Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Part 30 - I wish you knew

Hari peluncuran kapal pesiar Digjaya makin dekat. Hingga akhirnya bahkan Agam dipanggil kembali ke Jakarta untuk membantu. Senin pagi ini dia sudah berada di ruang kerja Admaja Hadijaya untuk menghadap. Tapi herannya, bukan hanya dia saja yang ada di sana. Tari dan Dion juga sudah duduk seolah menunggu saat dia tiba, bersama Yusri dan beberapa manager utama yang lain.

"Pagi, semua," dia menatap Tari sejenak sementara wanita itu diam saja.

"Pagi. Okey, semua orang sudah ada di sini. Saya mulai saja," ujar Admaja memulai meeting pagi ini.

Tari dan Dion memaparkan perkembangan persiapan acara yang sudah 95% selesai. Pagi ini Dayana sedang memperbaharui kontrak dengan vendor penting mereka, setelah itu harusnya hanya tinggal proses pelaksanaan dan pengawasan saja. Seluruh iklan-iklan sudah berjalan tepat waktu bahkan sejak beberapa bulan sebelumnya. Sayembara menarik dilakukan untuk mengundang pengunjung. Undangan-undangan untuk para Key Opinion Leader/ Influencer, beberapa artis ternama dan pejabat yang salah satunya adalah Menteri pariwisata sudah disebar sejak dua minggu lalu. Dia harus mengakui Tari dan Dion melakukan segalanya dengan baik sekali. Hal itu juga yang membuat perasaan kesal mulai merayap perlahan. Melihat bagaimana Tari dan Dion kompak dalam satu tim.

Satu jam berlalu dengan lancar. Semua antisipasi sudah disiapkan untuk memastikan keberlangsungan acara. Meeting ditutup lalu satu demi satu orang meninggalkan ruangan. Dion dan Tari juga undur diri namun Maja meminta Tari untuk tinggal sejenak bersama dia. Pintu sudah tertutup dan Maja berdiri untuk bicara.

"Agam, kamu saya panggil ke sini untuk membantu tim Digicom bersama beberapa tim di sini. Pastikan semua eksekusi berjalan sesuai rencana dan segera eskalasi jika ada kendala di lapangan pada saya."

"Bagaimana dengan Mba Daya, Pak?" Tari melontarkan pertanyaan yang sedari tadi dia simpan sendiri.

"Karena itu kalian berdua ada di hadapan saya sekarang. Ini tugas khusus untuk kalian berdua. Kondisi istri saya sedang tidak fit, tapi seperti biasa dia selalu keras kepala perihal pekerjaan. Jadi tugas kalian adalah memastikan Daya makan tepat waktu, saya sudah minta Fina untuk menghubungi restoran dan mengirimkan Daya makanan. Jika AC dalam ruangannya masih terlalu dingin, segera hubungi Bapak Nanang pengurus gedung ini, Tari. Kamu punya nomornya kan?"

Tari mengangguk dua kali.

"Dayana juga tidak boleh pulang lebih dari jam enam sore. Saya sendiri yang akan menjemput Daya untuk pulang. Sementara saya tahu pekerjaan akan dua kali lipat frekuensinya dan tim Digicom akan pulang malam. Agam akan membantu hingga segalanya selesai di kantor Digicom. Jadi Tari, tolong siapkan meja untuk Agam bekerja di sana."

"Maaf, Pak. Tapi Bapak klien kami. Jika Mba Daya tahu, dia pun akan tidak setuju Agam bekerja di sana. No offense, Gam," ujar Tari lugas sambil menatapnya sejenak.

"None taken," timpalnya cepat.

"Saya memutuskan ini bukan sebagai petinggi Digjaya, tapi sebagai suami Dayana. Jika Daya tidak setuju Agam memiiki meja di sana, Agam duduk di kubikal kamu Tari. Ada keberatan dari Daya, minta istri saya bicara pada saya. Titik. This is non-negotiable, Tari."

"Apa Bapak sudah sampaikan hal ini dengan Mba Daya?"

"Belum. Saya akan hubungi istri saya setelah ini."

Kali ini Tari hanya mengangguk lalu diam saja.

"Ada yang kurang jelas?" Maja memastikan lagi.

"Bagaimana dengan proyek yang saya tangani. Karena ada beberapa meeting penting di Surabaya dua hari ke depan, Pak?" dia angkat bicara.

"Saya sudah baca timeline yang kamu buat. Geser seluruh meeting minggu ini ke minggu depan. Saat ini kalian masih menunggu hasil uji kelayakan, jadi penundaan satu-dua minggu tidak akan berdampak banyak. Jelaskan itu pada tim-mu, Gam," jawab Maja.

"Baik, Pak," pikirannya sudah merunut siapa saja yang harus dia hubungi setelah ini.

"Ada lagi?"

Mereka berdua menjawab hampir bersamaan. "Tidak, Pak. Jelas."

"Okey, terimakasih," Maja sudah kembali ke meja kerjanya.

Pintu ruangan Maja sudah tertutup namun Tari masih diam saja. Dadanya sendiri sedari tadi sudah berdentum seru. Perpaduan rasa terkejut atas rencana bosnya, rasa rindu ketika melihat wanita ini lagi, berpadu sempurna dengan kesal untuk tahu bahwa Dion dan Tari kompak sekali tadi.

"Gue harus ngomong dulu sama Mba Daya," tiba-tiba Tari bicara. "Setelah itu gue siapin tempat."

Kepalanya mengangguk. Mulutnya sulit sekali digerakkan.

"Mas Agam, Mba Tari, ada mesin kopi baru canggih deh," tiba-tiba Fina menarik lengan mereka berdua kea rah VIP pantry. "Aku buatin kopi yah?"

"Kita banyak kerjaan, Fin. Sorry ya," Tari tersenyum kecil. Ada banyak gurat lelah di wajah Tari.

"Eh, jangan gitu. Pak Maja masih online sekarang dan Mba Daya masih meeting di bawah. Iya kan? Jadi kalian harus cobain kopi ini. Aku buatin yah," Fina tidak minta ijin, hanya memberi tahu. Karena dua kopi dalam paper cup sebentar lagi siap.

Dengan sigap Fina memberikan kopi itu kemudian ponsel Fina berbunyi. Seperti yang dia duga, Fina sudah pamit pergi entah untuk apa. Menyisakan dia dan Tari yang berdiri berhadapan setelah sekian lama.

"Gimana Surabaya?" kopi Tari seruput perlahan berusaha bersikap santai. Tapi entah kenapa mereka tidak bisa santai lagi seperti dulu.

"Baik. Urusan sama pemerintahan aja yang agak makan waktu," dia pun melakukan hal yang sama, meneguk kopi perlahan.

"Kayaknya misi kita berhasil," mata Tari berlari tidak mau menatapnya. "Tadi liat gimana Pak Maja khawatir sama Mba Daya kan? Romantisme korporat yang nggak cengeng dan murahan," kekeh Tari. "Mereka serasi banget sih. Senang lihatnya."

Sungguh dia tidak peduli lagi dengan misi itu. Bosnya sudah jatuh cinta lama, akhirnya dia mengerti apa arti semua sikap Admaja karena dia mengalaminya sendiri sekarang. "Gimana kondisi kamu?" akhirnya otak dan mulutnya bisa bekerja sama.

"Semua persiapan lancar. Yah, di belakang itu banyak dramanya juga. Tapi so far oke lah. Tadi kan gue udah presentasi."

"Saya nanya kondisi kamu? Bukan proyek Digjaya."

"Apa sih pake bahasa formil begitu?" Tari menatapnya sejenak kemudian beralih lagi. "Gue baik. Tenang aja. Mba Daya sekarang udah ada pawangnya yang sama galak." Maksud Tari adalah Admaja.

"Muka kamu agak pucat, dan kamu kurusan."

"Gue baik-baik aja, Agam," ponsel Tari berbunyi. Sekilas dia melihat nama Dion pada layar ponsel Tari. "Tugas memanggil, balik dulu ya," pamit Tari.

Tari sudah melangkah pergi saat dia berujar lagi. "Tugas atau pacar yang manggil?"

Jantung Agam berdetak lebih lambat. Tidak siap dengan jawaban dari pertanyaan yang dia lontarkan sendiri. Sebagiannya dia menyesal sudah bertanya begini, tapi sebagian lagi dia ingin langsung mendengar dari mulut Tari. Langkah Tari terhenti namun wanita itu tidak membalik tubuh. Hanya diam selama beberapa detik saja. Setelah itu, Tari pergi dari sana tanpa menjawab apa-apa.

***

Setelah meeting selesai Maja langsung berusaha menghubungi Daya. Namun istrinya itu sepertinya belum selesai meeting dan tidak menjawab ponselnya. Namun lima belas menit sebelum makan siang, dia sedang duduk menandatangani beberapa dokumen penting ketika Daya masuk ke dalam ruangan dengan ekspresi kesal.

"Kamu apa-apaan sih?" kalimat pertama Daya meluncur.

Kepala Maja mendongak dan matanya memberi isyarat pada Fina untuk menutup pintu ruangan. Pena dia letakkan lagi kemudian dia berdiri. "Kamu kemarin demam, Ya."

"Aku cuma masuk angin, Yang Mulia. Bukan sakit apa gitu yang serius. Lagian aku sudah kompromi dengan nurutin kamu untuk nggak kerja kemarin. Dokumenku bahkan kamu tahan dan pagi tadi ketinggalan pula di rumah. Tapi Agam in my office? Do you think I'm twelve?"

"Yes, sometimes you are twelve when it comes to work. Kamu nggak kenal waktu dan biarkan tubuh kamu jadi korbannya."

"Sudah bertahun-tahun aku menangani proyek dan setiap grand launching pasti begini, jam kerjaku memang tinggi. Tapi itu hanya akan sementara aja. Setelah itu aku bekerja normal lagi."

Tangannya bersedekap, mereka sudah berdiri berhadapan dengan jarak. "Pengertian bekerja normal itu bagaimana?"

"Wow, sekarang kamu atur-atur gimana aku bekerja? You go too far, Maja."

"Yaya, aku cuma nanya. Biar sama pengertiannya. Karena aku paham benar waktu kerja kita berdua nggak normal. Tapi itu dulu. Sebelum kita ketemu dan nikah. Sekarang, aku nggak mau lagi begitu. Karena ada kamu di rumah, aku mau beneran punya jam kerja normal which mean from 9 to 5."

"Aku nggak bisa, Maja. Pekerjaanku di advertising industry, which mean you need to get the job done. Jam berapapun selesainya."

"Kamu bisa, Ya. Kamu cuma nggak mau karena Digicom sudah terlalu mendarah daging. Kamu khawatir Digicom kenapa-kenapa. Padahal Tari dan Dion melakukan pekerjaan yang sangat baik. Semua perkembangan di awasi cermat."

"You're not putting yourself in my shoes," nada Daya mulai tinggi dan wajah Daya terlihat pucat lagi.

"I'm trying to help, Ya," dia mulai melangkah mendekati Daya.

"Dengan taruh anak buah kamu di kantor aku? Kamu tahu aku pimpinan tertinggi di sana dan aku diawasi seperti bayi? Are you kidding me?"

Tangan Daya yang bergerak gelisah dia genggam dan terasa dingin. Bulir-bulir keringat mulai muncul di dahi Daya padahal AC di dalam ruangannya bekerja dengan benar. Daya keringat dingin. Karena kesal Daya menampik tangannya.

"The last thing I want to do is to fight with you. Aku taruh Agam di sana karena aku nggak mau kamu kenapa-kenapa, Ya," nada dia atur tenang.

"Isss, jangan pegang-pegang. Aku kesal," Daya berusaha menjauh darinya.

Telpon di meja dia angkat untuk meminta Fina membuatkan teh manis hangat untuk Daya. Tisu dia ambil dari meja dekat sofa kemudian tubuh Daya dia tarik agar duduk. "Aku paham kalau kamu sedang kesal, Nyonya Hadijaya. Tapi tolong juga paham bahwa sekarang ini, aku nggak bisa biarin kamu kenapa-kenapa, Ya." Satu tangannya mengusap bulir keringat Daya di dahi.

"Aku baik-baik aja, Maja," nada Daya sudah lebih tenang.

"Kamu keringat dingin dan pucat. Itu pertanda kamu nggak baik-baik aja," tangan Daya dia genggam perlahan. Seolah ingin memberikan hangatnya pada Daya.

Fina masuk membawakan secangkir teh hangat. "Ibu nggak apa-apa? Wajah Ibu pucat banget?" tanya Fina khawatir.

"Saya mau makan siang di sini dengan istri saya, Fin. Tolong siapkan. Mundurkan jam satu meeting. Setelah itu kamu juga harus makan, Fina."

"Iya, Pak. Tapi kalau saya boleh saran, mungkin Ibu bisa suntik vitamin C, Pak. Biar agak segeran. Dulu saya kalau tugas kampus lagi banyak dan nggak enak badan caranya begitu."

Dia tersenyum kecil setuju dengan ide Fina. "Kalau begitu hubungi MG dan minta mereka datang segera ke sini. Terimakasih."

"Baik, Pak," Fina pamit undur diri.

Cangkir teh hangat dia raih kemudian berikan pada Daya. "Aku nggak tahu kamu mau makan apa, jadi aku pesan yang ada di menu aja dari restoran langganan," ujarnya sambil mengawasi Daya minum teh-nya. "Kamu tadi sarapan sedikit banget di rumah."

Cangkir Daya letakkan di meja. "Terimakasih, Maja. Tapi aku punya banyak kerjaan. Aku makan di ruangan aku aja."

"Oke, Agam ada di sana dan akan suapin kamu kalau kamu nggak benar makannya," ini triknya agar Daya tetap di sini dan makan siang bersamanya. Ya mana mungkin juga dia membiarkan ada laki-laki lain menyuapi Daya.

"Majaaaaa..." rengek Daya kesal.

"Iya, saya di sini. Ada apa?" ujarnya menyabarkan diri. Rengekan Daya membuat dia tersenyum kecil juga.

Tubuh Daya sudah berdiri lagi. "Bisa normal nggak?"

"Sikap saya sangat normal karena saya sayang sama istri saya yang sulit diatur."

"Kamu apa?" delik Daya heran.

Ya, dia baru sadar selama ini dia jarang sekali bilang sayang, atau cinta pada Daya. Tapi harusnya Daya tahu apa yang dia rasa kan? "Saya bilang saya sa...."

"Aku nggak mau denger kalau itu cuma akal-akalan kamu buat bujuk aku biar nggak kerja. Kamu pikir aku remaja labil yang minta dirayu," tubuh Daya sudah berdiri.

Pintu ruangan diketuk lalu Fina masuk mendorong trolley yang berisi makan siang mereka. "Taruh di dekat sini, Fin. Terimakasih. Tolong tutup pintunya," dia juga sudah berdiri ingin memeriksa makan siang mereka. "Kamu mau ayam atau sapi?" tidak ada jawaban. Ketika tubuhnya berbalik pada Daya, wanita itu sedang berpegangan pada pinggiran meja kerjanya dengan wajah tambah pucat. Cepat-cepat dia menangkap tubuh Daya yang limbung serta memapahnya ke sofa. "Ya Tuhan. Kamu nggak apa-apa, Ya?"

Tubuh Daya dia rebahkan perlahan di sofa dengan bantal-bantal yang sudah diatur. "Aku banyak kerjaan, Maja," ujar Daya lirih.

"Aku yang akan kerjakan. Kamu istirahat dulu," jas dia lepas lalu dia gunakan untuk menutupi tubuh Daya.

Senyum Daya mengembang lemah. "Kayak kamu punya waktu aja."

Dia berlutut di dekat tubuh Daya yang berbaring di sofa, sambil membelai lembut bingkai wajah istrinya. "Makan ya? Saya suapin? Kamu keringat dingin dan pucat banget, Ya."

"Aku cuma sedikit kecapekan, Maja. Masih bisa makan sendiri. Lagian nanti ruangan kamu bau makanan lho," jawab Daya.

Kalimat Daya tidak dia pedulikan karena dia sudah berdiri, melonggarkan dasi dan menggulung lengannya. Salah satu makanan dia ambil dari trolley. Kemudian dia membantu Daya untuk duduk nyaman. Sendok makan dia dekatkan di mulut Daya. Wanita itu menatapnya keheranan. Sementara dia meneruskan menyuapi Daya tidak peduli.

"Aku sakit hati kalau kamu tolak," sendok makan dia dekatkan lagi ke bibir Daya. Akhirnya Daya membuka mulut sambil tersenyum kecil. Tidak menolak ketika dia suapi begini. Hal kecil ini membuat jantungnya berlarian, norak sekali.

Mereka membiarkan hening menyeruak diantara apa yang mereka lakukan. Sudah tiga suapan dengan Daya yang terus menatapnya seraya tersenyum penuh arti. Lalu di suapan kelima Daya mengambil piring dan sendok dari tangannya. "Kamu juga harus makan, Yang Mulia."

Dia meringis kecil lalu berdiri untuk mengambil makanan-nya dari trolley. "Urusan vendor tadi pagi udah beres? Dokumen kamu kan ketinggalan?" tanyanya untuk memecah kecanggungan mereka.

"Dan gara-gara siapakah itu? Pagi-pagi ngegerecokin aku."

"Kamu kan nggak bisa aku gerecokin kemarin karena sakit," timpalnya yang disambut dengan mata berputar Daya. Dia terkekeh lalu bertanya lagi, "Terus dokumen itu gimana?"

"Udah beres. Aku print dokumen baru di kantor tadi dan langsung meeting dengan dia," Daya meneguk teh hangat dari meja.

"Pulang yuk habis ini," ajaknya spontan. Entah kenapa dia hanya ingin duduk berangkulan di sofa sambil menonton film apa saja bersama Daya. Kepalanya menoleh pada Daya yang sudah tertawa kecil. "Saya serius, Ya."

"Kamu tadi pagi sarapan apa? Kayaknya salah makan kamu ya?" canda Daya sambil meneruskan makannya.

"Kalau gitu suntik vitamin C dulu baru turun ke bawah. Jam lima sore nanti aku jemput untuk pulang. Itu lebih terdengar normal kan?"

"Buat orang lain, iya. Buat kita berdua, enggak."

Makan siang disudahi. Piring mereka dia letakkan kembali di trolley, lalu dia duduk bersandar di sofa dan menarik Daya mendekat padanya. "Meminta kamu untuk berhenti kerja itu nggak mungkin. Sementara jam kerja kamu tinggi dan aku pasti akan selalu protes." Nafas dia hela merasa buntu. "Jadi gimana?"

"Terima aja," sahut Daya pendek. "Lihat aku udah sehat sekarang," Daya berusaha berdiri namun duduk lagi kemudian meringis kecil.

Entah kenapa dia suka saat Daya bersikap kekanakan, karena Daya hanya menunjukkan sikap itu padanya saja. Dia menghubungi Fina untuk memeriksa kapan dokter dari MG tiba. "Lima belas menit lagi dokter MG sampai. Kamu di sini dulu, okey."

Tubuhnya berlutut di hadapan Daya yang duduk di sofa. Satu tangannya menyentuh kening Daya yang mulai berkeringat lagi. Tangan yang lain sudah menggenggam dan mencium lembut jari jemari Daya. "Hhh, I wish you knew."

Mata Daya menatap dalam, kemudian wanitanya tersenyum kecil sambil memiringkan kepala. "Believe me, I knew."

Dentuman di dada Maja kembali, rambatan rasa bahagia bercampur hangat berputar di dalam hati. Dia tidak tahu bahwa dia bisa kembali mencintai seorang wanita sehebat ini lagi, setelah dulu terluka dalam karena hubungannya dengan Denta. Daya seolah mengisi seluruh dirinya, hingga dia berhenti berlari, hingga bayang-bayang itu pergi, dan satu-satunya hal yang dia inginkan adalah untuk terus berada di dekat wanita ini. Tidak bisa jauh barang sejenak. Ini adiksi baru yang membuat dia terheran-heran juga.

Ketukan pada pintu membuat dia bangkit setelah mencium puncak kepala Daya cepat. Dokter dari MG sudah tiba dengan satu perawat yang membawa peralatan mereka. Dia mempersilahkan sang dokter untuk memeriksa Daya dan melakukan prosedur yang dibutuhkan.

"Dok, saya ada meeting sepuluh menit lagi. Boleh tolong dipercepat ya," pinta Daya sopan.

"Yayaaa..." dia menggeram kesal sambil mendelik melihat Daya yang sedang tersenyum kecil cuek saja.

***

Beberapa minggu sebelumnya.

Semua orang di sini memanggilnya M, tanpa tahu nama aslinya sendiri. Ya, menjadi ahli IT memberinya keuntungan sendiri bahwa dia bisa menutupi informasi tentang dirinya. Kecuali pasti dari bosnya, Janice. Ah, ada satu orang lagi yang tahu benar tentang siapa dia. Sahabat lama yang dia temukan setelah bertahun mencari. Dayana si pemarah yang akhirnya menikah dengan laki-laki kaya yang sebenarnya bukan tipe Daya – yang dia tahu. Mereka besar di panti yang sama, tapi kemudian Daya lebih beruntung, karena ada seseorang yang membiayai Daya hingga akhirnya bisa melanjutkan sekolah tinggi. Sementara dia terpuruk di panti dan berakhir di jalan hingga mendiang Edward – ayah Janice menemukan kemampuannya.

Dia yang menghubungi Daya lebih dulu setelah pemberitaan membabi-buta tentang suami Daya yang berselingkuh muncul beberapa bulan lalu. Masih teringat jelas bagaimana Daya berteriak memanggil namanya karena terkejut saat dia menelepon Daya.

"I hate my name," ujarnya terkekeh pada Daya di seberang sana. "Semua orang panggil gue M. Jadi lo harus panggil gue itu, Ya."

Daya tertawa persis seperti dulu setelah mereka kabur lewat jam malam dan kembali esok pagi di panti.

"My partner in crime. I miss you, M. If you said you are an 'M", okey."

"Enggak, lo nggak kangen sama gue. Lo enak-enakan belajar di Singapore ninggalin gue di sini."

"Gue kirim surat ke panti dan lo yang nggak balas."

"Masa?" dia mencoba mengingat. "Ah, gue udah kerja cari duit waktu itu, Ya. Udah lupa sama lo," ledeknya. Mereka tertawa lagi.

"Kita harus ketemu," pinta Daya.

"Sorry, sibuk banget gue. Belum bisa. Lagian lo juga lagi sibuk sama laki lo yang kaya dan tukang selingkuh kan?" guraunya.

Daya diam di sana. Mungkin menahan emosi, Daya selalu temperamen sedari dulu.

"Mau gue apain dia biar lo puas? Gue pindahin seluruh rekening bank nya ke tempat lo? Atau apa?" kekehnya.

Tawa Daya sudah terdengar lagi. "Gue nggak butuh duitnya, M."

"Ya, ya, ya. Lo juga udah sukses sekarang. Kita samaan. Dulu uang rasanya seperti ada di atas langit, sekarang ketika benda itu ada dalam genggaman, ternyata rasanya nggak sebahagia yang kita pikir."

Ada banyak jeda yang menyeruakkan seluruh memori. Sungguh dia ingin bertemu dan menceritakan segalanya pada Daya, juga mendengarkan Daya bercerita. Seperti dulu ketika di panti. "Sial, gue kangen juga sama lo, Ya. Si tukang marah menyebalkan."

"Kasih tahu lo dimana dan gue akan ke sana."

"Emang lo udah bisa nyetir mobil? Trauma lo gimana, Ya?" dia ingat benar bagaimana Daya mengamuk setiap kali diminta untuk naik mobil. "Gue aja yang ke tempat lo nanti."

"Gue belum bisa nyetir mobil, tapi sudah bisa naik mobil."

Dia diam sejenak teringat sesuatu. "Gimana soal kasus kecelakaan itu, Ya? Apa lo sudah temukan jawabannya?"

"Belum. Mungkin gue terlalu takut untuk mencari tahu. Sudah lama juga," nafas Daya hirup dalam di seberang sana. "Mungkin sudah saatnya agar gue melepaskan."

"Wow, ini bukan Daya yang gue kenal," dia diam sejenak. "Saat ini gue punya akses untuk mencari, Ya. Jadi bilang aja kalau lo mau gue cari."

"Boleh kalau lo bisa periksa dan itu nggak merepotkan lo, M. Tapi hanya kita berdua yang tahu."

"Emang dari dulu ada yang lain?" kekehnya geli.

Daya tertawa juga.

Saat ini dia menatap layar berisi data-data tentang kecelakaan orangtua Daya. Laporan polisi, foto-foto dan dokumen tentang hal itu ada di hadapannya sedang dia teliti satu demi satu. Yang membuat dia terkejut adalah data ini pernah dibuka oleh seseorang di ADS dua hari lalu. Rekam jejak pada system menyatakan begitu. Karena penasaran dia mencari tahu siapa yang penasaran tentang Dayana sahabatnya. Tidak lama dia tersenyum kecil, bingo. Tombol enter dia pijit lalu nama itu muncul di layar. Niko Pratama.

Makin penasaran, dia menelusuri file-file yang Niko buka. Mungkin Niko diminta untuk mencari tahu oleh suami Daya yang pasti kenal dekat karena masih berada pada lingkaran tujuh tetua. Kali ini dia terkejut sendiri dengan kaitan-kaitan nama dan kejadian yang berkedip di layar. Rasa penasaran tidak bisa membuat dia berhenti. Hanya ada satu nama di akhir pencariannya. Matanya mengerjap tidak percaya. Ya, kenyataan hidupnya dan Daya tidak pernah berakhir mudah. Selalu begitu sejak lama.

***

Part nano-nano. Gemes sama Agam, tersipu-sipu sama Maja, dan dug-dugan bareng si M. Semoga masih setia menanti.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro

Tags: #romance