah beneran. Ngerti, Yang Mulia," ponselnya sudah berbunyi dan dia langsung angkat.
Tari bicara di seberang sana melaporkan situasi terkini. Tamu-tamu sudah mulai berdatangan. Hal itu membuat dia teringat pada mama Fe dan ayah Jan, juga Adeline. Sambungan dia sudahi kemudian dia menghubungi mama.
"Halo, Ma."
"Halo, Sayang."
"Telpon Mama dari pagi tadi nggak bisa dihubungi. Kalian semua baik-baik kan?" tanyanya sambil melirik Admaja yang sedang merapihkan tuksedonya. Earphone dia pasang kemudian dengan sigap dia membantu merapihkan dasi Maja di depan cermin panjang.
"Nggak apa-apa, Sayang. Mama istirahat sejak pagi biar fit untuk acara hari ini."
"Adeline baik-baik?"
"Adikmu bareng Mama dan Papa sekarang. Kalian harus segera berangkat."
"Iya, Ma. Sampai ketemu di tempat acara."
"Daya..."
"Ya, Ma?"
"Jaga kesehatanmu atau Mama benar-benar marah."
Kepalanya langsung mendongak menatap wajah Maja. Pasti Maja mengadu pada mama. Nyebelin dasar.
"Iya, Ma. Daya udah sehat lagi kok. Sampai ketemu, Ma."
Pipi Maja dia cubit keras-keras.
"Aduh, Yaaa. Kok nyubit?"
"Kamu ngadu sama Mama ya?"
"Ya kamu lebih nurut sama Mama atau Basri. Aku nggak mau ngadu sama cowok lain. Nggak sudi."
Dia terkekeh geli menatap ekspresi Maja yang sekarang ini bermacam-macam jenisnya. Berbeda sekali saat mereka pertama bertemu dulu. Wajah Maja yang kaku sekali ketika di kantor, akan berubah merengut, mencebik, tersenyum geli, tertawa lebar, atau mengerling jahil jika sedang berdua saja dengannya. Admaja bahkan bisa manja padanya. Dasi kupu-kupu Maja sudah rapih terpasang, kemudian dia menatap suaminya itu. Jika jatuh cinta terasa memabukkan begini, harusnya dia lakukan ini sejak dulu saja.
"Jangan liatin aku kayak begitu," satu tangan Maja membingkai wajahnya.
Matanya dia putar lagi. "Okey, aku liatin cowok-cowok lain aja," tubuhnya berbalik ke arah pintu. Mereka harus segera berangkat.
Satu tangan Maja meraih pinggangnya. Hidung mereka sudah bersentuhan. "Jangan, nggak boleh liat-liat cowok lain."
Pandangan mereka terjalin dan tatapan Maja seolah mencair, tidak berdaya, menyerah padanya. "Yuk, berangkat. Nanti bisa telat, Yang Mulia," bisiknya sambil tersenyum lebar.
Jakun Maja bergerak perlahan. Suaminya itu tidak mau melepaskan tubuhnya. "I love you, Ya. So much,"
Reaksi dari kalimat Maja mulai berputar di dalam tubuhnya. Dimulai dari perut, berputar ke atas, kemudian naik ke dada. Terasa hangat, nyaman, menyenangkan. Membuat dia tersenyum lembut dan mengangguk perlahan. "I know."
"You have to," Maja mencium keningnya.
Pelukan mereka terlepas tapi tangannya sudah digenggam Maja. Mereka berjalan beriringan dengan dia yang menatap genggaman tangan mereka. Sejak pertama, Maja selalu menggenggam tangannya, tidak pernah melepaskan begitu saja. Dia akan melangkah kemana Maja melangkah, dia membiarkan Maja memimpinnya. Hal berharga yang hanya dia berikan pada satu-satunya laki-laki yang pernah dia cinta.
***
"Tari, aku mau ngomong setelah ini," bisik Agam saat melangkah di sebelah Tari yang sibuk sekali.
Mereka sudah tiba di atas kapal pesiar sejak siang tadi. Tapi karena sibuknya persiapan menjelang acara, dia dan Tari tidak bisa duduk barang sejenak untuk bicara. Bicara apa? Tentang apa yang terjadi kemarin malam antara dia dan Dion, tentang status Tari yang sampai saat ini ternyata masih sendiri, dan tentang sikap dingin Tari.
"Okey, gue kasih satu menit. Lo mau ngomong apa?" Langkah Tari berhenti kemudian berdiri berhadapan dengannya.
"Nggak di sini," dia menarik lengan Tari ke arah pinggir ruangan. Tapi genggamannya Tari tampik.
"Gam, gue dan lo udah lama temenan," Tari tidak bergeming tetap berdiri di tempatnya.
"Bullsh*t sama pertemanan kita," bisiknya pada Tari mulai kesal karena diacuhkan.
"Ini acara maha-pentingnya kantor lo dan kantor gue. Kalau mau ngomong, nanti. Selesai acara. Make sense dong, Gam."
Rahang dia katupkan kemudian dia menatap Tari tegas. "Setelah ini, awas kalau kabur lagi. Kita udah gede, Tari dan gue muak dengan ketidak jelasan atas hubungan kita."
"Hubungan apa?" Tari balas berbisik.
"Don't run, or I promise I will haunt you. Pulang sama gue, bukan sama yang lain. Titik," dia meninggalkan Tari sambil menoleh menatap Dion yang mengawasi mereka.
Hah, dia sudah tidak peduli. Siapapun dia akan hadapi. Kalau perlu, dia akan menyeret Tari ke rumah keluarga wanita keras kepala itu dan langsung melamarnya.
***
Acara grand launching kapal pesiar Digjaya berlangsung dengan meriah. Tamu-tamu penting datang, kolega-kolega bisnis Digjaya, keluarga tujuh tetua, juga pejabat pemerintahan setempat. Dekorasi ruangan yang elegan dengan sentuhan khas Indonesia, pilihan menu makanan yang rasanya lezat, serta pojok games yang diadakan untuk memeriahkan suasana terasa pas. Istrinya sibuk berbincang dengan beberapa tamu setelah makan malam dihidangkan, seperti dia sendiri.
"Malam," sapa Niko saat satu tamu sudah pamit untuk mengambil minuman.
"Malam, Nik. Semua baik-baik kan?" mereka berjalan ke pojok ruangan. Gelagat Niko tidak bagus.
Nafas Niko tarik dalam. "Benny ada di sini."
Kepalanya menoleh pada Niko heran. "Siapa yang mengundang."
Niko diam sejenak. "Sepertinya kalian harus duduk sebagai keluarga dan bicara baik-baik. Sementara saya akan pastikan Benny tidak mendekati Adeline."
"Ada apa dengan Adeline?" bisiknya sambil berusaha menutupi rasa cemas.
"Tenang, Maja. Adeline baik-baik saja," kepala Niko bergerak ke tempat Adeline yang sedang bersama seorang pemuda.
"Itu siapa?" tanyanya penuh selidik.
"Pacarnya Adeline."
Matanya melotot ngeri. "Pacar?"
"Namanya Rafan Tanadi, keponakan kesayangannya Tantri Tanadi. Ayah dan Mama kalian tahu. Mungkin setuju. Hubungan jarak jauh tiga bulan ini, karena kuliah hukum di Oxford. Tapi kayaknya bukan tipe lo?" tebak Niko.
"Never," kepalanya menggeleng keras sambil menatap Niko kesal.
Sikapnya itu malah membuat Niko terkekeh. "Jagain Adeline baik-baik dan jangan biarkan dia keluar sendirian sampai kami bereskan urusan Benny," pundaknya ditepuk dua kali lalu Niko pergi.
Matanya memindai ke sekeliling ruangan dan akhirnya tatapannya jatuh pada Benny yang berada di ujung ruangan. Senyum kecil dan picik Benny terkembang. Gelas berisi anggur Benny angkat seolah menantangnya. Refleks tubuhnya adalah tegak dan balas menatap Benny datar. Dua tangan dia masukkan ke dalam saku karena yang ingin dia lakukan adalah menghantam bajingan yang merusak keluarganya dulu. Bandar judi besar yang dilindungi oleh entah siapa di pemerintahan. Hingga praktik judi Benny kokoh berdiri dan tidak tersentuh aparat.
"Maaf Pak, Bapak Janadi memanggil. Pak Menteri pariwisata sedang berbincang dengan beliau," Fina-sekretarisnya sudah berada di dekatnya. Dia mengangguk lalu berjalan mendekati ayah.
***
Ponsel Daya berdenting tanda pesan masuk. Dia sedang berjalan keluar dari toilet untuk kembali ke area acara.
M: Nice dress.
Senyumnya masih terkembang saat seseorang menarik tubuhnya ke dalam salah satu ruangan kosong yang dia lewati, lalu membungkam mulutnya cepat.
"Ssst, ada Bu Mulyani di luar," kekeh wanita berambut sebahu yang dikuncir asal itu.
"Whaaat?" refleksnya adalah tertawa lalu memeluk tubuh sahabatnya di panti dulu. "Kok bisa ada lo di sini?"
"Dimana ada bahaya, di situ gue selalu ada," M membalas pelukan dengan sama kuat. Suara M dibuat-buat karena canda.
"Lo ngagetin gue deh. Untung gue nggak punya penyakit jantung bawaan," bahu M dia pukul sambil mencermati penampilan M yang benar-benar berbeda.
Rambut M masih pendek sebahu, tapi kali ini sedikit bergelombang dan berwarna merah gelap dikuncir asal. Bibir M tipis dan kemerahan karena lipbalm. Tidak ada make up tebal, semua hanya tipis-tipis natural tapi segar.
"Jadi lo lagi kerja di sini?" Daya mencermati pakaian seragam waiter yang M kenakan. Sungguh dia tidak peduli jenis pekerjaan M.
"Iya. Eh, tukang marah-marah, kenapa lo jadi perempuan begini? Bukannya kita udah janjian selamanya jadi tomboy?" dengkus M.
Lalu dia berpose cantik sambil memutar tubuhnya. "Iya dooong."
"Nggak konsisten."
Mereka terkekeh bersama.
"God, I miss you," dia sungguh-sungguh mengatakan itu.
M diam sejenak menatapnya penuh arti. Ponsel M ambil lalu sahabatnya ini mengirimkan pesan padanya. "I demand to have quality time with you. Tiga hari. Alamat gue udah kirim. That address is highly confidential."
"Nggak bisaaa, Maja bisa ngambek. Satu hari, okey?"
"Ck, suami tukang selingkuh masih aja dibelain."
"Hey, Admaja nggak gitu."
Lalu mimik wajah M berubah, senyumnya memudar tiba-tiba. Nafas M tarik dalam dan tatapan mata M berubah sayu. Persis ketika dulu M menutupi sesuatu yang akan membuatnya sedih.
"Don't give me that look. Pleaseee. Lo harus ketemu Maja. Dia...sayang gue, M. Beneran tulus."
Kepala M menggangguk perlahan. "Yes, I believe you."
"Tapi muka lo masih gituuuuu. Lagian lo belum ketemu Admaja dan nggak adil lo nge-judge dia atas satu kesalahan, M," karena terasa nyaman dia langsung merajuk pada M, seperti dulu. "He means everything for me."
"Okey. Tapi kita tetep ketemu," mata M sudah menatap ke luar ruangan waspada. "Gue harus balik kerja. Hubungi gue, Ya. Cuma lo yang gue punya."
"Samaa. Emangnya gue punya siapa lagi."
"Suami lo yang tukang selingkuh," kekeh M. "Becandaa. Merengut gue cubit nih. Take care, Ya. See you," M menggenggam tangannya sesaat lalu menghilang di salah satu koridor.
Senyumnya masih mengembang kecil karena benar-benar gembira atas pertemuan tidak sengaja ini. Sesaat setelah dia keluar ruangan, dia sudah bisa melihat Admaja yang berjalan dengan wajah cemas ke arahnya.
"Aku cariin kamu dari tadi, Ya. Jangan suka menghilang begitu dong. Aku panik jadinya," Maja menggenggam tangannya.
"Aku cuma ke toilet. Masa mau pipis lapor ke kamu juga?"
"Iya, harus."
Dahi Maja yang mengernyit kesal dia sentuh perlahan. "Kamu udah nggak cocok galak sekarang."
Maja menghembuskan nafasnya. Mereka mulai berjalan beriringan menuju bagian dalam ruangan besar tempat acara masih berlangsung. "Tadi aku ketemu Tania, dan dia bilang hasil tes-test kamu udah ada. Tania udah bikinin kita janji sama dokter MG besok, jadi kita ke MG besok."
"Itu kalimat tanya atau kalimat seru?"
"Nurut aja, jangan bawel," satu tangannya Maja cium sesaat. "Setelah dari MG aku harus pergi ke tempat Mama-Papa."
"Ada apa?" dia bisa menangkap nada aneh pada cara bicara Maja.
"Nggak apa-apa. Cuma kayaknya karena semua persiapan acara ini, aku ketinggalan banyak hal," mata Maja menatap Adeline yang berdiri di sebelah seorang laki-laki muda yang sedari tadi juga dia perhatikan. "Kamu istirahat aja di rumah."
"Aku mau ikut. Aku mau interogasi Adeline soal pacarnya yang baru."
"Kamu tahu darimana Adeline punya pacar?"
Dia terkekeh lalu menggeleng kecil. "Dasar nggak peka. Intuisi perempuan."
Pembicaraan mereka terhenti karena dua tamu mulai menghampiri mereka lagi. Sepanjang sisa acara Admaja terus berada di sisinya. Entah kenapa dia sudah terbiasa. Rasanya benar, nyaman. Dia suka dengan cara Maja menyatakan apa yang laki-laki itu rasa padanya. Bukan dengan banyak kata-kata manis. Tapi dengan tindakan nyata. Acara berlangsung lancar dan tanpa hambatan. Mungkin besok, dia akan menghubungi Tari karena ingin mengambil cuti. Beristirahat sejenak bersama suaminya di rumah. Bayangan tentang itu saja, membuat dadanya menghangat.
***
Malam sudah larut dan satu demi satu tamu meninggalkan tempat acara. Secara keseluruhan, ini sukses besar. Antusiasme tamu di luar dari dugaan karena pelayaran pertama sudah 100% booked. Bahkan pelayaran kedua pun sudah mulai terisi. Tari menatap ke sekeliling ruangan dengan senyum lebar. Puas dengan hasil kerja seluruh team. Bosnya-Dayana bahkan tidak menutupi eksprei bangga tadi dan mengucapkan selamat dua kali. Ya, Daya itu selalu efisien dan tidak mengulang kata. Jadi ketika dia dipuji dua kali, itu pertanda Daya sungguh-sungguh bangga padanya.
"Tari..." suara Dion sudah ada di sebelahnya.
Tim mereka memang sudah pulang dan berjanji untuk merayakan keberhasilan mereka hari Senin nanti. Dia menoleh menatap Dion. "Ya?"
Tangan Dion terulur. "Selamat, acaranya sukses."
Refleksnya adalah tersenyum lalu menyambut jabatan tangan Dion. "Ini kesuksesan tim, bukan gue doang."
Mata Dion menatapnya. "Maafin gue, Tar. Soal kemarin."
Udara dia hembus perlahan. "It's okey. Itu cuma salah paham."
Dion mengangguk dua kali. "Thanks again. Sampai ketemu Senin depan."
Jabatan tangan Dion terlepas kemudian laki-laki itu berlalu dari hadapannya. Setelah itu, nyeri mulai menjalar dari bawah tubuhnya. Tanpa sadar dia sudah berjalan mungkin lebih dari lima ribu langkah dengan heels hari ini. Jadi kakinya mulai berdenyut tidak sakit dan itu membuat dia meringis. Refleksnya adalah melepas heels yang dia kenakan. Tapi sebelum dia sempat meraih benda itu, satu tangan laki-laki sudah mengambil heels nya kemudian berdiri tegak. Kemunculan Agam yang tiba-tiba membuat dia terkejut dan dadanya mulai berulah.
Agam sudah melepas jas dan dasinya. Juga sudah menggulung lengan kemeja. Satu tangan Agam menggenggam heels hitam miliknya, dan pada bahu Agam ada tote bag besar juga miliknya.
"Itu tas gue kan?" tanyanya heran.
"Iya. Yuk pulang."
"Kenapa lo bawa-bawa?" dia melangkah di sebelah Agam.
"Biar kamu nggak kabur."
"Apa sih, ngomong pake kamu-kamu," dengkusnya kesal.
"Protes aja. Bawel."
"Dasar sok galak. Nyebelin."
"Masih punya tenaga buat berantem?" tanya Agam heran.
"Punya kalau buat berantem sama lo," lidah dia julurkan.
Mereka diam sejenak, kemudian terkekeh bersama. Diam-diam merindukan saat-saat mereka bertengkar begini. Tanpa terasa mereka sudah berada di depan kendaraan Agam. Bukan sedan mewah, hanya kendaraan sederhana yang dibeli dengan seluruh daya upaya. Dia tersenyum kecil mengingat cerita Agam bahwa laki-laki itu hanya bisa makan satu kali sehari selama satu tahun, agar bisa mengumpulkan uang untuk DP kendaraannya.
"Gue bisa pulang sen..."
Pintu sudah dibuka lalu Agam mendorong tubuhnya perlahan agar masuk ke kursi depan. Dia mengalah karena tenaganya seperti habis kelelahan.
"Acaranya sukses. Selamat ya," ujar Agam sambil berkendara. "Pak Maja dan Mba Daya senyumnya lebar banget."
"Iya. Ini suksesnya tim," punggung dia sandarkan santai.
Agam memutar lagu kesukaanya.
"AC nya udah bener?" tanya Tari. Teringat dulu AC mobil Agam ini tidak dingin.
"Kenapa? Kedinginan?" inisiatif Agam adalah menaikkan suhu AC agar tidak terlalu dingin.
"Lumayan."
Lampu merah membuat laju kendaraan terhenti. Satu tangan Agam mengulur mengambil jas yang dia kenakan tadi lalu menutupi tubuhnya. Dengan sukses harum Agam menguar kemana-mana. Lagi-lagi, jantungnya bernyanyi. Dia menutupi itu semua dengan tersenyum kecil dan menundukkan kepala.
"Jangan baik-baik sama gue. Nanti Sherly cemburu lagi," itu refleks. Sungguh dia tidak berencana untuk mengatakan hal itu.
"Gue udah nggak sama Sherly."
Nafasnya tertahan sejenak. Jadi apa yang Fina katakan dulu benar. "Kok bisa?" rasa gugup tiba-tiba dia tutupi dengan deheman ringan.
"Ya bisa. Kan lo tahu Sherly suka selingkuh sana-sini," mata Agam masih menatap lurus ke depan.
"Kok jadi gue yang tahu?"
"Kalian perempuan, pasti lo udah punya firasat itu tapi lo nggak mau cerita ke gue. Iya kan?"
"Sok tahu."
"Anyway, gue udah nggak mau bahas Sherly lagi."
"Masih sakit hati?"
Agam terkekeh. "Boro-boro sakit hati, mukanya aja gue udah lupa."
"Sombooong. Sumpah sombong," satu tangannya mendorong bahu Agam. Mereka terkekeh lagi. Menikmati pembicaraan apa adanya yang sudah lama terlupakan.
Ya, dengan Agam dia tidak perlu berpura-pura. Dia benar-benar nyaman hingga bersikap apa adanya saja. Agam selalu mendengarkan, tidak pernah menghakimi selama ini.
"Lo sendiri, gimana sama Dion?"
Dia diam sejenak. "Ya kan udah tahu gimana."
Kepala Agam mengangguk dua kali. Seluruh perpaduan rasa gugup dan debar di dada berusaha dia tutupi dengan cara membesarkan volume radio. Agam juga diam saja sepanjang sisa perjalanan. Dalam tiga puluh menit mereka tiba di apartemennya. Mobil Agam parkirkan di basement entah kenapa.
"Gue bisa turun di lobby, Gam."
"Bawaan lo banyak, ribet. Dan gue cowok gentleman," ujar agam.
Laki-laki itu sudah turun dan mengambil barang-barangnya dari kursi belakang. Lagi-lagi Agam menenteng semua dengan dua tangan sambil melangkah menuju lift. Dia yang makin serba salah mengekori di belakang.
"Sorry ya ngerepotin," bisiknya.
"Berisik."
Sepanjang perjalanan dari basement menuju depan pintu kamarnya mereka bungkam. Dia sendiri bungkam karena kerja jantung yang terlalu lambat hingga rasanya sesak. Sesak karena saat yang dia sudah tunggu-tunggu sedang terjadi. Agam sudah tidak bersama Sherly. Jadi isi kepalanya mulai berlarian tidak menentu. Apakah dia akan bertanya apa jenis hubungan mereka nanti? Atau dia akan membiarkan semua seperti ini? Atau apa yang ada dipikiran Agam sendiri? Ah, rumit. Sementara itu dia tidak paham apa alasan Agam yang tiba-tiba sama diamnya.
Akhirnya mereka tiba di depan pintu kamar. Dia membuka dengan kunci lalu menyalakan lampu. Ini bukan kali pertama Agam mampir di apartemennya. Dulu saat mereka masih disiksa oleh bos-bos mereka, sesekali Agam akan mengantarkannya pulang karena sudah terlalu larut. Persis seperti malam ini. Barang-barangnya Agam letakkan di meja makan berukuran mini. Lalu mereka berdiri berhadapan tidak jauh dari pintu.
"Makasih." Saliva dia loloskan. "Kapan balik ke Surabaya?"
"Mungkin minggu depan," jawab Agam.
"Oh..." tenang Tari. Tenaang. Jangan grogi begini.
Agam membasahi bibirnya lalu menarik nafas. Ketika Agam ingin bersuara, refleks bibirnya tiba-tiba berkata karena takut dengan apa yang mungkin dia dengar dari mulut Agam, "Udah malem. Gue capek."
Kali ini jakun Agam bergerak karena menelan saliva. Kepala Agam mengangguk dua kali kemudian laki-laki itu membalik tubuh lalu melangkah ke arah pintu. Dadanya berdentum lambat namun keras sekali. Campuran segala macam rasa tertahan di kepala.
"Malam, Gam. Safe drive," nafas dia hirup satu-satu untuk menenangkan diri.
Langkah Agam berhenti kemudian temannya ini berbalik lalu berujar. "Gue nggak peduli."
"Nggak peduli apa?"
"Nggak peduli kalau lo capek. Lo harus tahu apa yang gue rasa kalau nggak gue bisa gila. Lo bikin gue gila, Tari. Gila dengan cara yang paling gue suka," langkah Agam panjang-panjang menuju ke arahnya.
Dia hanya diam terpaku karena sungguh organ utama dalam tubuhnya seolah memerintahkan organ lain agar tidak bergerak. Bahkan mengunci bibirnya kaku. Waktu seperti berhenti, menguap pergi saat Agam meraih tubuhnya dalam pelukan lalu membuka bibirnya dengan bibir Agam sendiri. Lalu saat kesadarannya sudah kembali, matanya terpejam dan kepala dia miringkan. Dua tangannya mencengkram kemeja Agam. Tidak mau laki-laki ini menyudahi. Ini bukan mimpi kan?
***
Konflik utama mulai datang yah. Stay tune!
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro