Part 31 - Anger and Revenge
Fresh from the oven. Siapin jantungnya. Sorry for any typo.
***
"Istri saya curiga dan saya tidak mau berbohong padanya," bisik seorang laki-laki ditelpon. "Saya ingin sudahi ini semua. Apa bukti-bukti yang saya kirimkan sudah cukup?"
"Dia selalu licin seperti belut. Jangan ubah dulu rutinitas bulananmu. Kami di sini sedang menyelidiki siapa yang ada di belakangnya dari dalam kepolisian."
"Saya tidak bisa membohongi istri saya lagi. Saya sudah berjanji padanya untuk berhenti!"
"Kali ini kamu sedang membantu kami, Pak. Kami bisa menjelaskan pada istri anda nanti. Istri anda pasti mengerti. Tapi jika anda memberi tahu istri anda sekarang, dia bisa ikut berada dalam bahaya. Lebih baik dia tidak tahu," ada jeda di sana. "Beri kami waktu untuk mencari petinggi kotor itu di sini. Dua minggu lagi. Setelah itu semua selesai dan kami yang akan urus sisanya."
Laki-laki itu diam karena tahu catatan kejahatannya masih ada di sana. Jika tidak, sungguh dia tidak akan mau melakukan sesuatu yang akan berpotensi besar membuat keluarganya hancur berantakan. Dia terus meyakinkan dirinya sendiri bahwa semua akan baik-baik saja, sambil memutuskan sambungan telpon tadi.
***
Suasana kapal pesiar sudah didekorasi dengan elegan. Tari berjalan mondar-mandir memeriksa segalanya sambil terus bicara melalui earphone di telinga yang mempedengarkan suara tim-nya. Kondisi bosnya sedang tidak baik. Wajah Dayana yang pucat tetap bisa dia temukan dibalik make-up Daya yang selalu sempurna. Tapi lihat, bosnya itu tetap berdiri tegak sedang bicara dengan event organizer dan vendor yang memang mereka undang hari ini ke tempat acara satu hari sebelum hari H.
Ponselnya berbunyi dan ada nama Admaja di sana. "Ya, Pak."
"Dimana istri saya, Tari?"
"Di tempat acara, Pak. Mba Daya maksa karena cemas kalau belum lihat tempat acaranya langsung."
"Dimana Agam?" nada Maja terdengar seperti menahan emosi.
"Ada di belakang Mba Daya, Pak. Saya dan Agam udah bujuk Mba Daya tapi..."
"Saya sebentar lagi sampai," sambungan disudahi.
Langkahnya panjang-panjang menuju ke arah Agam yang terus berdiri di sebelah Daya. Bahu Agam dia colek dua kali. "Pak Maja telpon," bisiknya.
"Kamu bisa berhentiin Mba Daya? Berhentiin coba?" sahut Agam sambil berbisik balik.
"Sudah dulu semua. Periksa segalanya lagi dan saya ingin laporan gladi bersih kemarin segera dikirim ke saya. Terimakasih." Dayana menyudahi meeting singkatnya. "Agam, Tari, ada apa?" pandangan mata Dayana sudah menuju ke arah mereka berdua.
"Mba Daya harus istirahat dan makan, Mba. Sekarang. Kalau enggak, saya dan Tari dipecat," ujar Agam tegas.
Kalimat Agam membuat Tari terkejut. Kemana Agam temannya yang kikuk, serba salah dan takut mengambil resiko. Diam-diam dia memperhatikan Agam yang dengan berani menatap Daya.
"Agam, kalau kamu dipecat sama Maja, kamu kerja sama saya. Beres."
Haa, menarik. Agam bilang apa ya.
"Maaf, Mba. Saya sangat menghargai tawaran Mba. Tapi buat saya Pak Maja lebih dari bos. Jadi saya pasti berusaha keras agar tidak dipecat beliau. Saya paham Mba Daya mau siapkan segalanya, tapi sekarang sudah masuk jam makan siang. Saya dan Tari juga butuh makan, seperti Mba. Apa bisa kita makan dulu, Mba?"
Senyum bangga Tari kulum kemudian dia menatap Daya yang sedang mengernyit heran.
"Kamu diajarin debat sama Maja?"
"Saya tahu bagaimana rasanya khawatirin perempuan yang suka kerja dan nggak doyan makan, Mba."
Wajah Tari merah tiba-tiba karena Agam meliriknya sekilas kemudian kembali menatap Daya. Bukan hanya Agam yang melihatnya, tiba-tiba Daya menatap mereka bergantian penuh selidik.
"Kalian..." kalimat Daya terpotong dengan kedatangan Maja tiba-tiba.
"Terimakasih Agam dan Tari. Kalian boleh makan. Saya urus Daya setelah ini," ujar Maja sambil mengangguk sopan dan menggandeng tangan Daya untuk pergi dari sana.
Dadanya yang sedang berlompatan dia berusaha untuk tenangkan. Mereka menatap Maja dan Daya yang sudah pergi. Tarik nafas, Tari. Inget, Agam itu tunangan orang lain. Nggak mungkin udah putus sama bidadari kayak si Sherly. Kemudian Agam menatapnya. Nafas dia tarik lagi perlahan. "Canggih, sekarang udah bisa ngedebat Mba Daya."
Agam diam saja dengan wajah datar masih menatapnya. Sebelum dia bisa membuka suara lagi. Dion sudah menghampiri mereka.
"Makan yuk. Abis itu kita cek lagi terakhir dan balik ke kantor. Ada meeting jam 3," ujar Dion sambil mengamit lengannya.
Kali ini dia memberanikan diri menatap Agam tepat pada kedua matanya. Apa yang akan Agam lakukan? Jika Agam menghentikan ajakan Dion, dia bersumpah akan mengajak Agam makan siang seperti dulu dan bertanya tentang hubungan Agam dengan Sherly sekalipun dia tahu mungkin itu sia-sia. Agar semua jelas, agar dia tidak selalu dihantui dengan kata-kata 'mungkin saja', agar dia tahu apa langkah selanjutnya atas hubungan mereka. Tapi Agam diam saja, pandangan mata Agam berlari tidak mau menatapnya lagi. Ya, dia hanya teman untuk Agam. Bukan siapa-siapa. Jadi dia membiarkan Dion menarik lengannya dan pergi dari sana. Meninggalkan Agam yang berjalan ke arah berlawanan.
***
Jarum jam sudah menunjukkan pukul sepuluh malam saat Agam turun dari lift menuju kantor Digicom. Kesibukan seperti menggila karena proyek yang sedang dia kelola dan juga karena dia ditugaskan untuk menjaga Dayana. Saat ini, dia tahu bahwa Daya sudah pulang sejak jam enam sore tadi setelah bertengkar lagi dengan Admaja. Tapi kedatangannya kali ini karena dia ingin memeriksa Tari. Selalu begitu seminggu ini. Sekalipun, hatinya selalu berdenyut nyeri melihat bagaimana hubungan Tari dan Dion di depan mata sementara dia tidak bisa berbuat apa-apa. Ya, jika dulu Tari menghargai hubungannya dengan Sherly, maka dia juga harus begitu.
"Gam, nyari siapa? Kita udah pada mau pulang nih. Istirahat dulu, Gam. Besok malam acara besar," Melly dan Reza sudah bersiap pulang saat mereka berpapasan di koridor kantor Digicom.
"Tari udah balik?" tanyanya.
"Oh, di ruangan meeting. Suruh dia pulang juga, Gam. Susah banget tu anak suruh istirahat. Dion juga ada di sana," kali ini Reza. "Balik dulu ya."
"Iya, nanti gue bilangin. Hati-hati di jalan," sahutnya.
Nafas dia hirup dalam sambil menatap ke sekeliling area kantor Digicom. Pekerja yang tersisa hanya satu orang yang sedang berberes untuk pulang, lalu satu office boy yang sedang membersihkan area dan security di depan. Beberapa lampu ruangan juga sudah dimatikan. Sesungguhnya dia ragu untuk melangkah ke ruang meeting utama Digicom, karena takut dia melihat sesuatu yang dia tidak suka. Tapi dia ingin memastikan bahwa Tari baik-baik saja.
Langkahnya lambat, enggan karena dia tahu ada Dion di sana. Tari juga berhak bahagia, dia paham. Tapi dia ingin Tari bahagia dengannya. Kemudian dia berhenti beberapa meter dari ruangan meeting yang terbentang di hadapannya. Blind fold ruangan meeting terbuka lebar, sekalipun lampu sudah temaram saja. Ada Tari yang sedang duduk dan menelungkupkan kepala di meja, bersama laptop di hadapannya. Apa Tari tidur karena kelelahan? Sudah makankah dia?
Dion sendiri sedang duduk di hadapan Tari, menatap Tari dengan penuh rasa. Ah, dia benci. Entah kenapa kakinya seperti terkunci, seolah membiarkan dirinya sendiri disiksa dengan seluruh emosi. Kemudian Dion menyentuh lengan Tari perlahan, seperti ingin membangunkan wanita itu. Tari tidak bergeming, mungkin saking lelahnya. Kemudian Dion berdiri tegak dan mengedarkan pandangan. Refleksnya adalah mundur satu langkah hingga terhalang oleh lemari file besar. Lalu dadanya mulai merasakan bahwa akan ada sesuatu yang terjadi. Haruskan dia tetap di sini? Dion dan Tari memiliki hubungan. Siaaal.
Dia tahu, ketika dia jatuh cinta hal yang tidak masuk akal akan dia lakukan. Salah satu contoh adalah menyiksa diri sendiri dengan melihat Dion dan Tari begini. Jadi matanya sudah menatap ke dalam ruangan meeting lagi. Satu tangan Dion membenarkan letak rambut Tari yang menutupi wajah. Tangannya sendiri sudah mengepal kuat. Lalu Dion membungkukkan tubuh, gesture tubuh laki-laki itu seperti ingin mencium Tari. Sungguh dia berusaha keras untuk menahan laju kakinya sendir, atau untuk berteriak agar Dion berhenti. Kepala Tari bergerak, wanita itu terbangun dari tidurnya. Jika dulu di lobby apartemen Tari mungkin penglihatannya kabur, kali ini dia bisa melihat jelas saat mereka...apa? Tari mendorong tubuh Dion dan menampar wajah laki-laki itu. Kemudian Tari bicara sesuatu dengan wajah penuh emosi, sementara Dion mencengkram lengan Tari kuat. Dia melangkah cepat mengikuti keinginan yang dia abaikan sedari tadi.
"Karena sikap kamu nggak jelas!!" nada Dion tinggi sambil menatap Tari marah, saat dia sudah tiba di dalam ruang meeting dengan pintu terbuka.
"Oh, okey. Saya jelaskan, kamu nggak lebih dari rekan kerja untuk saya, Dion. Selamanya begitu. Lepas," Tari menarik lengannya.
Campuran rasa lega datang tiba-tiba. Tapi diiringi dengan emosi kuat pada laki-laki di hadapannya ini. Tari yang menangis sudah melangkah pergi dari sana, sementara tubuh Dion dia tahan kemudian dia dorong ke belakang.
"Nggak usah ikut campur urusan gue dan Tari," ujar Dion marah.
Dia tidak peduli karena dia sudah menghantam wajah Dion. Laki-laki itu membalas hingga mereka bergulat seru. Membuat kegaduhan satu hari menjelang hari penting besok yang kemungkinan sangsi dari Admaja jika tahu tentang hal ini sangat tinggi. Jatuh cinta benar-benar membuat dia bodoh sekali. Akhirnya seorang security dan office boy memisahkan mereka dan meminta mereka pergi dari sana. Dia berdiri tegak sambil mengusap sedikit darah pada bibirnya. Lalu dia melangkah pergi. Matanya mencari Tari yang sudah tidak ada di sana. Ponsel dia angkat untuk menghubungi Tari. Tidak ada jawaban. Pintu lift terbuka lalu dia cepat-cepat masuk. Berharap dia masih bisa menyusul Tari yang dia yakin sudah berada di lobby. Benar saja, dia melihat sosok Tari berada di lobby kantor dengan taksi yang menghampiri.
"Tari! Tunggu dulu," cepat-cepat dia berlari.
Pintu taksi sudah terbuka lebar. Tari hanya menatapnya sedih selama beberapa saat, kemudian masuk ke dalam taksi yang langsung melaju.
***
Banyak hal yang tertinggal saat dia koma dua tahun lamanya. Setelah pemulihan fisik berakhir, keinginannya untuk keluar rumah dan bersosialisasi juga mengejar ketertinggalannya tinggi sekali. Jadi dia mendaftarkan diri di salah universitas bergengsi di negerinya. Sekalipun entah kenapa dia ingin sekali kuliah di luar negeri. Suasana baru, orang-orang baru, kehidupan baru. Ya, kakaknya yang introvert dan kaku sudah punya istri. Ayah dan mama juga sudah kembali seperti sedia kala. Jadi tiba-tiba keinginan untuk menata hidupnya sendiri membuncah ruah. Akibatnya, dia pulang kemalaman dari kampus karena terlalu semangat mencari informasi universitas di luar negeri setelah mengerjakan tugas.
Koridor-koridor kampus besar ini kosong dan sunyi. Langkahnya cepat dan terburu-buru karena merasa tidak nyaman dengan suasana yang terlalu sepi. Ponsel dia raih dari dalam tas untuk menghubungi supir keluarga. Bagusnya, ada dua security yang berjaga di gerbang depan. Buruknya, dia benar-benar lupa untuk memberi tahu supir jam berapa dia minta dijemput. Jadi dia hanya bisa menoleh kebingungan di depan gerbang.
"Dijemput, Mba?" tanya salah satu security ramah.
"Iya, Pak. Ini lagi saya telpon," sudah dua kali namun yang menjawab adalah sistem. Pertanda ponsel supirnya sudah mati. "Pak, caranya pesan taksi gimana ya?"
"Oh, biasanya pakai aplikasi, Mba. Mba harus download dulu."
Baterai ponselnya hanya tersisa sepuluh persen saja, dan dia tidak membawa power bank atau charger. Hhhhh, Adeeel. Ceroboh banget sih. Makinya dalam hati. "Bapak punya charger ponsel nggak?"
"Ada Neng, di pos. Tapi ponsel saya ponsel jadul. Jadi beda chargernya."
Posisi kampusnya tidak jauh dari jalan utama. Tapi dia harus berjalan sedikit agar bisa lebih terlihat dan mungkin saja ada taksi yang lewat, daripada menunggu di kampus begini. "Saya jalan aja, Pak."
"Jangan, Neng. Bahaya, sudah malam." Security itu seperti berpikir. "Saya temani, Neng, sampai dapat taksi nanti."
"Wah, makasih ya, Pak," senyumnya tulus.
Akhirnya mereka berjalan perlahan menuju jalan besar sambil mengobrol ringan. Nama Pak Security setengah baya itu adalah Pak Nawi. Dia mendengarkan lalu menimpali sesekali ketika Pak Nawi bercerita tentang keluarganya yang asli Jakarta. Tidak lama mereka tiba di jalan besar. Ada lampu merah tidak jauh dari tempat mereka berdiri.
"Mba jalan rumahnya kemana?" tanya Pak Nawi.
Dia menjawab dengan memberi tahu daerah rumahnya.
"Oh, ambil arah yang sana saja, Mba. Jangan yang ke arah itu." Pak Nawi menunjuk dua arah setelah lampu merah.
"Kenapa memangnya, Pak?"
"Kalau habis lampu merah belok ke kiri, itu arah ke tempat yang bahaya kalau malam. Ngelewatin tempatnya geng motor dan preman. Jadi persimpangan ini perbatasannya. Apalagi kalau malam begini, nanti kalau mulai tengah malam, akan ada motor-motor yang lewat sini bergerombol. Mereka pada keluar tuh. Minggu kemarin, saya denger dari tawuran antar geng dan ada yang mati, Neng."
"Serem amat, Pak. Emang nggak ada polisi di sana?"
"Polisi udah angkat tangan juga setahu saya."
Tidak berapa lama, ada satu taksi kosong yang lewat. Akhirnya dia mengucapkan terimakasih dengan sopan pada Pak Nawi kemudian naik ke taksi tersebut. Tepat saat ponselnya berbunyi, taksi pun melaju. Bau asap rokok menguar, hal itu membuat dia membuka kaca lebar-lebar karena sedikit mual.
"Iya, Pa."
"Kamu belum pulang?" tanya papa di seberang sana.
"Iya ini sudah di taksi."
"Papa jemput saja. Ini sudah malam, Adel," nada papanya gusar.
"Tapi aku udah masuk ke dalam taksi ini. Papa tunggu di rumah aja."
"Kabari Papa, hati-hati di jalan."
Perhatian teralih saat menerima telpon, hingga dia tidak sadar bahwa arah yang diambil oleh taksi yang dia tumpangi adalah arah yang seharusnya dia hindari.
"Pak, kok lewat sini?" cerita Pak Nawi tadi sedikitnya membuat dia takut. Jalanan mulai sepi, hanya satu-dua kendaraan yang lewat.
"Jalanan ini lebih dekat arahnya ke rumah Mba," jawab supir taksi itu dengan suara berat.
"Pak, kan saya belum bilang rumah saya dimana," jantungnya sudah melorot pergi. Firasat akan hal buruk yang akan terjadi membuat refleksnya bergerak cepat untuk memeriksa kunci pintu yang pasti tidak bisa terbuka.
"Diam, kalau mau selamat," ancam si supir taksi.
Jendela, Adel. Jendela! Satu tangannya sudah mengulur panjang hingga membuka handle pintu dari luar melalui jendela yang dia buka lebar tadi. Tangan si supir sudah mengulur untuk menarik lengannya. Dia berteriak meminta tolong pada siapa saja. Pintu sudah terbuka tapi mobil masih melaju. Ponselnya jatuh dan dia berusaha gapai karena itu satu-satunya benda yang bisa menyelamatkan dia.
"Lepas!! Tolooong!!"
Episode tarik menarik masih berlangsung dan itu membuat laju kendaraan tidak stabil. Dia memukul tangan dan tubuh supir itu dengan seluruh daya upaya. Suaranya sudah melengking tinggi untuk berteriak sekuat tenaga. Pintu mobil yang sudah terbuka masih dia tahan sementara dia berusaha melepaskan diri. Jalanan terlalu sepi, tapi ada warung di depan sana. Diantara air mata yang sudah jatuh satu-satu, juga teriakan putus asa, dia bisa melihat ada satu motor parkir di depan warung itu.
Itu daerahnya geng motor dan preman, Neng. Bahaya. Tapi apa pilihannya. Laki-laki ini pasti orang jahat, sementara orang-orang di warung itu belum tentu. Lompat, Adel. Gigit tangannya. Usaha terakhir ini dia lakukan. Lengan laki-laki itu dia gigit sekuat-kuatnya hingga sang laki-laki jahat berteriak. Setelah cengkaraman pada tangannya terlepas, dia membuka pintu lebar lalu melompat dari mobil yang masih melaju. Mengambil resiko walaupun hanya 1% saja.
Bagian tubuh yang pertama menyentuh aspal jalanan adalah seluruh lengan kirinya, lalu disusul dengan tubuhnya yang berguling dan kakinya yang sudah pasti terbentur sana-sini. Rasanya sakit sekali. Susah payah dia berusaha berdiri untuk berlari lalu bersembunyi entah dimana. Mobil penjahat itu berhenti tidak jauh dari sana. Satu orang penjaga warung dan satu orang yang dia duga sebagai pemilik motor itu sudah berdiri.
Dengan sekuat tenaga dia berteriak. "Tolooongg! Dia mau culik saya!!" nadanya bergetar karena cengkraman rasa takut melumpuhkan tubuhnya.
Penjahat itu sudah keluar dari mobil dan menghampiri dia. Sementara salah satu orang di warung juga sudah berlari ke arahnya. Lari, Adel. Lari. Kaki dia paksa untuk bergerak sekalipun bagian tubuh itu bergetar hebat. Tanpa sadar dia melangkah mundur sambil menatap supir tadi yang sudah berdiri di dekatnya. Sebelum penjahat itu menarik tubuhnya, laki-laki di warung tadi menarik tubuh si penjahat dan langsung menghantam. Perkelahian tidak terelakkan. Sang laki-laki bergerak cepat sekali, menghindar, berbalik lalu menghantam atau menendang tubuh si penjahat. Terus berulang hingga akhirnya si penjahat kewalahan dan jatuh di aspal. Tanpa ampun laki-laki itu menginjak-injak si penjahat dengan wajah datar sekali, tidak ada emosi. Namun mata sang laki-laki terlihat berkilat hitam dan dalam.
"Den, udah Den. Udah. Nanti orangnya bisa mati." Si pemilik warung yang sudah berada di dekat mereka menahan tubuh sang laki-laki.
Laki-laki itu berhenti, lalu berjongkok menatap si penjahat yang sudah babak belur di bawahnya. Satu tangan sang laki-laki mengambil benda berkilat dari saku celana. Wajah laki-laki itu menatap si pemilik warung yang sudah berusia setengah baya. "Panggil Bam ke sini," ujar sang laki-laki.
Si pemilik warung mengangguk perlahan lalu berjalan kembali ke dalam warung.
"Lo orangnya siapa?" tanya sang laki-laki datar pada si penjahat tadi.
Si penjahat terkekeh saja.
Dengan cepat benda berkilat yang ternyata belati itu ditancapkan di bahu si penjahat yang langsung berteriak ngeri. Ekspresi laki-laki ini masih datar saja. Sementara dia diam terpaku menyaksikan itu semua dengan nafas tertahan sedari tadi.
"Bang Beny, Bang. Jangan bunuh saya, Bang."
Belati yang tertancap pada bahu dicabut perlahan setelah sebelumnya diputar hingga si penjahat berteriak lagi sambil terus mengiba. Laki-laki itu berdiri sambil membersihkan belati tadi dengan tangannya. Kemudian sang laki-laki menatapnya dengan seluruh ekspresi datar tidak terbaca. Tubuh yang tinggi, rambut pendek rapih, jaket dan kaus hitam, serta seluruh noda darah pada tangannya dari belati tadi, membuat dia merasa terintimidasi. "Tinggal dimana?"
Pertanyaan itu tidak bisa dia jawab, karena dia sudah tidak sadarkan diri.
***
Ketika Adeline membuka mata, hal pertama yang dia lihat adalah harimau putih besar yang sedang duduk menatapnya. Refleksnya adalah menjerit terkejut dan beringsut melindungi diri. Sebelumnya dia lolos dari penjahat entah siapa yang ingin menculiknya, sekarang tiba-tiba dia diumpankan pada harimau besar begini. Tangisnya sudah datang lagi karena takut sudah kembali. Kemudian laki-laki kemarin masuk ke dalam kamar. Kamar? Kenapa dia bisa berada di dalam kamar laki-laki ini?
Sang laki-laki berjongkok dan seperti memberikan isyarat agar harimau tadi mendekat. Kemudian sang laki-laki seolah bicara menggunakan bahasa isyarat dan decakan pada harimau itu yang segera keluar ruangan. Tubuh sang laki-laki sudah kembali berdiri.
"Saya...di...mana?" tanyanya dengan suara kering.
Diam tidak ada sahutan, hanya wajah dengan ekspresi datar persis seperti tadi malam. Apa laki-laki ini preman? Tapi tidak ada tato atau apapun pada lengan laki-laki ini. Semua terlihat normal, kecuali ekspresi dan tatapan matanya yang hitam kelam. Dia memberanikan diri membalas tatapan si laki-laki.
"Hai, selamat pagi. Nama gue Bam," laki-laki lain tiba-tiba masuk sambil tersenyum ramah padanya. Ada banyak tato di sepanjang lengan Bam.
"Saya...mau pulang," air mata berusaha dia tahan.
"Sebentar ya. Gue atur dulu," satu tangan Bam menarik lengan si laki-laki dingin tadi.
"Lo gila ya, nakutin cewek kayak gitu," lamat-lamat suara Bam terdengar karena pintu kamar yang tidak tertutup rapat. "Cewek itu dikasih senyum, bukan disuruh nemenin si Sultan."
"Berisik. Anterin dia pulang, sekarang," ada suara berat dan dalam yang dia duga milik si laki-laki dingin.
"Gala... nih anak malah kabur. Kenapa jadi gue. Gala..."
Air mata cepat-cepat dia hapus. Sedikitnya dia merasa lega karena dari pendengarannya tadi, mereka akan mengantarkannya pulang. Harusnya mereka orang baik kan? Pintu terbuka lagi dan laki-laki bernama Bam tadi masuk.
"Jangan takut sama gue. Takut sama Gala boleh, dia emang nakutin kayak Dracula." Salah satu kursi di ruangan Bam tarik lalu duduk di sana. "Nama lo siapa?"
"Saya mau pulang," bisiknya lirih.
"Kalau mau pulang gue harus tahu nama dan alamat lo."
Saliva dia loloskan ragu-ragu.
"Okey, okey. Gue paham lo takut, tapi kita bukan orang jahat," Bam diam sejenak. "Eh, kita orang jahat deng. Tapi kita nggak akan jahat sama perempuan, apalagi manis kayak lo gini. Anti dijahatin, haram hukumnya."
Dia makin waspada. "Saya cuma mau pulang," ulangnya karena masih takut.
"Perbendaharaan kata lo itu sedikit banget ya. Padahal gue udah jelasin tadi," Bam diam lagi. "Yang tadi itu namanya, Manggala. Harimau barusan namanya Sultan, sahabatnya Gala. Lo bisa pulang, tapi lo harus sebutin nama dan alamat lo. Kan kalau mau pesen gojek tetep harus info nganter kemana."
"Adeline."
Senyum Bam mengembang. "Halo, Adeline. Alamat?"
Tempat tinggal dia sebutkan.
"Nomor telpon sama cita-cita apa?"
Dia diam tidak mengerti.
"Gue becanda. Okey, kalau begitu. Gue yang anter naik motor. Pernah naik motor nggak?"
Kepalanya menggeleng perlahan. Ya, dia tidak pernah diperbolehkan naik motor oleh orangtuanya.
"Ada ya, orang yang nggak pernah naik motor. Spesies langka nih," kekeh Bam sambil menatapnya. "Mau dikasih tahu caranya?"
"Emang gimana?" bisiknya perlahan.
"Berdiri tegak menghadap motor, terus naik ke boncengan belakang, pakai helm, yang terakhir peluk gue kuat-kuat. Selesai," jawab Bam dengan nada konyol.
Itu membuat dia tersenyum kecil karena tahu Bam sedang meledeknya.
"Nah, senyum begitu lebih cantik."
Manggala sudah berdiri di dekat pintu menatap Bam dengan menyeramkan.
"Iya, iya. Sok galak lo." Bam seperti mengerti apa yang berusaha Gala sampaikan sekalipun laki-laki aneh itu diam saja tidak menggerakkan bibirnya.
Adeline memutuskan untuk memberanikan diri dan bicara pada sosok itu. "Makasih sudah tolongin saya semalam."
Mata Gala menatapnya datar dan tajam. Tanpa suara, tanpa kata-kata. Sosok laki-laki ini berbeda. Tubuh tinggi dengan otot yang liat, kaus putih longgar dengan jins yang robek di sebelah lututnya. Rambut dan mata Manggala mempunyai warna yang sama, hitam kelam. Tidak seperti Bam yang berambut panjang dan diikat asal, rambut Manggala pendek dan berpotongan rapi. Sorot mata Manggala yang tajam terlihat cerdas namun menilai. Hal yang paling mengganggu adalah ekspresi Manggala yang benar-benar datar, dingin, mati. Jangankan belas kasih, ekspresi dan aura Manggala hanya meneriakkan dua hal. Amarah dan dendam.
Ingatan tentang apa yang terjadi kemarin tiba-tiba datang. Bagaimana Manggala memukuli si penjahat tanpa ampun dengan ekspresi dingin mengerikan. Lalu ketika Manggala menusuk penjahat itu dengan belati melengkung dan memutarnya saat belati masih menancap sempurna. Manggala melakukan itu semua tanpa kata-kata, tidak bertanya. Bahkan setelah si penjahat mengiba, wajah Manggala tetap tidak ada ekspresinya. Manusia macam apa laki-laki di hadapannya ini. Sadis dan gila. Pikiran itu membuat bulu romanya berdiri.
"Saya..." saliva dia loloskan karena mulai merasa tidak nyaman ditatap oleh Manggala. "...mau pulang. Tolong."
Tiga detik setelah dia selesai bicara, Manggala sudah keluar dari ruangan dengan dia yang menghembuskan nafas lega. Sosok Bam muncul lagi setelah sebelumnya pergi keluar ruangan.
"Ini, tas lo gue ambil dari dalam mobil kemarin." Bam menyodorkan tote bag besar miliknya. "Itu tangan lo luka-luka dan lecet. Jangan lupa, nanti sampai rumah diobatin."
"Makasih, Bam."
"Makasihnya sama Gala. Gue kemarin dateng udah tinggal sisa-sisa."
Saliva dia loloskan lagi, tidak mau membayangkan apa yang dimaksud dengan sisa-sisa. Pokoknya dia keluar dulu dari tempat ini dengan tidak banyak bertanya.
"Lo tahu siapa orang yang mau jahatin lo? Atau kenapa dia mau jahatin lo? Bokap lo politisi?" tanya Bam. "Biasanya pilihannya dua, orang yang punya banyak musuh. Preman atau politisi. Lo nggak mungkin anaknya preman. Kecakepan. Jadi mungkin politisi?"
Dia menggelengkan kepala lagi. "Papa saya pengusaha." Semalam dia sempat mendengar nama Benny, tanpa tahu siapa Benny itu.
"Nah, nanti di rumah lo tanya sama bokap lo. Yuk, jalan."
Mereka berjalan ke luar dari kamar yang berada di lantai bawah pada bangunan dua lantai ini. Rumah berukuran cukup besar dengan sedikit sekali barang. Hanya kursi-kursi plastik, satu sofa, dan meja di tengah. Area dapur pun hanya seadanya dengan satu kulkas berukuran sedang. Kelihatan sekali bahwa tidak ada sentuhan wanita pada bangunan ini. Lagi-lagi dia menahan diri untuk tidak berkomentar.
Ada beberapa motor di area garasi, macam-macam merk. Garasi besar itu juga seperti bengkel, dengan alat-alat yang dia tidak mengerti. Bam sudah naik pada salah satu motor lalu menyodorkannya helm hitam full face. Benda itu sudah ingin dia pakai saat diambil paksa oleh seseorang dari arah belakang tubuhnya. Karena terkejut dia berbalik dan ternyata sudah ada Manggala. Tangan Manggala mengulurkan helm berwarna biru gelap yang sudah dia raih lagi.
"Makasih," angguknya perlahan.
Bam dan Manggala bertatapan tanpa kata-kata. Dahi Bam mengernyit heran menatap Manggala yang diam saja. Laki-laki dingin ini aneh sekali. Seperti enggan bicara padahal tadi dia mendengar suaranya.
"Gue nggak ngerti sama lo, sumpah," Bam menggeleng kemudian turun dari motor. Sementara Manggala naik ke salah satu motor lain berwarna hitam lalu memundurkannya hingga tepat berada di depan tubuhnya.
"Yang anter saya jadi siapa?" bisiknya sedikit takut.
"Gala," tubuh Bam sudah berjalan melangkah ke bagian dalam rumah lagi sambil masih menggeleng kesal.
Ragu-ragu dia naik perlahan. Sedikit kesulitan karena dia menggunakan rok sekalipun berpotongan A-line. Ditambah lagi ini pertama kalinya dia naik motor. Gala duduk tegak diam saja, menunggu dia selesai dengan segala kerepotannya. Setelah itu dia mengenakan helm biru tadi, Gala membetulkan spion motor yang ternyata Gala gunakan untuk melihatnya kemudian menyalakan motor. Dia tersentak terkejut dan refleksnya adalah menggenggam pinggiran jaket Manggala sambil bersusah payah menjaga jarak.
Sepanjang jalan Manggala diam saja, seperti dirinya sendiri. Harum dari helm biru yang dia kenakan bisa dia cium samar. Wangi maskulin bercampur dengan harum linen segar. Motor melaju cepat, menyusuri jalanan berliku hingga bertemu dengan jalan raya besar. Entah kenapa dia bisa merasakan luwesnya gerakan Manggala ketika berkendara. Laki-laki ini bisa mengatur tempo dengan baik. Paham benar kapan memacu mesin, atau melambatkannya ketika lampu merah di depan mata. Dia sendiri merasakan hal berbeda saat berkendara dengan motor begini. Karena dia bisa merasakan angin berhembus dan menyentuh seluruh tubuhnya, juga bagaimana dunia luar terasa lebih dekat. Hiruk-pikuk orang yang berlalu lalang, suara-suara pengaman jalanan, juga betapa angkuhnya mobil-mobil mewah dengan kaca hitam gelap. Ini sesuatu yang berbeda, sesuatu yang terasa lebih...bebas.
Kendaraan itu berhenti tepat di tikungan lima rumah sebelum rumahnya. Dia turun perlahan lalu melepas helm. Berdiri di sebelah Manggala sambil sibuk merapikan rambut panjangnya. Gala juga melepas helmnya. Ketika sadar Gala diam menunggu, wajahnya memerah malu.
"Terimakasih," helm biru cepat-cepat dia ulurkan. "Kamu tahu rumah saya ternyata."
"Saya minta tolong satu hal," suara berat Gala sudah di sana.
Mata Manggala menatapnya tajam dan akhirnya dia memutuskan untuk menatap balik. "Apa?" Mungkin Manggala ingin meminta uang dari orangtuanya, imbalan atas pertolongan Gala padanya semalam.
"Jangan pernah bilang tentang saya kepada siapapun."
Okey, ternyata tebakannya salah tapi dia makin penasaran. "Jadi, saya bilang apa?"
"Itu urusan kamu," jawab Gala dingin sambil memakai helm lagi.
"Kalau saya bilang soal kamu ke orangtua saya, kamu juga nggak akan tahu kan?"
"Coba aja, kalau kamu nekat dan mau ketemu saya lagi."
Kepalanya langsung menggeleng keras dua kali. Sebelum dia sempat berkata-kata, Manggala sudah memacu motor dan menghilang dari sana. Dia menatap laki-laki aneh itu dari kejauhan. Setelah sosok Manggala menghilang, dia berjalan cepat-cepat menuju gerbang rumahnya. Pak Sarjit satpam rumahnya langsung berteriak gembira sambil membukakan pintu. Berceloteh tanpa henti tentang bagaimana paniknya mama dan papa di dalam. Dia hanya mengangguk dan segera masuk ke dalam rumah. Sudah ada satu mobil polisi dan satu mobil bertuliskan ADS (Ares Defense Services).
Pintu sudah terbuka. Papa dan mama duduk di ruang tamu dengan wajah cemas. Mama bahkan menangis. Jadi ketika dia masuk, semua orang menatapnya. Diiringi dengan mama yang langsung berlari memeluknya lega. Luka-luka di tubuhnya dicermati, papa mencium kepalanya berkali-kali, lalu dia diminta duduk. Nafas dia hirup dalam-dalam. Berkali-kali dia bilang bahwa dia baik-baik saja. Setelah semua drama keluarga selesai. Dia duduk berhadapan dengan seorang polisi bernama Toto dan laki-laki berseragam hitam-hitam seperti pasukan khusus dari ADS bernama Niko Pratama di dalam ruang kerja rumahnya. Papa dan mama menunggu di luar.
"Kamu sudah enakan?" tanya Niko dengan senyum yang menawan.
"Ya," angguknya dua kali.
"Dari hilangnya kamu tiba-tiba semalam dan apa yang kami temukan di rumah sakit dekat tidak jauh dari area kampus kamu, kami simpulkan kejadian semalam adalah percobaan penculikan. Kamu setuju?"
"Ya. Kalian lihat supir taksi itu?" tanyanya penasaran.
Niko dan Toto tidak menjawab, hanya saling berpandangan.
"Kami tidak akan bertanya banyak hal hari ini. Tapi kami harus tahu dua hal dan ini tidak bisa ditunda. Apa kamu bisa bantu kami?"
"Ya."
"Pertama, apa mungkin kamu mendengar tidak sengaja siapa yang ingin menculik kamu?"
"Iya, katanya namanya Benny. Tapi saya nggak punya kenalan yang namanya Benny."
Niko hanya mengangguk dua kali sementara Toto mencatat sesuatu dalam buku kecil.
"Pertanyaan kedua. Siapa yang menolong kamu?"
Dia diam sejenak, ingat akan pesan Manggala tadi. Apa Manggala akan berada dalam kesulitan jika dia bicara jujur? Tapi, entah kenapa dia ingin berujar apa adanya saja. Karena bagaimanapun polisi ini harus tahu bahwa Manggala lah yang menolongnya, laki-laki itu yang berjasa. Entah siapa Manggala itu. Hanya laki-laki biasa yang kebetulan ada di sana, atau preman yang memang sedang memantau daerah jajahannya. Apapun itu, sekalipun sikap Manggala dingin dan menakutkan, tapi Manggala yang berjasa. Karena jika tidak, mungkin saat ini dia sedang menangis disekap entah dimana.
"Saya bantu. Laki-laki ini punya mata hitam gelap, rambut pendek rapih dan suka menggunakan belati?" tanya Niko lagi.
Nafas dia hirup dalam kemudian dia menatap Niko Pratama. "Saya berjanji akan bekerja sama untuk menangkap penjahat itu, asalkan..." dia memberi jeda. "Laki-laki yang menolong saya, tidak dirugikan atas kejadian ini."
Kemudian Niko Pratama tersenyum lebar lalu terkekeh kecil. "Terimakasih, Nona. Kami sudah dapat semua jawaban yang kami cari."
"Loh, tapi saya belum ngomong apa-apa."
"Tidak perlu. Saya sudah tahu siapa," Niko berdiri dan berpamitan. "Saya lebih khawatir dengan Benny setelah Manggala tahu begini."
"Maksudnya?" dia juga berdiri. "Tolong jangan pergi dulu," dia menahan lengan Niko Pratama.
Polisi bernama Toto sudah keluar ruangan. Niko berbalik lalu menjawabnya perlahan. "Manggala sangat benci dengan orang yang dengan sengaja menyakiti perempuan. Ditambah lagi dia sudah muak dengan Benny. Jadi sekarang polisi akan berusaha menangkap Benny lebih dulu, sebelum Manggala menemukan laki-laki bejat itu. Selamat siang, Adeline. Rawat luka-lukamu dan tenangkan diri dulu."
Niko Pratama berlalu dari sana, sementara dia berdiri terpaku. Mencoba mencerna seluruh keterangan Niko tadi. Pertanyaan terus berputar di kepalanya. Siapa Manggala? Siapa Benny? Apa kaitannya dengan keluarganya sendiri? Kenapa juga polisi kenal dengan Manggala? Bukannya laki-laki itu preman? Suara mama dan papa yang memintanya beristirahat terdengar jauh. Dia sibuk menduga dan menerka-nerka. Sudah jelas, nama itu sudah terlanjur melekat di ingatannya. Manggala.
***
Makin penasaran?
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro